Aku terlahir dan besar di sini. Sebuah distrik kecil di Pulau Nakano, Kepulauan Ryukyu. Sebelah selatan Jepang. Konoha, distrik kecil yang hampir terlupakan keberadaannya. Sebuah nama yang lima tahun lalu akan dihapus jejaknya dari peta. Namun, berkat kerja keras serta kegigihan tiada akhir dari penduduknya, rencana itu pun dibatalkan. Masyarakat luar, baik kalangan atas maupun bawah, berpendapat bahwa keberadaan distrik ini hanya mengotori peta Jepang. Disrik ini ingin dikecilkan. Sehingga kelak ia hanya akan menjadi bagian biasa dari perfektur, tak lagi menyandang status distrik, seperti masa-masa kejayaannya dulu.

Aku tahu sejarah distrik ini, terutama masa-masa emasnya. Setiap sekolah di Konoha, yang jumlahnya tak seberapa, pasti akan menerapkan kurikulum pendidikan sejarah lokal bagi muridnya. Dengan tujuan untuk menanamkan kecintaan nasional sejak dini. Hal itu terbukti cukup berhasil, meski terkadang kami menghadapi kenyataan pahit ketika melihat banyaknya puing-puing bangunan tak terpakai di setiap sisi ujung distrik. Pemandangan itu membuat distrik yang telah beraura suram ini menjadi kumuh. Begitu kontras dengan cerita-cerita sejarah kejayaannya yang kami dengar di sekolah.

Ibuku, penduduk asli distrik ini. Bahkan sebelum ia lahir, ia sudah ditakdirkan untuk hidup dan—mungkin—mati di bawah tanah Konoha. Ayah, sedikit misteri bagiku. Ia bilang, dulu ia tinggal selama beberapa tahun di tempat lain. Suatu tempat yang kalau tidak salah berbunyi Uwajima, Pulau Shikoku. Saat berumur 29 tahun ia dipindah tugaskan oleh kepolisian setempat. Awalnya, menurut cerita ibuku, terpikir oleh ayah untuk menolak, namun karena didesak oleh cita-cita pribadi untuk menjadi kepala polisi, ia setuju. Dengan syarat jabatan itu sudah langsung diterimanya ketika ia berada di Konoha. Dan begitulah selanjutnya. Sedikit klise. Mereka bertemu, jatuh cinta, menikah, lalu ibuku akhirnya melahirkanku dan adikku.

Aku sendiri berencana ingin keluar dari distrik ini. Hanya sementara. Mencari ilmu yang lebih dari dunia di luar sana, lalu ketika aku merasa ilmu-ilmu itu cukup, aku berencana kembali dan menggunakan ilmu itu untuk membangun kembali distrik ini. Menghidupkan kembali kejayaannya. Seperti cita-cita umum para generasi penerus yang ditanamkan oleh generasi tua.

Karena itulah aku rajin belajar, menuntut ilmu dari buku-buku tambahan di perpustakaan lokal maupun internet. Aku bermaksud mendapatkan beasiswa ke Universitas Tokyo, atau yang lebih ekstrim, mungkin ke Universitas Harvard di Cambridge. Aku juga tak pernah membolos. Bolos adalah kata terakhir yang akan kugunakan jika aku sudah sekarat di rumah sakit. Ketika sakit, aku tetap memaksa sekolah. Aku tak mau pelajaran meninggalkanku. Bahkan jika harus dengan sangat terpaksa aku membantah perintah ibuku untuk beristirahat dulu di rumah. Saat itu aku merasa sangat berdosa karena membantahnya, tapi toh aku membantah demi kebaikan. Aku ingin belajar, belajar dan belajar. Demi beliau juga ….

Saat Ino bilang aku tak masuk seminggu penuh. Nadiku serasa ditusuk ribuan jarum. Jantungku ingin rasanya kuremas saat itu juga. Perutku serasa melilitku hingga ingin rasanya aku ambruk di tempat. Dan Ino … ingin rasanya kurebus wajahnya dalam panci kalau saja tak langsung kulihat pancaran matanya. Ia tak sedang berbohong. Kata-katanya tanpa sandiwara. Aku tahu. Atau setidaknya, aku rasa aku tahu kalau dia memang tak sedang bercanda maupun menipu saat itu.

Dan itu berarti buruk bagiku ….

.

.

.

RADIASI

(III: Batas Khayal)

Disclaimer: Naruto is own Masashi Kishimoto

Warning: OOC, AU,

Don't like Don't Read!

.

.

.

Sensei gila itu terus berjalan, perlahan, mendekatimu di depan pintu. Pintu di belakangmu tiba-tiba menutup dengan sendirinya ketika kau bermaksud mundur. Seketika cahaya menghilang dari ruangan, seolah dipaksa keluar. Matamu menelusuri lekukan wajahnya. Gelap, karena berlatar cahaya dari jendela. Namun kau dapat menangkap jelas pancaran matanya. Caranya menatap seolah mengingatkanmu pada seseorang. Tapi kau hanya sekedar meyakini, dan keyakinan terkadang menutupi kenyataan.

Celana hitamnya bergemerisik, menimbulkan irama aneh saat bergesekan dengan sepatu cokelat kulit miliknya. Beberapa helaian rambutnya bergerak lembut. Sesuatu dalam diri lelaki ini membuatmu takut dan gelisah. Namun kau tetap bergeming di tempat, membeku. Ketakutan bagai menguasai jiwamu.

Semakin lama, jarak antara kalian menisbi. Membuatmu dapat mencium dengan jelas aroma lelaki itu, yang sebelumnya tercium sedikit samar di hidungmu. Ada sesuatu berbau seperti asam-manis dan terkadang berbau seperti abu kayu pohon yang terbakar serta sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak dapat kau kenali. Sesuatu yang berbau busuk. Bukan busuk seperti bau makanan basi maupun definisi busuk kebanyakan. Bau ini berbeda. Sangat busuk. Dan busuk ini seperti berasal dari hatinya.

Samar-samar kau melihat sudut bibirnya sedikit terangkat. Dan kau dapat melihat dengan jelas betapa tajam serta runcing gigi lelaki ini. Gigi-gigi putih yang panjang. Bagai gigi predator yang terbiasa diasah untuk mendapat mangsa. Kau bergidik ngeri. Kau tak menyangka ada makhluk seperti ini di Konoha. Secara keseluruhan, lelaki ini cenderung terlihat normal, bahkan tampan. Badannya tegak serta tinggi proporsional, seperti bintang-bintang basket yang sering kau lihat di televisi. Namun … gigi-gigi itu, sedikit … entahlah, kau bingung. Yang pasti itu bukan gigi manusia kebanyakan.

Di antara kegelapan yang menyelimuti, gigi putih itu terlihat bagai penerang di kala tersesat. Saat kau tak dapat menemukan jalan pulang. Dan hal itu membuatmu terpaku pada giginya, hingga kau tak menyadari ada sesuatu berkilau di tangannya; sesuatu seperti pisau namun lebih panjang, dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dan ujung tajam yang mengerikan. Ia mengeluarkan benda itu perlahan dari balik tubuhnya. Tanpa suara. Bahkan kau pun tak dapat melihat pergerakan tangannya saat tiba-tiba benda itu sudah teracung tepat di depan wajamu.

Kau terkesiap. Akhirnya kakimu dapat sedikit digerakkan. Kau melangkah mundur, namun hanya dua langkah. Setelahnya kakimu berhenti karena menabrak sesuatu yang dingin di belakangmu. Pintu itu masih tertutup seolah berniat mengurungmu bersama lelaki ini.

Kau tak dapat berucap sepatah kata pun. Bahkan ketika lelaki ini mengutarakan niatnya untuk membunuhmu. Kau ingin bertanya alasannya, namun tak bisa. Mulutmu bergetar hebat kala melihat kilau runcing benda yang dipegangnya erat di tangan. Itu pasti tajam sekali, pikirmu.

Tangannya tiba-tiba terangkat. Senyum di bibirnya kian melebar menyaksikan ketakutanmu dan ketidakberdayaanmu. Dalam gerakan cepat ia mengayunkan pisau melengkung itu, tubuhmu serasa kebas sekarang, dan sekelebat cahaya putih menyeruak seolah mengoyak pupilmu.

.

.

.

"Haaaaaaaaah …."

Kau mendapati dirimu masih berada di depan pintu cokelat usang. Badanmu menggigil tak terkendali, sementara keringat dingin mengucur deras dari kedua pelipis. Ujung jari telunjuk kananmu meraih gagang pintu yang telah patah sebelah. Tak berusaha menariknya maupun mendorongnya, hanya menyentuhnya. Kau terdiam beberapa saat. Berusaha mengembalikan kesadaraanmu yang menguap bersama bayangan aneh barusan.

Ketika kesadaraanmu telah kembali, kau masih bergeming. Kau menatap pintu cokelat usang itu dalam kehampaan. Di balik pintu itu, gelap gulita. Kau tak tahu bagaimana, tapi kau yakin dalam kegelapan sosok lelaki itu menunggu. Kau bisa mencium baunya. Bau asam-manis, arang, serta kebusukan hatinya. Kau bisa merasakan kewaspadaannya, seolah ruangan kosong itu telah ia sebar dengan mata-mata tak kasat mata guna mencari mangsa. Dan kau tahu satu hal, jika kau melangkah ke balik pintu maka lelaki itu pasti akan menyerang dan membunuhmu. Dan kali ini kau pasti tak akan selamat.

Kau memilih berbalik, meninggalkan ruangan terkutuk itu dan mencari cahaya yang menenangkan di luar sana. Persetan dengan—siapa pun itu—guru BP yang memanggilmu.

Kau memutuskan kembali ke kelas, suasana kali ini begitu hening. Tampaknya sedang ada tes mendadak dari Anko-sensei, pikirmu. Kau mengetuk pintu tiga kali, dua detik kemudian suara wanita menyahut dari dalam. Kau menggeser pintu perlahan takut mengganggu yang lainnya. Matamu menatap berkeliling, mendapati Anko-sensei yang berdiri di sudut ujung kelas mengawasi gerak-gerikmu. Ia mempersilahkanmu untuk kembali ke tempat duduk dengan sebelumnya menanyakan perihal pertemuanmu dengan guru BP.

"Maaf, sensei. Beliau tidak ada dimana pun." Hal ini tidak sepenuhnya dusta. Kau memang tidak bertemu dengan beliau, atau setidaknya begitu, jika pertemuanmu dengan orang yang kau perkirakan guru BP dalam bayang-bayang tidak masuk dalam hitungan.

Dahi wanita itu mengerut sedikit, lalu kembali normal. "Apa kau sudah mencarinya ke seluruh tempat?"

"Tidak, sensei. Hanya di ruangannya."

"Hn." Ia berdehem sedikit, mencoba menimbang-nimbang sesuatu, "Seingat ibu, sekolah kita tak memiliki ruangan khusus untuk konseling." Ada jeda sejenak. "Baiklah. Saat istirahat cobalah kau cari beliau di ruang guru sebelah utara, mungkin beliau ada di sana."

"Baik, sensei."

.

.

.

Kau berjalan sedikit tergesa dari gedung. Terkadang menoleh ke belakang, menatap penuh rasa penyesalan dan bersalah, dan ada sedikit rasa takut di sana. Anko-sensei sudah pulang, pikirmu. Kau sadar perbuatanmu salah dan cepat atau lambat kau pasti akan segera menerima hukumannya. Tapi kau tak lagi perduli, atau mencoba untuk tidak perduli setidaknya untuk saat ini.

Saat istirahat makan siang kau bersembunyi. Kau membaur ke dalam keramaian siswa , menyusupkan dirimu di antaranya, lalu berbelok ketika menemukan ruang perpustakaan di lantai bawah. Dengan cara itu kau dapat menghindari Anko-sensei dan guru BP-nya yang terus merongrong ingin bertemu. Kau takut, lebih tepatnya masih trauma dengan kejadian sebelumnya. Kau masih ingin hidup, belum siap untuk bertemu siapa pun. Takut menghadapi kemungkinan bertemu dengan lelaki berpisau panjang yang terobsesi membunuhmu. Dengan asumsi lelaki itu memang benar-benar ada. Bukan bayangan rekayasamu semata.

"Syukurlah, aku selamat."

Kau berjalan menyusuri jalanan di kompleks Haikano. Satu-satunya kompleks pertokoan teraktif di distrik Konoha. Tak banyak yang bisa kau temui di sini. Selain toko perkakas dapur, sedikit toko pakaian dan mainan anak-anak, beserta toko bahan makanan yang menyebar bagai jamur di atas roti. Di sini café adalah toko penjual minuman, yang hanya menjual minuman di musim dingin dan panas. Dengan daftar menu berisi kopi panas atau bir.

Kau memutuskan untuk mampir sebentar. Pintu masuk bergemerincing sedikit saat pintu terdorong masuk. Aksesoris kecil di atasnya bergerak tak teratur saat ujung pintu mendorong sisinya ke atas. Sesosok pria tinggi, kurus—yang selalu menjelaskan kepada setiap pengunjung yang datang bahwa ia bukan kurus melainkan langsing—dengan kulit tan menyambutmu di belakang mesin kas. Ia tersenyum begitu lebar. Sampai-sampai seekor katak pun mungkin bisa menyelinap masuk ke dalamnya jika katak itu mau.

Kau sedikit mengernyitkan keningmu heran. Lelaki yang sangat kau kenal itu sedang mengenakan rambut palsu tebal dan berwarna gelap. Rambut palsu berbentuk bundar aneh itu mengingatkanmu pada penyanyi R&B tahun 60an dan Michael Jackson saat ia kecil. Di bawah wig, beberapa helaian rambut asli bewarna pirang mencuat keluar.

"Apa sedang ada parade peringatan kematian King of Pop di sini?" sindirmu saat kau meletakkan tangan kanan di atas meja konter.

Dia tak marah maupun tersinggung. Sebaliknya, ia tertawa terbahak-bahak. Melihatnya justru kau yang merasa tersinggung. Kau tak merasa ada yang lucu dengan pertanyaanmu tadi. Apa sekarang justru aku yang terlihat seperti badut di matanya, pikirmu.

Dia mengusap sedikit air mata yang keluar di sudut-sudut mata. "Tentu tidak, Sakura. Peringatan kematiannya bulan depan. Lagipula tidak pernah ada kematian yang diparadekan di sini, di Konoha."

Kau merasa seperti orang bodoh yang diceramahi orang bodoh lainnya sekarang.

Beberapa detik berselang kau masih terdiam di depan konter. Sementara Naruto sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hari ini pembeli tampaknya lebih banyak dari biasanya. Dan kau menyesal telah mengganggunya tadi dengan pertanyaanmu yang tak berguna. Sebenarnya ada sedikit rasa kasihan di benakmu melihat Naruto yang kewalahan bahkan sekedar untuk memasukkan uang ke mesin kasir. Tapi kau ingat ada peraturan ketat di sini yang mengatakan bahwa 'Orang Luar Tak Boleh Ikut Campur'. Dan hal itu berlaku pula bahkan untuk bisnis toko kecil-kecilan. Maka kau memutuskan untuk menjelajah isi toko meski tak yakin apa yang sedang kaucari.

Kau menjelajah dari rak ke rak, dari perkakas dapur ke bahan makanan siap saji yang berukuran mini, sampai sesuatu menarik perhatianmu. Di sebuah sudut rak yang menjual payung dan beberapa jas hujan, berdiri mencolok sebuah boneka berukuran dua kepalan tangan orang dewasa berbentuk singa bermata lembut dengan bulu-bulu tebal halus berwarna kuning keemasan. Benda ini seperti terpaksa diletakkan di sisi itu karena tak ada lagi tempat yang cocok untuk meletakkannya. Dan satu-satunya tempat tersisa yang mungkin adalah di samping payung beserta jas hujan. Kau bahkan sempat berpikir boneka ini digunakan untuk menakut-nakuti pencuri payung. Yang mungkin akan berpikir boneka ini semacam roh penjaga.

Kau mengangkat boneka itu sampai setinggi bahu lalu mengendus baunya. Bau daun mint menyeruak memasuki hidung dan kau ingat betul dengan bau ini. Yang tidak kau mengerti adalah, bagaimana dan mengapa, boneka hadiah ulangtahun Rin berada di toko penjualan makanan dan barang perkakas rumah tangga. Kau memutuskan membawa boneka itu ke konter.

Naruto menoleh sedikit kaget ketika kau meletakkan boneka singa itu ke depan meja konter. "Aku pikir kau sudah pergi, Sakura-chan."

Kau tahu itu bukan pertanyaan yang harus dijawab. Maka kau memilih diam dan tak memerhatikannya. "Di mana kau mendapatkan boneka ini?"

"Entahlah, aku tak yakin. Boneka itu diletakkan oleh Tou-san saat aku sibuk membersihkan atap rumah lelaki tua di seberang sana dari salju." Naruto menunjuk jalan yang mengarah ke reruntuhan tepi kota, di sana ada beberapa rumah penduduk yang bangunannya masih setia dengan model rumah para petani zaman Shogun. Sepertinya rumah-rumah itu adalah rumah peninggalan yang sengaja tak diubah untuk menjaga keasliannya. "Kau tahu 'kan ada pepatah yang bilang, 'Jika musim dingin datang, dapatkah musim semi ditinggalkan?' Orangtua di area itu tak punya orang muda untuk membersihkan tumpukan salju. Dan ia tetap bersikeras untuk menyambut musim semi." Naruto mengedikkan bahunya.

"Tapi aku yakin uang yang kau dapatkan sudah lebih dari cukup untuk membeli sepuluh kotak cup ramen."

Dia tersenyum sendiri mendengarnya. "Yah, aku tak bisa berbohong untuk hal yang satu ini. Orangtua itu cukup kaya, namun tak punya satu pun pelayan untuk membantu."

"Kalau begitu, sudah seminggu boneka ini disimpan oleh ayahmu di sana?" tanyamu, mengembalikan topik ke jalurnya semula.

Ia memalingkan wajahnya, sambil menekan-nekan pelan dahi yang basah oleh keringat. "Sebelas hari, kalau tidak salah. Tapi awalnya Tou-san meletakkan benda itu di atas lemari pendingin berisi makanan beku. Sampai suatu alasan membuatnya memindahkan benda itu ke deretan payung dan jas hujan."

Kau terdiam. Membiarkan Naruto melanjutkan ceritanya. Sampai akhrinya dia berhenti bicara dan balik bertanya. "Memang kenapa? Apa benda itu milikmu?" Dia menunjuk boneka yang sekarang puncak kepalanya tengah kau remas perlahan sementara fokusmu melayang ke tempat lain.

"Tidak. Tidak juga." Kau terdiam, berusaha mengingat sesuatu. "Sejujurnya dulu aku pernah beli yang mirip seperti ini dan 'hampir' kuberikan untuk Rin."

Naruto menatapmu. Bibirnya seolah bergetar ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan—entah karena apa.

"Apa aku boleh membawa boneka ini sebentar? Aku ingin memperlihatkan ini padanya."

Dia terlihat menimbang-nimbang lalu akhirnya setuju dengan syarat boneka itu jangan dibuang. Tentu saja dia bercanda dan kau tahu itu. Kalian pun tertawa kecil, sebelum akhirnya kau berpamitan pulang dan berkata bahwa kau ingin menemui Tou-san Naruto kelak, memberitahunya bahwa sekarang boneka singa ini ada di tanganmu. Alasan yang bagus. Dengan begini kau bisa bertanya lebih lanjut perihal boneka ini padanya tanpa harus dicurigai.

.

.

.

Sepanjang perjalanan kau menyusun rencana untuk malam hari. Segala sesuatunya harus sempurna malam ini, tak boleh ada yang terlewat. Waktu tak boleh disia-siakan atau kau akan terlambat pergi ke pusat perayaan musim semi dekat pasar Konoha. Ini adalah perayaan yang paling kau nantikan sepanjang umurmu. Sejak kecil kau selalu pergi ke sana bersama orangtua beserta adikmu dan kali ini adalah kesempatan emas untuk menghabiskan waktu di sana bersama Ino dan yang lainnya.

Bisa dibilang perayaan musim semi ini sekaligus merayakan kebebasanmu.

Kau mengetuk pintu dan memeriksa handle pintu. Tidak terkunci. Kelihatannya sedang ada tamu di dalam dan … ia laki-laki. Karena ada sepasang sepatu putih tergeletak rapi di lantai depan pintu. Dari ukuran dan model sepatunya, sepertinya tamu ini masih cukup muda. Mungkin sebaya.

Kau meletakkan sepasang sepatu di rak seperti biasa. Kemudian melangkah ke kamar. Namun, seketika langkah-langkahmu serasa memendek dan akhirnya diam. Kakimu bergetar hebat sekarang. Seperti dihalangi, kedua kakimu tak dapat melangkah sama sekali. Seolah ada seuntai benang tajam tak kasat mata yang menusuk-nusuk kulitmu, kau pun menggigil hebat.

Kaa-san tiba-tiba muncul dari bilik di sampingmu. Ia mengenakan celemek putih kekuningan dan membawa nampan di tangannya. Raut wajahnya sekarang bingung melihatmu. "Kau kenapa Sakura?"

Kau hanya menggeleng kecil, lalu menunduk menatap jari-jari kakimu. Sedikit hangat sekarang. Tapi hanya sedikit, itu pun jika kau jeli mengenali bagaimana rasanya. "Kau temani tamu kita dulu, ya. Kaa-san mau ke dapur sebentar mengambilkan sedikit cemilan. Sekalian kalian kenalan. Dia tetangga baru kita."

"Ba-baik, Kaa-san."

Kaa-san melangkah dengan jarak yang lebar-lebar—seolah ia tak ingin membuat tamunya menunggu— lalu menghilang di balik dinding dapur. Sesaat, hanya sesaat, kau melihat ada bayangan hitam yang melesat begitu cepat mengarah ke jendela ketika Kaa-san melewati kamar. Bayangan itu dari dalam kamarmu. Ia seakan menanti sesuatu. Seperti menunggu kau masuk ke dalamnya. Lalu bayangan itu pun menghilang, menyatu dalam kegelapan.

Tamu itu seorang lelaki muda. Umurnya mungkin sebaya atau setahun di atasmu. Rambutnya biru dongker. Ia memakai kaos biru polos serta celana jeans panjang. Wajahnya kini menoleh ke arah jendela luar. Seperti mengamati sesuatu. Begitu fokus sampai-sampai tak sadar ada sosokmu di dana.

"Permisi," ucapmu ragu.

Ia tersentak. Lalu segera memalingkan wajahnya. Matanya … merah? Sangat tajam. Mungkin itu lensa kontak, pikirmu. Tidak ada di dunia ini yang memiliki iris mata berwarna merah.

"Gomen," ucapnya singkat.

Kau mendudukkan dirimu di hadapannya, "Watashi wa Sakura Haruno desu." seraya tersenyum dan membungkukkan kepala sebagai tanda hormat.

Tamu itu tak tersenyum namun ia ikut menundukkan kepala sebagai respon, "Sasuke Uchiha."

"Hajimemashite, Uchiha-san." Kaku. Rasanya aneh sekali berkenalan dengan pemuda ini.

"Panggil saja Sasuke."

Kau mengangguk. "Senang memiliki tetangga baru seperti anda, Sasuke-san. Sudah lama sekali sejak distrik ini tak pernah kedatangan orang luar."

Ia menyandarkan pinggangnya ke sandaran kursi sambil terus menatapmu intens dari seberang. "Aku lahir di sini."

"Oh, gomenasai." Kau sama sekali tidak bermaksud menyinggungnya dengan mengatainya sebagai 'orang luar'. Hampir setiap orang di distrik Konoha saling mengenal satu sama lain. Seakan kehidupan hanya berkisar di daerah ini saja. Orang-orang begitu perduli dengan tetangga, sangat perduli sampai ke akar-akarnya. Itulah mengapa kau mengira pemuda ini orang luar, karena kau ingat betul tak pernah mendengar namanya apalagi melihatnya. Hanya saja perawakan pemuda ini memang sedikit tak asing, hanya saja kau masih tak yakin.

"Aku hanya ingin kembali ke rumah," ucapnya santai.

TBC

A/N:

Yang jelas saya mau minta maaf atas keterlambatan fic ini. Sudah sekitar 6 bulan kayaknya fic ini terlantar dan sempat mikir mau dihapus, hanya saja rasanya jadi gak tanggung jawab. Semua ini karena kesibukan kegiatan di sekolah, jadi susah sekali mau nyuri waktu, syukur ada libur jadi bisa lanjut ^^

Terimakasih untuk yang udah bersedia membaca, mereview, dan sebagainya. Maaf jika membosankan dan lainnya. Untuk yang review waktu itu udah saya balas lewat PM, terimakasih banyak, review kalian membuatku semangat melanjutkan..

Konfliknya memang masih belum jelas, ini hanya penjelasan untuk mengawali konflik utamanya. Sedikit spoiler, yang pasti Sakura di sini tidak berhadapan dengan makhluk biasa. Saya gak bilang dia hantu, hanya saja tidak biasa. Bisa dibayangkan? Hehe

Jika berkenan silahkan tinggalkan jejak, salam Ariya 'no' Miji