"Dia harus beristirahat dulu selama beberapa hari," ujar seorang dokter muda berkacamata yang memeriksa keadaan Mamori.

"Ta-tapi bagaimana kondisinya, dok?" tanya Kaa-san khawatir. Sepasang maniknya berkaca-kaca dan sudah akan meneteskan air mata jika saja kedua pundaknya tidak ditahan oleh Tou-san dari belakang–yang sedang berusaha keras untuk menenangkannya.

Si dokter tidak langsung menjawab. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Tidak sulit untuk mengetahuinya, semua itu tersirat jelas di wajahnya. Sang dokter menundukkan kepala barang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita bicarakan ini di ruangan saya."

"Baik, dok," ujar Tou-san. Sedangkan Kaa-san hanya terdiam memandang nanar punggung dokter yang tengah berbalik meninggalkan kamar rawat anak semata wayangnya. Mereka berdua menyusul sang dokter dengan langkah kaki yang terbilang sangat kecil—karena Tou-san harus menuntun Kaa-san untuk bisa berjalan—menuju ruangan dokter yang kebetulan berada tidak jauh dari ruang UGD tempat Mamori sekarang terbaring lemah.

Aku memerhatikan sosok ketiganya yang semakin menghilang dari balik kaca ruangan tempat Mamori dirawat. Sudah empat hari Mamori dirawat dan sampai hari ini kondisinya masih sama seperti kemarin—tertidur tanpa bisa terbangun. Aku sudah menghubungi Kaa-san dan Tou-san sejak hari pertama. Namun, karena harus mengambil izin cuti terlebih dahulu dari pihak maskapai dan kebetulan saat itu mereka sedang berada di luar kota, mereka baru sampai di Tokyo hari ini.

Aku kembali menolehkan kepalaku ke samping kanan–tempat dimana malaikatku terbaring lemah bersama wajah putihnya yang pucat. Pelan-pelan kusentuhkan tangan kananku ke permukaan kulit wajahnya yang semakin kurus. Perasaanku saja atau memang Mamori sedang tersenyum saat ini. Senyum manis malaikatnya yang setiap hari—dulu—ia perlihatkan. Senyumnya yang begitu kurindukan ….

Tiba-tiba kurasakan tangan mungilnya menyentuh pelan siku tangan kananku di tepi ranjangnya yang tengah kupakai untuk menopang daguku. Refleks, kugenggam pergelangan tangannya yang kurus dengan erat; berharap bahwa sentuhan tadi bukanlah ilusiku semata. Kulihat jari telunjuknya mulai bergerak lemah, lalu jari tengahnya, jari manisnya dan sekarang semuanya dapat bergerak walau hanya getaran lemah tanpa tenaga.

"Syukurlah, Mamori-neechan."

Segera saja aku berlari menuju ruangan dokter yang sebelumnya memeriksa keadaan Mamori. Tak kuperdulikan tatapan aneh dari para pasien serta petugas rumah sakit yang melihatku berlari-lari di koridor rumah sakit.

Tak sampai beberapa menit, kedua kaki pendek ini telah membawaku sampai di depan pintu sebuah ruangan dengan papan nama kecil bertuliskan 'Dr. Ichiro Takami' yang ditempelkan di sudut atas pintu. Jari-jemariku sudah akan menarik gagang pintunya jika saja tidak kudengar percakapan samar antara dokter dan kedua orangtua kami.

"Dioperasi, dokter?" Terdengar suara bariton berat dari dalam ruangan. 'Sepertinya itu suara Tou-san," pikirku.

"Ya, sebelum kankernya semakin menyebar," sahut suara maskulin lainnya.

'O-operasi? Tapi, kenapa?' gumamku lirih. Tubuhku serasa membeku saat ini. Yang kutahu selama ini, operasi sama artinya dengan buruk dan itu berarti … bukan berita yang baik untuk Mamori. 'Apa yang sebenarnya terjadi pada Mamori-neechan?'

"Separah itukah, dokter?"

"Mengingat beberapa hari yang lalu ia sempat pingsan dan kalau dilihat dari perkembangannya saat ini … tidak ada cara lain. Selain operasi pengangkatan langsung sel-sel kanker dari otaknya."

"Tapi, dokter, apa anak saya akan baik-baik saja? Tidak ada efek samping, dokter?" tanya Tou-san. Suaranya terdengar bergetar hebat. Tanpa melihatnya pun, sudah dapat dipastikan kalau saat ini Tou-san tengah shock berat.

Terdengar jeda sesaat. Penasaran. Semakin kudekatkan sebelah telingaku ke dinding luar yang benar-benar dingin seperti es.

"Efek samping tentu saja ada. Tapi, itu lebih baik daripada ia harus dibiarkan berlama-lama berjuang melawan penyakitnya."

"A-apa efeknya, dokter?" Kali ini terdengar suara lembut Kaa-san, namun sedikit … serak, layaknya orang habis menangis.

"Anak anda … akan kehilangan seluruh ingatannya."

Apa?

Dari celah pintu aku melihat sosok Kaa-san jatuh terduduk di atas lantai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sementara Tou-san berdiri diam dalam posisinya dan memandang kosong ke depan. Penampilannya tak ubah makhluk tanpa nyawa. Walau sebelumnya Tou-san terlihat tegar, tapi tetap saja ia menyimpan kesedihan yang mendalam.

Aku sudah terduduk lemas di atas lantai marmer putih berdebu. Kuletakkan kepala di antara lutut dan diam menunduk di depan pintu—memikirkan ide gila yang sempat melintas di chip memoriku. Walau terkesan ekstrem, tapi kuharap dokter itu bersedia membantu. Beberapa menit berlalu sampai akhirnya aku pun teringat tujuan awalku.

Memaksa berdiri dan berniat kembali ke ruang UGD terlebih dahulu. Tapi, tubuhku … tubuhku serasa linglung dan tidak mampu lagi untuk berpijak. Aku baru ingat kalau tubuhku belum di-recharge selama empat hari.

Bruuuk

Ya ampun, saat ini tubuhku pasti menghalangi orang-orang yang berlalu-lalang di lorong UGD.

.

.

.

Ariya 'no' miji proudly present:

Memory

Dedicated For:

Eyeshield 21 April-Mei Last Moment

Disclaimer: Selamanya Riichiro Inagaki dan Yusuke Murata

Warning: maybe OOC(tapi semoga IC), typos(sudah saya usahakan agar sesedikit mungkin), AU, bersettingkan masa depan, SenaMamo ^^

Don't like?

.

.

Don't Read

.

.

"Mamori, Tou-san punya hadiah untuk Mamori."

"Apa itu, Tou-san?"

"Android."

"Andoid? Andoid itu apa, Tou-san?"

"Hemb, android itu … seperti teman."

"Teman? Wah, aigathou. Mamoi sekalang punya teman!"

"Mamori suka? Android ini yang akan melindungi dan menemani Mamori saat Kaa-san dan Tou-san tidak ada. Tidak apa 'kan, Mamori?"

"Tidak apa-apa, Tou-san. Kan Mamoi sekalang tidak sendilian lagi."

"Syukurlah. Mamori mau kasih nama siapa buat androidnya?"

"Emb … Sena."

"Kenapa Sena?"

"Kalena tidak ada huluf el( r )-nya."

"Hahahaha …."

Aku hanya berdiri diam dari jarak sekitar 5 meter; menatap langsung percakapan dua orang anak manusia yang berlangsung di depan mata. Kedua perangkat penglihatan dan chipku berusaha mencerna sosok gadis kecil yang ceria. Ia menatap kagum manusia android berambut cokelat bertubuh mungil yang dipegang oleh seorang pria paruh baya.

Bukankah mereka … Mamori-neechan dan Tou-san?

Jadi, ini adalah saat pertama aku dibawa ke rumah mereka? Ah, aku paham. Ternyata saat ini chipku sedang memutar ulang memori sembilan tahun yang lalu. Biasanya, saat sedang mengistirahatkan diri ataupun di-recharge, chipku akan memutarkan sesuatu yang kalau dilihat sekilas, persis seperti mimpi para manusia.

Tapi, sebenarnya ini jauh berbeda dari mimpi.

Pertunjukkan yang kulihat saat ini adalah nyata. Tak abstrak seperti mimpi manusia. Semua berjalan sesuai alurnya. Sesuai apa yang kulihat dan telah kualami selama ini yang tersimpan dengan rapi di tempatnya. Dan terkadang, memori ini akan diputar kembali bagaikan sebuah drama.

Selang waktu maksimal pemutaran ulang memori adalah tiga minggu atau dua puluh satu hari. Tapi, memori ini ….

Memori ini adalah memori pertamaku yang sudah sangat lama! Bagaimana mungkin diputar kembali? Mungkinkah ada yang tak beres dengan mesinku?

Mamori kecil berjalan perlahan menuju android—aku—kemudian mengulurkan tangan kanannya; hendak bersalaman.

"Pelkenalkan, namaku Mamoi dan kamu Sena. Mulai sekalang jadi temanku, ya, Sena?" ucapnya diiringi cengiran lebar di sudut-sudut bibirnya.

"Se-Sena. Na-namaku—" Dengan gerakan kikuk, kuulurkan tangan kiriku untuk membalas uluran tangannya. Namun, segera saja tangan kiriku digenggam erat olehnya. Dan sebagai gantinya, ia menarik tangan kananku untuk bersalaman.

"Kata Kaa-san kalau salaman pakai tangan yang ini, Sena." Sembari tersenyum ia mencontohkan padaku cara bersalaman yang baik.

"Ba-baik," sahutku kemudian.

Dan setelahnya, aku ingat betul kami terus-menerus bersalaman seperti itu selama 10 menit tanpa henti.

.…

"Sena?"

Suara yang sama seperti waktu itu. Apa suara itu … memanggilku?

"Sena, kau tak apa?"

Lagi, suara itu memaksaku kembali dari kegelapan total menuju dunia yang dipenuhi sorotan cahaya lampu.

Selama beberapa saat aku hanya bisa bertahan di posisiku, tanpa bisa membuka mata sama sekali. Tampaknya sistem koordinasi tubuhku belum sepenuhnya berfungsi.

"Ma … mori-neechan—" Mataku melebar tatkala melihat Mamori yang tengah mengulas senyum malaikatnya di depanku.

"Syukurlah kau baik-baik saja, Sena. Aku, aku benar-benar takut saat mengetahui kau tumbang di lorong."

Ah, yang benar saja? Yang patut dicemaskan itu seharusnya kau, Mamori-neechan ….

"Maafkan aku karena terlambat me-rechargemu, Sena," ucapnya. Terdengar nada penyesalan di sana. Ia tertunduk. Menatap kosong tangannya yang tersambung langsung selang infus.

"Mamo—"

"Tapi, aku berjanji. Lain kali … aku tidak akan terlambat lagi." Mamori mengangkat kepalanya, tak lupa senyuman lembut ditunjukkan sebagai penghiasnya.

Awalnya, aku sedikit kaget mendengar kata-katanya, sama sekali tidak terngiang di pikiranku kalau dia akan berkata seperti itu bahkan di saat kondisinya seperti ini. Namun, pada akhirnya aku hanya mampu merespon ucapannya dengan,

"Arigatou, Mamori-neechan," sahutku—berpura-pura—ceria. Beberapa detik kusunggikan senyuman padanya sebagai pertanda bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa ia tidak perlu lagi untuk menderita.

.

.

.

"Sena, dimana Tou-san dan Kaa-san?" tanya Mamori-neechan tiba-tiba. Aku yang tengah melamun menatap tetesan hujan yang semakin lama semakin menderas di balik jendela tak bertirai tersentak kaget mendengar pertanyaannya.

Sekarang sudah pukul dua belas tengah malam. Dan saat ini, di ruangan ini, hanya ada aku dan Mamori-neechan; yang aku yakin sudah tertidur lelap sejak pukul delapan malam tadi akibat obat yang diberikan oleh dokter. Jadi, tidak berlebihan bukan kalau aku kaget bahkan hampir terlonjak dari kursi kayuku—yang kebetulan terletak di samping ranjangnya—begitu mendengar suaranya yang tiba-tiba menyebut namaku. Apalagi, saat ini aku tengah melamun memikirkan dirinya.

Sesaat, chipku harus bekerja keras untuk menjawab pertanyaannya yang sebenarnya sangat sepele.

"Me-mereka sedang mengurus administrasi untuk operasimu di depan, Mamori-neechan."

Operasi? Yah, Mamori-neechan akan menjalankan operasi pengangkatan kanker otak sekitar dua hari lagi. Rencana ini sudah diberitahukan kepadanya dan langsung disetujuinya—tanpa memberitahu efek sampingnya. Aku tahu, ia sebenarnya sangat takut, tapi ia terus berpura-pura tegar. Mamori tidak ingin membuat kami khawatir lebih dari ini.

"Begitu, ya. Huuh, aku tidak menyangka sama sekali akan terbaring seperti ini di rumah sakit, ne, Sena?" Ia menoleh padaku dan aku hanya membalasnya dengan senyuman yang sangat kupaksa keluar.

"Seharusnya, saat ini kita sedang berada di rumah. Mungkin bermain kartu dan … oh, ya, ngomong-ngomong tentang main kartu, aku jadi ingin kembali mencoret wajahmu dengan spidol. Hahaha … kau terlihat sangat lucu ketika kalah dariku, Sena …."

"…." Aku tak merespon. Mulutku kaku. Tak tahu bagaimana akan menanggapinya. Sampai akhirnya, kuputuskan untuk mendengar ocehannya seperti biasa. Ia terlihat sangat bahagia saat membicarakan permainan-permainan konyol yang sering kami mainkan dulu.

"Emb, Sena. Apa kau ingat lukisan eh gambar maksudku, yang pernah kuberikan untukmu sebagai hadiah ulangtahunmu waktu itu?"

Tentu saja aku mengingatnya, Mamori. Aku tak mungkin melupakan hadiahmu yang satu itu.

"Tentu saja, Mamori-neechan," ujarku lirih.

Ia tersenyum. "Waktu itu, kau bilang gambarku mirip gerombolan anak itik. Hahahahha …. Padahal, itukan kita yang sedang bermain di kolam—"

Aku memotong kalimatnya cepat, "Ta-tapi, aku menyukainya kok, Mamori-neechan. La-lagipula, gambarnya masih kusimpan di laci meja belajarku." Bohong. Gambarmu selalu kupajang di dinding kamarku, Mamori.

Sekilas, kulihat ia mengulas sebuah senyum dengan pipi sewarna merah jambu.

Heran.

Aku heran dengan warna-warna yang membuat wajahnya justru terlihat semakin manis. Kuakui aku sebenarnya sudah sering melihatnya. Sangat sering. Terutama ketika kami sedang bertatap mata, warna-warna itu terlihat semakin jelas menghiasi rona pipinya. Tapi, konyolnya sampai saat ini pun aku tak tahu apa penyebabnya. Mungkin, faktor cuaca?

Tak mau berpusing-pusing memikirkannya dan membuat kesimpulan sembrono, semburat merah di wajahnya kutatap intens. Sadar akan pergerakan pupilku, dengan cepat ia memalingkan wajahnya ke samping—yang membuatku menghentikan kegiatanku secara paksa.

"Syukurlah, kupikir … kau sudah lupa dengan gambar itu," ujarnya. Lalu terdengar tawa renyah dari balik wajahnya yang membelakangiku.

Mendengarnya, spontan aku pun tersenyum. Senyum senang mendengar suaranya yang kembali riang dan juga … takut.

'Gomen, Mamori-neechan.'

.

.

.

Tap … tap … tap ….

Suara langkah kaki atau katakan sajalah aku sedang berlari terdengar bergema ke seluruh penjuru kompleks yang terasa sangat sepi saat siang menjelang. Hari ini sinar mentari terlihat lebih menyalang. Rasanya ingin membakar kulitku sampai ke dalam-dalam, sampai-sampai besiku serasa akan melengkung akibat memuai.

Di atas jalanan sepi ini, aku hanya berharap semoga mereka tidak menemukanku. Sungguh. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk meladeni permainan mereka. Permainan kekanakan yang sangat tidak berguna. Apalagi … saat ini. Di mana waktu telah menjadi hal yang sangat berharga. Waktu yang seharusnya kuhabiskan bersamanya.

Saat mereka—berandalan sekolah—memintaku (lagi) untuk membelikan makanan kecil di mini market sepulang sekolah, aku justru melarikan diri. Ini mungkin rekor pertamaku sebagai seorang 'pengecut' berani melanggar perintah komandan. Yah, katakanlah demikian, karena tampaknya aku memang meniupkan peluit perang.

Dengan kecepatan yang menyamai cahaya, aku berlari menuju sebuah rumah yang berukuran tidak terlalu besar namun terkesan elegan. Di depannya berdiri kokoh pintu pagar kayu yang sangat tinggi dengan vegetasi merambat yang tumbuh sebagai penghias taman. Sedangkan pada tembok di samping pintu, terdapat sebuah plat nama keluarga yang ditandai dengan tinta hitam.

'Anezaki'

Rumah kami ….

Tanpa basa-basi, aku memasuki rumah yang masih bergaya jepang tradisional tersebut. Kujejakkan sepasang kakiku di jalan setapak yang tidak terlalu panjang dan dipenuhi batu-batu kerikil kecil yang serupa pasir jika dilihat dari kejauhan. Di sisi kanan ditanami pepohonan maple yang tengah bertumbuh di musim semi seperti ini. Sedangkan di sisi kiri dapat tertangkap dengan jelas oleh kedua retina mataku; dua buah ayunan kecil dan sebuah kolam ikan berbentuk setengah lingkaran di depannya.

Semua gambaran ini bagaikan memutar ulang memori saat aku dan Mamori masih berumur sekitar enam sampai sepuluh tahun. Tanpa sadar, senyuman terpatri di sudut-sudut bibirku kala mengingat hari dimana Mamori mencoba menjadikan aku sebagai model lukisan alamnya. Ia melukis diriku yang tengah bermain ayunan dan mencipratkan air kolam dengan kedua kakiku.

Wajahnya terlihat sangat serius. Tangannya ia gerak-gerakkan di udara seakan-akan memantulkan ulang gambaran diriku. Selesai melukis, ia menanyakan pendapatku mengenai hasil karyanya yang 'katanya' akan ia serahkan sebagai tugas kesenian sekolah.

Saat melihat goresan-goresan kuas di atas kanvas putih tersebut, jujur saja aku bingung dengan sosok yang dimaksud. Bagaimana tidak? Lukisannya sangat abstrak! Banyak garis-garis aneh meliuk-liuk yang tidak aku mengerti dimana pangkal dan ujungnya.

Aku perhatikan lukisan itu berulang kali. Kudekatkan ke mataku, kemudian kujauhkan lagi. Terus menerus sampai ia pun kelihatannya sudah tak sabar menunggu komentarku.

"Bagaimana?" tanyanya tidak sabaran. Matanya menatapku penuh harap.

Aku melempar senyum padanya sebagai tanda untuk memintanya bersabar sedikit lagi. Kemudian, aku kembali memfokuskan kedua retinaku pada lukisan 'abstraknya'. Namun, pendapatku tetap sama. Hanya ada satu makhluk yang terlintas di kepalaku kala melihat lukisannya.

"A-apa ini … i-itik, Mamori-chan?" Ragu-ragu aku bertanya padanya. Takut menyinggung perasaannya.

"Ini 'kan kau, Sena!" teriaknya lantang.

I-ini aku? Apa aku terlihat seperti itik?

"A-ap—"

"Lagipula … sebenarnya ini untuk hadiah ulangtahunmu, Sena." Tiba-tiba suaranya terdengar serak dan melemah.

"U-ulangtahun … ku?"

Mamori tak lagi menjawab. Kepalanya tertunduk. Tangannya meremas kuat rok lipit kotak-kotaknya seakan menahan sesuatu. Sekilas, aku dapat melihat tetesan air dari kedua pelupuk mata shapphire-nya lalu perlahan turun menuju dagunya.

'Apa Mamori-chan … menangis?'

Krieeek ….

Tak sampai sepersekian detik, aku kembali dikagetkan atas ulah tangan mungilnya yang dengan kasar merobek hasil karyanya sendiri yang katanya 'hadiah ulangtahunku'. Tangannya meremas lembaran putih yang sekarang telah terbagi dua, melemparkannya ke tanah, lalu menginjaknya kuat-kuat sampai kertas itu tak lagi berbentuk. Meninggalkan kesan kucel, tidak, bahkan lebih parah. Saat ini warnanya sudah senada dengan tanah di sekelilingnya.

Mamori kecil berlalu pergi meninggalkanku yang terdiam membatu. Dibantingnya sekuat tenaga pintu kamar yang terletak di lantai dua—bersebelahan dengan kamarku—sehingga menimbulkan suara berdebam keras yang menggema ke seluruh penjuru.

Perlu sekitar empat jam bagiku untuk membujuknya agar mau keluar dari persembunyian. Berbagai cara dan upaya telah aku lakukan agar setidaknya ia bersedia menanggapi ucapanku. Namun nihil. Ia bahkan tak perduli sama sekali.

Sampai akhirnya, aku memintanya untuk melukis ulang diriku dan dia, dengan embel-embel hadiah ulangtahun untukku—tentunya. Syukurlah, ternyata permintaanku satu itu tak terlalu buruk juga. Segera ia membuka pintu kamarnya dan menatapku dengan mata yang membengkak merah dan basah. Menatapku sesaat lalu ia pun tersenyum ceria dan menggiringku kembali ke kolam di halaman depan. Setelahnya … ah, kalian pasti tahu apa yang terjadi.

.…

"Se-Sena, apa tidak apa-apa dengan pakaian seperti ini? Apa aku tidak tampak aneh?"

"Tidak. Tidak sama sekali, Mamori-neechan."

"Benarkah?"

"Ya. Kau tampak sangat cantik." Ah, baru kali ini aku dapat mengatakannya secara langsung. Kulihat Mamori hanya menunduk setelah mendengar ucapanku, dan setelahnya, kami tidak berkata apa-apa.

Langkah kami yang terbilang kecil membuat perjalanan yang ditempuh serasa semakin panjang. Melalui ekor mataku, sesekali aku mencuri pandang sosoknya yang berjalan anggun di dekatku.

Rambut auburn sebahunya yang dibiarkan tergerai, serta dress sederhana selutut dengan warna senada membuatnya terlihat semakin manis; menyamarkan pucat yang semakin kentara di wajahnya. Padahal, jujur saja, dress ini modelnya sudah sangat ketinggalan zaman. Entah mengapa, Mamori justru lebih memilih mengenakan dress lamanya untuk ke tempat 'itu'.

Mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana caranya kami bisa keluar dari rumah sakit. Jawabannya mudah. Kabur. Setelah memastikan pesanannya dibawa oleh perawat yang kebetulan memang merawatnya, ia langsung mengobrak-abrik isi koper yang saat itu masih kujinjing di tangan kananku. Apalagi kalau bukan mencari dress lamanya. Aku sendiri heran, bagaimana bisa Mamori tahu kalau dress lamanya ada di dalam koper?

Setelah berganti pakaian, Mamori mencabut selang infusnya asal lalu menggantinya dengan ekspirus. Aku sempat mencegahnya dan menanyakan alasannya memakai ekspirus. Tapi, bukannya diindahkan, tangannya justru langsung membimbingku keluar.

Saat menginjakkan kaki di jalanan, wajahnya terlihat sangat gembira. Dihirupnya udara di sekeliling dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat—hingga nyaris terdengar. Terus-menerus begitu sepanjang perjalanan, hingga aku sempat berpikir kalau Mamori tidak berespirasi selama di rumah sakit. Ah, konyol.

Sesaat aku terdiam, sebelum aku memejamkan mata dan membiarkan seulas senyum luput dari pertahananku. Kurasa, dia memang butuh hiburan setelah seminggu lebih hanya berbaring di ranjang rumah sakit dan mencium bau obat-obatan setiap hari.

"Kita sampai—"

Suara lembutnya menyentakku, menarik kembali pikiranku yang sempat melanglang buana ke masa lalu.

"Ah, y-ya, Mamori-neechan."

"Kamu melamun, Sena?" Mamori sedikit membungkuk dan memiringkan kepalanya ke samping, tampak sedang mengamati wajahku.

"Ti-tidak," jawabku singkat.

"Lalu?" tanyanya lagi, tidak puas dengan jawabanku sebelumnya.

"Lalu apa?" Aku balik bertanya. Kutatap mata shappire-nya dalam—meminta penjelasan.

"Huuf … seharusnya aku yang bertanya, Sena. Kenapa wajahmu bingung seperti itu?"

"A-ah, masa sih?" Aku raba wajahku dengan kedua tanganku, berusaha mencari sesuatu yang aneh di sana.

"…." Mamori memicingkan kedua matanya. Tampaknya dia mulai kesal dengan tingkahku.

"Go-gomen, Mamori-neechan. Hanya saja, aku bingung kenapa Mamori-neechan ingin ke sini?" tanyaku akhirnya. Mataku kemudian melirik Mamori yang masih saja menatapku, namun kini ia mengerutkan alisnya seolah ingin berkata, 'Memangnya kenapa?'

Mengambil napas sejenak, ia menjawab, "Aku … ingin mengenang kembali masa kecil kita dulu, Sena. Kau ingat?"

Belum sempat aku menjawab, ia melanjutkan kalimatnya, "Dulu, beberapa bulan setelah kita pertama kali masuk sekolah, kau selalu menghilang saat jam pulang tiba—"

Aku mendengarkan penuturannya dengan saksama. Walau sebenarnya, aku masih ingat dengan jelas bagaimana masa kecil kami dan tentang lapangan berumput tepi sungai yang ada di hadapanku.

"Dan … aku selalu mencarimu ketika kau menghilang tiba-tiba. Saat pertama kalinya kau menghilang, aku benar-benar bingung bagaimana caranya untuk menemukanmu. Aku … rasanya takut sekali, Sena. Aku … hanya punya kau. Kaa-san dan Tou-san jarang pulang. Sejujurnya, aku … tidak punya siapa-siapa." Mamori tertawa kecil saat menceritakan hal itu. Namun, selanjutnya ia memasang wajah murung.

"Mamori-neechan—"

"Ta-tapi, saat salah satu teman kelas kita memberitahuku kalau kau sedang dipukuli oleh anak lainnya di sini, di bawah jembatan itu, tiba-tiba aku mendapatkan keberanian untuk datang kemari."

Setelah itu, Mamori mulai berkaca-kaca. Ia melanjutkan dengan sedikit tersendat.

"Aku takut. Sangat takut. Bukan kepada anak-anak nakal itu. Tapi, aku takut kalau kau sampai terluka, Sena. Karena itu, aku sangat marah ketika melihatmu sedang dilempari batu oleh mereka."

"Ma-Mamori-neechan—" ucapanku menggantung. Kurasakan sorot mataku mulai melemah.

"Ya?" tanyanya tidak mengerti.

"Arigatou …. Doumo arigatou, telah … mengkhawatirkanku." Ah, pandanganku memburam. Jangan! Jangan jatuh di sini! Demi Tuhan, aku tidak ingin membuatnya khawatir lebih dari ini.

"Karena itu, jangan tinggalkan aku lagi, ya?" Tiba-tiba kurasakan jemarinya menyentuh telapak tangan kananku. Menggenggamnya erat, seakan takut terlepas. Saat kutatap wajahnya, samar-samar kutemukan rona merah di sana. Ia tak menatapku. Atensinya tak lepas dari garis-garis merah yang melukis cakrawala. Iris biru lautnya bagaikan cermin yang memantulkan mentari yang tengah kembali ke peraduannya.

Belum puas kami menikmati lukisan Tuhan, sebuah kejutan kembali datang. Kali ini suara tiga orang yang sudah tidak asing lagi menghadang. Memukul tubuhku dari belakang.

Bruuk …

Tubuhku rasanya ingin melayang. Namun mereka tak henti menerjang. Ditambah energiku yang memang sudah berkurang, kaki-kaki mereka justru semakin aktif menyerang. Ah, semuanya tampak gelap sekarang.

"HENTIKAN!"

Jeritan memekikkan telinga itu terdengar miris. Tak dapat kupungkiri, suara itu membangunkanku kembali. Sakit. Namun kupaksakan kedua hazelku agar terbuka. Aku tak mungkin membiarkannya tertutup. Meninggalkan masalahku bersama Mamori? Jangan bercanda, aku tak sepengecut itu.

"Heh, minggir kau, petugas kedisiplinan! Kami hanya ingin menuntaskan urusan tadi siang dengan adik kesayanganmu itu."

"Tidak dan tidak akan pernah!" Mamori tetap bersikeras tak mau kalah. Kedua tangannya semakin ia bentangkan lebar-lebar—membentuk pose sebagai tameng pelindung.

Dari tempatku terduduk, semuanya terlihat kabur. Yang terlihat jelas hanyalah punggung tegap Mamori dan kedua tangannya yang tetap merentang teguh. Tak terlihat tanda-tanda akan runtuh.

"Huh, betapa kasihannya dirimu melindungi besi rongsokan tak berharga seperti dia."

"…." Mamori hanya bergeming di tempatnya.

"Dia itu hanya android! Hanya pesuruh, tak ada—"

"Bagiku, Sena lebih dari itu!" bentak Mamori. "Dia … temanku, yang selalu menemaniku. Bahkan, ketika semuanya terlihat gelap, Sena … memberiku cahaya di dalamnya. Dia adikku, yang selalu ingin kulindungi. Adik yang tak kuinginkan untuk terluka, walau aku sadar penuh, Sena … memang takkan pernah terluka secara fisik. Dan dia—"

Terdengar jeda sesaat sebelum Mamori melanjutkan kata-katanya.

"Dia … juga orang yang sangat kusayangi." Mamori tersenyum dengan rona sewarna merah jambu di kedua pipinya.

A-apa?

"Huh, menyayangi android? Dongeng konyol apa lagi ini?"

"Dasar!" Terdengar decakan sebal dari si rambut pirang.

"Hey, ekspirus? Kau melarikan diri dari rumah sakit, eh?" komentarnya lagi ketika matanya menangkap basah keberadaan ekspirus di tangan kanan Mamori. Sementara itu, tangannya mulai bergerak nakal mencengkram pergelangan tangan kanan Mamori.

"Lepaskan!" teriak Mamori.

"Hey, hey, tenang saja. Aku hanya ingin melihat ekspirus-mu ini saja, kok." Menyeringai. Si pirang mendelikkan matanya pada kedua temannya yang lain. Mengangguk paham. Dengan sigap, kedua temannya memutari tubuh Mamori dan ikut menyandera tangan Mamori dari belakang.

"Apa yang—"

Kesal. Aku melompat ke arah dua berandalan tersebut dan menggigit tangan si rambut cokelat sekuat yang aku bisa. Si rambut cokelat sempat kaget dan berteriak kesakitan atas tingkahku ini dan temannya—si rambut perak—sudah berancang-ancang memukulku dengan bat baseball. Segerakulepaskan gigitanku dan menghindar sehingga bat-nya mengenai kaki temannya.

"Awwwww!" Si rambut cokelat jatuh gegulingan di tanah sambil memegangi kaki kirinya yang membengkak.

"Kau, dasar besi!" geram si rambut perak. Ia berlari ke arahku dan mengayunkan bat-nya langsung ke kepalaku.

"SENAAA, awas!" jerit Mamori.

Ah, bersyukurlah pada tinggi badanku. Sedikit membungkuk dan bat tersebut hanya membelai rambut anti gravitasiku. Kesempatan bagus, kuseruduk perutnya dengan kepala besiku yang tergolong (sangat) keras. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Menyebabkan posenya sangat tidak enak dipandang. Melihat keadaan mengenaskan kedua rekannya, si rambut pirang melepaskan cengkraman tangannya dan berusaha membantu mereka untuk berdiri, dengan sebelumnya—tentu saja—melemparkan tatapan serupa ancaman padaku.

"Urusan kita belum selesai, heh, besi!" 'Pesan' terakhir dari ketiga berandalan tersebut tidak terlalu kugubris. Segera saja aku menoleh ke belakang—memastikan apa malaikatku baik-baik saja.

Tapi, ternyata tidak semua harapan menjadi kenyataan.

Di sana, di tepian sungai, Mamori terlihat meringis kesakitan sambil mencengkram kuat pergelangan tangannya yang tampak … basah oleh likuid merah? Oh, tidak. Sepertinya ekspirus-nya bocor karena tak mampu menampung cairan yang sedari tadi memang memaksa untuk keluar.

Aku berlari ke arahnya. Menggendong tubuh ringannya di atas punggungku lalu berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit. Ia tidak menolak dan tidak melawan sama sekali ketika berada dalam gendonganku. Tidak biasanya. Tersadar akan sesuatu, aku segera menolehkan kepalaku ke belakang—memastikan bahwa ia tidak pingsan akibat kekurangan darah.

"Se-Sena … ada apa?" Mamori mengerutkan alisnya, tampak kaget.

"Ah, ti-tidak ada apa-apa, kok, Mamori-neechan." Segera kualihkan kepalaku ke jalanan di depan kami.

Hening beberapa saat. Rasanya suasana berubah menjadi canggung tanpa ada satu pun kata yang terlontar dari kedua bibir kami. Aku baru saja akan melontarkan topik ringan padanya ketika suara lembutnya sudah lebih dahulu berkumandang di udara.

"Tadi … kau hebat sekali, Sena. Sangat keren dari Sena yang pernah kukenal!" Ia terkekeh pelan di sana.

"Oh, ya?" tanyaku.

"Kau sudah berubah, Sena. Kau telah menjadi kuat. Haah, dengan begini, mulai sekarang aku bisa lebih tenang—"

Mamori menggantungkan kata-katanya untuk sejenak.

"—Sena, berjanjilah padaku untuk selalu di sampingku dan menjadi pelindungku? Kau mau?" tanyanya. Nadanya terdengar sangat bersemangat di sana. Aku menundukkan kepalaku menghadap tanah coklat di bawahku. Sungguh. Jika diizinkan, aku ingin selalu berada di sampingnya, melindungi dirinya.

Tapi, mulai besok, apakah aku bisa?

"Selama … kau menginginkannya, Mamori-neechan. Maka aku, akan selalu bersamamu."

'Ne, Mamori-neechan, aku akan selalu bersamamu, selamanya ….'

"Kau ini bicara apa, Sena? Tentu saja aku menginginkannya." Terdengar tawa renyahnya di dekat telingaku. Memangnya ucapanku aneh, ya?

Huh, tapi … apa pun itu, selama ia bahagia, bagiku sudah cukup.

.

.

.

Aku melangkahkan kaki dengan sedikit tergesa. Kulihat keadaan Mamori tidak baik-baik saja. Likuid merah terus bercucuran di pergelangan tangannya. Membuatnya semakin lemah tak bertenaga.

Sampai di rumah sakit, kami langsung disambut oleh pertanyaan-pertanyaan retoris baik dari Kaa-san maupun Tou-san. Sementara Dokter Ichiro, ia hanya diam. Sekilas aku melihat matanya berubah sendu saat melihatku dan Mamori yang masih berada di punggungku. Aku tahu, lingkar kelam itu mengirim sebuah sandi yang kurang lebih menanyakan, 'Apa kau yakin?' Dan aku membalasnya dengan sebuah anggukan kecil yang hanya dapat dilihat olehnya.

Tampak dari kejauhan sebuah tempat tidur beroda didorong oleh empat orang perawat yang memegang sisinya masing-masing. Tempat tidur inilah yang akan membawa Mamori ke ruangan operasinya—ruangan kami.

"Ma-Mamori-neechan," Refleks, kugenggam tangannya—tak rela ia pergi. Mereka semua—coret Dokter Ichiro—langsung menoleh ke arahku, mengerutkan alisnya bingung.

"Ya," jawab Mamori.

"Aku … akan menunggumu." Akhirnya, hanya kata itulah yang berhasil lolos dari bibirku. Ia mengangguk dan melepaskan senyuman hangat. Dengan berat, aku melepas tangannya bersama sosoknya yang semakin menjauh.

'Tapi, kumohon. Jangan tunggu aku, Mamori.'

.

.

.

Tet, tet, tet

Hanya suara itulah yang dapat kudengar. Di ruangan berbau obat-obatan khas rumah sakit ini aku melihatnya terbaring di seberangku—di atas meja pengoperasian. Ia sudah dibius sedari tadi. Matanya terpejam, damai, seperti sedang tertidur.

Duk

Awww … dasar ceroboh! Sifatku yang satu itu memang tak mau menghilang. Hampir saja aku lupa ukuran benda kotak berlapis kaca tebal serupa lemari yang menjadi sandaran tubuhku. Di dalam lemari ini, terpasang begitu banyak kabel yang menghubungkan chip memoriku langsung dengan pelipisnya. Dan melalui kabel-kabel rumit inilah aku berharap keajaiban untuknya.

Dokter Ichiro tiba-tiba berjalan perlahan ke arahku. Kakinya berhenti melangkah setelah berjarak 1 meter dari lemari tempatku terbaring.

"Siap?" Dokter Ichiro menatap manik hazelku intens. Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. Bukan karena keraguan, melainkan karena energi bateraiku yang memang sengaja dikosongkan.

Dokter Ichiro tersenyum singkat lalu beralih ke operating table sambil memakai sarung tangan yang diberikan oleh perawat yang memang membantu proses pengoperasian kanker otak Mamori. Tak perlu menunggu lama setelah itu, operating lamp dinyalakan. Dan pisau-pisau bedah pun mulai menari. Menyayat jaringan kulit inci demi inci.

Perlahan semuanya berubah gelap. Iris hazelku tak mampu lagi bertahan. Sudah tidak bisa. Aku tidak bisa melihatmu lagi, Mamori-neechan. Segalanya buram, samar, hanya suara-suara peralatan bedahlah yang masih mampu kudengar.

Seandainya saja, energi ini masih sedikit tersisa, aku ingin sekali mendengar suaramu untuk terakhir kalinya.

Tiba-tiba kurasakan bumi berguncang. Oh, tidak. Tidak. Ini bukan gempa bumi. Hanya lemari ini sajalah yang bergetar hebat; menandakan tombol merah sudah ditekan.

Oh, Tuhan, rasanya aku mengantuk sekali. Lelah dan mengantuk. Sampai disinikah?

"Suki desu, Mamori."

.

.

.

A/N:

Special thanks to; LalaNur Aprilia, Kisiki Nagome, Carnadeite, hana-chan kirei. Terimakasih ya udah bersedia baca dan nge-review ^^ Untuk yang lainnya yang udah bersedia ngeluangin baca, ngelirik judul, fave, saya ucapkan terimakasih banyak …

*Ekspirus: semacam benda tipis berbentuk persegi panjang yang ditempelkan di kulit bekas infus. Fungsinya buat nyalurkan cairan obat yang diperlukan si pasien tanpa harus memakai selang infus. Jadi, gak ribet kalau mau pergi-pergi. Tapi … emb, sebenarnya ini hanya khayalan saya aja, sih. Entah ada beneran ato gak# digeplak

Gomen, gomen banget yah angst-nya gak kerasa. Soalnya saya sendiri aja gak nangis waktu ngetiknya. Oh, ya, tambahan, Saya mendapatkan ide cerita ini dari dua cabang. Pertama, mengenai kanker otak ini didapat dari kisah temennya temen saya yang katanya hilang ingatan setelah dioperasi kanker otak. Entah bener ato gak? Anggap aja bener, ya~ Kedua ,ide mengenai transfer memori mungkin sedikit mirip sama cerita salah satu fic dari fandom lain.

Balasan review:

LalaNur Aprilia_ Terimakasih banyak udah bersedia nyambut saya di sini. Hiks, jadi terharu ^^ .

Hehe … apa, ya? Agak gak jelas nih gendernya apa(?) Kayaknya sih perempuan… Lagian Ariya itu singkatan kok Lala-san(boleh saya panggil gitu?) Itu Bukan nama asli saya lho. Yap, benar sekali. Sena itu semacam robot, yang disini saya nyebutnya android. AU-nya kerasa? Wah makasih … Saya pikir ini settingnya gak jelas ==

Ini udah update, kok. Terimakasih udah bersedia nge-review ^^

Carnadeite_ Terimakasih banyak udah bersedia nyambut saya di sini#balassenyum :D

Salam kenal juga deite ^^. Panggil aja saya Ariya, kalau kepanjangan miji aja deh. Wah, sama dong. Oke, kita saling bantu-membantu sbg sesame newbie, hehe…

Masa sih? Makasih banyak. Seneng deh, kalau tulisan saya dibilang bagus. Jadi percaya diri, neh. Hehehe… Genrenya kerasa? Tapi, menurut saya angst-nya kok meragukan, ya. Saya benar-benar bingung buat fic angst. Susah banget bawa feelnya. Syukur deh. Tadinya saya pikir Mamori OOC. Tapi, mungkin di chapter ini dia agak sedikit melenceng. Gak apa, ya?

Suka banget ^^ … Deite juga? Wah, sama doooooooonng ^^ .. Mau buatin saya SenaMamo #ngarap. Apa bayangan endingnya seperti ini? Yang jelas endingnya emang gak bahagia sih. ==

Yaps, fic pertama saya buat event. Deite juga ada buat, kan? Semoga sukses juga, ya…

Terimakasih udah bersedia nge-review ^^

Untuk yang log-in, udah saya balas lewat PM ^^

So, what do you think about this fic? Please give me your review.

I'll be waiting ^^

.

.

.

"Sena?"

Su-suara itu?

"Sena … bangunlah, onegai."

Sena? Siapa Sena?

"Mamori, tenanglah."

Mamori? Sena? Demi Tuhan, tidak adakah yang bersedia memberi tahuku siapa mereka?

"SENAAAA!"

Oh, tidak. Tidak sadarkah dia bahwa suara teriakannya itu mengganggu waktu istirahatku. Aku lelah sekali ….

Tes, tes

Basah? Apa ini? Kenapa wajahku tiba-tiba terasa basah? Hujankah?

"Se-Sena, dia kenapa, dokter?"

Penasaran. Aku mencoba membuka kelopak mataku yang terasa sangat berat—sekedar untuk tahu siapa gerangan orang yang telah mengganggu tidurku. Walaupun aku sendiri tidak yakin saat ini aku tengah tertidur atau apa.

Dia … gadis itu … kenapa dia menangis sesedih itu di depanku? Kepalanya diperban? Apa dia terluka? Sebenarnya apa yang terjadi pada gadis itu.

"Sena … memintaku untuk mentransfer seluruh memori di dalam chip-nya agar kau tak kehilangan seluruh ingatanmu. Walau tahu konsekuensi yang harus diterima, ia tetap bersikeras untuk menjalankan pemindahan memori."

"A-apa? Apa konsekuensinya?"

Memori? Konsekuensi? Sebenarnya apa yang sedang dibicarakan oleh mereka?

"Mengambil memori dari tubuh android secara paksa, sama artinya dengan merusak sistem koordinasi chip-nya secara tidak langsung. Ia sudah tak bisa bangun lagi. Jika pun ada keajaiban, ia tak akan mengingat apa pun."

"Lalu apa gunanya?" Gadis bersurai auburn itu sedikit berteriak, namun suaranya semakin serak. Tampaknya tangisannya akan kembali tumpah.

"Lalu, apa gunanya … ia memberikan memorinya jika ia tak dapat lagi bangun? Bukankah itu sama saja bohong?" sambungnya.

Pria berseragam putih di sampingnya itu tampak menghela napas sejenak. "Bagi Sena, selama kau dapat mengingatnya, selama memori itu tetap terjaga … dia rela walau harus mengorbankan kehidupannya. Karena kau … sangat berarti untuknya."

Sedikit demi sedikit aku mulai memahami apa yang dibicarakan oleh mereka. Sena, nama android itu—mungkin—telah memberikan memorinya pada gadis ini agar gadis ini tetap mengingatnya. Tapi … semua itu harus dibayarnya dengan kehidupannya sendiri. Ah, betapa menyakitkan kisah hidup mereka.

Andai saja, Sena dapat melihat bahwa gadis ini begitu menyayanginya. Andai saja ….

"Sena,"

Apa? Apa yang ia katakan? Kenapa suaranya terdengar begitu jauh?

Ah, apa ini? Tanganku … ada yang menggenggam tanganku. Lembut sekali. Tapi, siapa?

Walau berat, kupaksakan kelopak mataku untuk kembali terbuka. Di sana, di depanku, gadis berambut auburn itu tengah tersenyum lembut ke arahku sambil memegang tanganku erat.

Apa ini mimpi? Entah mengapa … rasanya aku sangat merindukan senyuman itu. Tapi, rasanya aku mengantuk sekali. Sudah tidak bisa. Aku tak bisa melihatnya lagi. Samar-samar, kudengar ia berkata lirih …

"Suki desu, Sena."

Sena itu … aku?

.

.

.

Saat matamu terpejam

Tak mampu melihat langit temaram

Diriku hanya dapat menatapmu dalam diam

Memutar kembali memori yang kau tanam

.

.

.

FIN

.

.

.

Manusia sering mengatakan hal ini padaku, "Memori itu ada dua jenisnya, yang satu menyedihkan dan yang satunya lagi menyenangkan."

Kalau begitu … memori ini akan menjadi memori terindahku bersamanya …

.

.

.