NARUTO © 1999 by Kishimoto Masashi


Chō kara no MESSĒJI

Story by Vic

Warning: Alternate Universe, Suggestive Theme and second-person Point of View

OoO

Saisho no MESSĒJI:

"Kushina-chan wa boku ni totte taisetsu na hito da."


[01 of 02]


Seiring gerak sang surya merangkak turun mendekati garis horizon barat, dedaunan kering ginko dan momiji yang sebelumnya berceceran memenuhi halaman Uzushio Jinja—atau kuil Uzushio, akhirnya berhasil kaukumpulkan menjadi segundukan besar yang terdominasi warna merah kekuningan. Segaris lengkungan senyum pun terulas di bibirmu yang ranum; menyiratkan suatu kepuasan tersendiri manakala sepasang iris ametismu menyapu pandangan ke seluruh penjuru halaman kuil, memastikan seluruh permukaannya tampak lebih terbebas dari ceceran dedaunan.

"Kerja bagus, Kushina!" sahutmu, memuji diri seraya menganggukkan kepala dengan semangat. "Nah! Setelah ini, tinggal dimasukkan ke keranjang jerami dan langsung diangkut ke—HEI!"

Seruan kaget terlontar dari bibirmu tatkala angin musim gugur mendadak berembus kencang, meniupkan gundukan dedaunan kering itu hingga kembali berceceran memenuhi hampir separo halaman kuil. Kedua irismu terbeliak, mulutmu ternganga membisu. Kau nyaris tak percaya hasil kerjamu sesorean ini sanggup dikacaukan sang angin musim gugur hanya dalam sekali tiupan. Serta merta kau menengadahkan kepala dan melontarkan lagi seruan kedua, yang kali ini terdengar seperti pekikan nyaring, sarat cacian maki.

"! Apa-apaan ini? Kerja kerasku sesorean ini! Padahal sudah susah payah kukumpulkan, tetapi malah berceceran lagi 'ttebane! Dasar angin menyebalkan! Tidak berperasaan! Seenaknya sendiri! Sebal, sebal, sebal dattebane!"

Seolah merespons, sang angin musim gugur berembus kembali. Embusan kuatnya menerpa tubuhmu yang berbalut haori dan hakama, hingga hampir mengempaskanmu ke belakang, seakan-akan menegur bahwa seorang gadis berstatus miko tidak patut memiliki temperamental buruk seperti itu. Namun, kau tentu saja tidak menyadari teguran non-verbal tersebut lantaran terlalu terdistraksi sulutan emosi.

"Oh? Jadi, mau mengajakku bertempur 'ttebane?" cetusmu seraya mengacung-acungkan ujung gagang sapu lidi dengan sembarangan, berlagak menantang sang angin musim gugur, yang sekali lagi meniupkan embusan kuatnya ke arahmu.

"Baik! Kita lihat saja siapa yang akan memenangkan—" gerakan bibirmu terhenti kala suara deraian tawa terdengar menginterupsi. Dengan cepat kau memutar kepala ke arah tawa itu berasal, dan kemudian mengerutkan kening begitu menemukan sosok si penginterupsi.

Rambut semijabrik kuning dengan dua cambang menjuntai pendek, membingkai seraut wajah milik anak muda bermata biru safir, yang tengah duduk di salah satu ceruk anak tangga bebatuan kuil. Kau sempat perhatikan, kedua kelopak matanya tampak hampir membentuk sepasang garis lengkungan kecil kala tawanya berderai jenaka.

"Apa yang sedang kamu tertawakan, Namikaze?" semburmu dengan nada tidak suka kepada si penginterupsi tersebut.

Namikaze si penginterupsi—atau yang lebih kaukenal sebagai Namikaze Minato, si bocah prodigi yang entah bagaimana di usia masih 14 tahun mampu duduk di tingkat akhir kōtōgakkō—mengakhiri tawanya. Dengan senyuman hangat menggantung di wajahnya yang rupawan, perlahan dia bangkit dari tempatnya duduk, dan kemudian beranjak santai ke arahmu.

Tanpa sadar, genggaman tanganmu yang melingkari gagang sapu lidi makin lama makin menguat, seiring langkah kakinya menghampirimu. Kau sadar, kau merasa gugup. Tak seharusnya kaubuat dia menghampirimu, tak seharusnya kauhiraukan tawanya tadi. Seharusnya, kaubiarkan saja dia tetap berdiri di sana, seperti yang sering dilakukannya—dan kau sendiri bersikap tidak menghiraukan eksistensinya, seperti biasa. Tetapi, kau bukanlah tipe gadis yang semudah itu menunjukkan rasa gugup, bukan?

Anak muda itu berhenti tepat selangkah di depanmu. Dengan masih menyunggingkan senyuman hangat, dia berkomentar, "Kushina-chan lucu sekali ya."

Kau mengerjab; sesaat terenyak mendengar bibirnya melafalkan nama kecilmu seakrab itu. "A—apanya? Aku tidak lucu 'ttebane!" hardikmu kemudian, terlampau kasar untuk gadis berstatus miko.

Lagi, dia tertawa. Tawa yang terdengar begitu renyah di indera rungumu, hingga kedua belah pipimu pun membersitkan rona. Di sela-sela tawanya, dia berujar, "Memaki-maki angin seperti tadi, tampak lucu di mataku, Kushina-chan."

"Tidak lucu dattebane," desismu sebal, berusaha keras mengaburkan rona merah yang mulai merayapi wajahmu, dengan cara menatapnya galak. "Dan berhenti menertawaiku, Namikaze. Kamu membuatku tersinggung."

Dia mengangkat kedua tangannya di depan dada, dengan gestur mengalah. Tawanya lambat laun mereda—meski kau masih bisa menangkap binar geli yang tersorot dari manik mata birunya kala membalas tatapan-galakmu. "Gomen na, Kushina-chan. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Sungguh ... tingkah laku Kushina-chan tadi tampak lucu dan menggemaskan sekali. Aku suka."

Usahamu menyirnakan rona di wajahpun bersua kegagalan usai kaudengar bibirnya menuangkan komentar "lucu dan menggemaskan sekali", serta frase "aku suka", padamu. Malah, wajahmu makin lama makin merah padam, diikuti suara degup jantung tak keruan bergema dalam dada. Baru kali ini kaudengar ada yang bilang suka padamu, bukan?

Kau menggelengkan kepala, berusaha menulikan rungu dari gema degup jantungmu yang abnormal. Kau memalingkan muka, berpura-pura tidak menangkap komentar ambigunya barusan. Kemudian, kau berjalan sedikit menjauh darinya; berlagak siap menuntaskan pekerjaanmu menyapu halaman kuil sekali lagi.

Akan tetapi, belum sampai tiga langkah, sang prodigi Namikaze tiba-tiba mencekal tanganmu yang mencengkeram gagang sapu lidi. Bahumu pun terlonjak samar begitu kaurasakan serbuan gelenyar aneh, bagai kejutan listrik statis hangat yang menggelitik, dari sentuhan tangannya.

"Apa maumu, Namikaze?" serumu gusar, berusaha mengebaskan sensasi gelenyar yang mulai merayapi sekujur tubuhmu, dengan cara menarik lepas tanganmu dari genggamannya.

"Aku mau menggantikanmu menyapu halaman, Kushina-chan," jawabnya kalem, tampak tak terpengaruh sama sekali dengan kegusaranmu.

Kaupandangi wajahnya yang menggurat senyuman manis. Kauamati sorot matanya yang menatapmu perhatian. Lalu, kausadari betapa memukaunya kolam biru jernih milik sang prodigi Namikaze, hingga kaumulai bertanya-tanya apa akibatnya andai kaucoba ceburkan dirimu ke dalam sana.

"Kushina-chan?"

Kau mengerjabkan mata ketika mendapati wajah rupawan anak muda itu berada tepat di depanmu. Kontan kau menyentakkan kepala ke belakang, dengan pipi memburat rona. "Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri," katamu datar begitu mengingat tawarannya barusan.

Namun, kau terlambat. Dialah yang sekarang memegang gagang sapu lidi yang kaulepaskan tadi. "Kamu sudah kelelahan, Kushina-chan. Biarkan aku yang menyapu halaman kuil untukmu, ya?" pintanya dengan suara halus. Satu tangannya yang bebas terangkat ke samping kepalamu, mengusap pelan rambut merahnya yang menjuntai sepinggang dalam ikatan pita putih. "Kamu benahi saja rambutmu yang berantakan ini. Ya?"

Kau terkesiap. Usapan tangannya terasa begitu lembut dan nyaman di rambutmu—meski dalam benak kau enggan mengakuinya. Buru-buru kautarik kepalamu menjauh dari jangkauan tangannya. Dua tanganmu sendiri terangkat ke kepala, membenahi rambut yang baru kausadari helaiannya mencuat berantakan dari ikatannya. Pura-pura bersikap tidak malu dengan kondisi rambutmu di depan anak muda itu, kau bergumam, "Baiklah, aku minta tolong padamu, Namikaze."

"Dengan senang hati, Kushina-chan!" sahut sang prodigi Namikaze dengan senyum lebar tercanang di wajahnya. Setelah itu, mulailah dia menggerakkan tangan, dengan cekatan menyapu dedaunan. Beberapa kali angin musim gugur bertiup, mengganggu pekerjaan anak muda yang mengenakan sweter turtleneck hitam serta celana kain warna senada tersebut, hingga mampu mengundang bibirmu untuk berkedut, merasa sedikit terhibur. Dan harus kauakui, dia bekerja dengan cepat. Dalam beberapa menit saja, halaman kuil sudah tersapu bersih. Dedaunan keringnya sendiri sudah terkumpul di dalam keranjang jerami, di dekat salah satu pohon ginko yang menguning.

"Chotto—biar aku yang membawanya ke tungku pembakaran, Namikaze!" serumu seraya lekas menghampirinya; mencegahnya yang akan memanggul keranjang jerami itu di punggungnya.

"Ah, baiklah, Kushina-chan." Dengan sigap, tanpa perlu kauminta, diselubungkannya dua tali pengangkut keranjang jerami itu ke pundakmu. "Tidak berat, Kushina-chan?"

"Ets, hai ... tidak berat 'ttebane," jawabmu dalam gumaman, mendadak disergap rasa kikuk. Kaupengangi dua tali yang melewati pundakmu, kautolehkan kepala ke arahnya, dan kauucapkan ungkapan tulus, "Dōmo arigatō, Namikaze."

Dia tersenyum, membalas ramah, "Iie, dōita shimashite. Aku senang bisa membantumu, Kushina-chan."

Kau hanya mengangguk, lalu terburu-buru melangkah pergi menuju ke tempat tungku pembakaran di belakang rumah, yang berada cukup dekat dari Uzushio Jinja. Sebelum berbelok ke tikungan, kau menengok sebentar ke belakang. Dan kaupun terpana, mendapati sang prodigi Namikaze masih berada di dekat salah satu pohon ginko, tampak tidak mengalihkan tatapannya sedikitpun dari sosokmu.

Usai memasukkan semua helai dedaunan kering ke tungku pembakaran, kau berjalan masuk ke bagian samping rumah, menyusuri beranda berlantai papannya. Namun, langkah kakimu terhenti kala manik matamu menangkap sosok anak muda berambut semijabrik kuning, tengah berdiri sambil melambaikan tangan ke arahmu, di depan kuil.

"Mengapa kamu masih berada di sini, Namikaze?" heran kau mengaju tanya begitu menghampirinya.

Kedua iris biru safirnya membalas tatapanmu, dengan suara kalem menjawab, "Menunggu Kushina-chan."

"E? Menungguku?" ulangmu, semakin heran. Dia mengangguk mantap, mengundangmu bertanya lagi, "Mengapa? Apakah ada yang kamu butuhkan, Namikaze?"

"Hmm ... sebenarnya, aku hanya ingin melihat Kushina-chan saja," ujarnya sambil mengulas senyum dan menatapmu intens; membuat sekujur tubuhmu seakan direngkuh sensasi aneh menggelitik, sama seperti kala dia menyentuh tanganmu setengah jam yang lalu. Kemudian, kauperhatikan senyumannya berganti cengiran lebar saat menambahkan, "Tetapi, kupikir membeli o-mamori juga tidak ada salahnya."

"Hoo ...," desahmu antara lega dan mengerti. (Lega lantaran tatapan anak muda itu sepintas beralih ke arah kuil kecil, yang terletak agak jauh dari Uzushio Jinja—mungkin ke arah patung Kyūbi no Yōko, yang disemayamkan di dalam sana. Mengerti lantaran ujian sekolah akan diadakan beberapa hari lagi—beberapa pelajar di desa Konoha biasanya juga datang ke kuil untuk berdoa serta membeli o-mamori atau kertas ramalan omikuji darimu agar bisa lulus ujian.)

"Tunggu sebentar ya, Namikaze. Aku akan mengambilkan o-mamori untukmu." Usai berkata demikian, gegas kau berjalan memasuki rumah, menyusuri roka—atau koridor berlantai kayu, memasuki kamarmu, lalu mengambil sekantung o-mamori milikmu—yang berfungsi ganda sebagai perlindungan sekaligus bersifat mengabulkan segala keinginan.

"Kore wa dōzo," katamu seraya menyodorkan sekantung jimat berwarna merah itu setelah kembali ke tempatnya berada. "Namikaze bisa memilikinya tanpa perlu membeli. Anggap saja sebagai balasan atas bantuanmu tadi."

Sang prodigi Namikaze mengambil o-mamori tersebut. Jemarinya menggesek perlahan tapakmu kala melakukannya. "Milik Kushina-chan, ya?" tanyanya sambil mengamati kantung jimat mungil itu.

"Hai. Itu ampuh kok. Meski, yaah ... tanpa o-mamori pun, aku yakin Namikaze bisa lulus ujian. Namikaze kan jenius 'ttebane," ujarmu, agak terbata. Entah mengapa, rasa gugup menguasaimu kembali.

"Tetap saja, aku senang Kushina-chan mau memberikan miliknya padaku." Kilatan sarat afeksi muncul di kedua manik matanya, seiring mengamati kantung o-mamori di telapak tangannya itu, sebelum beralih memandangmu. "Ini kali pertama Kushina-chan memberikan sesuatu padaku,"—senyumnya merekah, sorot matanya meneduh—"pasti hari ini adalah hari keberuntunganku ya."

Karena tak tahu harus merespons bagaimana—atau karena mulai terhanyut dalam pesona seorang Namikaze Minato—kau menganggukkan kepala. "Jadi, bisa beritahu aku ... alasanmu kerap berkunjung kemari tiap sore, Namikaze?"

"Hmm?" anak muda itu menelengkan kepalanya sedikit.

Kau, yang tersadar dengan apa yang barusan bibirmu lontarkan, langsung merutuki betapa bodohnya dirimu. Kaupikir, tidak seharusnya kau menanyakan hal itu padanya. Tetapi kemudian, rasa penasaran berpusar dalam benakmu. Kau benar-benar ingin tahu apa alasannya hingga kerap mengunjungi kuil dan melakukan aktifitas "mengamatimu-dalam-diam" beberapa hari ini. Sebelumnya, kau memang berlagak apatis—tetapi, karena sekarang ada kesempatan berkonversasi dengannya, kauputuskan untuk bertanya saja.

"Anō ... kamu sering muncul, Namikaze. Jadi ... aku bertanya-tanya alasan kamu muncul ... begitu." Kaualihkan atensi ke sandal zori di kakimu yang berbalut tabi; tak ingin rasa malumu tertangkap oleh kedua manik mata biru jernihnya kala mengatakannya.

"Aku ingin melihatmu, Kushina-chan," jawabnya lugas seraya memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana. Terkejut, kau mengangkat wajah; terpana, kau menemukan iris biru safirnya memandangimu serius. "Dan aku hanya bisa melihatmu dengan leluasa ... ketika kuil sedang sepi pengunjung pada sore hari."

"Apa—apa maksudmu, Namikaze? Mengapa tiba-tiba kamu ingin melihatku?" tanyamu, kebingungan. "Bukankah kita jarang bertemu semenjak Namikaze lebih dulu lulus tingkat shōgakkō? Lalu sekarang, kita juga berbeda tingkatan—Namikaze berada di tingkat akhir kōtōgakkō, sedangkan aku masih duduk di bangku chūgakkō. Jadi, tidak ada keperluan bagimu untuk melihatku, bukan?"

"Ada." Sang jenius Namikaze menukas tegas. "Karena aku menyukaimu, Kushina-chan, aku jadi ingin selalu melihatmu."

Irismu terbeliak lebar. Tergagap dirimu, merasa tidak yakin dengan apa yang barusan kaudengar darinya. "A—apa yang ... maksudmu, kamu ingin ... karena kamu ...? Chochotto, ini pasti tidak benar 'ttebane!"

"Aku bersungguh-sungguh, Kushina-chan, aku—"

"Mengapa?" selamu, terdengar urgesif. "Mengapa kamu mengatakannya padaku, Namikaze? Apakah kamu ingin mempermainkanku?"

Anak muda itu menarik bahumu. Genggamannya terasa kuat, namun tidak menyakitimu. "Kushina-chan, aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Walau aku tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba bisa menyukaimu, tetapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang kurasakan ini."

Seketika, jantung di dalam dadamu berpacu abnormal; sensasi sentuhan tangannya di bahumu terasa menguat; dan kolam biru jernih miliknya semakin membuaimu untuk menghanyutkan diri perlahan. Kau tak bisa berkutik dalam genggamannya. Namun detik berikutnya, kau geragap menukas dengan wajah merah padam, "Te—tetapi, aku ... tidak menaruh perasaan yang sama ... padamu 'ttebane!"

Sang prodigi Namikaze mengerjab; mengentaskanmu dari buaian kolam birunya. Kaukira, dia akan marah atau kecewa. Tetapi, kau salah begitu mendapati sepasang sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, membentuk seulas senyuman lemah. "Aku tahu, Kushina-chan," katanya sambil meremas lembut kedua bahumu, "... aku tahu itu."

Dahimu mengerut samar di antara helaian ponimu. "Lantas ... mengapa Namikaze ... mengutarakannya?"

Masih meremas bahumu, lamat-lamat dia menundukkan kepala di samping wajahmu, membisikkan jawaban: "Agar Kushina-chan mengetahui perasaanku yang sesungguhnya."

Kaupun tercekat: merasakan embusan napasnya yang menerpa pipimu, menghirup aroma kayu manis yang menguar dari tubuhnya. Tak kuasa kau menggerakkan kepalamu sedikit hingga ujung hidung kalian bersentuhan. Bertahan seperti itu dengan mata saling beradu, kau bisa temukan refleksi wajahmu sendiri memantul di sana ... sampai kemudian dia menarik lepas tangannya dari bahumu. Akibat tindakan frontalnya, kedua lututmu yang lemas hampir membawamu jatuh tertarik gravitasi—andai tanganmu tidak cekatan menyambar lengannya, mencari tumpuan keseimbangan.

Sontak dia menguraikan gelak tawa, sementara kau menundukkan wajahmu yang memerah. "Kushina-chan, daijōbu desu ka?" tanyanya dengan pantulan iris yang berkilat-kilat senang. Kedua tangannya kali ini menggenggam siku lenganmu dengan mantap.

Kau tidak menyahut; terlalu dipusingkan oleh gelombang sensasi yang mendera sekujur tubuhmu, terlalu difokuskan oleh suara detak jantungmu yang bertalu-talu, dan terlalu didistraksi oleh selubung kehangatan aneh, yang bergulung menyatu dengan hawa dingin angin musim gugur—yang baru kausadari semilir embusannya meniupkan helaian rambut kalian.

"Kushina-chan?" anak muda itu memanggil. Suaranya terdengar rendah dan parau.

"Dadaijōbu! Daijōbu dattebane!" sentakmu dengan kasar, merasa gugup sekaligus gusar.

Sang prodigi Namikaze hanya tertawa renyah. "Baiklah. Aku akan melepaskanmu sekarang," ujarnya seraya pelan-pelan menarik lepas genggamannya dari sikumu. Namun entah mengapa, tanganmu sendiri masih bertahan erat di kedua lengannya, seakan-akan enggan untuk melepaskannya.

"Ee ... Kushina-chan? Aku senang, kau terus bertumpu padaku seperti ini. Tetapi, hari sudah menjelang petang; apa Kushina-chan tidak ingin membiarkanku pulang?"

Kau mendongak dan menghunjamkan tatapan tajam terbaikmu ke dalam iris birunya. Sesaat, kaurasakan hatinya menciut dan kauperhatikan senyumannya menggoyah.

"Ee ... Kushina-chan?"

Dan kau pun terkikih pelan. Batinmu merasa terhibur karena sanggup menakuti sang prodigi Namikaze, meski cuma sesaat. "Un, kamu pulang sana 'ttebane!" usirmu dengan nada tidak ramah setelah melepaskan lengannya.

Tanpa sempat kaucegah, dia mengangkat tangan dan kembali mengusap-usap kepalamu yang bersurai merah. "Besok sore, aku akan datang lagi, Kushina-chan."

Kedua tanganmu mencengkeram erat celana hakama merah, yang kaukenakan di bawah haori putih; lebih bertujuan agar tidak menepis usapan tangan lembut sang Namikaze. "Agaknya, itu sudah menjadi kebiasaanmu dattebane," gumammu dengan nada setengah menggerutu.

Senyuman sang prodigi Namikaze yang khas terulas kembali. "Aku senang sekali, hari ini akhirnya bisa mengobrol berdua Kushina-chan. Bukankah ini sebuah kemajuan, hmm?" ucapnya, menerawang.

Setelah itu, barulah dia membalikkan badan, melangkah dan menuruni titian ceruk anak tangga bebatuan yang agak curam, menuju ke gerbang pembatas areal Uzushio Jinja dengan jalanan desa. Namun belum sampai pertengahan titian, anak muda itu memutar bahu, menengadahkan kepala untuk memandangmu, dan melambaikan tangan. "Arigatō na untuk o-mamori milikmu, Kushina-chan! Pasti akan kusimpan dengan baik!" serunya sembari menuruni ceruk anak tangga dengan langkah kaki menyamping.

Kau tidak membalas seruan atau pula lambaian tangannya. Kedua iris violetmu hanya terus terpancang ke sosoknya yang menjauh, diiringi senyuman samar tersungging di bibir, serta rona merah terburat di wajah; yang mana warna merahnya tampak semerah serat-serat sang surya, yang menggurat tingkap langit petang di atas sana.

Uzushio Jinja, beserta rumah berstruktur tradisional tempatmu tinggal, kerapkali tampak sepi dari waktu siang beranjak sampai petang bertandang. Sepulang sekolah, kau hanya bisa temukan dirimu sendirian di sana, lantaran anggota keluarga yang lain tengah disibukkan dengan urusan masing-masing: Mito-no-bāchan berkunjung ke Balai Pemerintahan Desa guna menilik keadaan Sarutobi Ojisan, Tsunade-no-nēchan masih berkutat di rumah sakit bersama Katō Dan Onīsan, sedangkan Nawaki-no-nīchan juga masih belum pulang dari kegiatan bukatsu-nya di perguruan. Walau demikian, kau sudah amat terbiasa, dan sering menghabiskan waktu sepi itu dengan cara menyibukkan diri membersihkan kuil, rumah, dan halamannya. Toh, kala sang surya meleburkan diri seutuhnya ke garis horizon barat nanti, semua penghuni rumah akan kembali berkumpul dan bercengkerama ria di antara gelungan selimut kotatsu. Itu merupakan momen berharga, dan kau tak keberatan terkukung dalam rasa sepi dahulu untuk mendapatkannya.

Tetapi itu dulu ... sebelum kehadiran sosok Namikaze Minato melenyapkan kesepian yang mengukung itu, tanpa perlu kauminta.

"Mengapa kamu melakukannya, Namikaze?" tanyamu padanya di satu sore yang cukup dingin.

Seraya mengangsurkan senyuman lembut kepadamu, sang jenius Namikaze menjawab ringan, "Apakah perlu alasan untuk membantumu mengepel beranda rumah, Kushina-chan?"

Itu bukan jawaban yang kaubutuhkan. Bahkan, itu juga bukanlah suatu jawaban; melainkan sebuah retorika yang selalu dilayangkan oleh mereka yang berjiwa sosial. Jelas, selain rupawan dan sarat pesona, Namikaze Minato rupanya sosok anak muda yang berjiwa sosial tinggi. Buktinya, dia dengan senang hati menggantikanmu mengepel lantai papan beranda rumahmu; sementara kaududuk bersimpuh di pinggiran beranda yang kering, mengamatinya bekerja.

Tetapi, memang bukan jawaban itu yang kaubutuhkan. "Kamu melakukannya agar meningkatkan nilaimu di mataku, Namikaze," ucapmu, berasumsi dengan nada menuduh.

Gerakan tangan Namikaze Minato memeras air berbusa dari spons ke dalam ember kehijauan itu, terhenti. Kedua manik mata biru safirnya menangkap pandangan mata violet ametis milikmu yang menyipit. Tak berapa lama, senyumannya melebur dengan tawa. "Memang sebelumnya, berapa nilaiku di mata Kushina-chan?"

"Sembilan—ets, bukan! Bukan! Etto ... enam—tujuh! Tujuh, tepatnya!" sahutmu, tersendat dua kali, seraya mengalihkan pandangan sejurus ke arah spons di genggamannya, seolah spons berbusa itu terlihat lebih menarik ketimbang kolam bening kebiruan miliknya—yang masih saja menggodamu untuk menghanyutkan diri ke dalam sana.

"Jadi, nilaiku sembilan, Kushina-chan?" tanyanya, mengonfirmasi.

"Nilaimu tujuh, Namikaze," koreksimu dengan masih memandangi spons itu, penuh minat palsu.

Terdengar kekeh geli dari sang prodigi Namikaze. "Rupanya, nilaiku sembilan ya. Senangnya."

Tak tahan, kau berpaling, memandangnya kembali. "Tujuh dattebane! Nilai Namikaze tujuh!" sergahmu keras, sementara rona merah membersit di kedua belah pipimu.

Respons anak muda itu hanya berupa tawa geli berderai, yang membuatmu merasa sebal—sekaligus gemas dengan ekspresi kekanakan yang teraut di wajah rupawannya. "Jadi, apa yang harus kulakukan agar nilaiku bisa mencapai angka sepuluh, Kushina-chan?" tanya sang Namikaze di sela-sela tawanya.

"Tempo hari Namikaze menyapu halaman, hari ini mengepel lantai; meski demikian, nilaimu takkan bisa mencapai angka sepuluh 'ttebane!" imbuhmu, menegaskan sambil melipat tangan.

Anak muda itu memiringkan kepalanya sedikit, menukas polos, "Aku membantu Kushina-chan bukan untuk meningkatkan nilaiku. Bahkan, aku baru tahu Kushina-chan menilaiku dengan angka."

Rona merah di pipimu makin membara, sementara rasa malu lamat-lamat merayapi benakmu. "La—lantas, untuk apa Namikaze membantuku dattebane?" tanyamu sekali lagi, terdengar keras kepala.

Dari tatapannya, kautahu, dia mengerti kau membutuhkan jawaban yang bukan sekadar pernyataan retoris dari seorang berjiwa sosial. Karenanya, dia menjawab serius, "Agar aku memiliki alasan untuk bisa menemani Kushina-chan lebih lama."

Dan akhirnya, kau tersadar bahwa dia juga mengetahui balutan rasa sepi yang mengukungmu selama ini.

Setelah seluruh permukaan lantai papan telah dipel licin, Namikaze Minato memutuskan untuk duduk di sebelahmu. Jarak di antara kalian tidak terlalu dekat—tetapi kalau mau, lengan anak muda berambut semijabrik kuning itu mungkin bisa meraih bahumu ke dalam dekapannya. Kau menyadari kemungkinan itu, namun tidak beringsut menjauh; bukan berarti kau tidak keberatan jika tiba-tiba didekap olehnya. Hanya saja, kauyakin, Namikaze Minato bukanlah tipe yang suka mencuri kesempatan seperti itu.

Malah, kaulah yang tengah mencuri kesempatan guna mengamati wajahnya dari samping, ketika dia tampak kalem memandangi barisan pohon ginko dan momiji di seberang sana. Pertama, kauamati dahi lebar di balik helaian poninya (yang menjuntai acak hingga menyentuh sepasang alis berwarna senada itu). Kemudian, sepasang irismu bergerak memandangi bulu mata pendek (yang menaungi dua manik mata biru safir cemerlangnya). Setelah itu, pengamatanmu beralih ke hidung mancungnya, turun ke bibir ranumnya yang sedikit membuka ... dan berhenti di sana.

Sesaat, kau tak sengaja menjilati bibirmu sendiri, seraya berandai merasakan kontur bibir itu bilamana menyentuhmu. Tak kuasa, benakmu mengurai tanya: Apakah akan terasa lembut? Ataukah mungkin terasa kasar?

Namun begitu tersadar, wajahmu memanas tak keruan. Tak seharusnya seorang miko memiliki pengandaian terlarang seperti tadi. Gema runtukan mulai terdengar dalam kepalamu; runtukan yang memerintahkanmu untuk secepatnya menghapus pengandaian tabu tersebut dari memori otakmu.

"Sebenarnya, aku ingin menjadi Hokage."

Kau, yang tengah berusaha meredam gema runtukan dalam kepalamu, terenyak kala mendengar gumaman sang prodigi Namikaze. Serta merta kau menoleh dan merespons ragu, "Hokage?"

Sang prodigi Namikaze menelengkan kepala ke arahmu, dengan senyum simpul terlukis di wajahnya. "Ya. Sebenarnya, aku selalu bermimpi ingin menjadi Hokage."

Hokage adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi dalam pemerintahan desa di Konoha. Kau tidak terkejut, mengetahui anak muda seperti Namikaze Minato memiliki impian setinggi itu. Lagi pula, sudah sering kaudengar beberapa orang mencetuskan impian yang sama: Nawaki-no-nīchan dan Katō Dan Onīsan, misalnya. (Serta dirimu kala masih duduk di bangku shōgakkō.)

Dan itu membuatmu teringat akan satu hal. "Chotto ... bukankah Namikaze pernah menyatakan hal yang sama sebelum ini? Kalau tidak salah ... kala memperkenalkan diri di depan kelas ... ketika kita masih duduk di tingkat awal shōgakkō, bukan?"

Namikaze Minato tergelak, senang. "Rupanya Kushina-chan masih ingat ya."

"Mochiron 'ttebane!" sahutmu, antusias. Bersamaan dengan itu, sekelebat memoar tujuh tahun lalu terputar jelas, seperti kilasan adegan di balik pelupuk matamu. "Kala itu ... Namikaze berkata, 'Aku ingin diakui oleh semua orang di Konoha dan meraih impianku menjadi Hokage!'—begitu. Padahal, Namikaze waktu itu kan tampak lembek, seperti anak perempuan. Karena itulah, aku dulu meragukan kemampuanmu menjadi Hokage dengan sosok sefeminin itu," tuturmu, bersemangat, diiringi tawa pelan.

Anak muda itu meringis. "Ya. Waktu itu aku masih ingusan, memang," ungkapnya, mengakui. "Tetapi, aku juga ingat sosok kanak-kanak Kushina-chan yang cerewet, tomboi, gemar menjahili, gemar memukul, seperti anak lelaki. Dan aku sempat mendengar kalau Kushina-chan sampai pernah dijuluki 'Akai Chishio no Habanero' oleh anak-anak sekelas."

"Sekarang tidak lagi 'ttebane!" sahutmu, menyela kesal. "Aku yang sekarang sudah menjadi gadis manis nan feminin ..."

"... dengan emosi yang belum mampu dikendalikan, serta sufiks 'ttebane' yang masih sering diucapkan," sela pemuda itu dengan kekeh geli, melanjutkan klausamu.

Kaupun memasang wajah cemberut. "Apa maksudmu, Namikaze? Kamu tidak suka dengan emosiku yang meledak-ledak 'ttebane?" tanyamu sambil memandanginya sebal.

Dia menggeleng sembari mengulas senyuman sarat afeksi. "Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak keberatan. Karena aku menyukai semua yang ada pada diri Kushina-chan." Seiring mengatakannya, dia mengulurkan tangan ke sisi kepalamu, mengusap-usap sayang helaian kemerahannya. "Kurasa, kepribadian Kushina-chan yang meledak-ledak dan enerjik lah yang mampu menarik perhatianku sejak awal. Jika disuruh menilai dengan angka pun, aku akan dengan senang hati memberi Kushina-chan angka sempurna."

Sontak wajahmu kembali merah padam. "Ka—kamu jangan mengatakan hal yang ... yang hanya membuatku merasa tidak nyaman, Namikaze!" sahutmu, gusar dan salah tingkah.

Sang prodigi Namikaze menghentikan gerakan mengusapnya; tangannya masih bertengger di sisi kepalamu. "Ets? Tetapi, aku serius mengatakannya, Kushina-chan," tukasnya dengan raut wajah polos khas remaja pria—yang menurutmu pribadi, terlihat amat menggemaskan. "Bukannya malah membuatmu merasa tidak nyaman."

"Mengapa Namikaze masih bermimpi untuk menjadi Hokage?" selorohmu cepat, berusaha mengganti topik pembicaraan ke ranah yang "nyaman", demi menurunkan pacuan degup jantungmu yang mulai abnormal.

Dia memandangimu, lama. Bibirnya masih terbuka, sebelum akhirnya terkatup menjadi seulas senyuman simpul. "Menjadi Hokage bukanlah impianku lagi, Kushina-chan."

Kau mengerjabkan mata, tidak menyangka dia akan menukas sebaliknya. "E? Mengapa?"

Dua sudut bibir anak muda itu melebar, memperlihatkan deretan gigi putih sehat miliknya kala menjawab, "Karena impianku sekarang adalah bisa menikah dan menjadi suami Kushina-chan."

Kontan saja, rahang bawahmu seolah bergerak jatuh dari tulangnya; mengindikasikan dirimu yang ternganga membisu. Namun, hanya untuk sesaat sebelum kau geragap bertanya, "A—apa ... apa maksud kata-katamu, Namikaze? Tiba-tiba saja ingin menikah dan menjadi—apa? Suamiku?"

Sang prodigi Namikaze menganggukan kepala dengan semangat, sama sekali tidak seperti sikap kalemnya yang biasa. Ditariknya tangan yang sedari tadi bertengger di sisi kepalamu, diturunkannya untuk menggenggam erat tangan kananmu, serta diusapnya lembut buku-buku jemarimu dengan sensasi gelenyar familiar. "Tepat sekali, Kushina-chan. Aku ingin bisa menikah dengan—"

"Namikaze tidak bisa menikah atau pula menjadi suamiku 'ttebane!" sahutmu, buru-buru menampik keras konfirmasinya.

"Tetapi, aku bisa menjadi suami yang bertanggung jawab dan sayang kepada keluarga kita, Kushina-chan," katanya, meneguhkan. Sorot tekad nan tulus terpantul di sepasang manik mata biru safirnya. Akan tetapi, hal itu malah membuatmu merasa malu dan merinding sekaligus.

"Bukan! Bukan itu alasannya, Namikaze! Kita ini masih belum dewasa ... masih berusia 14 tahun 'ttebane! Terlalu dini untuk membicarakan sebuah pernikahan dattebane!"

"Ah, Kushina-chan. Tentu saja, aku tidak akan menikahimu sekarang. Tetapi nanti, kala kita sudah cukup dewasa dan matang untuk membangun sebuah keluarga," ujarnya dengan nada persuasif, namun tanpa kepalsuan janji. Bahkan, kau bisa dengar nada bersungguh-sungguh yang ikut tersirat dari ujarannya barusan.

Menunda-nunda hingga mendapatkan alasan tepat untuk menolak ketulusannya, dengan rona wajah bergelayut semerah warna rambutmu dan denyut jantung berdegup sekencang gendang bertalu, kau meracau, "Bukankah Namikaze tadi mengatakan ingin menjadi Hokage? Suatu kebanggaan tersendiri jika berhasil mewujudkan impian menjadi Hokage—"

"Kalau memang itu adalah syarat yang Kushina-chan ajukan, aku akan memenuhinya. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjadi Hokage, agar kelak Kushina-chan bersedia menerimaku sebagai calon suami."

Kau menahan napas kaget, nyaris tak mempercayai simpulan konyol yang tercetus dari bibir sang prodigi Namikaze. "Tunggu dulu 'ttebane! aku tidak mengajukan syarat—"

Namikaze Minato melayangkan senyuman sarat determinasi, menyela mantap, "Aku sudah memutuskannya, Kushina-chan. Aku akan menjadi Hokage, dan barulah kemudian menjadi suami Kushina-chan."

"Ja—jangan memutuskan dengan seenaknya sendiri 'ttebane!" sentakmu, mulai tersulut emosi. "Aku kan tidak mengajukan syarat seperti itu dattebane!"

Tetapi selanjutnya, konversasi petang itupun harus berakhir, seiring munculnya sosok pemuda ceria dalam balutan setelan gakuran di depan kalian. "Wah, waaah. Imōto mungilku yang manis dan Senpai kecilku yang jenius. Berduaan begini, kalian tampak benar-benar mesra ya!" komentar pemuda tersebut dengan nada menggoda.

Kau yang terkejut, kontan menoleh ke arah pemuda itu, dan berseru mengenalinya, "Nawaki-no-nīchan!"

Pemuda berambut cokelat pudar itu hanya membalas dengan senyuman jahil penuh makna, seiring memandangi kalian bergantian, serta menyindir, "Aku tidak mengganggu kemesraan kalian, bukan?"

"Tidak sama sekali," timpal sang prodigi Namikaze dengan kalem sebelum sempat kau memrotes sindiran Onīchan-mu.


tsuzuku.


Glossary:
Chō kara no MESSĒJI = Pesan dari Kupu-kupu.
Saisho no MESSĒJI = Pesan pertama.
• Kushina-chan wa boku ni totte taisetsu na hito da = Kushina-chan adalah orang yang spesial bagiku.
Akai Chishio no Habanero = Si Habanero merah berdarah panas.

History:
07/06/2012 ~ First Published.
08/09/2012 ~ Minor Revised.