「Sebelumnya…
"Setelah kita sampai di Dundee, lalu kemana, Miss Netfmmel?"
"Pakai Mrs. Antonio, aku sudah menikah. Tapi panggil Bella saja sudah cukup, kok."Bella memperhatikan si penanya sebelum akhirnya melanjutkan, "Ke sebuah pedesaan kecil. Eh, tu-tunggu sebentar."
Wanita Belgia itu tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu, Antonio mulai merasakan firasat yang tidak enak. Seolah bisa merasakan bahwa yang akan dikatakan oleh wanita itu adalah sesuatu…sesuatu yang…
WILLOW on the Darkness
Hetalia Axis Power©Hidekaz Himaruya
.
The Willow©Algernoon Blackwood. Inspirated.
.
WILLOW on the Darkness (c) Me
.
[*]
[Warning : Lemon, gore, horror, madness, straight]
.
Happy Reading
Don't like don't read
[Chapter 02 : The Truth on the Darkness]
"Ku-kurasa bukan Dundee…" Wanita itu berkata dengan lemah, membuat Antonio memicingkan mata padanya. Ia tersedak dan tangannya menggebrak meja. Ekspresinya menampilkan keterkejutan, sementara Bella menggigit bibir bawahnya—agak malu akan kesalahannya itu.
"Yang benar saja!"Antonio mendengus kesal, "Sudah jauh-jauh ke sini…"
Suasana hening sejenak, wanita Belgia itu menatapnya dengan tak percaya sebelum akhirnya tersenyum tipis—senyum yang dipaksakan di wajahnya. "Baiklah, baiklah, aku minta maaf…"
"…Aku agak lupa tapi mungkin—"
"Kau sendiri yang bilang kemarin tujuanmu Dundee!"Antonio tersenyum kecut, beberapa pengunjung memperhatikan keduanya. Beberapa diantara mereka berbisik-bisik dan seorang pelayan tak jauh dari mereka menatap ragu-ragu.
Keduanya berpandangan sejenak sebelum akhirnya Bella mengambil nafas, menghelanya dengan berat. "Baiklah, sekali lagi aku minta maaf," katanya, "Aku baru ingat kalau sungai Annan bukan di Dundee, tapi di Dumfries and Galloway."
Antonio bangkit berdiri, mendengus pasrah. "Untung saja ini masih di Dalmeny. Kalau kau baru bilang di Dundee aku sudah pasti meninggalkanmu."
Pemuda itu melangkah menuju meja kasir yang masih menatapnya dengan aneh. Ia mengeluarkan dompetnya. £ 14,15 untuk pagi ini dan Antonio menyerahkan dua puluh pound—hasil patungan duit antara dia dengan wanita itu. Bella keluar dari Railbridge Bistro menunggu sang pengantarnya di sana sembari memandangi lautan, berpikir tentang kebodohannya pagi ini yang nyaris membuat mereka salah arah total. Ia akui ia merasa sedikit malu pada Antonio, padahal semalam ia berkata dengan penuh keyakinan.
"Sudahlah." Tahu-tahu Antonio sudah berada di sampingnya, seolah bisa membaca isi pikiran Bella dan tersenyum ramah, menyelipkan tangan besar itu di dalam saku mantel. "Tidak usah dipikirkan, ayo, kita berjalan kaki saja ke Dulmeny Station."
Bella mengangguk dan keduanya berjalan ke arah barat laut, melewati Newhalls road dan berbelok di tikungan, memasuki Hawes Brae yang ditumbuhi pepohonan di sepanjang ruas jalannya. Dalam diam, wanita itu bersumpah, ia tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Ia ingat betul sekarang, seolah-olah debu pikiran dalam otaknya telah dibersihkan. Segalanya jelas. Ya, sungai Annan. Suaminya. Tak salah lagi. Antonio memandangi sisi kiri tempat itu, mengawang-awang di udara, Bella mencoba mencari perhatian pada objek lain untuk menekan kebosanannnya. Beberapa brougham lewat, melintasi tempat itu dengan cepat.
Ketika memasuki Bankhead Road di sebelah kanan, segalanya seperti terbuka. Sebuah lahan terbuka lebar, membentang luas di sisi kiri mereka. Sebuah jalan terbuka di sisi kanan—sebuah gudang dengan cat merah kusam di tengah musim dingin, Bankhead Cottage terlihat. Beberapa brougham dan gerobak pertanian ada di situ. Antonio tersandung batu dan jatuh, terjerembab dengan posisi konyol. Beberapa orang yang lewat menatapnya dengan tanda tanya yang segera berubah menjadi ketidak pedulian. Antonio bangkit berdiri, merapikan pakaiannya dan berjalan lagi dengan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, ia hanya berjarak beberapa yard dari Bella sebelum akhirnya berseru, "Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku hanya jatuh dan—"
Kalimatnya terputus ketika ia tersandung lagi—BRUK! Suara bedebam tubuhnya kali ini terdengar cukup nyaring, menimbulkan beberapa lecet di wajahnya akibat bergesekan dengan permukaan jalur pejalan kaki. Seorang pria tua yang lewat berkata dengan sinis, "Perhatikan jalanmu, Nak."
Bella dengan cukup sabar membantunya berdiri dan terkekeh akan tingkah ceroboh pemuda Spanyol itu. Kemudian, keduanya pun berbincang-bincang. Suasana tak nyaman itu perlahan mencair, beberapa topik pembicaraan yang umum terlontar, sesekali keduanya tertawa. Tak lama, Bankhead Road memperlihatkan beberapa sisi di mana terhampar lahan yang kosong, pepohonan yang telanjang tanpa daun berdiri tegak, berkelompok, berjajar. Keduanya berbelok ke kanan, mendapati jalanan itu terdapat beberapa kediaman penduduk setempat yang agak berjauhan. Mereka mengikuti arah jalanan, melewati perempatan yang menghubungkan Bankhead Grove ataupun Forth Terrace. Perlahan tapi pasti, mereka melihat bundaran dan berbelok ke kiri menuju Ashburnham Loan. Akhirnya mereka pun bisa melihat bangunan itu—sebuah stasiun dengan model victorian di mana dindingnya terdiri dari bebatuan yang kurang rapi. Mereka berpandangan sejenak sebelum akhirnya masuk bersama
Dan kereta mereka melaju dari Dalmeny Railway Station pada pukul 09.22 pagi di peron 4, melalui Newcraighall. Kereta mereka, gerbong kelas tiga yang sering kali tak dilengkapi tempat duduk, terasa sumpek dijejali berbagai orang. Asap hitam begemuruh keluar, berlari bersama kecepatan kereta yang cukup mutakhir. Melewati beberapa ruas jalan, Maybury Road—Tum House terlihat di sisi kanan kereta beberapa saat. Kereta berhenti sejenak di South Gylee, hanya beberapa meter dengan Gylee Publik Park, beberapa penumpang bertambah dan semakin memperamai kondisi.
"Kau seharusnya membeli tiket karcis gerbong kelas satu."Antonio mengeluh pelan diantara balon kata yang bergelanyut di udara. Bella tersadar dari lamunannya dan tertawa pelan, mulai memberi kuliah dadakan mengenai pentingnya penghematan seperti layaknya ibu-ibu yang menyadari pengeluaran bulanan yang membengkak ketika mereka melintasi Meadow Place Road. Saat itu juga ia mencuri pandang beberapa saat terhadap siluet St. Margaret's Park yang berhadapan dengan Corstorphine High Street. Antonio mendengus keras dan tidak menjawab, seolah tidak ada gunanya mengeluh lagi.
Antonio memperhatikan sepanjang jalan. Ketika kereta telah melewati Haymarket Yards, ia sudah bisa melihat bangunan dengan tembok abu-abu tua. Pandangannya beralih lagi, terarah ke sekelilingnya. Seorang pria yang tampaknya punya status tinggi—dengan rambut silver yang keren, duduk di sebelahnya dengan membaca majalah Strand dengan ekspresi bak bangsawan, bersama seorang wanita yang tampaknya ketinggalan jaman, mengenakan pakaian gaya Cravat yang popular di era 1914. Seorang anak kecil berambut cokelat yang lucu dengan ekspresi cemberut—seolah-olah ia tengah merajuk pada orang tuanya—membuat Antonio tersenyum gemas melihatnya. Ada juga seorang wanita dengan rambut merah berpotongan pendek dengan mantel berbulu dan sepatu musim dinginnya yang tampak mahal. Antonio membandingkan sesaat wanita dengan sepatu musim dingin itu dengan Bella Netfmmel yang kini masih tertidur di bangkunya—seorang wanita biasa dengan pita hijau senada dengan iris matanya, mantel bewarna abu-abu yang usang dan panjang.
Antonio memandangi langit. Dirasakannya kereta mulai melambat. Pemberhentian selanjutnya di Haymarkets Station, Edinburgh. Ia memandang sejenak kepada Bella, hendak membangunkan. Namun ia mengurungkan niat. Belum sempat ia bangkit ketika pria di sampingnya berdiri secara mengejutkan bersama wanita bergaya Cravat; memilih turun di Haymarkets. Pemuda ikal berkebangsaan Spanyol itu terdiam dan akhirnya memilih tidak pergi. Mengurasi rasa bosannya, tanpa pandang bulu Antonio mencomot majalah Strand yang ditinggalkan orang tadi.
Kereta mulai berjalan kembali. 'Sebentar lagi semua ini selesai', Antonio membatin sembari membuka-buka halaman majalah, tapi entah kenapa ia terhenyak lagi. Ia mencuri pandang kearah Bella yang masih tertidur—pikiran-pikiran mulai terbentuk dalam benaknya. Perasannya tiba-tiba jadi tidak enak, ia mencoba memeranginya dengan berkutat pada deretan kata di majalah itu namun sesuatu seperti bergolak dalam perutnya. Membuatnya mual.
Ia akhirnya menutup majalah itu, memejamkan mata. Ia belum bisa mengatakan opininnya pada wanita itu. 'Pengecut! Pengecut!' suara kecil hatinya berkata mengejek. Namun ia tak peduli lagi. Segalanya terasa berat dan akhirnya menyusul wanita Belgia itu jatuh ke bawah mimpi.
Dalam mimpinya, Bella Netfmmel berada di dalam sebuah tempat luas dengan lantai air transparan yang menopang dirinya. Ruangan itu diterangi nyala lilin temaram yang menari di kegelapan. Ada deretan pintu mengelilnginya, menunggu untuk dibuka. Dengan ragu, atas dorongan sesuatu dalam batinnya ia membukai pintu satu persatu, namun semua tetap terkunci. Dimana pintu keluar?
Ia berdiri disisi kanan, pintu dengan gagang emas yang dingin—pintu dengan warna putih dan diukir dengan berseni, pintu itu terbuka. Ia melongok sejenak, untuk melihat apa isinya. Suara pintu yang terbuka itu berderit nyaring, di sana gelap dan setelah beberapa saat, ia membiasakan diri dalam kegelapan itu. Ia melihatnya, melihatnya—sesuatu yang nyaris membuatnya berteriak nyaring. Kakinya terasa lumpuh dan ia terjatuh—jatuh, jatuh dari permukaan lantai air itu. Air dingin membekukannya, seperti ingin mengabadikannya dalam kehampaan.
Dan Bella pun membelalakan mata secara mendadak, denyut jantungnya tidak karuan. Ia terbangun dari mimpinya sekarang, menyadari bahwa ia masih berada dalam kereta—siang mulai datang, bergulir di tengah musim dingin.
"Apa?"
Antonio mengucek-ucek matanya, terbangun di waktu yang hampir bersamaan dengan Bella, seolah tahu kalau wanita itu bermimpi buruk. Keduanya berpandangan sesaat sebelum akhirnya Antonio melanjutkan, "Kau menjerit…"
Bella mengangguk dan ternyum getir, "Hanya mimpi buruk..."
Wanita Belgia itu tidak ingin menceritakan mimpi buruknya. Tak ingin menceritakan apa yang dilihatnya.
Kereta mereka akhirnya sampai ke Lockerbie Railway Station di Dumfries and Galloway pada pukul satu siang. Keduanya keluar dari stasiun dan berjalan dari Bridge Street, lalu memutuskan untuk berbelok memasuki High Street dan makan siang di salah satu café disana. Tempat kecil itu ramai dikunjungi orang. Keduanya memilih tempat di pojok kiri yang masih kosong, memesan Sea Bass Fillets dan Steak and Ale Pie pada pelayan. Minuman mereka menyusul kemudian. Keduanya makan dengan tenang—sesekali diisi oleh obrolan pendek yang kikuk. Akhirnya setengah jam kemudian, Antonio keluar membeli tomat—cemilannya, dan berjalan-jalan sebentar, katanya. Bella mengangguk dan membayar makan siang mereka hari itu yang berkisar dua puluh pound.
Ketika Bella keluar, ia mendapati pengantarnya itu bersandar di dinding café, memandangi langit seolah berpikir sesuatu dengan cemas. Ia bertanya ada apa tapi pemuda itu seolah menolak menjawab dan memasukan sesuatu ke dalam mantelnya dengan terburu-buru. Ada sesuatu yang disembunyikan pemuda ikal itu.
Keduanya memasuki brougham yang menepi pada mereka, Bella mengatakan sesuatu pada sang kusir. Dan kereta itu melaju, melewati Mains Street. Bergerak ke selatan, menuju Brydekirk Village di mana terdapat River Annan yang dimaksud Bella. 'Ya, Tuhan, Mimpi buruk ini selesai juga' Antonio menghela nafas, setidaknya sekarang….
Antonio tak melanjutkan gumanan kelegaannya, ia lebih memilih memandangi pemandangan dari tempatnya. Sebuah pedesaan mulai terlihat dengan pepohonan yang tak berdaun, jalanan mulai terasa kasar. Sinar matahari menyembul sedikit dari balik awan, memberikan seberkas kehangatan di wajah pemuda dengan kulit terbakar itu. Brydekirk Village hanya berjarak beberapa mil dari pusat Dumfries and Galloway.
Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu, perasaan itu mulai berkumpul dalam hatinya—bagaikan partikel air pembentuk awan Columbus. Perasaan itu bergulung dalam relung hatinya, membuat perutnya melilit. Ia meringis samar dan mencuri pandang lagi ke arah wanita itu.
Ia mencoba menghilangkan perasaan itu—firasat buruk yang mengganggu. Ia harus percaya, percaya—
Pukul tiga sore dan keduanya turun di depan sebuah penginapan kecil dengan bangunan kayu sederhana. Papan nama penginapan itu sudah bewarna kusam, membuat tulisannya tidak begitu jelas. Keduanya masuk, memesan kamar yang berbeda di lantai dua. Keduanya berjalan beriringan, menaiki tangga yang sesekali berbunyi saat mereka menjejakan kaki. Melewati lorong dengan pintu-pintu di sisinya, beberapa lukisan terpajang di sana.
"Well, jadi semua ini selesai, yaa~"Antonio berkata riang sambil memasukan tangannya dalam saku mantel, Bella tidak menyahut dan terus berjalan beriringan dengan pemuda Spanyol tersebut. "Baiklah, aku anggap itu isyarat 'iya'. Aku hanya akan mengantarmu sampai—"
"Antonio."
Antonio menghentikan kata-katanya, menatap bingung wanita itu. Atmosfir mendadak jadi tak nyaman, keduanya terdiam sejenak. Berpandangan, mereka berhenti di tengah lorong dan dua iris yang memiliki warna yang sama bertemu di satu titik.
"Apa yang kamu sembunyikan?"
Dan halilintar seakan membelah Antonio. Hatinya mencelos, dan peluh dingin menetes dari pelipisnya. Sesaat kemudian ia akhirnya tersenyum tipis, menyamarkan keterkejutannya dengan topeng senyuman. "Apa yang kusembunyikan? Apa itu penting sekali bagimu?"
"Antonio, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu."
"Aku hanya mengantarmu, Bella."Antonio tersenyum terpaksa, "Kau tidak berhak memaksaku untuk mengatakan semuanya. Privasi."
Keduanya berpandangan, Antonio bisa merasakan pandangan tidak biasa Bella yang menusuk. Membuat dirinya tiba-tiba dilanda perasaan sedih dan bersalah—tidak, tidak, tidak seperti ini. Ia tidak ingin berkelahi lagi dengan wanita ini. Ia—ia—ia—
Tapi…
Wanita berlalu pergi, meninggalkan Antonio yang masih membatu di situ. Ia bisa melihat surai pirang sebahu milik sang wanita yang bergoyang cantik, tangan mulus itu memegang gagang kamar dan sesuatu menggerakan Antonio, ia berlari—mencoba menahan sang wanita untuk masuk ke kamarnya dahulu. Keduanya berpandangan sebelum akhirnya Antonio mendenguskan nafas berat.
"Fernando tidak ada di dunia ini, Bella."Antonio akhirnya mengakuinya. Keduanya berpandangan lagi dan akhirnya Bella dengan kasar menyingkirkan tangan pria itu. Masuk ke dalam kamarnya.
"Brengsek, kau."
Antonio menundukan kepalanya didepan pintu yang sudah menutup itu. Ia sudah mengatakan yang sebenarnya.
Antonio berjalan di sekitar High Street, menikmati udara segar di tengah perjalanan mereka itu. Ia masuk sebentar ke sebuah toko, membeli beberapa buah tomat untuk bekalnya. Menyerahkan beberpa penny kepada penjaga toko dan mengamati sekelilingnya. Pria tua itu menyerahkan kembalian dan sebelum pemuda Spanyol itu beranjak pergi. Ia mengobrol—membuka percakapan singkat mengenai daerah ini hingga akhirnya ia melemparkan topik utamanya. Sungai Annan.
Dan ketika tahu bahwa itu sungai biasa—bukan sungai seperti yang diceritakan Bella d mana dipenuhi willow-willow ataupun adanya tanda kehidupan. Sungai itu memang banyak didatangi, tempat yang bagus untuk memancing, tapi tidak ada yang mendiami, jelas penjaga toko yang rupanya dulu tinggal di Brydekirk Village. Antonio mulai merasa curiga terhadap Bella, tapi ia tak peduli. Itu urusannya, ia hanya mengantar. Apa pedulinya?
Ia membeli peta daerah setempat dan berjalan kembali menunggu wanita itu. Ia bersandar pada dinding café di luar, memandang langit. 'Apa maksudnya semua ini? Ya Tuhan—jangan katakan kalau kami salah arah.'
"Ada apa, Antonio?"
Bella tahu-tahu ada di sampingnya, seolah bisa membaca pikiran Antonio. Buru-buru dimasukannya peta itu dalam saku mantel. "Tidak ada apa-apa, ayo pergi."
Tapi diam-diam Antonio merasa khawatir. Apa ia harus bilang? Ia bahkan belum melontarkan opininya. Pengecut. Pengecut.
Sudahlah.
Antonio mencoba mengabaikannya. Ia tidak mau harus berargumen dengan wanita itu—dia bisa gila kalau bilang seperti itu, sumpah. Biarkan dia kembali dengan pikirannya—jangan ganggu. Barangkali memang suaminya mengarang-ngarang nama…
'Aku tidak punya nama.'
Arghh, apa yang dipikirkannya sih?Antonio mendengus kesal, membuang jauh-jauh kisah itu. Mungkin nama suami si Bella memang bukan Fernando—mungkin itu cuma nama samaran, penipu kelas kakap.
Wanita itu akan lebih gila lagi kalau Antonio membiarkan semua ini terjadi.
"Pasti ada kesalahan di sini—"Antonio berkata pelan, ia duduk di kasur kecilnya. Memandangi peta dengan rambut yang acak-acakan. "Mungkin cerita Bella mengada-ada. Secara logika."
Ya, memang secara logika tidak masuk akal. Sebuah sungai biasa di daerah Skotlandia, well, mungkin memang ada pohon willownya. Tapi sungai Annan bukan sungai yang ditumbuhi pohon willow semua. Itu kanbukan daerah konservasi willow. Barangkali pria yang ditemuinya adalah seorang penjelajah yang sedang berkemah, dan tampaknya Bella berlebihan soal suara-suara itu. Mungkin yang dimaksudnya adalah warga yang tengah berpesta. Dan bagaimana caranya ia terpisah dengan kelompoknya? Mungkin saja saat itu ada kabut tebal dan sungainya bercabang dua. Kalau skenarionya seperti itu cocok, apalagi jika keluarganya menentang hubungan itu. …Karena mungkin suaminya bukan orang berada seperti keluarga Netfmmel.
'Kenapa dia minta aku menemaninya sampai kemari? Karena aku mirip dengan suaminya dan dia sudah terpisah lama, kan? Dia ingin bersama suaminya karena rindu.' Antonio membatin sambil mengusap dagu. Benarkah? Benarkah seperti itu kisahnya? Bagaimana kalau prediksimu tidak tepat?
Suara dalam hatinya sukses membuat dirinya terdiam. Bagaimana kalau prediksimu tidak tepat? Bagaimana kalau kau salah perhitungan? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelanyutan dalam hatinya. Membuat perasaannya mendadak gelisah. Ia merebahkan dirinya diatas kasur, tertawa memandangi langit-langit. Tertawa sendiri dengan pemikirannya.
"Aku tidak percaya takhayul." katanya, berusaha menyingkirkan asumsi barusan jauh-jauh."Aku hidup dengan logika, ahahahaha. Tidak mungkin. Tidak mungkin."
Lagipula, ingat, Bella Netfmmel sedang mengandung anak pertamanya. Suaminya pasti ada, kan?
Antonio tertidur dalam posisi telentang dan akhirnya terbangun ketika jam menunjukan pukul setengah dua belas malam. Perutnya keroncongan dan badannya bau masam akibat belum mandi. Dengan cepat ia menanggalkan pakaiannya dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dipandanginya pantulan dirinya di cermin, seorang pria muda dengan dada bidang dipenuhi beragam luka sebelum akhirnya beralih ke bak mandi.
Ia tengah menikmati air hangat ketika merasakan sesuatu, suara langkah di lantai kayu yang berderit, langkah pelan dan lambat, …lambat sekali, menuruni tangga dengan berat. Malam sunyi membuat suara itu semacam pemecah keheningan. Hei, siapa yang mau keluar tengah malam di tengah pedesaan terpencil begini?
"Brengsek, kau."
Perkataan itu terngiang dikepala Antonio, membuatnya tersentak. "Ya Tuhan—jangan bilang kalau itu Bella!"
Dan tangan kanan Godfather itu segera bangkit dari bak mandi, bergegas berpakaian. Berbekal senjata dan beberapa pound, ia mengikuti langkah itu diam-diam. Langkah itu tiba di anak tangga paling bawah, ia bisa melihat siluet seorang wanita dengan terusan putih sampai mata kaki, perut buncitnya terlihat jelas. Rambut pirang yang familiar dimatanya. Antonio terkesiap ketika menyadari wanita itu berpaling, menatap tangga, seolah menyadari keberadaannya disana. Segera saja pemuda itu bersembunyi di balik dinding dekat tangga. Jantungnya berpacu. Wanita itu menatap dengan datar. Kulitnya tampak lebih pucat, sebuah senyum lebar terukir di wajahnya, matanya seperti melotot—mampu membuat siapapun merinding takut melihatnya.
Wanita itu gila. Gila.
Langkah itu kembali bergerak dengan irama lambatnya. Antonio menyingkirkan spekulasi itu. Persetan dengan semua itu. Ini tidak beres.
Memang sejak awal kisah ini aneh—begitu banyak hal yang aneh.
Sepanjang jalan Antonio berpikir dan terus berpikir, memikirkan semua ini. Mencoba menguak rahasia dari semua ini—tentang apa yang sebenarnya terjadi. Segalanya seperti bertentangan dan berputar-putar di kepalanya. Membuat langkahnya sempoyongan saat menyusuri jalan, mengikuti wanita itu diam-diam diantara malam dingin dan rumah-rumah yang telah menutup pintunya.
Ia hanya beberapa yard dari wanita yang kini telah bergerak, mengarungi sungai Annan dengan perahu kano, ada tasnya di sana. Antonio berlari untuk memanggilnya kembali namun secara mendadak kabut tebal muncul, seolah menghalanginya untuk mengejar wanita yang sudah berada dalam perjalannya. Antonio mengumpat-umpat di tepian sungai Annan, tempatnya berpijak.
"Brengsek, kau."
Bella mengucapkan itu dengan sebal, ia masuk ke kamarnya. Mengunci pintu dan bersandar di sana terduduk pasrah, air mata mendesak di pelupuk matanya. Ia mengigigit bibirnya menahan tangis. Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Kata 'kenapa' berputar dalam alam pikirnya. Kenapa semuanya… kenapa semuanya selalu mengejeknya? Kenapa mereka selalu mengatai suaminya? Ia sudah punya kehidupan sendiri dan mereka tidak berhak mengata-ngatai itu. Mereka tidak berhak mengatai—apalagi sampai mengatakan bahwa suaminya ganjil. 'Tidak, tidak! Itu tidak benar. Semua ini nyata, aku, Fernando dan anakku.'
Ia merasakan gerakan dalam perutnya; janinnya, hasil antara dirinya, Bella dan Fernando. Antonio ternyata sama saja dengan yang lain. Pada akhirnya orang itu akan seperti yang lain.
…..
…
Bella memandang kebelakang, sosok yang mengejarnya telah menghilang. Dengan cepat ia mendayung perahu kano yang ia beli pada penduduk setempat, menembus malam yang dingin. Ia tersenyum dan memejamkan mata, mencoba menikmati segalanya. Aku kembali. Aku kembali. Fernando, kau dengar aku?
"Bella, kurasa suamimu itu—"
Mendadak Bella membeliakan matanya. Perkataan yang dibencinya. Kenapa orang-orang terus menerus berkata tidak baik soal suaminya? Hanya karena ia bertemu di pohon willow bukan berarti suaminya—
"Ahahaha." Bella tertawa, menyudahi pikiran itu. "Kenapa aku harus memikirkannya? Tidak ada yang perlu di khawatirkan, semua sudah lenyap."
...
Jeritan melengking terdengar, Bella menatap bengis wanita dengan kostum hijau yang tampak manis itu. Ia memperlebar robekan mulut itu, "Menyebalkan! Aku benci! Aku benci! Jangan mengatakan itu—kenapa, kenapa!"
ARGGHHH!
Wanita itu menjerit, ketika akhirnya pisau itu berhenti memperlebar mulutnya. Kesakitan, darah mengalir deras membasahi lantai. Ia memandang takut kawannya yang seperti kerasukan itu, menganiaya dirinya. Berikutnya Bella membawa pemukul besi, menumbuk wajah itu. Tak peduli bahwa pemiliknya menjerit semakin nyaring—tulang-tulangnya remuk, hidung patah, mata yang menyembul keluar. Pukulan bertubi-tubi itu membuat wajah manis sang kawan menjadi hancur lebur tak berbentuk jelas—nafasnya mulai melemah, detak jantung yang semakin memudar. Dan sebagai pelengkap Bella merobek perut—yang juga membuncit seperti dirinya, mengorek keluar dengan brutal. Deg. Denyut jantung berhenti sampai di situ dan Bella hanya tertawa riang, seolah-olah ini adalah lelucon baginya.
Ia mengiris jalinan usus yang panjang dan licin itu, ia terlihat gembira—sesuatu seakan memasukinya, membisikan di daun telinganya, mendorong emosi itu…
"Suamiku itu nyata! Dia nyata! Aku punya anaknya!" Dia berteriak kegirangan, "Hahaha! Tentu saja! Fernando bukan orang seperti yang kamu bilang!"
…..
…
Sebuah pembunuhan brutal terjadi disebuah kediaman mewah dini hari, diawali oleh keluhan tetangga yang mencium bau anyir menggelikan dari balik pintu apartemen korban. Pihak kepolisian yang menyelidiki…
..
Sebuah pembantaian berantai yang terjadi dalam sebuah keluarga besar Netfmmel…
..
Tewasnya seorang gadis muda pewaris perusahaan dagang yang memiliki pengaruh kuat di Nagasaki…
..
Pembunuhan…
..
…bunuh…
…..
"Tidak ada lagi yang akan memprotes hubunganku, tidak akan ada—" Ia tersenyum tipis, memandangi sekelilingnya dengan tenang. Keheningan mengisi jeda, sebentar lagi ia mungkin akan melahirkan. Ia akan melahirkan bayi lucu, dan mungkin juga akan setampan Fernando.
Namun tiba-tiba dia menyadari sesuatu, dia menolehkan kepala ke beberapa arah. Ia mulai memandang cemas sekelilingnya, tepat seperti saat pertama kalinya ke sini.
"Fernando?"
Namun tak ada yang menjawab, segalanya bisu.
"Bella! Bella!"
Antonio memanggil nama wanita itu, ia mengarungi sungai itu dengan menggunakan perahu kano yang tak jauh dari tempatnya tadi. Ia harus mengejar wanita itu, jika tidak, nyawanya bisa saja terancam, atau mungkin sekali wanita itu akan menjadi gila dan membahayakan dirinya sendiri.
Ia tidak tahu pasti apa yang mendorong hatinya untuk menyusul wanita Belgia itu. Yang pasti, firasat buruk itu menggulung, mengencangkan dirinya dalam sanubari, membuat Antonio mulai memandang paranoid sekelilingnya. Ia meneriak-neriakan nama Bella lagi. Ia merasa… sesuatu akan terjadi.
Dalam kesunyian melanda, Antonio memandang sekelilingnya; sungai yang dipenuhi willow. Angin berhembus, membuat deretan willow itu seakan berbisik. Berbisik ditengah kelamnya malam.
Tunggu dulu, bukannya sungai Annan itu…
Ada sebuah cerita kuno.
Bella menepikan perahunya di tepian, ia memandangi sekelilingnya dengan tautan alis dalam. Dimana ini? Dimana suaminya?
Ia menyalakan lentera. Cahaya memerangi kumparan kegelapan yang bergelora di sana. Cahayanya bergoyang-goyang, membentuk rupa wajah wanita itu menjadi siluet dalam gelap. Ia terus berjalan, mencari suaminya. Ia sudah pulang sekarang, halo? …Halo? Ada seseorang disana?
Tentang Willow.
Gadis itu terduduk di atas tempat tidur dengan permukaan kasar. Memekik, matanya berair. Ia mendongak kearah pria dengan dada telanjang.
"Kau tidak akan bisa pulang."
"Tidak!" Gadis itu menjawab dengan tegas, "Aku, aku akan pulang. Secepatnya, Fernando—"
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi gadis itu, membuatnya terhenyak sejenak. Bulir air mata menetes perlahan, dan dengan secepat kilat tangan itu menarik pakaiannya—membuat pakaian warna putih susu milik gadis Belgia robek.
"Fe-Fernando—JANGAN! Jangan, kumohon!"Bella memohon dengan ketakutan. Ia bisa melihat iris mata itu menggelap dalam nafsu. Tak ada yang lebih menakutkan ketimbang saat kehormatan akan diambil secara paksa. "Ja-jangan—hiks, hiks."
Namun perkataannya seolah tak berarti apa-apa, tangan kanan itu mengunci kedua pergelangan tangannya yang kecil, Fernando melumat bibir Bella—dua lidah berpaut, lidah itu bergerak, mengabsen deretan gigi rapi milik gadis tersebut. keduanya mengambil pasokan udara—memberi jeda sejenak yang kemudian segera berlanjut kembali, semakin memperdalam ciuman itu.
"Aku—"
"Tidak—Fernando, jangan—jangan—AHH!"
Bella mengeliat, menjerit namun segera ditahannya. Darahnya terasa berdesir hangat, Fernando mulai menggigit jenjang lehernya yang putih, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Dirasakannya tangannya semakin terkunci lebih erat. Disana langit bergulung kembali—gelap, hujan mulai turun, menyamarkan suara lengkingannya.
"Tidak—Antonio, AHH— ."Bella mulai melemah, tak berdaya dengan tenaga pemuda yang semakin beringas
Sebuah dunia,
yang tak tersentuh.
Antonio semakin waspada, iris emerald-nya terarah ke berbagai sudut. Suaranya bergaung di udara dan hawa dingin menusuk dirinya. Angin berdesir, membuat para willow berbisik seperti tertawa dalam lingkaran malam. Revolver-nya telah siap siaga akan segala kemungkinan, pandangannya mencoba meraba dalam gelap. Alam disekelilingnya menampilkan kesan liar—kesan yang tidak tersentuh.
Apa maksud semua ini?
Sebuah dunia…
Ahn—ARGHH!
Gadis itu kembali melontarkan lengkingannya. Tubuh kekar itu menindihnya—dengan kokoh. Seolah perlawanan Bella, dengan cakaran dan pukulan itu tak berarti baginya. Kini keduanya bergelut—
"Aku tidak bisa membiarkanmu pulang—aku—"
Bella meneteskan air mata, tak berdaya terasa panas saat cuping telinganya di gigit secara lembut oleh sang pemuda yang mendominasi dirinya
"Te—Amo—"
…yang tak seharusnya terusik.
"Fernando? Fernando!"
Wanita itu berlari membabi buta dalam bentang pepohonan yang menjulang. Dimana ini? Dimana Fernando yang kusayang? Dimana suaminya? Dimana? Dimana?
…
"Bella, apa suamimu itu benar-benar ada?"
…
"TIDAAK!"
Ia menjerit. Suara-suara itu kembali bergelut dalam dirinya. Ia jatuh, terduduk di permukaan tanah yang lembek. Ia menangis dibawah pohon tua, menangis sejadi-jadinya. Suaminya ada. Suaminya bukan khayalan. Suaminya bukan setan. Suaminya nyata, nyata, nyata! Kenapa semuanya meragukan keberadaan suaminya? Ia—ia—ia mengandung anaknya. Air matanya mengalir deras, ia tersesat, tersesat—dimana suaminya? Fernando? Fernando?
…
…
"KAMI TIDAK AKAN MENGAKUIMU! DEMI TUHAN! AKU BERSUMPAH! AKU BERSUMPAH—KAMU DAN DIA—"
"SETAN! SETAN! Penzina! Pendosa!"
"TIDAAK!"
CTAR
Dan petir menggelegar di malam hari, membuat hati Bella menciut takut. Ia menangis lagi, tak peduli tenggorokannya yang mulai sakit. Ia meringis, tersenyum getir dalam hujan…
….
"Fernando tidak ada di dunia ini, Bella."
"Tidak ada, tidak ada, mungkin anda hanya—"
"Bella sayang, apa kau yakin dirimu mengandung?"
Bella menggigit bibirnya, menunduk. Apa maksudnya semua ini? Suaminya tentu ada! Dia, dia, dia…
"ARRGGHHH!"
Sebuah misteri….
Wanita itu memandang bayi mungil yang tertidur dengan sedih, iris emerlad itu telah menutup. Seorang pemuda dengan emerald yang mirip dengan si kecil berdiri di dekatnya, tak lama wanita itu menangis. Air matanya mengalir deras, perawat itu memandang sendu, meletakan tangan kirinya di punggung wanita tersebut. Mencoba menenangkan dengan rasa simpati.
"Anakku—kemana 'anak'ku yang satu lagi? Kenapa hanya dia? Kenapa?"
Pemuda tampan dengan surai rambut berantakan yang ikal tak mampu menjawab pertanyaan sosok paruh baya didekatnya, ia hanya menatap adiknya, si kecil yang manis dengan senyuman yang manis. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya ia tak mampu mengerti dengan akal sehat akan fenomena itu, fenomena adiknya yang seharusnya—
"Sudahlah, Ibu. Tidak ada gunanya menangis terus, Antonio kecil kita bisa—"
"TIDAK! TIDAK—"
Wanita itu menangis tersedu dan sebagai kakak Antonio kecil, Regue Fernandez Carriedo tak bisa berkata apa-apa selain mencoba menenangkan ibunya, "Ibu—ibu, sadarlah, semua ini—"
"ANAKKU—'ANTONIO'KU YANG SATU LAGI—"Sang ibu menjerit, membuat bayi mungil yang diberi nama Antonio Fernandez Carriedo itu menangis, terkejut akan suara tangis ibunya. Seolah-olah sedih mendengar ibunya yang terus-menerus menangisi kembarannya yang hilang, hilang saat bersamanya dalam janin hangat perempuan. Mengkhawatirkan sementara dirinya juga perlu kasih sayang yang sama, memerlukan perhatian yang sama—ia tidak perlu tangis sesal itu…
….
..
Dalam diri Antonio, ada sebuah mimpi buruk—mimpi buruk dari penggalan masa lalunya yang selalu terulang ketika tertidur. Ia melihatnya. Darah. Darah terduduk di lantai. Bersandar pada kaki ranjang, nafasnya tersengal—ia memandang takut sosok itu. Sosok yang berdiri menjulang di depannya, berdiri dengan tatapan kegilaan yang menyengat punggung Antonio.
"Kenapa kau ada di dunia ini, ya? Hah..hah...dimana saudaramu? Dimana 'Antonio'ku yang lain?kenapa kau tidak lenyap juga sekalian, Antonio…"
Kenapa—kenapa—
Sesuatu bergolak dalam diri Antonio, instingnya bermain tajam, meliuk melewati pembuluh darah. Memacu adrenalinnya. Tidak, jangan lakukan itu—TIDAK! Ia harus melakukannya sekarang! Sekarang!
…
Tangan itu berusaha mencengkramnya, jari-jari kurus itu tampak menyeramkan dan Antonio yang kini berusia sekitar 10 tahun itu berlari menghindar, berkelit dari tangkapan orang di depannya. Berlari secepat yang ia bisa, berlari ke arah dapur. Orang itu mengejarnya, "Berhenti, bocah sialan!"
Tapi Antonio tak mendengarkan, ia keburu berlari—menyelamatkan dirinya dari cengkraman wanita itu, berpacu dengan waktu…berpacu…berpacu…pertanyaan-pertanyaan itu mengitari benaknya, pertanyaan yang telah tercipta dalam masa kanak-kanaknya, kak Regue—tolong, tolong aku…
'Salahkah aku hidup di dunia ini?'
'Salahkah aku jika bernafas tanpanya—tanpa dirinya, dia yang bahkan tak pernah kulihat wajahnya?'
Wajah yang tak pernah kusapa…tak pernah kutanyakan siapa gerangannya?
Sebuah rahasia….
Apa maksud semua ini? Pikirkan itu, Antonio! Pikirkan!
Antonio mengusap dagunya, matanya menerawang ke dalam kegelapan. Berusaha mencari jawaban atas semua ini. Pasti ada logika—pasti ada logika selain asumsi tak rasional itu. Sumpah, ia…
Tunggu.
Sungai Annan—hutan willow—terpisah sendirian—orang dengan pakaian hitam—tak bisa pulang—wajah yang mirip—kembaran—ibu—anak—pertentangan—keraguan—
…..
"Antonio, apa kamu percaya dengan yang namanya Parallel World?"
Pemuda yang dipanggil memandang dengan lirikan sinis kepada kawannya yang mengenakan pakaian golf dengan celana tanggung. Ia meneguk Wray & Nephew, memandang sejenak hidangan makan malam yang disiapkan oleh partnernya di kebun Citronella bagian belakang villa milik partnernya di sebuah pegunungan. Lilin bersinar dalam bara api kecilnya di tengah meja.
"Eh? Apa maksudmu?"
Partnernya tertawa, "Ah, masa' kau tidak tahu?" katanya,sembari meneguk anggurnya dengan anggun. "Itu adalah dunia lain."
"Takhayul?"
"Memang," Orang itu tersenyum lebar, "Banyak sekali gossip mengenai itu. Katanya ada beberapa pintu gerbangnya di seluruh penjuru dunia. Tempat yang menjadi penghubung…"
PLAK
Antonio menampar pipinya sendiri. Ya Tuhan—ia menggelengkan kepala. Jadi maksudnya adalah Sungai Annan merupakan penghubung dengan Parallel World? Lalu Bella tanpa sadar memasukinya, membentuk keluarga, mengandung anak dan suaminya adalah—
Kembarannya yang hilang?
"Ahahahahaha!"
Antonio tertawa terbahak-bahak, kini segalanya terlihat jelas. "Ya ampun, konyol sekali skenario itu." Ia nyengir dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, "Aku tidak akan percaya—pada hal seperti itu. Sumpah, mana mungkin ada yang seperti itu!"
Dibalik sutra tipis pemisahnya…
Adakah kau dengar?
JLEB
Wanita itu menusukan sebilah belati ke perutnya yang membuncit. Ia menatap aliran darah itu dengan kerutan dahi yang dalam. Ada amarah yang berkobar dalam dirinya. Bisikan-bisikan itu semakin membumbung tinggi dalam hatinya, bisikan yang menjerat—membuatnya kehilangan akal sehat. Ia menusukan belati itu semakin dalam, tak peduli rasa sakit yang mulai menggerogoti jiwanya. Membuatnya meringis, berbaur dalam tetesan air mata.
Kalau seandainya suaminya sungguh tak ada... lalu apa yang ada didalam dirinya ini?
Ia menggigit bibirnya, perutnya terasa sakit—sakit yang sangat hebat. Ada sebuah pergerakan samar di dalamnya, membuatnya menjerit kuat sedari tadi mencoba menahan rasa sakit yang akhirnya semakin menjadi-jadi. Ia melirik belati yang menyembul dari balik tasnya yang terjatuh tak jauh darinya. Ia mulai, mengiris permukaan kulit itu—menusuk dengan membabi buta. Kekecewaan dan rasa takut menggerogoti dirinya.
Apa yang kau kandung, Bella?
Apa yang ada di dalam perutmu?
"ARRGHHH!"
Bella berteriak, mencoba menghancurkan suara-suara itu. Ia menangis, rasa sakit bergulung di relung waktu. Rasa perih. Apa yang sudah ia lakukan? Ia hanya bisa menangis, meratapi kesalahan fatalnya. Kebodohannya. Ia bodoh. Ia bodoh. Bodoh.
Sesuatu kembali bergemuruh dalam dirinya, entah apa, membuatnya semakin memperdalam tusukan itu—membelah dirinya sendiri. Rasa sakit hebat membuat pandangannya semakin berkunang-kunang, pakaian putihnya mulai berubah warna menjadi merah pekat, hitam. Darah menetes, membuatnya nyaris kehilangan tenaga. Ia menghempaskan belati itu ke tanah. Memandangi tangannya yang berlumuran darahnya sendiri, bau anyir menyengat hidungnya. Ia gemetar hebat. Wajahnya semakin pucat dan sedetik kemudian tangannya beralih ke tempat lain. Ia mencoba duduk, membuka kakinya. Gerakan itu semakin kuat dalam dirinya. Seolah sesuatu tengah memberontak—apa itu dia? Itukah dia?
Perutnya mulas, leher rahimnya mulai terbuka dan tanda-tanda akan melahirkan sudah muncul, usia kandungannya sudah berbulan lamanya. Selama itu pula ia berjuang setengah mati dan mendapat akhir yang tak pernah ada dalam otaknya. Berangan-angan membangun keluarga bahagia, berbulan-bulan mengobarkan hidupnya sendiri, mengotori tangannya sendiri, meneteskan peluh keringat hanya untuk mendapatkan sebuah kenyataan pahit bahwa pendamping hidupnya itu bukanlah bagian dari dunianya—bukan… bukan... bukan manusia?
ARGGGHH
…Adakah engkau lihat?
Desah-desahan itu berkejaran dalam waktu, sentuhan—permainan dalam bara sang nafsu. Hujan seolah tak mampu meredamnya, sekalipun dengan gelegar guntur dan gemuruh angin. Jari jemari berpaut, dua insan tergabung—dua hal yang berbeda, bagaikan langit dan bumi, dunia yang berbeda, dimensi yang berbeda, kodrat yang telah tergaris tegas oleh Tuhan. Berpadu—tak lekang oleh sang waktu, tak memandang apa yang dipijaknya, terjerumus pada hasrat. Bella semakin menggelinjang tak kala payudaranya yang penuh itu diremasnya, dalam birama nafsu. Keduanya bergelut, bergesekan—naik turun, membuat dua insan itu mengerang nikmat…
…Dirinya?
"Arghh—"
Bella tersengal-sengal, tangannya gemetar. Rasa sakit menjalar begitu kuat, membuatnya merintih sakit. Ia bisa merasakan sesuatu merangkak dalam rahimnya—seolah-olah bayi itu ingin cepat keluar, melarikan diri, menghindari kegilaan ibunya yang bisa menyeretnya kembali kedalam ketiadaan. Tapi ia terlanjur benci, terlanjur muak, terlanjur bosan dengan segalanya. Ia tak peduli lagi—ia berjuang setengah mati untuk kembali ke sini hanya untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Tunggu, menghancurkan?
Wanita Belgia itu tak punya banyak waktu lagi, ia ingin segera mengakhiri semua ini—ia harus melenyapkan itu. Menghancurkannya—hancur—hancur. Dan sebuah irisan menganga di perutnya—ia membukanya dengan tangannya, membuka dengan paksa. Merobek dirinya sendiri…
Yang berada dalam kegelapan itu?
Sesuatu bergerak di antara pepohonan willow. Antonio menatap waspada, kini ia tak segan lagi menodongkan revolver-nya, berdiri dalam posisi siaga. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang seperti—
Berjalan sendiri,
Sosok itu berjalan tanpa alas kaki, berjalan dengan tenang. Mengamati diantara willow-willow, sebuah perahu kano melintas dengan seorang pria yang mengacungkan sebuah benda aneh dengan warna silver disana. Ia tersenyum, ia telah melihat semuanya—semuanya, antara wanita itu dengan pria disana. Ia tahu, ia tahu apa yang akan dilakukan…
…tersenyum, namun tak terbalas.
Ahn—ukh—
Gerakan itu semakin cepat membuat sang wanita mengeliat, bibir kembali berpautan. Dalam puncak klimaks, bergerak agresif untuk malam ini...dimana bara nafsu dan gairah tak mampu tertahankan oleh akal…
…Menunggu, namun tak sampai.
JLEB
JLEB
JLEB
Pisau itu bergerak, dengan membabi buta di malam yang penuh lengkingan. Air mata mengalir deras dari pipi sang wanita. Menghancurkan segalanya, menusuk tubuh itu tanpa belah kasih—
Sudahkah engkau melihatnya?
.TAP
ARGHHHH!
"Bella! Bella"
Waktu berpacu dengan kecepatan, suara itu terdengar menyakitkan dan Antonio, berlari menerobos pepohonan willow yang berdiri menjulang, bergesekan, menimbulkan bunyi desis di tengah malam yang suram.
Bermain dalam kesunyian.
Hah—Hah—Hah
Dalam rahasia.
TAP TAP TAP
"BELLAAA!"
Dalam kegelapan.
Belati itu membabi buta, wanita itu menarik ususnya yang panjang itu, menghancurkan bagian dalam dirinya sendiri. Suaranya habis, pita suaranya seakan putus namun rasa sakit itu seakan mencambuk dirinya semakin kuat. Membuatnya menyumpalkan mulutnya dengan deretan usus yang panjang itu, menahan rasa sakit. Hawa dingin berbaur dengan bau anyir darah yang menyengat lebih kuat. Ia harus menghancurkan—menghancurkannya, walau itu artinya ia akan menghancurkan dirinya sendiri…
Fernando memasukan dirinya lebih dalam, sebuah sentaka yang membuat Bella menjerit sejadi-jadinya, meneriakan nama sang pria. Keduanya bersatu. Keheningan tercipta dan tubuh sang pria ambruk, kepalanya terkulai di bahu wanita Belgia yang masih dalam posisi duduk lemas. Nafas mereka masih memburu dalam gelapnya malam. Air mata kembali menetes, mengalir di pipinya yang menggerakan tangannya yang gemetar untuk memeluk tubuh yang kelelahan itu. Bebagi kehangatan—
Biarkan waktu berhenti sekarang—
"Bel—"
Ceracauan tak jelas Fernando tertangkap. Wanita cantik tersebut menatap nanar, mencium dahi sang pria yang basah oleh keringat. Mengelus lembut helaian rambut cokelat gelap itu—entah apa itu artinya ia memaafkan sang pria?
"Jangan tinggalkan aku—"
Bella terdiam, tak menjawab, memilih untuk memejamkan mata. Apa ia harus menurut? Ia tak tahu—ia tak tahu—
"Kita—akan sela—lu bersa—"
Melingkar dalam mimpi buruk.
Ada sebuah dunia yang tidak kita ketahui.
Antonio mulai berjalan, menyusuri hutan willow itu. Mencari wanita itu dalam kegelapan dengan harap-harap cemas. Arloji menunjukan sudah pukul tiga pagi dan ia hanya punya waktu sedikit. Ia khawatir terhadap wanita itu. Dan teriakan apa yang tadi? Teriakan Bella? Tampaknya iya. Lantas, dimana?
Sebuah dunia yang berjalan beriringan dengan kita
Suara gong itu terdengar samar—memecah perhatian Antonio. Ia menolehkan kepala. Berikutnya suara keramaian yang tak memperlihatkan wujudnya. Ia mulai kebingungan—willow-willow di sekelilingnya seakan tertawa, menertawakan dirinya yang tersesat.
Yang menyimpan rahasianya sendiri
Sesuatu melompat, melewatinya. Antonio mengejarnya, terus menerus dengan instingnya. Meninggalkan perahunya semakin jauh. Siapa itu? Siapa itu?
Hutan willow itu seakan tak berujung—mengurungnya. Ia kehabisan tenaga. Ambruk tanpa daya diatas permukaan tanah gelap. Matanya mulai mengabur, nafasnya terasa habis, sampai akhirnya suatu sosok muncul diantara willow. Hanya berjarak beberapa yard darinya.
Sosok itu menampilkan senyum lebar, membuat pemuda Spanyol berjengit. Menatap wajah pucat.
Iris emerland yang mirip dengannya, …mengambang dalam kegelapan.
Tertawa dalam permainannya.
Sosok itu tersenyum dan berlalu pergi, melangkah pasti kesebuah tempat di utara. Willow-wilow itu segera berganti dengan ajaib dengan aneka pepohonan yang tak berdaun, hawa dingin merasukinya. Namun ia seakan tidak merasakannya. Ia melangkah pasti tanpa terdengar—seolah-olah bobotnya ringan sekali. Ia seperti bisa melihat semuanya dengan jelas. Ia melangkah dan terus melangkah, langkahnya terhenti di depan sebuah onggokan mayat yang terduduk, dengan isi perut terburai secara liar. Sesuatu muncul dari lubang besar itu, sosok kecil dengan gigi taring mengerikan. Berlumuran darah menatap sosok yang baru datang itu, sambil menggigiti daging-daging ia tersenyum samar.
Jubah hitam terbuka, memperlihatkan sosok Fernando secara jelas. Ia tersenyum angkuh, mengangkat sosok mungil itu lalu memandangi sejenak sosok mayat wanita yang masih menggenggam belati dengan erat. Sosok pucat dengan kepala menunduk.
Fernando menggendong buah hati kecilnya, berjalan kembali—menembus kegelapan. Kabut tebal datang, seolah menutupi kepergiannya,menutupi segala yang terjadi dan kembali kesebuah tempat disana…
Adakah engkau merasakannya?
Greenwich 1950, London.
"DOOR!"
Lagi-lagi pemuda albino berkebangsaan Jerman mengagetkannya, membuat sang Italia itu tersentak—kertas-kertasnya berhamburan disana-sini. Ia bercaci maki sembari memunguti kertas ketikan itu, dan Gilbert Beilschmidt tersenyum riang, "Naah, sesuai dugaanku yang awesome ini," katanya yang membuat pemuda tsundere dihadapannya mendelik kesal, "kau memang sedang menulis sebuah cerita!"
"Arrrghh!" Lovino frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan tangan kiri yang tidak memegang apapun sebelumnya. "Potato bastard, jangan ngomong begitu!" Ia membentak dengan semburat malu, kesal lantaran untuk kesekian kalinya ia diganggui oleh makhluk tak diundang yang gentayangan di markasnya dan juga…karena pekerjaannya yang satu itu terbongkar oleh orang hiperaktif yang tinggi hati menganggap dirinya 'awesome' tersebut.
"Kesesese~, aku memang sudah merasa aneh dengan sikapmu yang tidak awesome belakangan ini." Gilbert berkomentar dengan cengiran polos bak anak kecil yang membuat Lovino mengelus-ngelus dada, bersumpah akan sungguh-sungguh minta Arthur—atau Lukas untuk mengusir makhluk ini dengan sihir, agar jauh-jauh darinya. "Eh, aku liat dong ending-nya gimana sih?"
Pertanyaan Gilbert barusan sontak membuat pemuda Italia dengan kriwilan mencolok di rambutnya itu berkedut kesal, "Potato bastard! Ternyata kau diam-diam membaca karyaku!" Lovino kembali mengeluarkan caci makinya, mengejar-ngejar pemuda Jerman yang kini memegang beberapa lembar kisahnya itu, "Chigii—!kembalikan kertasku, damn it!"
"Bentar, apakah kisah tak awesome ini benar-benar terjadi, tomate? Ne,ne, benarkah?"
"Mana kutahu, potato bastard! Aku kan cuma melihat kasus lama! Bella Netfmmel dan Antonio Fernandez Carriedo memang hilang puluhan tahun yang lalu, tapi aku tidak tahu apakah mereka mat—HOI! KEMBALIKAN KERTASKU!"
Itu hanyalah kisah—kisah fiksi biasa, untuk waktu senggangnya yang sempit. Hanya kisah kacangan dari seorang personel kepolisian yang tak berbakat untuk membuat kisah, ia bukanlah bertinta emas yang bisa menghasilkan maha karya yang membuat orang terharu. Bukan untuk publitas, untuknya pribadi—yah, pribadi.
"AH!"
Lovino menhentikan langkahnya, menatap pemuda Jerman yang tengah mengangkat tinggi-tinggi kertasnya, membaca lembar terakhir dalam kisah tak mutu itu. Alisnya saling bertautan, "Loh, ending-nya kok gini?"
"Memangnya kenapa, potato bastard? Terserah aku, dong mau nulis gimana—"
"Jadi si Antonio terkurung gitu, ya?"Gilbert berkata dengan menunjukan rasa kekecewaan, "Yaah, nggak awesome dong, lagian ini kaya'nya brutal, ya. Ternyata menyerahkan kisah kriminal ditangan pemuda bermulut kasar sepertimu memang—"
"HOI! Apa maksudmu itu, hah?"
"…dan ngomong-ngomong."Gilbert berhenti sebentar, tampak berpikir sejenak lalu mencari lembaran kertas lain dari kisah yang diketik sampai tengah malam oleh pemuda Italia itu, "Tambahan kata-kata awesome milikku itu keren, kan?"
"APA?" Lovino terbelalak, terkejut oleh pernyataan itu. Dengan cepat ia merebut lembaran kertas yang kini telah dipegang Gilbert Beilschmidt, membolak-balikan kertasnya mencari yang dimaksud oleh sang pemuda Jerman itu, "Damn it, pelecehan ini namanya! Nggak terima! Nggak—"
…Pandangannya beralih lagi, terarah ke sekelilingnya. Seorang pria yang tampaknya punya status tinggi—dengan rambut silver yang keren, duduk di sebelahnya dengan membaca majalah Strand dengan ekspresi bak bangsawan, bersama seorang wanita yang tampaknya ketinggalan jaman, mengenakan pakaian gaya Cravat yang popular di era 1914. Ada juga seorang wanita dengan rambut merah berpotongan pendek dengan mantel berbulu dan sepatu musim dinginnya yang tampak mahal. Seorang anak kecil berambut cokelat yang lucu dengan ekspresi cemberut, seolah-olah ia tengah merajuk pada orang tuanya…
"Heh?"
"Tuh, kan." Gilbert akhirnya menunjuk dimana dia menambahkan kata-kata awesome-nya, "Kereen, kan? Orangnya mirip aku yang awesome ini." Jelas sang pemilik Gilbird itu, menunjukan bagian pria status tinggi dengan rambut silver tersebut.
"Dan anak kecil rambut cokelat yang cemberut itu mirip denganmu, yaa~ Kesesese~"
Namun pemuda berkebangsaan Italia, kakak dari model ternama yang sedang naik daun itu tak menyahut apapun. Matanya terbelalak dan hawa-hawa tak menyenangkan keluar darinya. Membuat pemuda usil yang masih belia itu meluntur senyum jahilnya mengedipkan mata.
"Hei—halo? Lovi? Lovi?"
"…."
"Hei, Tomate? Jangan marah gitu dong—"
"…"
Berikutnya, sebuah perkelahian khas diantara dua kawan itu terjadi; kejar-kejaran ala India dalam flat kecil, flat yang sepi ditengah liburan musim dingin…. Lovino bersumpah ia akan segera mengambil cuti panjang setelah kasus yang membuatnya insomnia beberapa minggu di kantor itu ditutup beberapa minggu lalu, berakhir dengan sebuah sidang sensasional di pengadilan yang membuat telinga pers membuka lebar.
Sebentar, mari kita akhiri kisah ini dulu. Biarkan pemuda tsundere itu memberi pelajaran pada kawannya yang tak tahu malu dan seenak jidat ikut campur dalam kisah fiksinya.
THE END
Yeps, jadilah fiksi didalam fiksi!*tebarconfetti#ditabok.
Bentar, mari kita mulai sesi Q & A terlebih dahulu….
Q : Kartini itu OC!Indonesia?
A:Yup, lebih tepatnya namanya adalah Kartini Ayu Lestari OC!Indonesia punya Kalua-Zeruk di Asean-Tan(buat yang nggak tahu, just google it!)
Q:Regue itu Portugis?
A:Iya, daku ambil dari PortuGUEse REpublic. Tinggal diputer dikit jadi Regue, muahahahahaha!#dibom
Q: Siapa itu Fernando? OC atau apa'an?
A:Yang pasti bukan nama penghuni kebun binatang/noel/yeppy, dia adalah…dark!Spain alias Pirate!Spain, abstrak, ya? Pairnya malah jadi SpainBelgiePirate!Spain, jangan amuk massa saya*peace*
Q:Ini nama keluarga Neth kok gaje sih? Dari kamus planet mana di pake?
A:OI! Ini pertanyaan dari mana nih? Well, Etherland diambil dari kata NEtherland, Luxie dari Luxembourg dan Bella dari Belgium. Dan kalau anda bertanya dari mana daku dapet nama keluarganya, gampang, Netfmmel itu diambil dari kata NETHerland dan Himmel(bahasa Jerman)*ditampol*
Q: Jadi ceritanya ini buatan Lovi yang terinspiransi dari kasus-kasus lama?
A:Loh bukannya udah ada, ya? Tapi sekalian buat memperjelas deh : Lovi memang terinspiransi dari kasus-kasus lama. Ditambah lagi dengan kasus pembunuhan yang dia usut waktu itu—dimana korbannya adalah orang Belgia yang hampir mirip. Setelah dia cari-cari mengenai orang hilang, dia menemukan data bahwa seseorang bernama Antonio dan Bella menghilang pada tahun sekian dan tidak ditemukan. Jadi deh, si maniak tomat ini bikin begituan—soal willownya pun dia ngarang-ngarang aja. Yaah, namanya juga karya abalan kurang kerjaan*ditendang*
Q:Boleh minta nomor Hape?
A: Nah, ini pertanyaan siapa neh? Sesi Q & A sudah selesai. Bubar, bubar! Eh? Masih ada? Yang masih mau, nanyanya di belakang stage aja(baca:kotak review)
+[ Reich Private Corner]+
Play : Корни - Хочешь, я тебе спою
Yosh! Daku kembali lagi setelah hiatus lamaa~! Ada yang merindukan saya?*plak* oke, oke, masih di rated dan genre yang sama, kembali menyuguhkan sebuah fict baru yang entah kenapa makin jumpalitan ._. semoga anda sekalian dapat menikmatinya. Endingnya nge-freak abis ya? Saya sendiri nggak nyangka bakal plesetin ending sampai situ. Kenapa nggak ada bacotan author yang biasa? Cuma ada di ending fict? Gampangnya, karena ini sebenarnya adalah fict satu chapter yang puanjang sumpah(lebih dari 10.000 word) dan akhirnya di jadikan multi-chap. Dan harus saya akui bahwa saya malu setengah mati saat mau nulis lemonnya, jadi sori kalau bagian itu nggak memuaskan TAT nggak bakat saya nulis gituaan~hiks.
Sesungguhnya ini fict udah lama banget draftnya dalam leppie dan baru sekarang kesampaian,padahal rencananya pengen dipublish di fandom O-Parts Hunter a.k.a 666 Satan(kangen banget sama karya Seishi yang satu ini) dan keinspiransi dari karyanya Algernoon Blackwood di kumpulan cerita horror klasik 'Jenazah Lazarus'*ngik Dan bukannya habis hiatus musti bikin fict ringan sebagai pemanasan tapi malah langsung bikin yang berat dan dark pula ="=ngetik kilat neeh~~*tekor*dan refrensinya A Makasih buat kak Chii (3plusC) yang telah membetakan sekaligus bantu daku dengan ngasih saran dan masukan-masukannya. Vielen Danke
Lalu, kembali ke persoalan. Bagaimana pendapat anda mengenai fict ini? Apakah aneh, garing, OOC dan sebagainya? Gomen buat fanart abal buatan saya diatas, itu Belgia lho. Cuma saya edit-edit aja tentu saja disclaimer tetep punya bang Hide, dan efek-efek yang lain punya orang entah siapa*DOR* Daku cuma bikin~~mohon kritik dan sarannya untuk membantu menunjang karya yang lebih baik. Jangan sungkan untuk menuangkan komentar dan uneg-uneg anda~~^^
[+]Refrensi[+]
Willow-Algernoon Blackwood
GoogleMap
Wikipedia
The Birdman – Mo Hayder
The Day of the Jackal – Frederick Forsyth
Railbridgebistro (website)
Hubert House GuestHouse (website)
VisitScotland (website)
Dan referensi materi lainnya yang nggak bisa saya sebutkan*halah*
(Soal penginapan dan tempat makan, saya ambil beneran. Kalau yang tempat makan di Dumfries and Galloway adalah café 91 kalau nggak salah*risetnggakmutu* soalnya itu nggak ada situs, hiks) khusus buat Hubert House Guesthouse dan café 91 ini deskripsi saya samarkan aja*doong*dan penginapan di Brydekirk Village itu ngarang…jangan bunuh saya, oke? Damai itu lebih enak.
Ngomong-ngomong apakah latarnya terasa? Belum pernah kesana sih, jadi daku ngandalin om peta punya paman google~~dan sungai Annan itu beneran ada. Tapi tentu saja nggak ada cerita mistis-nya, latarnya doang yang bener ceritanya ngarang super, fiksi, fiksi~~*ditabokScotland*
Wah, kebanyakan bacot deh. Ngomong-ngomong, otanjoubi omedetto buat Sweeden yang ultahnya tanggal 6 juni kemaren~duuh, telat lagi! Tapi setidaknya daku inget, kan? Ya, udah deh anggap aja ini sekalian birthday fict buat Su-san, moga makin langgeng sama istri tercintanya(baca:Tino) Lagian di karya Algernoon Blackood yang itu namamu tercantum sebagai tokoh utama lho (si-Sweeden dan si-Finlandia) muahahahahaha!#dibuang
Abaikan ocehan gaje author barusan, thanks sudah baca sampai akhir~~sampai ketemu lagi, undur diri dari hadapan anda.
+[Reich Private Corner]+ -Off Air-