NARUTO © 1999 by Kishimoto Masashi
Chō kara no MESSĒJI
Story by Vic
Warning: Alternate Universe, Suggestive Theme and second-person Point of View
OoO
Saisho no MESSĒJI:
"Kushina-chan wa boku ni totte taisetsu na hito da."
[02 of 02]
"Kudengar dari Nawaki Onīsan, Namikaze Minato-san sering mengunjungimu ya, Kushina?"
Kau mendongak dari ketekunanmu menyulam gambar tomat di atas kain perca warna hijau toska, dan memutar kepala ke arah anak gadis bermanik obsidian serta bersurai hitam eboni, yang duduk bertelimpuh di seberangmu. Anak gadis itu tengah memandangimu dengan tatapan sarat makna, hingga kaupun mengerang protes dibuatnya.
"Mō! Jangan kamu juga, Mikoto!"
Uchiha Mikoto, teman sekelas sekaligus sahabat karibmu itu, tersenyum sumigrah. "Jadi, begitu ya! Sang prodigi Namikaze menyukaimu, rupanya!" cericipnya, kelewat antusias.
Kau menatapnya sejurus dan mendecak sebal kendati kedua belah pipimu membersitkan rona merah—semerah gambar tomat yang sedang kaujahit dalam sulaman. "Jangan jadikan aku bahan olokanmu juga, Mikoto! Sudah cukup keluargaku saja yang melakukannya 'ttebaneee!"
"Aku tidak mengolokmu, Kushina. Aku hanya mengutarakan opiniku," Mikoto menyanggah tanpa memudarkan senyumannya. "Sang anak muda prodigi rupawan menaruh hati kepada si gadis miko menggemaskan," desah Mikoto dengan manik mata menerawang jauh, sarat akan binar impian. "Ā, suteki na ROMANSU desu ne. Bukankah kamu juga berpikir demikian, Kushina?"
Jengah menjawabnya, kau hanya merundukkan wajah dan berlagak serius menekuni kembali sulaman tomatmu. Kendatipun demikian, pikiranmu sebenarnya tengah mengambang, memasuki memori yang merekam kejadian tempo hari ...
"Ayolah, Kushina, ajak belahan jiwamu itu ikut makan malam bersama," bujuk Tsunade-no-nēchan sambil menyinggung bahumu dengan sikunya.
Tidak ingin sampai didengar Namikaze Minato, yang tengah mengajari Nawaki-no-nīchan di ruang keluarga (yang berhadapan dengan dapur tempatmu menyiapkan makan malam), kau segera berbisik sergahan, "Namikaze bukan belahan jiwaku dattebane!"
Wanita sintal berusia akhir 20-an itu, memutar bola mata kuning gioknya dengan sikap tidak percaya. "Ajak saja bocah itu makan malam, mengerti?" perintahnya seraya mengaduk kuah kare di dalam panci, yang menguarkan aroma penggugah selera. "Lagi pula, Obāsan juga sudah merestui."
"Bukan 'merestui', melainkan 'mengizinkan', Tsunade-no-nēchan," koreksimu dengan kernyitan samar di dahi, terusik dengan pola diksi Onēchan-mu barusan.
Tsunade-no-nēchan menelengkan kepala dan menyeringai culas. "Percayalah padaku; Obāsan sudah merestui hubungan kalian."
Keruan saja, wajahmu merah padam. Geragap kau menukas, "Aku ... aku seorang gadis miko 'ttebane!"
Seraya mengganti seringaiannya dengan sunggingan remeh, Tsunade-no-nēchan menyanggah sinis, "O, kau tidak akan menjadi gadis miko selamanya, Kushina." Kemudian, dia mengedipkan sebelah mata, secara provokatif menambahkan, "Kau masih bisa menikmati kebersamaanmu dengan bocah itu sepuasnya—meski statusmu adalah seorang gadis miko nan suci."
Napasmu tersentak; kaget dan malu sekali mendengarnya. Imaji tabu—semisal, bagaimana rasanya bilamana menyentuh bibir sang jenius Namikaze dan sesi lamaran dadakannya kala petang tadi—kembali berpusar hebat dalam kepalamu. Lututmu pun seketika terasa lemas, sampai tanganmu harus mencengkeram tepian konter kuat-kuat demi menunjang keseimbangan tubuhmu agar tidak merosot jatuh ke lantai dapur.
Akhirnya, setelah terus-menerus diprovokasi Tsunade-no-nēchan, direcoki Nawaki-no-nīchan, serta disetujui Mito-no-bāchan, kaupun memberanikan diri guna meminta sang prodigi Namikaze untuk bersantap malam bersama.
"Tadinya, aku hendak berpamitan. Tetapi, karena Kushina-chan sudah memintaku demikian, akan aku terima tawaran makan malam bersama ini dengan senang hati," respons anak muda itu dengan sopan, mengulum senyum kepadamu seorang.
Kau berdeham salah tingkah sebelum menggumamkan frasa "arigatō" kepada sang pemilik manik safir menawan tersebut. Sementara itu di balik bahumu, andai kaumau menengok sekilas saja, akan kaupergoki transaksi melempar seringai culas nan tengil antara kakak-beradik Senju, disertai tatapan penuh arti dari sang kepala pendeta Uzushio Jinja.
Dan semenjak makan malam itulah, Tsunade-no-nēchan dan Nawaki-no-nīchan tak henti-hentinya mengolokmu—sampai hari ini. Hingga batinmu pun mulai dirundung rasa sendu sekaligus malu, seiring benakmu kembali berpijak ke masa kini. Tanpa sadar kau membenamkan sebagian wajahmu di selimut kotatsu, melupakan tugas menyulam kain perca yang tersampir di pangkuanmu, seraya kemudian menghela napas berat nan panjang.
"Ara, Kushina! Jangan bersikap seperti orang tua yang amat putus asa begitu di atas kotatsu keluargaku. Ayo lekas angkat kepalamu, Kushina!" tegur Mikoto, mengetuk kepalamu berkali-kali dengan ujung telunjuknya.
"Ne, Mikoto," panggilmu, secara spontan mengangkat kepala dan mencondongkan bahu ke arah anak gadis berparas lembut tersebut. "Apa menurutmu, aku pantas ... bersanding dengan Namikaze?"
Seraya bertepuk tangan, Mikoto sontak menjawab, "Mochiron! Dari apa yang sudah kudengar, kalian berdua benar-benar tampak mesraaa sekali!"
Tergelitik akan respons yang diberikannya, kau mendengus pelan. "Kamu hanya merepetisi kata-kata Nawaki-no-nīchan saja, Mikoto. Fufuh, rupanya Klan Uchiha suka bergosip juga ya!" tanggapmu, berkomentar tengil sambil menarik diri dan kembali duduk ke posisimu semula.
Mikoto melambaikan tangannya, menyergah panik, "Sonna koto jyanai wa! Klan Uchiha tidak pernah bergosip! Hanya bertukar persepsi saja, Kushina!"
Kau tergelak tawa, mengamati tingkah sahabatmu yang terlihat lucu itu. "Iya, iya. Gomen nasai 'ttebane. Klan Uchiha memang lebih terkenal akan keseriusan persepsi mereka yang kaku. Terlebih lagi Uchiha Fugaku," ujarmu, mengerlingkan tatapan tengil ke arahnya. "Tatte, itulah alasan utama mengapa Mikoto-ku ini sangat, sangat, saaangat menyukainya dattebaneee~"
Sebersit rona melintas di kedua belah pipi Mikoto. Tetapi, kautahu benar, dia bukanlah tipe gadis dandere yang akan menutupi perasaannya begitu saja. "Fugaku-kun terkadang juga bisa bersikap santai dan menyenangkan, Kushina," tukasnya, membela sang "Fugaku-kun"—yang kaukenal baik sebagai tunangan tersayang sahabatmu itu.
"Dan kembali ke pertanyaanmu tadi; kamu memang pantas bersanding dengan Namikaze Minato-san. Bahkan, aku saaangat yakin, kalian bisa menikah dan memiliki putra-putri yang amat menggemaskan nantinya. Kemudian, putra-putri kita masing-masing bisa berkawan karib ... ara! Atau kita jodohkan saja sekalian!" sekali lagi Mikoto bertepuk tangan, ditingkah manik obsidiannya yang berbinar-binar. "Kyaa! Bagaimana menurutmu, Kushina? Sungguh menyenangkan jika kelak kita bisa berbesan, bukan?"
Lagi-lagi, kau hanya sanggup membenamkan wajahmu ke dalam kehangatan selimut kotatsu. Merasakan antusiasme Mikoto, justru kian membuatmu kembali dirundung rasa malu.
Usai merampungkan tugas sekolah bersama, kau mohon diri untuk pamit pulang. Mikoto turut mengantarmu sampai ke gerbang pembatas areal tanah Klan Uchiha, sambil merongrongimu untuk menyetujui 'proposal' yang menyangkut masa depan putra-putri kalian—yang hanya sanggup kautanggapi dengan tawa seadanya.
Sebelum pulang ke Uzushio Jinja, kauputuskan untuk mampir ke toko sayuran yang terletak di antara deretan toko dan kedai makanan, di jalanan setapak menuju Balai Pemerintahan Desa Konoha. Sembari melangkahkan kaki yang berbalut tabi dan beralaskan geta, sesekali kau menengadahkan kepala, mengamati langit biru berawan kelabu yang menaungi desa, dengan suasana hati yang nyaman. Angin musim gugur beberapa kali menyemburkan hawa dingin yang cukup mampu menjengut iga. Untunglah, syal tebal kecokelatan yang kaubebatkan di sekeliling leher dan rambutmu yang diikat pita putih, sanggup mengantisipasi probabilitas kau menggigil kedinginan.
Setibamu di toko bahan sayuran, kau bertukar sapa dengan si pemilik toko berparas kisut nan ramah. Setelah menanyakan kabar dan mengobrol sebentar dengan pria berusia senja tersebut, kau mulai menilik sayur-mayur yang terhampar di wadahnya; memilah-milah jenis sayuran yang akan kaumasak untuk santapan siang nanti.
Tatkala kau menguarkan tangan dan hendak mengambil seikat sawi putih segar, sontak kau mendesah kaget, merasakan sesuatu diusapkan sekonyong-konyong ke pipimu. Serta merta kau berpaling muka dan beradu mata dengan sepasang manik biru safir nan cemerlang, yang akhir-akhir ini kuasa membuatmu tergoda.
"Namikaze!" panggilmu, terkesiap manakala mengenali roman sang pemilik iris memesona tersebut.
Namikaze Minato mengulas senyuman lembut dan menyapamu kasual, "Konnichi wa, Kushina-chan."
Tak sanggup kaucegah, kedua belah pipimu memburatkan rona. "Konnichi wa," pelan kaubalas menyapa, merasa gugup melihat sosok sang prodigi Namikaze. Padahal, baru beberapa menit yang lalu kau membicarakannya dengan sahabatmu. Kini, yang bersangkutan mendadak muncul tepat di hadapanmu. Apakah ini hanya kebetulan semata atau karena faktor lainnya, kau tak pernah tahu.
"Tak kukira akan bersua dengan Namikaze di sini," katamu, mengalihkan atensi dari kolam lazuardi memukau miliknya ke arah orang-orang yang berlalu-lalang melewati toko. Sedetik berselang, kau mencuri pandang ke parasnya. Namun detik berikutnya, kau pura-pura memerhatikan buah tomat ranum di genggaman tangannya (yang barusan diusapkannya ke pipimu).
Namikaze Minato mengulurkan tomat tersebut ke arahmu. Kali ini, dia mengusapkannya ke cuping hidungmu dengan jahil. "Aku juga merasa senang, bisa bertemu dengan Kushina-chan yang tampak manis dalam seragam seifuku."
Kau, yang mengerang protes dan berusaha menjauhkan hidungmu dari usapan tomatnya, terenyak akan frasanya. Namikaze Minato baru saja menyebutmu "manis", dan hal itu membuat wajahmu kian merona.
"Namikaze juga tampak rupawan 'ttebane ...," gumammu lirih, diam-diam mengamati penampilan sang prodigi yang berbalut mantel warna momiji di atas setelan gakuran-nya. Agaknya, anak muda itu baru saja pulang dari perguruan.
"Rupawan, eh?"
Kau mengerjabkan mata, sekali lagi terenyak kala mendengar desahan janggal dari suaranya. Menyadari apa yang barusan kaugumamkan ditangkap indera rungunya, buru-buru kau mengonfirmasi maksud gumamanmu dengan wajah membara. "Aku ... aku hanya menyuarakan opini umum saja, Namikaze! Maksudku ... etto ... semua orang juga pasti setuju kalau aku menyebutmu 'si rupawan' 'ttebane! Karena ... karena memang begitulah Namikaze—mempunyai paras yang rupawan dattebane. Bukankah demikian, Oyaji-san?"
Si pemilik toko yang sporadis kaumintai opini searah, hanya tertawa menyetujui sebelum kembali melayani pembeli lainnya. Sementara itu, Namikaze Minato terkekeh pelan usai menyimak penuturanmu, yang barusan terdengar seperti racauan bingung.
"Arigatō na, Kushina-chan. Ini kali pertama aku mendengar seseorang menyebutku demikian," ujar anak muda itu di sela kekehannya. Sebelah tangannya turut terangkat, membelai sisi kepalamu dengan sentuhan afeksional.
Kau menahan napas; merasakan belaian tangannya yang begitu lembut ... nyaris membuai dirimu. Namun, tak ingin semakin terbuai, kaupun menarik kepalamu mundur, menjauh dari jangkauan tangannya. "Anō, tokorode ... apa yang dilakukan seorang Namikaze di sini?" tanyamu usai berdeham sedikit; berupaya mengaburkan rasa malu sekaligus canggung yang melingkupi benakmu.
"Mengikuti Kushina-chan," jawab Namikaze Minato lugas, yang langsung mendapat tatapan ganjil darimu.
Sekelebat tawa jenaka pun terdengar kemudian. "Aku bukan stalker, Kushina-chan," tambahnya, seolah memahami makna tatapan yang kaulayangkan. "Aku baru saja pulang sekolah, lalu mampir sebentar ke kedai takoyaki situ," terangnya dengan jari telunjuk terangkat, menuding kedai kecil yang berjarak dua toko dari tempat kalian berdiri. "Tetapi begitu melihat Kushina-chan, entah mengapa, kakiku otomatis melangkah kemari."
"Hoo ...," kau bergumam sambil diam-diam merutuki asumsi negatif yang tadi sempat melintas di otakmu: asumsi konyol yang menuduh sang prodigi Namikaze sebagai seorang stalker atau penguntit.
"Kushina-chan hendak membeli sawi putih, ya?" tanya Minato Namikaze sembari beringsut, mendekatimu. Diambilnya seikat sawi putih segar dari wadahnya, dan kemudian diangsurkannya kepadamu.
"Ets? Ah, hai ...," kikuk kau merespons seraya menerima sayuran itu darinya.
"Bagaimana dengan tomat ini?" tanyanya lagi. Kali ini, dia menyodorkan tomat yang sedari tadi dalam genggamannya. "Tomat yang mirip Kushina-chan ini."
Kerutan dalam terbentuk di antara alismu, selagi irismu menatapnya. "Kalau maksud Namikaze, julukanku kala masih kanak-kanak ..."
Ceringis polos terpampang di wajah Namikaze Minato, manakala nada terusik dari ucapanmu tertangkap indera rungunya. "Sore jyanai da," selanya, menyanggah geli sembari menempelkan tomat itu ke pipimu lagi. "Maksud-ku, ketika pipi Kushina-chan merona, warnanya semerah tomat ini."
Enggan menanggapi komentar Namikaze Minato, kaupun memalingkan muka dan menjauhkan pipimu dari tomat tersebut. Tak lupa jua kausembunyikan rona merah yang menggayuti pipimu, ke balik syal yang kaukenakan. Kemudian, di bawah tatapan manik safirnya yang mengamatimu intens, kau berpura-pura menyibukkan diri dengan berlagak memilah-milah sayuran yang akan kaumasak nanti. Dan seusai membayar belanjaanmu kepada si pemilik toko, kau berpaling dan berpamitan dengan sang prodigi, yang hanya merespons dengan dagu terangguk singkat dan senyum tersemat manis di bibirnya.
Di tengah perjalanan kaki ke Uzushio Jinja, benakmu dibayangi imaji Namikaze Minato. Meski kau bersikeras untuk mengenyahkannya, namun sosok menawan sang prodigi tak kunjung memudar. Memang, kausadari benar dirimu telah terbuai akan tatapannya; kausadari benar dirimu telah tertarik akan pesonanya. Akan tetapi, mungkinkah hal tersebut mengindikasikan perasaanmu yang sesungguhnya?
Jika selama ini, kau ternyata telah memendam kasih kepada Namikaze Minato?
Sejurus kau menggelengkan kepala, menampik jauh kemungkinan itu. "Tidak! Tidak mungkin dattebane!" sergahmu keras, merepetisi frasa negatif tersebut berulang kali. Kendati bibirmu bergumam penolakan, hatimu toh tetap berujar sebaliknya, seiring memori otak membawamu kembali ke momen pernyataan suka sang prodigi yang tercetus tempo hari.
"Kushina-chan, aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Walau aku tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba bisa menyukaimu, tetapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang kurasakan ini."
Mengingatnya pun tak ayal mengundang kemunculan rona merah di wajah. Dengap jantung turut bertalu jua, ditingkah sensasi aneh dalam perut yang berjumpalitan ria. Meskipun demikian, egomu masih memungkirinya.
"Hanya karena pipiku bersemu dan ... jantungku berpacu tak wajar kala membayangkan Namikaze ... bukan berarti aku memiliki perasaan yang sama padanya dattebane!" jerkahmu, menandaskan diri seraya berupaya menetralisir panas wajah dan meminimalisir debaran dada, yang tak kunjung mereda.
Dan ketika kau sibuk berkutat dalam sesi penyangkalan hati, tak sempat kau memerhatikan langit yang menaungimu, disesaki gumpalan kumulus kelabu. Atau pula menyadari tanah yang kaujejaki, dijatuhi buliran air evaporasi alami. Baru kau mengetahuinya ketika rasa panas di wajahmu, tergantikan sensasi dingin dari derasnya rintik hujan.
"Waa! Mengapa hujan mendadak turun di saat begini 'ttebane?"
Buru-buru kau merundukkan kepala dan menaunginya dengan satu tangan yang tak mendekap kantung kertas belanjaan. Dengan sigap manik ametismu bergerak mencari tempat untuk berteduh dari guyuran hujan frontal. Namun belum sempat kau menemukannya, sekonyong-konyong sesuatu telah menaungi kepalamu dari rinai hujan. Kau mendongak, mendapati selembar kain mantel warna momiji terentang di atas kepala. Kau mengerjab, mendapati seraut wajah rupawan sang prodigi di baliknya.
"Namikaze?" panggilmu, memandanginya dengan manik terpana.
Namikaze Minato mencanangkan senyuman lebar dari balik mantel yang menaungimu. Wajah serta rambutnya tampak kuyup tersiram hujan. Dan alih-alih menghiraukan kondisinya, dia menggagas riang, "Aku akan mengantarmu pulang, Kushina-chan!"
Iris ametismu membeliak. Tak ingin sampai merepotkannya, kau mulai memrotes, "Tetapi, Namikaze akan semakin kehujanan—"
"Zenzen ki ni shinai da. Asalkan Kushina-chan tidak kehujanan, aku sama sekali tidak keberatan!" selanya sebelum memintamu untuk turut berlari bersamanya menuju Uzushio Jinja. Kau yang tak mungkin berdalih untuk menolak kebaikannya, akhirnya hanya mampu berkompromi menyelaraskan akselerasi ayunan tungkaimu dengannya.
Tak berselang lama, kalian sampai di gerbang pembatas areal Uzushio Jinja. Akan tetapi, perlu waktu dan atensi ekstra untuk kalian meniti ceruk anak tangga bebatuannya yang licin. Selepas menjejakkan kaki di ceruk anak tangga teratas, kalian kembali berlari menyeberangi pelataran kuil dan berhenti tepat di depan genkan rumah, dimana Nawaki-no-nīchan menyambut kepulanganmu dengan selembar handuk kering di tangan.
"Okaeri, Imōtochan! Ets, ada Senpai-kun juga, rupanya. Aro! Mengapa kau sampai basah kuyup begini, Senpai-kun?"
"Namikaze tadi mengantarku pulang sambil memayungiku dengan mantelnya. Tetapi, dia sendiri malah kehujanan," selorohmu, menjawab seraya menyerahkan kantung kertas belanjaanmu kepada Nawaki-no-nīchan. Kemudian, kau gegas meraih handuk dari tangan pemuda itu untuk diselimutkan ke bahu Namikaze Minato.
"Bisakah Nawaki-no-nīchan meminjamkan pakaian kering untuk Namikaze?" pintamu urgesif, berpaling ke Onīchan-mu.
"Wakatta!" respons pemuda berparas imut itu, bercericip tanggap. "Ah! Tokorode, aku sudah menghangatkan air dalam bak ofuro. Jadi, Imōtochan bisa langsung menggunakannya untuk berendam!" sahutnya, memberitahumu, tepat sebelum punggungnya berlalu ke arah koridor.
"Kupikir, Namikaze-lah yang membutuhkan ofuro di sini." Kau berujar serius, mencermati keadaan sang prodigi yang basah kuyup dari pucuk kepala hingga ujung sepatu. Buliran air bening meluncur dari keliman gakuran-nya, dan kemudian menetes ke lantai genkan.
"Mari kuantar ke kamar mandi, Namikaze," ajakmu seraya mengganti geta dengan surippa—atau sandal rumahan, yang kauambil dari getabako—atau rak alas-kaki.
"Kamaimasen, Kushina-chan. Aku bisa mengeringkan tubuhku dengan handuk, lalu mengganti seragamku dengan pakaian kering saja," elak anak muda itu, selagi kau membantunya berganti surippa, dan kemudian membimbingnya menyusuri koridor panjang yang mengarah ke kamar mandi.
"Kamu butuh berendam sekarang, Namikaze! Kalau tidak, nanti kamu malah terserang flu setelah tadi kehujanan dattebane!" timpalmu dengan determinasi berupa gelengan kepala; membungkam dalih sang prodigi yang tampak enggan merepotkanmu.
"Nah, di sini lah kamar mandi keluarga kami. Namikaze bisa menggunakannya seleluasa mungkin," tawarmu, sesampai kalian di depan pintu geser kamar mandi. "Dan itu ... setelah menanggalkan seragam dan kaus kaki, tolong masukkan saja ke bak cucian ini, dan taruh baknya di luar pintu ya! Supaya aku bisa langsung mencucinya nanti."
"Kushina-chan mau mencuci seragamku?" tanyanya, mengonfirmasi sambil memiringkan kepalanya.
Kau mengangguk mantap. "Un! Sekalian mantel Namikaze juga 'ttebane!" imbuhmu, ditingkahi gerakan tangan memasukkan mantel basah, yang tadi digunakan Namikaze Minato untuk memayungimu, ke dalam bak cucian.
Senyuman lembut terkulum di bibirnya kala manik safirnya tertumbuk intens ke dalam manik ametismu. "Kushina-chan benar-benar calon istriku yang baik ya."
Mendengar selarik klausanya, malah membuat wajahmu seketika membara. "Ja—jangan mengatakan hal yang bukan-bukan lagi, Namikaze! Memangnya, siapa yang calon istrimu? Se—sembarangan saja dattebane!" geragap kau menyahut dengan bermuka sebal kendati jantungmu kembali berdegup abnormal. Buru-buru kau menyingkir dari hadapannya—tak luput jua menyembunyikan rona pipi dari netra Nawaki-no-nīchan, yang berpapasan denganmu di koridor.
Usai menanggalkan syal serta mengganti setelan seifuku dengan haori dan hakama di kamar, kau segera beranjak untuk mengambil bak cucian berisi mantel, setelan gakuran, dan kaus kaki basah milik Namikaze Minato dari depan pintu geser kamar mandi. Kaubawa cucian tersebut ke ruang mencuci, kaumasukkan semuanya ke dalam mesin cuci.
Selepas menyetel waktu di mesin itu, kau beranjak ke dapur untuk bergegas menyiapkan makan siang. Manakala melewati ruang keluarga, kautemukan Nawaki-no-nīchan sedang asyik menyeduh semangkuk nūdoru—atau mi instan—sembari bergelung selimut kotatsu.
"Jangan katakan kalau Nawaki-no-nīchan hendak bersantap siang dengan itu saja 'ttebane," tegurmu dengan bibir mencebik masam.
Mendengar teguran sinismu, pemuda beriris hijau-keabuan itu mendongak dan memamerkan cengiran lugu di wajahnya yang kekanakan. "Kulihat, kantung belanjaanmu berisi sayuran sawi, Imōto-ku sayang. Karena itulah, aku putuskan saja nūdoru ini sebagai santapan siang-ku."
"Sayuran lebih bergizi daripada nūdoru 'ttebane. Karena mengandung asupan gizi yang lebih dibutuhkan tubuh daripada nūdoru yang mengandung zat adiktif dattebane," ceriwis kau menggerutu seraya menghampiri dan mengambil semangkuk nūdoru yang mengepul itu dari Nawaki-no-nīchan.
Tanpa mengindahkan rajukan dari Onīchan-mu, kau melangkah memasuki dapur dan meletakkan nūdoru itu di atas konter. Barulah kemudian, kau mengenakan celemek dan gegas menyibukkan diri dengan sayuran sawi putih dari kantung kertas belanjaanmu. Siang ini, kau ingin mengolah sawi putih menjadi rebusan sayur berbumbu kombu dashi—atau kaldu dari rumput laut kering. Untuk itu, kaumulai mencuci sawi dan kombu, menyiapkan bumbu dapur, dan menyalakan kompor guna merebus sayuran dan kombu dalam dua panci yang berbeda.
Selagi kau sibuk memasak, Nawaki-no-nīchan tampak menyelinap dari balik bahumu, berusaha diam-diam mengambil kembali nūdoru-nya. Akan tetapi, usahanya bersua kesiasiaan begitu kau memergoki aksinya. Namun, seiring suara keroncongan terdengar mengusik dari dalam perut Onīchan-mu, terpaksa kau memperbolehkannya menyantap nūdoru, sebagai pengganjal lambungnya sampai masakanmu siap disuguhkan.
Usai meneguk tetes terakhir dari kuah nūdoru-nya, Nawaki-no-nīchan berinisiatif untuk menyiapkan meja dan peralatan makan, yang ditempatkannya di sebelah kotatsu. Sementara itu, kau berlalu sebentar ke ruang mencuci untuk mengangkat dan menjemur cucian di sana.
Ketika hendak kembali ke dapur, kau bertemu dengan Namikaze Minato, yang baru saja menutup pintu geser kamar mandi. Tubuhnya sudah berbalut kaus polo hijau dan celana cokelat kedodoran, yang sembirannya sampai menutupi tumit kaki. Sehelai handuk tampak menggantung di lehernya, sedangkan buliran air bening masih menetes dari helaian rambutnya.
"Kushina-chan." Seulas senyuman hangat seketika merekah tatkala iris sang prodigi menangkap sosokmu yang menghampirinya. "Arigatō gozaimashita, sudah mengizinkanku menggunakan kamar mandi dan berendam di bak ofuro-nya yang hangat."
"Un ...," terbata kau menimpal dengan kedua belah pipi yang menitikkan rona. Manik ametismu turut membulat, memandangi penampilan sang Namikaze Minato yang segar selepas mandi berendam.
"Seragammu sudah kucuci dan kujemur," katamu sambil berkedip dan berdeham, menyadari indera netramu terlampau lama memandanginya. "Aku juga sedang menyiapkan santapan siang. Jadi ... etto, sambil menunggu, bagaimana kalau makan siang bersama, Namikaze?"
Anak muda itu melebarkan senyuman dan merespons antusias, "Dengan senang hati! Kebetulan aku juga ingin mencicipi lagi kelezatan masakan rumahan buatan Kushina-chan." Kemudian, kepalang semangat dia menambahkan, "Setelah menyantap kare Kushina-chan malam lalu, aku jadi ketagihan akan rasanya! Jitsu ni oishīkatta, Kushina-chan!"
Mendengar respons sarat pujiannya, kau semakin tersipu. Dadamu berdebar-debar, merasakan kesenangan tersendiri manakala mengetahui sang prodigi menyukai masakanmu. Tanpa bisa menahannya, bibirmu pun diam-diam membentuk sesimpul senyum.
"Shikashi ... sebelum makan, seharusnya keringkan dulu rambutmu dengan benar, Namikaze," tegurmu geli kala mengalihkan pandangan ke surai kuningnya yang kuyup dan tampak seakan layu. "Kalau helaiannya masih basah begitu, nanti malah masuk angina, bukan?"
Spontan Namikaze Minato membungkukkan badan, merendahkan pucuk kepalanya agar sejajar dengan sudut pandangmu. Sambil menyunggingkan senyuman dan mengerlingkan mata ke depan, dia mengaju pinta, "Bagaimana kalau Kushina-chan saja yang mengeringkan rambutku dengan benar?"
Sekilas, kau mengerjabkan kelopak mata; sejenak, kau tampak ragu sekaligus malu untuk mengabulkan permintaannya. Tetapi kemudian, kau mengangkat kedua tangan, dengan canggung memindahkan handuk yang tersampir di lehernya ke puncak kepala, dan lamat-lamat mulai mengelap rambutnya.
Sementara kau telaten mengeringkan surai kuningnya, Namikaze Minato hanya memfokuskan tatapannya ke parasmu dari sela-sela sembiran handuk yang kaugunakan. Ketika kau memergoki tatapan intensnya, gerakan tanganmu pun otomatis terhenti. Namun belum sempat kau menyuarakan teguran, dia melontar tanya heran, "Mengapa rambutmu sering terikat pita, Kushina-chan?"
Tercenung atas pertanyaannya, kau merespons dengan memiringkan kepala. "Hoe?"
"Padahal, Kushina-chan akan semakin tampak manis bila rambutnya tergerai panjang, bukan?"
Mendengar bibirnya menuangkan komentar tulus, pipimu kontan bersemu merah. Kau hendak membuka mulut untuk menyergah, namun urung begitu mendengar suara lain menyela, "Imōtochan-ku takkan mau menggerai rambutnya, Senpai-kun!"
Seraya menurunkan tanganmu dari rambut sang prodigi, kau berpaling ke belakang dan bertatapan dengan manik hijau-keabuan milik Nawaki-no-nīchan, yang berjalan mendekati kalian.
"Takkan mau?" Namikaze Minato mengulang sambil menelengkan kepalanya, yang masih bertudungan handuk.
Nawaki-no-nīchan, yang telah berdiri sambil merangkul bahumu, mengangguk yakin. "Un. Imōtochan-ku ini jelas tak akan mau lho!" tegas dia merepetisi. Kemudian, terpampang ceringis tengil di wajahnya kala satu tangannya yang bebas terangkat, menyinggung belah kanan pipimu: mencubit dan menariknya sampai melar. "Sebab, wajah berpipi tembam ini, akan tampak semakin bundar, seperti buah tomat, bila helaian rambutnya sampai tergerai, Senpai-kun!"
Merasakan nyeri akibat cubitannya, kau sontak meronta-ronta seraya menepuk punggung tangan Onīchan-mu beberapa kali. "Berhenti mencubitku, Nawaki-no-nīchan! Itai dattebane!"
Alih-alih menghiraukanmu, si bungsu dari Senju bersaudara itu malah semakin gemas mempermainkan kedua belah pipimu sembari melayangkan cericip sindir kepada sang prodigi. "Dan tidak hanya itu saja! Rambut merah Imōtochan-ku yang tergerai nanti, akan mencuat-cuat dan meliuk-liuk liar, seperti ekor Kyūbi no Yōko, bila dia sampai tersulut emosi. Mengerikan sekali kalau hal itu sampai terjadi, bukan?"
"Nawaki-no-nīchan!" sergahmu keras, masih berusaha melepaskan tangan pemuda itu dari pipimu yang memerah lantaran nyeri, malu, sekaligus kesal dengan fakta konyol yang diungkapkannya di depan Namikaze Minato.
"Sore demo," kata sang prodigi dengan nada yakin, yang langsung menarik atensi darimu, "aku yakin, Kushina-chan tetap akan tampak semakin manis dengan rambut merah tergerai panjang."
Ditingkah senyuman lembut dan sorot mata teduh dari anak muda itu, keruan saja kau terpana. Entah mengapa, sekonyong-konyong napasmu tertahan, jantung turut terpacu kencang, dan hanya degupannya yang terdengar manakala sepasang irismu terpaku ke dalam kolam lazuardinya ... lamat-lamat tertawan dalam buaian kilauannya ...
... sampai suara teguran interupsif dari Nawaki-no-nīchan, mengentaskanmu secara paksa dari lamunan terlarang.
"Oi, oi! Yang benar saja, Senpai-kun! Aku mengerti kalau kau sangat menyukai Imōtochan-ku. Tetapi, tidak bisakah kau merayu Imōtochan-ku ketika aku sedang tidak berada di antara kalian? Aku jadi merasa risih, melihatmu memandangi Imōtochan-ku seperti itu, kautahu?"
Mendengar sungutan dalam teguran Nawaki-no-nīchan, Namikaze Minato spontan mencanangkan sunggingan lugu di kedua sudut bibirnya, sembari menarik handuk dari kepalanya. Kau sendiri buru-buru berpaling muka dan berlagak menekuri tangan kiri Onīchan-mu, yang masih bertengger di bahu.
"Ya sudahlah. Kurasa, sudah cukup adegan mesra yang perlu kusaksikan dari kalian." Nawaki-no-nīchan melengos geli sembari melepaskan rangkulannya dari bahumu. "Yang terpenting sekarang, kita harus segera bersantap siang kalau tak ingin makanannya jadi dingin! Jadi, ayo makan, Senpai-kun! Kau juga, Imōtochan!" sahutnya, ganti merangkul bahu anak muda itu, dan lekas menariknya menjauh dari depan pintu geser kamar mandi.
Sementara dua siswa seperguruan itu melangkah mendahuluimu, kau mengangkat tangan ke balik leher, memindahkan rambutmu yang diikat pita putih ke depan pundak, dan memandanginya dengan penuh pertimbangan. Lamat-lamat terngiang kembali suara lembut Namikaze Minato di gendang telinga ...
"... aku yakin, Kushina-chan tetap akan tampak semakin manis dengan rambut merah tergerai panjang."
... yang kuasa mengundang bibir ranummu untuk mengulum senyum sipu, sesaat sebelum kau beranjak mengikuti mereka ke ruang keluarga, dimana kalian akan bersantap siang bersama.
•
•
Matahari bergerak condong ke ufuk barat: hendak menenggelamkan diri seraya menebarkan semburat cahaya jingga di langit nila yang menggantung rendah. Meski petang hampir bertandang, namun kau masih saja sibuk berkutat dengan pekerjaanmu membersihkan halaman Uzushio Jinja. Bukannya kau lamban untuk menyelesaikan tugas menyapu dan mengumpulkan dedaunan kering momiji, yang melurung turun dari dedahanan Ginko biloba tersebut. Akan tetapi, ada yang tengah menghambat laju kinerjamu: Belasan insekta bersayap sisik biru, yang berkepakan ria mengitarimu—kebanyakan berkerumun sembari mengendus-endus helaian suraimu yang berhiaskan pita putih.
"Mō! Kalau kalian mengerumuniku begini, bagaimana aku bisa merampungkan tugasku 'ttebane?" makimu keki, ditingkahi roman bersungut sebal. "Berhenti mengerumuniku! Syuh, syuh! Menjauhlah, Chō-tachi!" usirmu, dengan serampangan mengayun-ayunkan ujung gagang sapu lidi yang kaupegang ke sembarang arah.
Alih-alih mengindahkan aksimu yang berjibaku menghalau mereka, kerumunan kupu-kupu biru pastel dengan sembiran sayap berwarna hitam dan berbulu putih tersebut, malah kian bergairah untuk menyerbumu. Bahkan, dua-tiga di antaranya berhinggapan dengan kepakan sukacita di pucuk kepala.
"Berhenti mengerumuniku dattebane!" jerkahmu dengan kepala mulai memanas, tersulut emosi. Tak henti-hentinya kau mengayunkan gagang sapu lidi ke arah kiri dan kanan secara bergantian, namun kau tetap kewalahan menghadapi agresi mesra yang dilancarkan oleh para Lepidoptera mungil tersebut.
Tak ada jalan lain, kau buru-buru mengambil langkah mundur, bermaksud untuk menghindar. Akan tetapi, tak sampai lima langkah, tumit beralaskan zori milikmu terselip keliman hakama. Hingga kemudian, tubuhmu pun tersentak ke belakang—tertarik gravitasi dan hendak terjungkal ke bumi.
Kau memekik ngeri, mencengkeram gagang sapu lidi, dan memejamkan mata; tak kuasa membayangkan rasa sakit bilamana punggungmu nanti menghantam tanah. Namun sebelum hal yang kautakutkan benar-benar terjadi, sepasang tangan terlebih dulu terulur ke depan, menangkap pundakmu dengan sigap dari arah belakang.
"Kushina-chan, daijōbu?"
Tergugah akan suara interogatif halus yang menjamah gendang telinga, kau lekas membuka mata dan menengadahkan wajah. Begitu menemukan sepasang manik biru safir nan familiar dari balik ubun-ubun, kau langsung melebarkan mata. "Ara! Namikaze!" semburmu, terkesiap kala mengenali sang pemilik manik cemerlang tersebut.
Namikaze Minato, yang merundukkan kepala di samping gagang sapu lidi yang masih kaucengkeram, menyematkan seulas senyum geli sambil mengumandangkan komentar senda, "Rupanya, Kushina-chan ceroboh juga ya."
Sesaat, kelopak matamu mengerjab. Kemudian, pipimu memburatkan rona. "A—aku bukannya ceroboh 'ttebane!" sergahmu gusar dengan dada bergemuruh kencang, sewaktu menyadari posisi punggungmu yang terlalu merapat ke dadanya. "Chō-tachi lah yang menyebabkanku hampir terjatuh dattebane! Sedari tadi mereka hanya mengganguku saja dan ... dan ... etto, Namikaze,"—intonasi suaramu yang tadinya meninggi, entah mengapa, lamat-lamat melemah—"anō ... bisakah kamu ... membantuku berdiri sekarang? Aku ... sudah tidak apa-apa dattebane."
Menangkap engahan janggal dari suaramu, anak muda itu menelengkan kepala dan menatapmu dalam diam, hingga mengundang gelagat salah tingkah darimu.
"Ah, baiklah, Kushina-chan," responsnya kalem kemudian, menuruti permintaanmu dengan senyuman masih tercanang. Setelah itu, dengan gerakan mantap dia menggangkat bahumu dan mendorongnya dengan lembut ke depan, sampai alas zori-mu kembali berpijak ke tanah.
"Arigatō," lirih kau bergumam setelah Namikaze Minato menolakkan jemarinya dari pundakmu. Setelah itu, kau memungguinya lantaran ingin segera menetralisir panas wajah dan dengap jantungmu, akibat dari kontak fisik dadakan barusan.
"Cupido comyntas."
Kau yang masih berkutat dalam netralisasi diri, menengok sedikit dan melontar tanya, "Nani?"
Anak muda itu melambaikan tangan ke arah para kupu-kupu, yang tetap intens berkepakan di sekitar pucuk kepalamu. "Cupido comyntas," ulangnya dengan pelafalan yang lebih jelas, "adalah nama ilmiah dari kupu-kupu mungil ini."
"E, hontō?" timpalmu, sedikit terenyak. Tanpa sadar kau membalikkan badan ke hadapan Namikaze Minato, namun pandangan matamu mengarah ke salah satu kupu-kupu, yang mengepakkan sayap sisik biru pastelnya ke dekat helaian poni belah kirimu. "Jadi, Chō-tachi ini punya nama juga, ya? Kyūpiddo ... apa?"
"Cupido comyntas," ujarnya, kembali merapal nama binomium tersebut. "Atau biasa dikenal dengan sebutan: Si Biru Berekor dari Timur."
Tatkala mengatakannya, tungkai anak muda itu berayun mantap—menghampirimu dan hanya menyisakan jarak dua jengkal di antara tapak kaki kalian. Serta merta kaualihkan atensimu ke arahnya; terkejut menyadari batas nyaman proksimitas di antara kalian, lagi-lagi tereduksi. Sesi netralisasi dirimu pun buyar, mengakibatkan anomali panas wajah dan dengap jantung kembali mendera.
"Mereka merupakan insekta dari keluarga Lycaenidae," lanjut sang prodigi seraya mengangkat tangan, mencoba mengundang salah satu dari sekawanan Cupido comyntas tersebut untuk hinggap di buku jari telunjuknya. Namun, mereka hanya berkepakan melewatinya begitu saja. "Juga satu genus dengan Cupido argiades, yang lebih umum terlihat di Asia Timur."
"Sō ... desu ka?" gumammu seadanya, tak terlalu menyimak penjelasan Namikaze Minato lantaran kepalang terdistraksi oleh aroma kayu manis dari tubuhnya—yang entah mengapa terasa menenangkan ... sekaligus menggoda.
"Sō nanda." Kali ini, Namikaze Minato memfokuskan tatapan kolam lazuardi memukaunya ke dalam manik lembayung milikmu. Jemarinya yang tadi menggantung di udara, turut berpindah untuk memjumput seberkas rambutmu dan membawanya ke dekat cuping hidung; berlagak seakan-akan mengendusnya. Setelah itu, senyumannya melebur tawa rendah kala mengimbuhkan, "Dan Cupido comyntas yang tengah mengerumuni Kushina-chan ini, adalah para pejantan yang ingin berinteraksi secara seksual."
Kau mengerjab, tersentak dari buaian kolam lazuardi milik Namikaze Minato, ketika pemburit klausa informatif dari bibirnya merasuk ke gendang telinga. "Hoe? Berinteraksi secara seksual?" kau merepetisi dengan kernyitan dalam di antara tautan alismu. "Apa maksud—" gerakan bibirmu spontan terhenti begitu makna harfiah dari frasa "seksual" tercetus dalam kepala. Hingga kemudian, kau membeliakkan mata seraya mengguratkan ekspresi gamang di roman muka. "Hoeee? Chō-tachi ingin mengawiniku 'ttebane? Na—naze watashi na no? Aku bukan kupu-kupu betina dattebane!"
Alih-alih bersimpati atas kegamangan yang tengah kaurasakan, tawa Namikaze Minato malah kian berderai jenaka. "Meski memang bukan kupu-kupu betina, namun rambut Kushina-chan menguarkan feromon sintetis yang terlampau kuat sehingga sanggup memikat para pejantan Cupido comyntas untuk mendekat." Dia mulai melilitkan seberkas rambutmu di jarinya kala mengurai penjelasannya di sela-sela tawa. "Dan walaupun feromon sintetis di rambut Kushina-chan juga merangsang naluri seksual mereka, Chō-tachi tidak akan melakukan apa pun—kecuali mengerumuni sumber feromon ini berasal."
Usai menyimak uraian sang prodigi yang menenangkan, kegamanganmu pun perlahan menguap. Kau menghela napas dan menyunggingkan senyuman goyah. Namun, respons manualmu hanya berlangsung sececah ketika suatu kesadaran menyembul di kepala. "Chotto—bagaimana Namikaze bisa tahu kalau ada feromon sintetis di rambutku dattebane?"
Tawa Namikaze Minato memudar, berganti sunggingan senyum cerkas. Sambil mengedikkan bahu, Namikaze Minato menjawab lugas, "Aku hanya sekadar menarik kesimpulan dari apa yang kuamati, Kushina-chan."
Sudut manikmu mengerling sebentar ke arah telunjuknya (yang tengah jahil melilit dan mengurai seberkas rambutmu, memainkannya berulang kali) sebelum menatapnya dengan satu alis berjingkat tinggi. "Maksud Namikaze?"
Gerakan telunjuk jahilnya pun terhenti. "Maksudku," katanya, memulai konfirmasi, "memerhatikan warna biru pada sayap Chō-tachi yang berkepakan di dekat rambut Kushina-chan ini, aku langsung mengetahui bahwa mereka adalah jenis pejantan dari spesies Cupido comyntas, yang akan berkerumun bersama ketika bebauan kuat dari feromon betina menjamah indera penciuman mereka. Dan karena feromon adalah senyawa khemis yang hanya mampu mempengaruhi individu dari spesies sejenis, dengan segera aku dapat menyimpulkan bahwa feromon yang menguar dari rambut Kushina-chan ini, pastilah sejenis feromon sintetis atau buatan manusia semata. Begitu."
"Ā, sō desu ne." Lamat kau menganggukkan dagu, seiring mencerna konfirmasi panjang yang tertuang dari bibir anak muda itu.
"Tetapi, aku juga bertanya-tanya, mengapa dan bagaimana bisa sampai ada feromon sintetis menguar dari rambutmu, Kushina-chan?" tanya Namikaze Minato, menyuarakan rasa penasaran yang sedari awal menggayuti benaknya.
Seketika, gelagatmu berubah. Desahan panjang sarat kekesalan pun terdengar, diiringi sekelebat gerakan menggembungkan sebelah pipi, sebelum kau menyahut dengan dongkol, "Mō, sore wa ... subete no Nawaki-no-nīchan no sei dakara dattebane!"
"Sō darō?" Namikaze Minato menimpal heran, kendati sempat kauperhatikan jua sudut bibirnya yang berkedut dan manik safirnya yang berkilat geli kala mengamatimu bersungut kekanakan. "Memang, kesalahan apa yang sudah dilakukan Senju padamu dengan feromon sintetis itu?"
Karena Namikaze Minato tampak ingin mengetahui akar dari problema "agresi kupu-kupu" yang tengah kauhadapi ini, kaupun segera menceritakan insiden menyebalkan yang menimpamu sore tadi.
Dimulai ketika kau yang hendak keluar untuk menunaikan tugas miko-mu, tiba-tiba dikejutkan oleh peringatan nyaring dari Nawaki-no-nīchan dan bayangan sebuah tabung kecil yang melambung cepat ke arahmu. Moncong tabung itu terlampau condong, hingga kemudian likuid di dalamnya tersiram sepenuhnya ke pucuk kepalamu, sebelum kau sempat menghindar. Spontan kau memekik dan mengibas-ngibaskan likuid itu dari rambutmu. Namun, Nawaki-no-nīchan dengan panik mencekal tanganmu dan menyergah bahwa likuid itu adalah larutan ekstraksi yang mengandung sejenis feromon sintetis untuk ngengat.
Keruan saja kau memekik jijik, meronta-ronta, dan menghardik Onīchan-mu untuk lekas mengenyahkan feromon itu sebelum ngengat-ngengat berdatangan dan mengerumuni kepalamu. Tetapi, Nawaki-no-nīchan tidak bisa melakukannya lantaran feromon tersebut adalah bahan terpenting untuk tugas makalah biologinya berdua Aburame Shibi, yang harus dikumpulkan sebelum Kimatsu Tesuto diadakan.
"Matta, Kushina-chan," terdengar suara Namikaze Minato yang menyela ceritamu. "Kalau feromon tersebut sebenarnya untuk menarik para ngengat, lantas mengapa para Cupido comyntas yang mengerumunimu sekarang?" tanyanya, memasang tampang berpikir.
Kau menggeleng lemah. "Naze nanoka shiranai 'ttebane." Seraya memandangi kembali salah satu Lepidoptera biru mungil yang masih berkepakan ria di dekat poni belah kirimu, kau mulai mengimbuhkan, "Begitu pula Nawaki-no-nīchan, yang tadi memaksaku untuk melakukan uji lapangan bersamanya. Nawaki-no-nīchan tampak bingung; alih-alih ngengat, mengapa malah kupu-kupu biru yang mendadak muncul dan mengerumuniku 'ttebane?"
"Bisa jadi ... tabung berisi larutan ekstraksi itu tertukar dengan tabung lainnya, yang kebetulan berisi feromon sintetis untuk Cupido comyntas."
Menangkap simpulan Namikaze Minato, kau mengalihkan tatapanmu dan menemukannya sedang mengobservasi helaian rambutmu seraya memegangi dagunya dengan ibu jari dan buku telunjuk. Kau jadi sedikit terpana; ini kali pertama kau menyaksikan secara langsung mimik sejati "sang prodigi" teraut di wajah rupawannya.
"Lantas, dimana Senju sekarang? Mengapa dia meninggalkan Kushina-chan sendirian dalam keadaan begini?"
Terenyak, kau membalas tatapannya. "Lantaran efek yang dihasilkan feromonnya tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya, Nawaki-no-nīchan pun segera pergi menemui Shibi-nīsan," jawabmu seraya mengangkat bahu. "Sebelum itu, Nawaki-no-nīchan juga menangkap seekor dari Chō-tachi ini. Katanya, hendak ditunjukkan kepada Shibi-nīsan serta."
Setelah itu, kedua sudut bibirmu tertarik ke bawah kala rutukan sebal terlepas dari bibirmu. "Sebenarnya, aku ingin menyuruh Nawaki-no-nīchan untuk segera menyingkirkan Chō-tachi ini dari rambutku. Tetapi, Nawaki-no-nīchan malah mengatakan kalau mereka sangat cocok denganku, dan memintaku untuk bertahan dulu sampai dia kembali. Padahal, siapa pula yang betah dikerumuni belasan insekta pengganggu begini dattebane?"
Alih-alih menanggapi kekesalanmu, sekonyong-konyong Namikaze Minato merengkuh sebelah pipimu, yang sontak membuat kepalamu tersentak samar ke samping. "Apa yang dikatakan Senju benar adanya, Kushina-chan. Cupido comyntas ... memang sesuai dengan dirimu," ujarnya lembut, ditingkah tatapan teduh dan kuluman senyum.
"Mereka mempertegas kecantikan alami yang kamu miliki dan"—dia memberi jeda panjang, sementara kau menahan napas dan mencengkeram gagang sapu lidi dengan erat—"ee ... membuatmu semakin tampak ... mempesona."
Kemudian, sesuatu yang tak pernah kaulihat sebelumnya, terjadi. Dengan serentak wajah dan cuping telinga Namikaze Minato menyembulkan warna merah padam, yang kontras dengan warna kolam lazuardi miliknya. Dan seolah menyadari perubahan rona mukanya, dengan terbelalak dia menarik lepas rengkuhannya dari pipimu, dan mengalihkan tatapannya ke barisan pepohonan Ginko biloba—yang sedari tadi melurungkan dedaunan momiji-nya dengan sahdu di dekat tempat kalian berpijak.
Kau sendiri terpaku; memandangi semu merah di wajahnya, mengamati gestur salah tingkahnya. Sampai kemudian, kau mengerjab dan turut memburatkan rona. Buru-buru kau merundukkan wajah, menekuri ujung kaki yang berbalut tabi seraya menguatkan cengkeraman kedua tanganmu di gagang sapu lidi—hingga yang melingkupi kalian berikutnya hanyalah keheningan janggal, ditemani kisikan angin musim gugur dan kepakan sayap biru para Lepidoptera mungil di pucuk kepala.
Namun, kebisuan yang menjebak kalian tak bertahan terlampau lama. Bibirmu mulai bergerak lamat dalam keterbataan menyuarakan tanggapan. "Arigatō ... atas parafrasa yang tadi Namikaze ungkapkan 'ttebane ..."
Perlahan Namikaze Minato mengembalikan tatapan manik safirnya ke arahmu, yang masih bertundukan kepala.
"Tetapi ... meski Chō-tachi membantuku menampakkan ... umm, kecantikan alami, tetap saja ... mereka mengganggu rutinitasku membersihkan halaman kuil 'ttebane."
Rona merah yang sedari tadi menjalari wajah Namikaze Minato, berangsur-angsur memudar. Kemudian, ekspresi kalem tergurat kembali, diiringi seulas senyum terkulum lembut.
"Petang hampir menjelang; dedaunan kering masih berceceran di halaman." Kau menghela napas, muram. "Mō, dōshiyō 'ttebane?"
"Aku tidak keberatan menggantikanmu merampungkan tugas menyapu halaman, Kushina-chan."
Menangkap tawaran tulus yang tersirat dari ucapannya, sontak kau mengangkat wajah dan membalas tatapannya. "Ets, hontō ni? Namikaze mau menggantikanku?" tanyamu, agak sangsi. "Kamaimasen ka?"
Sekelebat kekehan terdengar renyah, disusul sensasi gelenyar yang terasa dari sentuhan tangan Namikaze Minato, yang mengurai lembut lipatan jemarimu dari gagang sapu lidi. "Jitsu ni kamaimasen datteba, Kushina-chan," jawabnya, lugas mengonfirmasi dengan kilatan jenaka terpantul di kolam lazuardi miliknya. "Asalkan ada imbalannya."
Seraya memegangi bekas sentuhannya yang masih menggelenyar di jemarimu, kau menjengitkan satu alis, tertegun akan leksikon culas yang mengekori konfirmasinya. Namun, kau urung melontar frasa interogatif lantaran mendengar lanjutan leksikonnya, yang berupa sebaris klausa ajakan manis.
"Pergilah bersamaku mengunjungi Konservasi Kupu-kupu milik Klan Akimichi, Kushina-chan. Di sana, kita bisa mencari cara terinstan untuk menetralisir efek feromon di rambutmu."
Faktor jengitan alis lesap, seiring dengap jantung kembali mendominasi indera rungumu. Kendati otakmu memahami bahwa ajakan yang dilayangkannya tidak menunjukkan isyarat romantis apa pun, namun hatimu tetap saja mengembangkan kuncup-kuncup musim semi semu akan prospek "pergi-berdua-Namikaze".
Dan tatapan manik safir dari anak muda yang mengenakan kaus gelap berjaring di balik jaket training putihnya itu, tak lekas beralih dari sosokmu. Dengan lengkungan bibir membentuk senyuman asa, dia menanti respons afirmatif tercetus dari bibir ranummu.
Namun, tak perlu menunda terlampau lama, kaupun menyuarakan jawaban yang diinginkannya. "Kurasa, imbalan tersebut tak kelewat pelik untuk kupenuhi. Jadi ... baiklah. Aku akan pergi bersama Namikaze dattebane."
Senyuman asa itu keruan melebar manakala menangkap kesan antusias dari nada suaramu. "Arigatō na, Kushina-chan!" timpal Namikaze Minato dengan muka berseri-seri.
"Iie," kau menyanggah seraya menyematkan senyuman sipu. "Kochira koso 'ttebane ..."
Selanjutnya, bak Déjà Vu membayang dari balik pelupuk mata, kau mengamati Namikaze Minato yang dengan cekatan menggerakkan gagang sapu lidi untuk mengumpulkan dedaunan momiji, sementara angin musim gugur sesekali mendistraksi dengan semilir bayunya yang jahil. Bahkan, momen tersebut pun sanggup mengundang kedutan samar di bibirmu, seperti tempo senja itu, namun dengan alasan berbeda: perasaan sukacita hangat yang membungkus sekujur tubuhmu, begitu kau memahami betapa mudahnya sosok Namikaze Minato terjangkau olehmu. (Faktanya, secara demonstratif, kau memang tengah mengulurkan tangan ke arahnya, yang telah memasukkan dedaunan kering itu ke dalam keranjang jerami. Sayangnya, sang prodigi lebih mengira permintaanmu untuk menyerahkan keranjang tersebut, ketimbang menyadari kehendakmu untuk menautkan jari-jemari kalian.)
Selepas membawa sekeranjang momiji ke dalam tungku pembakaran di belakang rumah, kau segera memenuhi imbalan yang diminta Namikaze Minato—pergi bersamanya mengunjungi Konservasi Kupu-kupu milik Klan Akimichi. Dan kebetulan, Mito-no-bāchan juga sudah kembali dari Balai Pemerintahan Desa, sehingga kau bisa leluasa meninggalkan kuil meski sebentar. (Awalnya, Mito-no-bāchan terheran-heran melihat belasan Lepidoptera biru yang mengitari pucuk kepalamu. Akan tetapi, setelah menyimak penjelasan gamblang dari Namikaze Minato, beliau akhirnya tersenyum mengizinkanmu pergi berdua sang prodigi.)
Selama perjalanan kaki menuju ke Kediaman Tetua Akimichi dimana konservasi itu berada, pemandangan langka dari sosokmu yang diikuti belasan kupu-kupu biru, tak luput dari netra warga desa Konoha. Berbeda dengan Mito-no-bāchan, sebagian reaksi yang mereka berikan malah membuatmu didera rasa malu sekaligus muram. Ada yang menatap aneh, menyuarakan kasak-kusuk, melontar gunjingan, bahkan menunjuk-nunjuk dengan mimik ngeri lantaran terpicu oleh mitos "kupu-kupu sebagai pengusung arwah dan pesan kematian".
Namun, kau tak sempat merundukkan kepala, seiring Namikaze Minato meraih tangan kananmu dan menggenggamnya dengan erat. Kaupun tersentak, memutar kepala, dan menemukan wajahnya yang tengah mengangsurkanmu suatu ketenangan ganjil, lewat kuluman senyum dan kilauan kolam lazuardi miliknya.
"Ne, Kushina-chan," panggilnya lembut sembari menautkan jemarinya ke jemarimu, tanpa memedulikan kasak-kusuk nyaring yang memenuhi hampir seantero ruas jalan setapak desa.
"Um?" kau hanya sanggup merespons dengan gumaman pelan lantaran nyaris terlena ke dalam hangat yang berkumparan dari tautan jemarinya, yang turut melesapkan kemuramanmu tanpa bekas.
"Tidakkah Kushina-chan bertanya-tanya, mengapa aku bisa mengenali jenis kupu-kupu yang mengikuti Kushina-chan ini?"
Kau mengerjab, sesaat tercenung dengan klausa interogatifnya. Nalurimu memahami bahwa Namikaze Minato hanya berniat untuk mendistraksi indera rungumu dari kasak-kusuk itu. Akan tetapi, bibirmu telanjur menyuarakan jawaban meski dengan nada tak yakin. "Etto ... karena Namikaze adalah sang prodigi?"
Tawa rendah menggelitik pun menjamah gendang telingamu. "Yaah, aku memang 'sang prodigi'. Tetapi, itu tidak serta merta menjadikanku tahu banyak tentang kupu-kupu, Kushina-chan."
"Hoe?" kau menelengkan kepala. "Jadi ... mengapa?"
"Karena aku pernah membaca salah satu buku, yang dibawa Jiraiya-sensei dari perjalanan beliau ke belahan bumi bagian barat sana," ujar Namikaze Minato simpel, dengan lengkungan senyum yang tak lekang dari bibirnya. "Yaah, sebenarnya, buku tersebut adalah oleh-oleh Sensei untuk Konan-san, yang kala itu sedang menggemari origami berbentuk kupu-kupu."
"Konan-san wa dare 'ttebane?" selamu, bertanya dengan kerutan samar di dahi. Nama "Jiraiya-Sensei" memang sudah familier di telingamu—beliau adalah salah satu dari Trio Cendekiawan terhormat di Konoha (bersama Tsunade-no-nēchan dan Orochimaru-sama). Tetapi, kau merasa asing dengan nama perempuan yang barusan disebut secara akrab oleh Namikaze Minato.
Konan-san? Siapa dia? Dan kaupun mulai disergap perasaan waswas janggal manakala jaringan otakmu merajut sebuah pertanyaan akbar: Apa hubungan Namikaze dengannya? (Namun, tentu saja, kau buru-buru menghapus pertanyaan itu dari kepalamu dengan alasan, yaah ... memang apa hubungannya denganmu jika mereka memang benar memiliki suatu hubungan khusus?)
"Konan-san adalah salah satu anak didik Jiraiya-sensei, yang juga tinggal bersamaku di Dojo."
Langkahmu sejurus terhenti begitu mendengar jawaban kalemnya, yang amat tak terduga. "Tinggal bersama Namikaze?"—tanpa kausadari, intonasi suaramu meninggi—"Tinggal seatap?"
Kali ini, Namikaze Minato lah yang menelengkan kepalanya. "Sō nanda," jawabnya lagi dengan lugu.
Perasaan waswas itu kembali membuncah, bersamaan dengan semburan pertanyaan urgesif, "Apa hubungan Namikaze dengannya hingga kalian bisa tinggal seatap berdua dattebane?"
Manik safir itu sekerjab membeliak, menatapmu yang terlampau dekat kala mencondongkan wajah ke arahnya, hingga Namikaze Minato pun perlu memundurkan kepalanya sedikit dengan gerakan samar. "Kushina-chan ... agaknya, kamu salah paham ...," tuturnya dengan hati-hati, tanpa mengalihkan manik safirnya dari kilauan ametis milikmu. "Aku dan Konan-san tidak tinggal seatap berdua—tetapi, juga bersama Jiraiya-sensei, Yahiko-nii, serta Nagato-nii."
Kau mengerjab, kembali tercenung. "Hontō ni uso wo hanashite inai no?" desakmu kemudian, tampak menyangsikan konfirmasinya.
Namikaze Minato masih menatapmu, lama ... dan sekonyong-konyong tergelak tawa. Kerutan di dahimu pun kian dalam, mengindikasikan betapa terusiknya kau dengan deraian tawanya.
"Apa yang kamu tertawakan, Namikaze?" jerkahmu, keki.
Di sela-sela tawanya, Namikaze Minato mencericip riang, "Kecemburuanmu, Kushina-chan!"
Tanpa sanggup kaucegah, wajahmu memanas. "Ke—kecemburuan apanya!"
"Uwaa, bagaimana ini?" Namikaze Minato tampak bersemangat sendiri, tak mendengar sergahanmu, dan tenggelam dalam perasaan sukacita yang tak mampu disembunyikannya. "Aku begitu senang dengan kecemburuan yang dirasakan Kushina-chan. Jirainya-sensei sendiri pernah menuturkan bahwa rasa cemburu adalah sebagian bumbu cinta. Itu berarti ... Kushina-chan memiliki perasaan cinta kepadaku, bukan? Yokatta na!"
"He—hei! Memangnya, siapa yang—" kau seketika menggantung seruanmu manakala Namikaze Minato sejurus menempelkan dahinya ke dahimu. Kaupun terperanjat dengan muka merah padam, namun tak mampu berpaling darinya—yang memejamkan mata dan mengutarakan, "Arigatō gozaimasu. Kushina-chan wa boku ni totte taisetsu na hito da. Dakara ... boku mo aishite iru nanda."
"Namikaze ..."
Tak berapa lama kemudian, dia telah menarik kepalanya, menatapmu kembali, dan menyunggingkan senyuman menawan. "Jadi, calon istriku tersayang, maukah kamu mengunjungi Dojo kami untuk segera kuperkenalkan kepada Jiraiya-sensei dan anggota keluargaku secara formal?"
Kau tidak merespons. Kau tak sanggup merespons. Panas wajah, dengap jantung, gelenyar aneh, kerumunan kupu-kupu di pucuk kepala dan di dalam perut—semuanya serempak menderamu, hingga kau harus menyandarkan sisi tubuhmu pada Namikaze Minato agar tidak limbung ke jalanan.
"Kushina-chan?"
"Le—lebih baik ... kita segera ke konservasi dattebane!" desakmu dengan agak tersengal-sengal.
Namikaze Minato meringis sambil memegangi lenganmu; memahami betapa malunya dirimu dengan pernyataan romantisnya barusan. "Wakarimashita."
Dan entah bagaimana, dalam waktu singkat, anak muda itu berhasil mengantarkanmu ke depan pintu gerbang areal kediaman Tetua Klan Akimichi. Kau bahkan juga tak sanggup mengingat siapa yang telah menyambut serta membimbing kalian ke sebuah rumah kaca besar. Namun, benakmu segera tersadar begitu memasuki rumah kaca tersebut—yang di dalamnya dipenuhi lautan kembang anekawarna, bertabur semerbak wewangian; dengungan insekta penikmat sari putik; dan puluhan kupu-kupu dalam berbagai warna dan pola sayap, yang saling berkepakan ria.
Menyaksikan pemandangan bak kebun bunga Eden itu, kau langsung jatuh pesona. Ini kali pertama kau menginjakkan kakimu di tempat yang begitu harum nan eksotis. Kau mengerjab-ngerjabkan mata. Sejauh mengedarkan pandangan, kau hanya bisa menemukan bebungaan, tanaman bersulur, kupu-kupu, lebah, dan ... Namikaze Minato.
"Ā, utsukushī basho dattebane!" cericipmu, kelewat antusias. Kilatan berbinar turut terpantul di kedua manik lembayung ketika desahan menyesal tertuang dari bibirmu. "Mengapa aku tidak pernah berkunjung ke sini sebelumnya, ya?"
Meski itu hanyalah desahan retoris, namun Namikaze Minato merespons lugas, "Karena Kushina-chan adalah gadis miko yang selalu sibuk berkutat dengan rutinitas di Uzushio Jinja."
Kemudian, entah mengapa, kalian saling berbagi senyum sipu seraya saling mengeratkan tautan jemari. Dan sebelum kalian sempat terhanyut dalam imaji yang melenakan, Namikaze Minato buru-buru berdeham dan berkata bahwa dia akan mencari Akimichi Chōza untuk mendiskusikan problema "agresi kupu-kupu" yang menderamu. Kau mengangguk, menguraikan tautan jemari dan melepaskan genggaman tangan kalian setelahnya.
Begitu punggung Namikaze Minato menghilang ke balik rerimbunan nadeshiko dan kosmos, rasa sepi pun menyergap. Tangan kananmu yang tadi terasa hangat dalam genggamannya, jadi kebas. Meski kau memeganginya sendiri di depan dada, kehangatan itu tak kunjung kembali.
Kau menggelengkan kepala, mengusir jauh-jauh aura negatif yang hendak membungkusmu. "Daijōbu, Kushina. Namikaze juga pasti akan segera kembali dattebane," gumammu, berupaya menenangkan diri.
"Dore, dore!"
Bahumu sontak terlonjak ketika seruan senggak terdengar dari balik punggung. Kau segera memutar tumit dan menemukan seraut wajah bishōnen berbingkai surai kuning dalam kunciran panjang, yang melontarkan secandang gelar celaan, "Akai Chishio no Habanero—bersama kupu-kupu pengikutnya!"
"Konban wa, Yamanaka-senpai," sapamu enggan dengan nada formal kepada bishōnen tengil itu. Kau juga melayangkan sapa kepada anak muda berkuncir hitam mencuat yang muncul dari balik bahunya. "Konban wa, Nara-senpai."
Yamanaka Inoichi dan Nara Shikaku adalah senpai-mu di Konoha no Chūgakkō. Kau mengenal mereka sebagai kroni Ino-Shika-Chō (bersama Akimichi Chōza yang sedang dicari Namikaze Minato), yang populer karena kebengalan mereka di sekolah. Sebenarnya, kau tidak terlalu suka dengan perangai mereka dan tidak berniat untuk terlibat jauh dengan kebengalan mereka (meski terkadang kau juga gemar berlaku jahil). Namun, agaknya kali ini, seorang di antaranya tengah berminat untuk merecokimu.
"Hee ... bagaimana bisa rambut merahmu dikerumuni kupu-kupu begini, Tomato-kōhai?" tanya Inoichi sambil merangsek maju dan menarik-narik sejumput suraimu. Di sampingnya, Shikaku menguap lebar, tampak malas dan tak berminat sama sekali.
"Bukan urusan Senpai," hardikmu datar seraya menepis tangannya. "Dan hentikan panggilan bodoh itu. Namaku Uzumaki Kushina dattebane."
Inoichi menyeringai. "Uwaa! Baik di sekolah maupun di luar, Tomato-kōhai kita tersayang ini tetap galak dattebane," celanya riang, dengan penekanan intonasi di setiap suku kata "dattebane".
Seraya menahan emosi yang mulai tersulut, kau memicingkan mata dan menatap bishōnen tengil itu dengan tajam. "Jangan menggangguku, Senpai."
"Atau kau akan mencambukku dengan rambut bak ekor Kyūbi no Yōko milikmu itu, seperti kala di shōgakkō dahulu, hmm?" tantang Inoichi dengan kekehan senda.
"Berhenti mengganggunya, Inoichi," pinta Shikaku dengan muka mengantuk. "Merepotkan sekali jika dia sampai mengamuk tak keruan di tempat Chōza." Kemudian, dia menguap kembali. "Mendōkusē."
Sekarang, kau mengalihkan tatapan tajammu ke arah si pemalas itu, yang hanya membalasmu dengan sunggingan remeh.
Inoichi mengabaikan Shikaku dan merepet kian dekat ke arahmu. "Kulihat, kau datang kemari dengan si bocah prodigi sambil berpegangan tangan, Kōhai."
Kau kembali berpaling kepada Inoichi dan bergerak mundur, secara terang-terangan menjauhkan diri darinya. "Me—memangnya, mengapa?" geragap kau menjerkah dengan kedua belah pipi merona. "Bukan ... bukan urusan—"
"Tentu saja urusanku, Tomato-kōhai!" serobot Inoichi sambil mengangkat tangan dan mengacak-acak helaian ponimu dengan gemas. Seringai tengil turut terpampang di paras cantiknya. "Artinya, aku telah memenangkan pertaruhan ini!" sambungnya, kepalang bersemangat. Sejurus kemudian, dia berpaling ke arah Shikaku dan berseloroh serius, "Kau kalah, Nara. Seminggu ke depan, kau harus mentraktirku santapan siang di YakinikuQ."
Kali ini, kerutan tidak setuju tergurat di dahi lebar Shikaku. "Berpegangan tangan tidak mengartikan apa pun, Inoichi," sanggahnya dengan tatapan manik yang menohok dirimu. "Bukankah begitu, Uzumaki?"
Sebelum kau sempat membuka mulut, Inoichi menyambar sengit, "Oi! Apa tadi kau tidak memerhatikan cara mereka saling memandang dan melempar senyum, heh? Bocah itu berhasil memikatnya, sesuai dugaanku. Artinya, aku memenangkan pertaruhan ini!"
Alih-alih mengindahkan cerocosan sahabatnya, Shikaku tak kunjung mengalihkan tatapan selidiknya darimu. Kau sendiri bergantian memandangi mereka, dengan tatapan tidak mengerti. "Chotto ... apa maksudnya 'pertaruhan'? Pertaruhan apa?"
"Kami saling bertaruh, apakah bocah prodigi itu sukses atau tidak untuk memikat hatimu, Tomato-kōhai!" jawab Inoichi seraya mengerling dongkol ke arah Shikaku, yang diduganya ingin lari dari hasil akhir pertaruhan mereka. "Si rambut nanas hitam ini berkeyakinan kalau seorang miko sepertimu takkan mungkin semudah itu terpikat ke dalam rayuan sang prodigi." Inoichi kemudian mendengus sinis. "Tetapi, mana mungkin pesona Namikaze Minato tak sanggup menjerat seorang miko sekalipun, sementara kharismanya sukses menawan hati sebagian besar gadis-gadis Konoha, heeh?"
"Kupikir, seorang gadis miko akan lebih mementingkan kuilnya, ketimbang menaruh perhatian kepada seorang bocah ingusan," Shikaku menggerutu sambil mendecih remeh sebelum menengok ke arah Inoichi. "Mendōkusē ... bagaimana aku bisa mentraktirmu jika Pak Tua itu lagi-lagi memangkas uang sakuku bulan ini, Inoichi?"
Dengan mendesah berat, Inoichi menepuk bahu sahabatnya itu. "Turut berduka atas ketidakberuntunganmu, Nara." Sejenak kemudian, seringaian culas tercanang di bibirnya. "Tetapi, seperti Chōza, aku hanya melahap yakiniku dengan kualitas daging terbaik. Jadi, selamat mentraktirku."
Namun, bukan frasa satiris dari Inoichi yang menyentil benak Shikaku, melainkan linangan air mata yang merebak di kedua pelupuk matamu. Shikaku lekas menyiku rusuk sahabatnya, namun bishōnen tengil itu tengah meraya dalam prospek melahap yakiniku secara cuma-cuma.
"Namikaze ... tidak mengetahui ... pertaruhan itu ... bukan?" suaramu bergetar akibat membendung ruapan tangis ketika menanyakan kemungkinan itu.
Dan Shikaku tak sempat membungkam mulut sahabatnya, yang dengan santai menukas, "Hee ... kaupikir siapa yang memicu kami sampai menggagas pertaruhan ini, Kōhai?"
Tepat ketika tukasan Inoichi merasuk ke gendang telinga, kau menangkap sosok Namikaze Minato yang berjalan ke arahmu bersama Akimichi Chōza, Shibi-nīsan, dan Nawaki-no-nīchan. Serta merta kau memutar tubuh dan mengayunkan tungkaimu, menghampirinya.
"Kushina-chan, aku sudah bertanya kepada Chōza-kun tentang cara terbaik untuk—AWW!"
Namikaze Minato sontak mengaduh kesakitan dan mengernyitkan kening, usai kau sukses menendang tulang keringnya dengan ujung kaki.
"Apa yang—AWW!"
Sekali lagi, kau menendangnya dengan keras, hingga membuat Namikaze Minato jatuh tersungkur di bawah tatapan terkejut para pemuda di sana. Dia pun mendongak, hendak melontar tanya, namun membungkam ketika merasakan sebulir air mata bening yang menetes di pangkal hidungnya.
"Kushina-chan?"
"Perasaanku ... bukan untuk ajang pertaruhan dattebane!" dalam isakan kau memaki nyaring. Kemudian, dengan cepat kau bertolak ke arah pintu dan berlari ke luar rumah kaca.
Kendati suara panggilan namamu menyambar di belakang sana, namun kau tak urung menghentikan ayunan kaki. Kau berlari, berlari, dan terus berlari. Kabur dari rumah kaca, dari kediaman Tetua Klan Akimichi ... dan dari Namikaze Minato. Nyeri di rongga dada dan panas di kedua indera netra, membuatmu tersiksa. Dan frasa yang dilontarkan Yamanaka Inoichi, semakin menusuk hatimu.
"... kaupikir siapa yang memicu kami sampai menggagas pertaruhan ini, Kōhai?"
Kau menggeleng keras, tak ingin memercayainya. Semua kebaikan, kelembutan, dan kehangatan yang diberikan Namikaze Minato selama ini, terasa tulus dan nyata. Namun, luapan emosi negatif malah kian menjerumuskanmu ke dalam kubangan pemikiran buruk bahwa sang prodigi hanya ingin menjeratmu ke dalam permainannya.
Akhirnya, tak sanggup berlari lagi, ayunan tungkaimu berhenti. Tubuhmu yang tersakiti secara psikis, merosot ke jalanan. Para Cupido comyntas yang sedari tadi mengiringimu, satu per satu berkepakan menjauh. Namun, kau mengabaikannya dan memilih untuk menekuk lutut, memeluknya, seraya merundukkan wajahmu yang basah di atasnya.
Namun, kau urung menumpahkan air mata ketika hawa tajam menguar di udara. Sontak kau mengangkat wajah dan menangkap bayangan kabur sesosok pria, yang tengah menghampirimu dengan langkah-langkah lebar sembari menyenandungkan tanya, "Ne, ne, gadis manis. Mengapa kau menangis sendirian di sini?"
Nalurimu memperingatkan bahwa pria itu berbahaya. Sangat berbahaya. Buru-buru kau beranjak bangkit dan bergerak memutar, namun kakimu tertancap di tempat begitu melihat dua pria lainnya telah menghadang jalanmu.
Salah seorang di antaranya merenggut lenganmu dan menarik tubuhmu ke dadanya. "Apakah kau sedang bersedih? Apa yang membuatmu bersedih?" dia memberondong sambil mencengkerammu, hingga kau tak mampu berkutik. "Aku bisa melenyapkan kesedihanmu, kautahu?"
"Lepaskan!" sergahmu dengan darah berdesir dingin. Kala tawa sengak mereka menggelegar, kengerianpun memelukmu: mereka berbahaya, dan kau hanya sendirian.
Akan tetapi, kau tak ingin menyerah pada kengerian itu. Dengan sekuat tenaga, kau berupaya menarik lenganmu dari cengkeramannya, seraya mengayunkan tendangan kaki dengan keras ke tulang kering pria itu.
Beruntung, usahamu tidak siasia. Pria itu mengaduh kesakitan dan merenggangkan cengkeramannya. Dengan gesit kau merampas lenganmu, dan kemudian dengan cepat melangkah mundur. Namun, gerakanmu kalah sigap dengan pria pertama, yang kini merangkul bahumu sembari menodongkan sebilah kunai tajam. Napasmu pun tersentak, irismu terbeliak, dan tenggorokanmu tercekat.
"Jangan lari lagi, gadis manis," ancam pria itu dalam bisikan halus, sembari menekankan mata kunai-nya di urat lehermu. "Atau ... aku terpaksa menancapkan kunai ini ke dalam batang tenggorokanmu."
Dengan air mata meruap, kau memejamkan kelopak mata dan menjeritkan satu nama yang masih tertinggal dalam pikiranmu.
"Namikaze!"
—saisho no MESSĒJI no owari.
Glossary:
• Ā, suteki na ROMANSU desu ne = Wah, romansa yang indah, bukan?
• Tokorode = Omong-omong.
• Zenzen ki ni shinai da = Sungguh, tak perlu memikirkannya.
• Jitsu ni oishīkatta = Jujur, rasanya enak. (bentuk lampau)
• Naze watashi na no = Mengapa aku?
• Mō, sore wa subete no Nawaki-no-nīchan no sei dakara = Karena semuanya kesalahan Kak Nawaki.
• Naze nanoka shiranai = Aku tidak mengerti mengapa.
• Iie, kochira koso = Tidak, akulah yang berterimakasih. (respons sopan dari frasa "arigatō")
• Hontō ni uso wo hanashite inai no = Apakah kamu benar-benar tidak sedang berkata bohong?
• Ā, utsukushī basho = Wah, tempat yang cantik!
• Dore, dore = Lihat, ada siapa di sini!/Wah, apa yang kita punya, nih? (kasual)
Balasan untuk Guest's review:
• Minato-kun LOVE Kushina-chan:
Dōmo arigatō, atas kesudiannya R&R "Chō kara no MESSĒJI" ya! Dan, yaah, MinaKushi belum "pacaran" kok ... (masih tahap "pedekate", ceritanya). Jadi, terus ikuti chapter-nya untuk mengetahui perkembangan hubungan MinaKushi di fanfic ini!
History:
27/07/2012 ~ First Published.
08/09/2012 ~ Minor Revised.