Hari ini, seperti biasa. Tak ada yang berbeda. Kau bangun di pagi hari, di jam yang sama, menit yang sama, bahkan kau tak memperhitungkan detik jarum jam yang berdentang di titik yang sama. Bersyukurlah kau karena hari ini hari yang berbeda, tanggal berbeda. Namun isinya? Kau bersumpah demi siklus hidrologi bahwa semuanya akan tetap sama.

Dengan kegiatan-kegiatan membosankan—bagimu—yang tiada berbeda.


Ariya 'no' miji proudly present:

RADIASI

Disclaimer: Naruto is own Masashi Kishimoto

Warning: OOC, AU, Second POV, alurnya mungkin mudah ditebak

Don't like Don't Read!


Kau menjejakkan kakimu di atas coklatnya lantai kayu mengilap kamarmu. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, lantai kayu ini tidak sedingin suhu udara di pagi hari yang sekarang tengah menusuk-nusuk permukaan kulitmu. Berjalan sedikit limbung, hanya nalurimu sajalah yang membimbingmu ke kamar mandi di ruangan tengah.

"Sakura, hari ini Kaa-san harus menghadiri acara anak dan orangtua di sekolah Rin. Kau bisa pergi sekolah sendiri, kan?"

Suara lembut khas wanita dewasa menyambutmu dari arah dapur. Tanpa harus melihatnya, kau pun sudah tahu bahwa Kaa-san sedang sangat sibuk saat ini. Terbukti dari suara—

PRAAAANG

—piring pecah yang menghantam lantai. Sebelum kau sempat merespons pertanyaannya sebelumnya, Kaa-san sudah mengeluarkan pernyataan barunya.

"Ya ampun. Pecah lagi? Lain kali akan kupertimbangkan usul Tou-san untuk mengganti piring di rumah dengan piring plastik."

Menghela napas beserta gelengan kepala sebagai pengiringnya, kau tersenyum tipis di sana. Geli membayangkan kebiasaan—kecerobohan—Kaa-san memecahkan piring hampir setiap pagi. Hampir? Sebenarnya kau pun tak yakin ….

#Radiasi#

Berbalut kemeja putih dengan blazer berwarna biru beserta rok lipit-lipit selutut yang menutupi setengah kaki jenjangmu—yang secara tak langsung memperjelas profesimu sebagai seorang pelajar SMA. Berjalan santai menyapu jalanan lengang di pagi hari, sistem pernapasanmu tak henti-hentinya menghirup oksigen di sekitarmu. Yah, pagi hari memang momen yang tepat untuk bernapas. Karena seperti yang kau pelajari di sekolah, udara pagi hari memang belum tercemar oleh polusi. Dan kau akui teori itu memang benar.

Kau menggerakkan iris emeraldmu ke samping kanan. Tak terlalu banyak yang dapat kau temukan di sana, selain deretan toko-toko dengan berbagai jenis komoditi untuk dijual, yang sebagian besarnya masih tertutup rapat. Dan juga … sosok seorang pemuda yang tentu saja tak akan terlewatkan begitu saja oleh iris emeraldmu. Mengesampingkan faktor bahwa hanya pemuda itu sajalah makhluk hidup bergerak di depan deretan toko yang dilihat olehmu, kau merasa penampilannya sedikit eksentrik untuk ukuran pemuda seusianya.

Dengan kacamata berbingkai hitam yang tampak sangat tebal bersender di sisi hidungnya, kemeja yang dimasukkan rapi ke dalam celana hitam panjangnya, dasi yang disimpul dengan baik di leher, beserta blazer hitam dan celana panjang yang masih tampak dengan jelas lipatan setrikanya. Oh, jangan lupakan satu hal lagi. Satu-satunya benda berwarna biru dongker mencuat di bagian belakang kepalanya. Rambutnya itu … sangat tidak serasi dengan penampilannya yang dapat digolongkan sedikit … cupu.

Ah, apa pun itu. Kau mengakui bahwa wajahnya lumayan tampan untuk dinikmati di pagi hari.

Tampaknya … kau mulai mengalami gejala pubertas remaja, Sakura?

Berusaha mengalihkan pandangan matamu darinya, kau melanjutkan langkah kakimu dengan sedikit tergesa. Takut kalau-kalau lelaki itu akan menoleh padamu tiba-tiba dan mendapati dirimu—orang asing—yang sedang memerhatikannya dengan intens di pinggir jalan. Walau 99% kau yakin lelaki bertubuh proporsional itu tidak akan menoleh ke arah mana pun. Mengingat atensinya hanya tertuju pada lembaran-lembaran kertas berjilid tebal yang sedari tadi digenggamnya erat bagaikan sebuah kitab keramat.

Huh, walaupun sesungguhnya kau ingin sekali lelaki sebaya denganmu itu menoleh padamu dan melihatmu barang sejenak.

Bruuuk

Tampaknya kau harus meralat keinginanmu barusan Sakura.

Kau menatap dari bawah punggung tegap milik seorang pria di depanmu. Berharap sosok tak-punya-mata tersebut segera menolongmu—korban tabrakannya—dari jalanan berdebu. Sosok yang kau nantikan itu pun akhirnya menoleh padamu. Menghitung waktu mundur, kau pun tersadar bahwa sosok itu adalah refleksi pemuda eksentrik di depan toko tadi. Atau … dia memang pemuda yang tadi?

"Go-gomen."

Hanya satu kata dengan pelafalan terputus itulah yang meluncur dari bibirnya. Sungguh di luar keinginan yang tercipta di otakmu. Walaupun keinginanmu untuk dilihat olehnya telah didengar oleh sang Dewi Fortuna atau Dewi apa pun itu, tapi bukan begini caranya. Sungguh menghapus kesan tampan di wajahnya yang sempat terlukis di memorimu sebelumnya.

"Keterlaluan," lirihmu. Kau menatapnya penuh amarah.

Yah, dia memang pantas mendapatkannya.

#Radiasi#

Kau menendang-nendang kerikil ataupun benda kecil apa pun yang tertangkap oleh sepasang iris matamu di bawah sana. Rasanya hari ini tiada berbeda dengan hari sebelumnya, tepatnya sudah seminggu ini kau merasa melewati hari yang sama setiap harinya. Dimulai dari bangun di waktu yang sama, Kaa-san yang tak dapat mengantarmu ke sekolah dengan alasan yang sama, teman sebangkumu Ino yang tidak masuk dengan alasan yang sama—sakit, bahkan kau merasa tidak ada kemajuan materi yang kau dapat di sekolah. Mungkin karena alasan inilah nilaimu mengalami kenaikan drastis—mengalahkan sang jenius pemalas yang selalu merajai kelas, Nara Shikamaru. Tapi, kau tidak begitu memerdulikan perubahan nilaimu baru-baru ini. Karena kau tahu, ada satu hal yang lebih penting untuk dipikirkan olehmu.

'Kenapa dari sekian banyak kejadian ulang yang kualami, hanya sosok lelaki itulah yang mengalami perubahan penampilan setiap harinya?'

Kau ingat saat pertama kali melihat pemuda dengan ciri-ciri perawakan yang sama seperti yang hari ini kau temui di depan toko. Dengan penampilan dan blazer yang selalu berganti-ganti setiap harinya, mereka—pemuda itu—selalu membuat awal harimu penuh kesialan dengan menabrak keras tubuh mungilmu dari belakang. Menyebabkan seragam sekolahmu yang selalu kau cuci setiap hari menjadi lusuh dan kotor di pagi hari. Dan satu hal yang pasti, 'mereka' tidak pernah membantumu berdiri.

Hampir saja kau bermaksud untuk membuat perhitungan jika kau bertemu lagi dengan salah satu dari 'mereka'. Tapi semua itu harus kau tunda—atau dibatalkan—dikarenakan keraguanmu saat melihat sosok berbeda dengan perawakan sama di depan toko yang sama seperti yang kau lihat hari ini.

Atau mungkin 'mereka' adalah orang yang sama?

Pluuuuk

"Kau hebat, Sakura."

Frustasi. Kelihatannya memang lebih baik kau memuji dirimu sendiri untuk keakurasian tendanganmu yang—kebetulan atau tidak—sejak kemarin mengenai tepat kepala angsa malang di tengah sungai bawah jembatan. Kau memerhatikan sekumpulan angsa itu dengan seksama. Iseng. Kau hitung jumlah mereka. Ada sembilan ekor angsa putih dengan corak yang sama dan seekor angsa cokelat sedang berenang dengan selaput kakinya membentuk riak di tengah sungai.

Seketika kau menyadari sesuatu. Ada hal yang tak biasa di sini. Dan kau yakin bahwa sel otak milikmu masih bekerja dengan semestinya. Lalu siapa yang dapat menjelaskan kenyataan bahwa kumpulan angsa di depanmu ini adalah sama dengan angsa-angsa sebelumnya? Dengan jumlah yang sama? Bahkan kerikilmu mengenai satu-satunya angsa cokelat di sana. Satu-satunya angsa cokelat yang terkena kerikilmu kemarin.

Oh, betapa ini sebuah keganjilan?

Tapi, kau berusaha menepis semuanya. Berharap bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Think positive. Yah, itulah ideologimu.

Tapi … tidakkah kau sadari bahwa kebetulan tak akan datang dua kali. Dengan alur kisah yang sama persis?

Seharusnya kau tak sesantai itu, Sakura ….

#Radiasi#

Menatap kosong jendela kamar bercorak merah muda milikmu, pikiranmu terpaku pada satu sosok atau katakanlah demikian jika 'mereka' memang orang yang sama.

"Dia … sebenarnya apa?"

Bukan. Bukan ini yang sebenarnya ingin kau tanyakan. Tapi otakmu tak mau bekerja sama dengan pikiranmu. Seakan ada sesuatu yang mengganjal di sana. Mengganggu fungsi otakmu. Membuatmu tak dapat berpikir layaknya manusia pada umumnya.

"Ahhhh …."

Kau mengerang kesakitan. Kepalamu yang tak berdosa itu kau remas terus menerus. Rasanya berat sekali. Semuanya bagaikan berputar di kepalamu. Tak membiarkanmu memproses keadaan fisikmu sendiri.

1 menit …

2 menit …

3 menit …

Tak ada perubahan. Kau tetap berada dalam posisi berdiri di samping ranjang. Tentu saja dengan kedua tangan yang masih setia meremas bahkan lebih parah, menjambak helaian rambut merah muda sebahu yang selama ini telah menjadi mahkota kebanggaanmu. Tapi tidak untuk saat ini. Gejolak di pusat koordinasi tubuhmu telah cukup membuatmu merontokkan sebagian rambutmu dari akarnya. Berjatuhan perlahan di atas lantai yang selalu kau bersihkan setiap hari bersama dengan tubuhmu yang kau hempaskan asal di atas tempat tidur.

Mungkin … kau memang butuh istirahat.

Atau setidaknya … mengusir gangguan itu dari kepalamu.

#Radiasi#

Sinar matahari mulai menelusup masuk melalui celah ventilasi kamarmu. Kau yang tengah tertidur dalam posisi telungkup dengan bantal sebagai sandaran kepalamu tiba-tiba terbangun entah karena apa. Karena kau sendiri pun bingung menjelaskannya. Namun, ketika kau melihat jam di dinding kamarmu seketika kau tahu. Ini memang sudah waktunya.

Kau bangun di jam yang sama, menit yang sama, dan tentu saja … detik yang sama.

Dan pastinya—

"Sakura, hari ini Kaa-san harus menghadiri acara anak dan orangtua di sekolah Rin. Kau bisa pergi sekolah sendiri, kan?"

—kejadian yang sama. Juga—

PRAAAANG

—suara yang sama. Sebelum kau sempat merespons pertanyaannya sebelumnya, Kaa-san sudah mengeluarkan pernyataan barunya.

"Ya ampun. Pecah lagi? Lain kali akan kupertimbangkan usul Tou-san untuk mengganti piring di rumah dengan piring plastik."

Benar, kan?

Jujur. Kau sudah sangat jenuh menghadapi hari-harimu. Kau bagaikan berputar-putar di lingkaran takdir yang sama persis. Bahkan mungkin kau memang sedang berjalan di lingkaran takdir itu sendiri.

Kau sendiri bahkan sudah tak yakin mana yang nyata dan ilusi semata. Semuanya serasa sama di matamu. Dan hanya ada satu cara untuk menghentikan perputaran aneh ini; menemui satu-satunya orang yang tak terikat di dalamnya. Satu-satunya orang yang memiliki kehidupannya sendiri, pemuda 'keterlaluan' yang akan berganti penampilannya lagi hari ini.

#Radiasi#

Kakimu berjalan dengan tergesa. Tidak seperti biasanya. Hari ini kau tak dapat lagi bersantai-santai seperti hari-hari sebelumnya. Kau sudah tak tahan. Dan ingin cepat-cepat menyelesaikan semuanya.

Sekarang juga.

Kau menggerakkan iris emeraldmu ke samping kanan. Mencari-cari sosok pemuda yang kau harapkan dapat membantumu keluar dari perputaran takdir yang menjebakmu dalam lingkaran takdir tiada akhir.

Tapi … sepertinya hari ini kau sedang tidak beruntung, Sakura.

Karena dia tidak ada di sana.

"Dimana?" tanyamu entah pada siapa. Yang pasti kau memang tak menginginkan jawaban. Namun kau inginkan kenyataan yang dapat tertangkap oleh sepasang mata emeraldmu.

Kau mulai merasa gila. Bibirmu terus mengucapkan satu kata yang sama secara berulang-ulang tanpa kau sadari.

"Dimana?"

Jantungmu mulai berdetak tak karuan.

"Dimana?"

Pikiranmu melayang-layang; memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin harus kau hadapi seumur hidupmu sampai ajal menjemput jiwamu. Atau mungkin … ajal tak akan pernah menemuimu karena takdirmu hanya akan berhenti dan dimulai di titik yang sama.

Di titik yang sama seperti lingkaran yang akan selalu statis pada bentuknya.

Kau terus menyapu daerah pertokoan di sekitarmu. Tak lagi di kananmu tapi juga di kirimu. Sayangnya, konsentrasimu yang berlebihan justru membuatmu tak dapat memperhatikan jalanan di depanmu.

Bruuuuuk

"Awwwww …." Kau mengusap-usap pantatmu yang berhasil mendarat di jalanan. Dalam hati kau merutuki kecerobohanmu yang begitu memalukan.

Kau terdiam di posisimu selama beberapa saat. Takut untuk menatap sosok di depanmu yang tampaknya tengah memperhatikanmu. Kedua matamu kau pejamkan. Bibir merahmu kau gigit kuat-kuat. Dalam hati kau menghitung mundur sampai akhirnya sosok tersebut menegur kelakuanmu yang 'kurang ajar' barusan.

Satu ….

"…."

Dua ….

"Heh,"

Deg.

Ti—

"Mana matamu?"

—ga ….

'Suara itu?'

—Hadapilah radiasi-mu, Sakura—

.

.

.

TBC

.

.

.

A/N:

Fic SS pertama saya. Semoga mendapat sambutan yang hangat dari para readers sekalian ^^

saya mohon, kalau kalian udah baca tolong diberi tanggapannya, sedikit pun gak apa kok.. Jujur aja, gak apa kok. kasih tau apa yang terlintas di pikiran kalian setelah membaca fic ini

Terimakasih,