.


Natsu no Sakura: CHAPTER II: SABISHII SORA

Sepenggal kisah yang berawal dari sebuah pohon sakura di musim panas. Sepertinya Kami-sama memang tidak akan membiarkan Hikari bertemu Kuro untuk terakhir kali. Benarkah? "Masih belum bisa melupakan Kuro?"/"Kuharap ia hanya jatuh saat latihan dan tulang kakinya retak."/"Bagaimana kalau aku menjadi temanmu juga?"/"Aku tahu siapa Kuro,"/ CHAPTER II: SABISHII SORA


.

Pemuda berwajah kalem itu berjalan di koridor dengan langkah santai. Sesekali tangannya menggosok kedua matanya yang terlihat mengantuk. Tampaknya pemuda bernama Matsumura Hokuto itu kurang tidur kemarin. Lingkaran hitam terlihat samar-samar di bawah orb hitamnya. Baru saja ia menutup mulutnya yang sedang menguap, tubuhnya menabrak tubuh seorang siswi lain hingga gadis itu terjatuh.

"Ittai..." rintih gadis berambut pendek itu.

Kedua mata Hokuto langsung terbuka lebar mendengar gadis yang baru saja mengaduh itu, "Gomen... Daijoubu ka?"

Gadis itu terburu-buru membereskan barang-barangnya yang berserakan, termasuk beberapa buku dan sebuah sketch book yang terbuka lebar di lantai. Merasa bersalah, Hokuto membantu gadis itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat gambar dalam sketch book bersampul hijau itu. Gadis berambut pendek itu buru-buru mengambil sketch booknya dan berdiri, "G-gomenasai..." katanya sebelum berlari meninggalkan Hokuto.

Hokuto menatap punggung gadis itu. Rasanya ia pernah melihatnya tapi ia lupa di mana ia melihat gadis itu. Tapi hal yang membuatnya kaget bukanlah itu.

"Gadis itu..." pemuda bermarga Matsumura itu tak menyelesaikan kalimatnya. Ia menggelengkan kepalanya kemudian beranjak dari tempat itu, menuju kelasnya.

.

.

.

.

.


Natsu no Sakura

A B.I. Shadow PLUS a little bit Hey! Say! JUMP fanfic— Sepenggal kisah yang berawal dari sebuah pohon sakura di musim panas. FULL SUMMARY INSIDE/CHAPTER II: SABISHII SORA/

All Johnny's Jrs. and Hey! Say! JUMP's members belongs to Kami-sama, their parents, and Johnny's Jimusho

Natsu no Sakura belongs to Mochiraito

WARNING! Contains: Johnny's Jrs. everywhere, OOCness, ABALness, GAJEness, LOCH(?)ness, EPIC FAIL plot, EPIC FAIL story.

DON'T LIKE DON'T READ!

.

ENJOY!


.

.

.

.

.

Pelajaran sudah berakhir di hari Rabu yang cerah itu. Setengah dari murid-murid kelas itu berhamburan keluar sambil menenteng tas mereka. Sisanya, yang berada di kelas, masih sibuk mengobrol, membaca komik, tidur, atau sekadar menghapus papan tulis dan mengisi buku agenda.

"Yo," Kento menepuk pundak sahabatnya dari belakang, "mau ikut makan ramen?"

"Tumben sekali kalian mengajakku makan ramen. Ada angin apa memangnya?" gurau sang lawan bicara.

"Kami kan mau merayakan kembalinya kau ke sekolah!" kali ini bukan Kento yang menjawab, tapi sahabatnya yang lain, Takahata Misaki.

"Yup! Misaki-chan benar. Aku tahu kau pasti kangen jalan-jalan bersama kami, kan?" timpal Kikuchi Fuma. Misaki langsung memukul kepala Fuma, "Ittai!"

"Jangan memanggil namaku dengan embel-embel 'chan'!" serunya marah.

"Hahahaha gomen ne, Misaki-kun~" Fuma melemparkan cengirannya.

"Terserah kau..." gumam Misaki kesal, "Jadi, kau ikut kan, Yugo?"

Pemuda bernama Kouchi Yugo itu terlihat berpikir sebentar, "Gomen na, aku harus check up ke rumah sakit."

"Check up? Ah kau ini... Jadi seperti orang yang penyakitan saja..." Kento menggelengkan kepalanya.

"Hahaha gomen na... Kakiku kan belum sembuh total." Yugo melirik kaki kanannya, "Ngomong-ngomong mana Hokku?"

"Sibuk latihan basket. Beberapa hari yang lalu si anak pindahan—siapa namanya? Oh iya, Anderson Casey, cedera saat latihan. Jadi kakakmu* menunjuk Hokuto sebagai penggantinya," jelas Fuma.

"Sou ka..." Yugo mengangguk, "Kalian sendiri memang tidak latihan?"

"Kau masih ingat jadwal latihan klub sepak bola bukan hari Rabu, kan?" gurau Kento yang diikuti anggukan penuh semangat dari Fuma.

"Klub baseball juga tidak latihan di hari Rabu," sambung Misaki.

Yugo bersungut-sungut, mereka benar. Ia bahkan lupa tentang hal seremeh itu, "Jaa, kalau begitu aku duluan!"

"Hei, mau kami antar?" tawar Fuma.

Yugo menggeleng, "Iie. Arigatou na."

.

Ruang klub seni rupa sedang dipenuhi oleh beberapa anak yang akan ikut pameran lukisan di Bunkasai tahun ini. Tahun ini Bunkasai memang diadakan lebih awal, praktis membuat para partisipan yang notabene siswa dan siswi sangat sibuk. Bunkasai memang akan diadakan minggu depan, sudah pasti fokus kebanyak siswa-siswi pun tertuju pada acara Bunkasai meskipun tak sedikit yang juga berlatih untuk Undokai yang diadakan sehari sebelum Bunkasai. Mereka tentunya akan berusaha menampilkan yang terbaik, kan? Tak terkecuali klub seni rupa yang akan menampilkan sebuah pameran lukisan. Kanvas-kanvas putih mulai terisi dengan berbagai warna untuk membuat objek-objek berbeda.

"Hikari-chaaaan! Kau ikut pameran kan?" tanya Akira penuh semangat.

"Un," Hikari mengangguk. "Aku sedang mengerjakan lukisannya," gadis berambut pendek itu melirik ke arah kanvas yang ada di hadapannya.

Akira menatap lukisan cat minyak itu beberapa saat sambil bersungut-sungut. Telunjuk dan ibu jarinya ia letakkan di dagu, membuat gestur orang yang sedang berpikir keras. "Lagi-lagi membuat lukisan pohon sakura dengan langit mendung..." gadis itu menatap sahabatnya, "Masih belum bisa melupakan Kuro?" Hikari tak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya.

Akira meletakkan kedua tangannya di pinggangnya, "Terserah padamu sih... Kalau memang sulit dilupakan, kau harus mencobanya sedikit-sedikit. Kalau tidak, hidupmu tidak akan maju selangkah pun." Hikari menatap lukisannya yang sudah setengah jadi, lalu mengembangkan senyuman pahit di bibirnya.

"Tapi aku suka lukisanmu kok! Sangat penuh perasaan!" puji Akira.

"Arigatou..."

"Mau lihat punyaku?" tawar Akira, telunjuknya mengarah pada salah satu kanvas yang terlihat membelakangi mereka berdua. Hikari mengangguk dan meletakkan palet yang sedari tadi berada di tangannya.

Dalam kanvas itu tampak sebuah pondok sederhana yang dikelilingi oleh pemandangan jingga khas musim gugur. Dedunan pohon ginko yang gugur tampak di beberapa sudut halaman pondok dan di atap pondok tersebut. Bunga-bunga bakung di sisi kiri pondok pun menambah warna dalam lukisan itu. Gadis bermarga Mochizuki itu hanya bisa terkagum-kagum pada sahabatnya yang satu itu.

"Sugoii desu yo!" puji Hikari.

"Hehehe... Arigatou na," Akira tersenyum, "tapi aku lebih suka lukisanmu kok!" Hikari menanggapinya dengan senyum.

"Yabai! Sudah jam segini!" Akira menatap jam dinding yang tergantung di atas rak yang berisi patung-patung tanah liat, "Aku duluan ya! Kaa-chan akan memarahiku lagi kalau sampai telat les biola!"

Hikari tersenyum lalu mengangguk, "Mata ashita!"

Setelah Akira keluar dari ruang klub, Hikari kembali menatap lukisannya lalu menatap jarum panjang jam dinding yang bertengger di angka lima sedangkan jarum pendeknya menunggu dengan manis di antara angka tiga dan empat. 'Aku juga harus segera kembali.' batinnya sebelum mengikuti jejak sahabatnya meninggalkan ruang klub mereka.

.

Trotoar tidak bisa dibilang sangat padat namun tak juga sangat lengang. Keadaannya terlihat seperti biasa, pejalan kaki berlalu-lalang dengan tujuan yang berbeda-beda. Kouchi Yugo berjalan dengan langkah yang terlihat sedikit terseret. Sesekali ia menghentikan langkahnya untuk menatap gumpalan-gumpalan putih di langit yang sudah mulai memerah.

Jujur, ia merasa bersalah pada sahabat-sahabatnya; Kento, Fuma, Hokuto, dan Misaki. Sebenarnya ia tidak memenuhi ajakan mereka bukan karena harus check up ke rumah sakit—kakinya jelas sudah sembuh total dari kecelakaan empat bulan yang lalu. Ia terpaksa berbohong pada keempat sahabatnya agar ia bisa berpikir jernih. Bukan berarti teman-temannya mengganggu baginya, hanya saja ia takut tak bisa meninggalkan mereka semua; teman-teman yang sudah menemani dirinya sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Untuk kesekian kalinya di hari itu pemuda berambut hitam itu menatap langit sore yang cerah. Dalam benaknya wajah-wajah keempat sahabatnya serta wajah orang tuanya terus terbayang. Otaknya berpikir keras menemukan jawaban dari pertanyaan yang sejak beberapa minggu yang lalu betah mendiami benaknya. Tak menemukan apa yang ia cari, Yugo menendang sebuah kaleng minuman ringan yang sudah setengah penyok di trotoar.

"Chikuso!" rutuknya.

Tanpa ia sadari, tiga pasang mata menatapnya dari kejauhan. Mereka hanya bisa terdiam menatap gerak-gerik Yugo yang jelas terlihat frustrasi. Ketiganya tahu mereka tak bisa melakukan apa-apa selain tetap bersikap biasa pada sahabat mereka yang satu itu. Mereka tahu mereka harus tetap berpura-pura tak mengetahui masalah yang ingin disembunyikan Yugo dari mereka. Berat memang, tapi mereka tahu bagaimana sifat Kouchi Yugo. Dia selalu ingin menyelesaikan masalahnya sendiri. Meskipun ia juga tak ragu untuk meminta tolong saat menghadapi beberapa masalah tetapi ia akan sangat kesal jika orang lain tahu tentang masalah yang tidak pernah ia ceritakan. Kesimpulan keempat sahabat pemuda bermarga Kouchi itu adalah mereka harus tetap berpura-pura bodoh dan tetap menyemangati sahabat mereka itu.

"Aku merasa bersalah pada Yugo," kata Kento tiba-tiba, membuat Fuma dan Misaki menatapnya. Kento melayangkan pandangannya pada Yugo yang kini sudah mulai melangkahkan kakinya lagi, "Kau tahu, ia selalu membantuku saat aku punya masalah. Tapi aku? Apa yang bisa kulakukan saat ia berada dalam masalah?"

Misaki menepuk bahu Kento, "Aku mengerti," Fuma ikut mengangguk mendengarnya, "Kau tahu, kita semua merasa seperti itu, Kento. Yugo adalah orang yang baik, tidak seharusnya ia mendapat cobaan seberat ini."

"Kuharap ia hanya jatuh saat latihan dan tulang kakinya retak." celetukan Fuma sukses membuat pemuda yang gemar memajukan bibirnya itu mendapat sebuah jitakan gratis dari Misaki, "Baka! Kenapa malah berharap seperti itu!"

Fuma memajukan bibirnya, "Habisnya kalau hanya tulang kakinya retak, ia masih bisa sembuh dan kembali jadi Yugo yang dulu. Kalau seperti sekarang? Melihat permainan sepak bola saja ia tidak mau..."

Kento dan Misaki hanya bisa terdiam. Meskipun mereka tak mau Yugo mengalami hal buruk seperti apapun tapi jauh di dalam hati mereka, mereka meneyetujui kata-kata Fuma. Biarlah fisik yang terluka daripada batin yang terluka karena luka fisik hanya butuh waktu untuk sembuh sedangkan luka batin butuh lebih dari sekadar waktu untuk sembuh. Mereka pun memutuskan untuk memisahkan diri, kembali ke rumah masing-masing. Yugo, yang sama sekali tak sadar akan keberadaan teman-temannya, masih melangkah dengan langkah berat ke arah kediaman keluarga Kouchi.

.

Hikari berjalan menenteng tas sekolahnya melewati trotoar di sisi jalanan kota Tokyo yang ramai. Gadis berambut pendek itu hanya tinggal dua puluh meter jauhnya dari jalan setapak yang mengarah ke rumahnya. Ia menghela nafas, bagaimana ia bisa melupakan Kuro jika ia selalu melewati tempat pertemuannya dengan pemuda misterius itu?

Meskipun Hikari harus melupakan Kuro, ia tak pernah berhenti berharap akan bertemu Kuro. Tidak apa-apa tidak bertemu dengannya di pohon sakura itu, asalkan ia bisa bertemu Kuro dan meminta maaf padanya. Sayangnya tampaknya Kami-sama belum mengabulkan keinginannya itu. Yang ada malah pikirannya yang semakin dipenuhi Kuro. Kuro di sini, Kuro di sana, dimana pun ada Kuro. Sekali lagi gadis bermarga Mochizuki itu menghela nafas.

Langkah gadis itu belum berhenti ketika matanya tanpa sengaja menangkap bayangan seorang pemuda yang sangat mirip dengan Kuro—atau kah itu memang Kuro-nya? Pemuda itu berjalan di antara kerumunan orang seperti dirinya. Ia mengenakan kemeja seragam dan tangannya menenteng tas sekolah. Hikari menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis segala pemikiran yang mulai menyusup ke dalam otaknya tentang Kuro. Demi Kami-sama! Kenapa ia terus-menerus membayangkan Kuro?

Akhirnya gadis itu melangkahkan kakinya lebih cepat. Ia ingin segera menjauh dari bayangan Kuro yang ia lihat. Ia ingin menjauhkan seluruh imajinasinya tentang Kuro. Ia lelah, berusaha melupakan pemuda asing yang selalu ada di pikirannya.

Jalan setapak yang ia lewati masih sepi seperti biasa. Dari kejauhan Hikari bisa melihat seorang wanita tengah mengendarai sepeda, mengayuh semakin jauh menjauhi dirinya. Hikari menjatuhkan pandangan kedua onyxnya ke tanah, tak ingin menatap pemandangan di sekelilingnya. Ia tahu sebentar lagi ia akan melewati pohon sakura tempatnya selalu bertemu dengan Kuro. Terlalu menyakitkan baginya jika mengingat ia tidak akan mendapati Kuro tengah berdiri di bawah pohon sakura.

Awalnya Hikari berniat untuk mempercepat langkahnya dan segera melewati pohon sakura itu. Namun gadis berambut pendek itu mengurungkan niatnya. Alih-alih menjauhi pohon sakura itu, ia malah mendekatinya. Kepalanya menengadah, menatap dedaunan hijau yang menghiasi dahan-dahan pohon khas Jepang itu. Tanpa sadar, tangannya sudah berada di batang pohon itu.

"Kau kesepian?" tanya Hikari. Gadis itu tersenyum tipis, "Kau pasti bingung kemana orang yang biasanya berdiri sendirian di bawah naunganmu, ya?"

Tak ada jawaban. Hanya ada suara desir angin yang membelai rambut gadis itu lembut.

"Gomen..." lirih sang gadis bermarga Mochizuki, "Sepertinya aku telah melukai hatinya sangat dalam hingga ia tidak mau lagi berada di sini dan bertemu dengan kita." Hikari menjatuhkan tatapannya ke tanah, "Aku tahu aku memang bodoh..."

Sehelai daun pohon sakura itu jatuh tepat ke atas kepala Hikari, membuat gadis itu sedikit terlonjak kaget, "Apa yang ingin kau katakan?"

Hikari mengembangkan senyumnya, "Bagaimana kalau aku menjadi temanmu juga?" ia melangkah mundur satu langkah, "Karena aku sudah menyebabkanmu kehilangan teman, jadi sebagai gantinya aku yang akan menggantikan Kuro di sini! Mungkin aku memang tidak bisa berdiri di sini seharian," gadis itu menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, "tapi aku bisa datang ke sini setiap sore!"

"Kau setuju?" suara gemerisik dedaunan yang terhembus angin terdengar di telinga gadis berambut pendek itu. Ia mengangguk, "Oke, besok aku akan datang lagi! Jaa!" Hikari melambaikan tangannya dan berlari pulang.

.

.

Seorang gadis berambut pendek bernama Shirakawa Akira berjalan dengan langkah-langkah kecil di tangga. Setelah beberapa menit yang lalu mengganti sepatu sekolahnya dengan sepasang uwabaki miliknya, Akira masih menaiki tangga yang akan membawanya ke lantai dua, tempat kelasnya berada. Jari-jari lentiknya sibuk menari di atas keypad keitainya, mengirim mail ke salah satu temannya.

Baru saja memasukkan keitai bercasing putihnya ke saku seragamnya, orb onyx Akira menangkap bayangan benda yang ia kenali; sebuah sketch book bersampul hijau yang ada di tangan seorang siswi berambut ponytail. Gadis itu menatap Akira sebentar, "Aki-chan, ohayou!" sapanya.

"Ai-chan, ohayou!" sahut Akira, "Anoo sketch book itu..."

"Punya Hikari-chan, kan?" gadis bertubuh mungil itu memotong kalimat Akira. Akira mengangguk.

"Sepertinya terjatuh saat ia sedang berjalan di sini," jelas Ai. "Baru saja mau kukembalikan tapi kau keburu lewat." Ai memberikan sketch book di tangannya pada Akira, "Berhubung kalian sekelas, kau saja ya yang kembalikan? Aku harus mengurus jadwal latihan klub sepak bola untuk pertandingan bulan depan." Akira mengangguk. "Arigatou na!" kata Ai ceria sebelum ia berjalan menuruni tangga.

Akira membolak-balik sketch book milik salah satu sahabatnya itu. Ia memang penasaran dengan isi dari sketch book itu. Pasalnya sahabatnya yang satu itu tak mengizinkan dirinya untuk melihat selembar gambar pun dalam sketch book miliknya sejak ia menggambar pohon sakura berlatar langit mendung. Akira selalu menebak bahwa di dalam sketch book yang ada di tangannya pasti ada hal yang berhubungan dengan Kuro yang ingin disembunyikan Hikari dari dirinya. Ia tahu gadis bermarga Mochizuki itu pasti akan marah pada dirinya jika tahu ia telah membuka-buka sketch book miliknya tanpa izin. Namun rasa penasaran Akira mengalahkan rasa bersalahnya. Perlahan, ia pun membuka sketch book bersampul hijau itu.

Lembar pertama... Lembar kedua... Lembar ketiga...

Akira hanya menemukan sketsa-sketsa dan gambar-gambar yang pernah ia lihat.

Lembar kelima... Lembar ketujuh... Lembar kedelapan...

Di lembar kesembilan, kertas sketch book terisi oleh sketsa seorang pemuda. Garis-garis wajahnya digambar tegas. Rambut hitamnya yang digambar begitu halus membingkai wajahnya. Kedua alisnya yang tebal menaungi sepasang orb onyx yang terlihat sendu namun tajam. Selain bagian kepala, sisanya hanya digambar dengan garis-garis sketsa kasar. Di sudut kanan bawah kertas, meskipun cukup kecil, Akira dapat membaca tulisan 'Kuro' tertera di sana.

"Ini... Kuro?" gumam Akira pada dirinya sendiri.

Ia membuka lembar berikutnya. Lagi-lagi gambar pemuda yang sama, Kuro. Namun alih-alih digambar dari depan seperti tadi, gambar kali menggambarkan bagian kanan wajah Kuro. Selain itu, kali ini sosok Kuro digambar jelas sampai dada. Tubuhnya terlihat bernaung di bawah sebuah pohon, yang Akira tebak sebagai pohon sakura. Kepalanya menengadah ke langit yang terlihat mendung. Matanya yang menerawang jauh terisi oleh kesedihan.

Lembar kesebelas dan kedua belas pun terisi oleh sosok Kuro dengan pose dan sudut pandang yang berbeda, namun ekspresi sendu dan langit mendung yang sama.

Di lembar ketiga belas Akira terkejut mendapati gambar Kuro yang berbeda dari keempat gambar sebelumnya. Lagi-lagi Kuro digambar dengan sudut pandang close up dari depan seperti pada gambar yang pertama Akira temui, namun ekspresinya berbeda. Alih-alih terlihat sedih, kali ini Kuro terlihat sangat bahagia. Kedua onyxnya terlihat begitu bersinar dan ceria. Kerutan-kerutan kecil di sudut-sudut mata maupun di ujung bibir Kuro tampak sangat halus dan nyata. Bibir tipisnya kali ini menyunggingkan senyuman lebar. Pohon sakura tak berbunga yang menaungi pemuda itu mungkin masih sama, tetapi langit mendung yang biasanya melatarinya kini berubah menjadi langit cerah penuh awan-awan tipis.

"Ini..." Akira menatap gambar karya salah satu sahabatnya itu lekat-lekat. Suara langkah kaki yang mendekat membuyarkan Akira dari segala pemikirannya. Gadis bermarga Shirakawa itu pun buru-buru menutup sketch book di tangannya.

Seorang siswi berambut panjang dengan bando tersemat manis di rambutnya berjalan sambil menenteng tasnya. Wajahnya memang tanpa ekspresi tapi kalau melihat matanya, siapapun tahu gadis manis itu sedang tidak dalam suasana hati yang baik.

"Nadeshiko-chaaaan... Sudah kubilang kan? Dia hanya manajer klub baseball saja!" gadis yang bernama Nadeshiko itu tak merespon apa-apa. Ia tetap melanjutkan langkahnya seakan-akan tak mendengar apapun. Tak lama setelah seruan tersebut terdengar, seorang pemuda terlihat berlari dari arah tangga. "Nadeshiko-chaaan... Matte..." katanya dengan nada memelas.

Akhirnya gadis bernama Nadeshiko itu membalikkan tubuhnya. Sesaat senyum terkembang di wajah pemuda yang sedari tadi memanggilnya. Namun senyuman itu segera menghilang dari bibir pemuda itu ketika ia mendengar apa yang dikatakan sang gadis, "Dengar ya Misaki, aku tidak punya urusan apapun tentang hal tadi," Telunjuk Nadeshiko mengarah ke pemuda bernama Takahata Misaki itu, "Mau kau berpacaran dengan manajer klub baseball, mau kau berpacaran dengan adik kelas, bahkan mau kau berpacaran dengan anjing Okamoto-senpai pun, itu terserah padamu! Itu urusanmu dan tidak ada hubungannya denganku!"

"T-tapi Nadeshi—"

"Bukan 'Nadeshiko-chan'! Untukmu, 'Fujimoto'!" seru gadis bernama lengkap Fujimoto Nadeshiko marah sebelum berbalik dan melangkah pergi.

"Nadeshiko-chaan! Fujimoto Nadeshiko!" Misaki pun mengejar gadis itu.

Akira yang masih bingung menatap adegan yang berlangsung di depan matanya hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia tahu kedua orang itu; Takahata Misaki-senpai, pemain andalan klub baseball dan Fujimoto Nadeshiko-senpai, wakil ketua OSIS. Merasa tak ada hubungannya dengan dirinya sendiri, Akira pun melangkah menuju kelasnya.

.

"Hikari-chaan!" panggil Akira saat melihat Hikari baru saja keluar dari kelas mereka.

"Aki-chan!" sahut Hikari, "Ah! Sketch bookku! Baru saja aku akan mencarinya!" Hikari berlari ke arah Akira.

Akira langsung memberikan sketch book bersampul hijau itu pada pemiliknya. Hikari langsung memeluk sketch book itu erat-erat saat benda itu sudah berada di tangannya. Jelas saja Hikari langsung memeluk sketch booknya, dalam buku itu terdapat gambar sketsa orang yang selama beberapa minggu terakhir ini selalu berada di benaknya. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di pikiran Akira; wajah Kuro terlihat sangat familiar dalam benaknya.

"Kau menemukannya?" tanya Hikari.

Akira menggeleng, "Ai-chan yang menemukannya di koridor depan ruang musik," jelasnya. Kemudian mereka berdua pun masuk ke kelas dan duduk di bangku mereka yang letaknya memang bersebelahan.

"Anoo... Hikari-chan," panggil Akira.

"Hm?"

"Etto..." Akira bangkit dari kursinya dan membungkuk dalam-dalam, "Gomen na, aku melihat isi sketch bookmu." Ekspresi kaget di wajah Hikari terlihat begitu jelas. Gadis berambut pendek itu tak berkata apa-apa. Ia tahu itu artinya Akira telah melihat gambar-gambar yang ia buat di dalam buku itu—termasuk gambar-gambarnya di lima halaman terakhir.

"Aku tahu aku tidak seharusnya melihat isi sketch bookmu tanpa izin tapi," Akira menatap sahabatnya, "aku tahu siapa Kuro," kedua onyx Hikari terbelalak mendengar kata-kata gadis berambut panjang itu. 'Benarkah ia tahu siapa Kuro?' batinnya.

.

Takahata Misaki menjatuhkan tubuhnya ke kursinya lalu menempelkan dahinya yang tertutup helai-helai hitam ke mejanya. Masih ada waktu sekitar lima menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Ia tahu waktu lima menit itu masih bisa digunakan olehnya untuk pergi ke kelas 3-A untuk menemui Nadeshiko tapi mengingat reaksi Nadeshiko tadi, lebih baik jika ia membiarkan gadis manis itu tenang dulu.

"Mi-sa-ki-chaan~" Fuma menghampiri Misaki. Sang pemilik nama hanya menoleh sekilas sebelum kembali ke posisinya semua, menempelkan dahinya ke permukaan mejanya.

"Doushita?" tanya Fuma.

"Betsu ni..." gumam Misaki.

Fuma menyejajarkan kepalanya dengan Misaki, "Ayolah, kau bisa cerita padaku!"

Pemuda bermarga Takahata itu menatap salah satu sahabatnya yang hobi memajukan bibirnya itu, "Uso!" serunya dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

Baru saja Fuma hendak mengatakan sesuatu, pemuda berambut hitam itu sudah disela oleh deringan bel masuk terlebih dahulu. Ia kembali menutup mulutnya, membatalkan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.

"Gomen, nanti saja saat istirahat," kata Misaki sebelum Fuma duduk di bangkunya.

.

.

.

To be continued...


#AUTHOR's notes:

(*): Di sini aku bikin Yuto sama Yugo jadi adik kakak. Dan marganya Yuto juga bukan Nakajima, tapi jadi Kouchi. Kan lucu gitu kakak adik namanya Kouchi Yuto dan Kouchi Yugo—jadi berasa Morimoto Ryutaro dan Morimoto Shintaro hahaha. Selain itu mereka juga lumayan mirip kok, dari segi penampilan dan sifat, meskipun sifat Yugo lebih sedikit pemalu dari pada Yuto. Tapi gomen ne, Raiya-channya ga aku ajak di fanfic ini. Soalnya ada hubungannya sama plot ceritanya.

Chapter yang cukup panjang desu ne... *lap keringet ke baju Kento* Gimana? Udah lebih jelas ceritanya? Di chapter ini pun memang masih ada yang si Author rahasiakan. Hahahaha biar pada kepo gitu... Pada kepo ga, kenapa Yugo galau? Hahahaha pasti kepo kaaan? ( Pasti pada tahu kan, kenapa Misaki diamukin sama cewek?) #digebuk Hokuto

Awalnya aku sama sekali ga ada niat masukin Misaki sebagai salah satu tokoh penting tapi karena lihat perform B.I. Shadow (yang masih bertiga sama Misaki) pas di Shounen Club yang mereka nyanyi medley Jitabata Junjou-Mayonaka no Shadow Boys, entah kenapa jadi pengen masukin Misaki-chan juga. #ditendang Misaki

Gomen for those OCs tapi untuk saat ini sama sekali ga ada feel buat bikin anak-anak B.I. Shadow pairingan sih... (Cuma feel buat bikin Kouchi Yugo sama Lewis Jesse pairingan gara-gara nonton Shiritsu Bakaleya Koukou #dihajar Yugo) Kalo cuma bikin mereka best friend forever sih feel banget!

Warui na! Lagi-lagi curcol...

Saigo ni, ada yang bisa nebak siapa Kuro? Kalau ada kamu akan dapat hadiah berupa ucapan selamat dari sang Author! #dilindes Fuma

Sore ja, review? Comment?