Sepasang mata berwarna emerald jernih memperhatikan dari balik jendela bening transparan, di mana terdapat bangunan-bangunan pencakar langit membelah cakrawala sore yang berwarna lembayung. Dari tempatnya kini duduk, ia, sosok itu, masih bisa merasakan atmosfir keramaian Jepang di tengah peradaban modern abad 21 yang di penuhi oleh teknologi dan kenyamanan yang memanjakan. Sesekali ia melirik jam tangan keluaran Causio yang melingkar di pergelangan tangannya; lewat lima menit, batinnya sembari mendengus kesal dan memilih merapikan rambut tulip miliknya yang melawan gravitasi. Selera aneh memang, beberapa orang berkomentar namun ia memilih untuk diam dan bertingkah layaknya orang tampan nan cool.
Suara langkah terdengar samar di telinganya, yang cukup peka seperti kelinci manis peliharaannya di rumah. Berikutnya pintu ruangan di sana terbuka, memperlihatkan seorang pria muda dengan wajah Asia yang khas. Dengan kikuk pria yang ditunggu-tunggu duduk di seberangnya, sambil meminta maaf atas keterlambatan. Seperti biasa, sang pria jabrik berkebangsaan Belanda—Etherland Netfmmel itu menyambut dengan anggukan dan ekspresi stoik saat melihat tingkah 'rekannya'.
Pertemuan itu berlangsung selama beberapa waktu, diisi oleh pembicaraan bisnis yang profesional. Etherland memperlihatkan kelihaiannya sebagai salah satu petinggi perusahaan besar yang memiliki banyak koneksi dengan perusahaan lain di penjuru dunia; bekerja sama dalam beragam bidang. Dan pria berkebangsaan Jepang dihadapannya, Kiku Honda, mampu mengimbangi pembicaraan bisnis orang Kaukasia sepertinya. Memperlihatkan bahwa dia orang terpelajar yang sudah berpengalaman, dengan senyum ramah yang hangat dan tutur kata yang sopan.
Perbincangan bergerak secara dinamis dalam arus keramaian, tanpa sadar langit lembayung pun telah berganti dengan tirai hitam raksasa, yang di taburi oleh manik-manik bintang dan cahaya-cahaya pembelah kegelapan malam musim panas di bulan Agustus. Mereka mengakhiri negosiasi tersebut tepat sebelum jam makan malam dan keduanya sepakat untuk mengadakan jamuan bersama.
Etherland memperhatikan sosok Kiku Honda yang bangkit dan mengulurkan tangan padanya. Bahkan setelah beberapa tahun terpisah, ia tidak berubah, batinnya dengan senyum tipis. Ya, keduanya memang mempunyai hubungan yang dekat satu sama lain sejak dulu, bahkan sebelum usaha yang di bangun keduanya berkembang sepesat ini.
Keduanya menjalani makan malam di sebuah restoran elit, berbincang-bincang mengenai hal-hal ringan. Pria Belanda itu baru melahap setengah bagiannya ketika telepon genggamnya berdering, buru-buru ia bangkit dan permisi untuk mengangkat panggilan tersebut di luar. Sang pria Jepang dengan iris cokelat madunya yang teduh merespon dengan ramah mempersilahkannya, dan dalam batin Etherland merutuk kesal pada si pengganggu acaranya malam ini. Ia menjawab panggilan telepon itu sebelum semakin lama makin cerewet dengan nada dering yang memalukan.
…Nggak keren kan, eksekutif gentle macam dirinya ternyata punya ringtone suara kucing imut mengeong?
"Goeden Abend, Herr Neftmmel."
Pria dengan syal biru-putih itu terdiam sejenak, merasa asing dengan suara si pemanggil telepon tak diundang itu. Dahinya berkerut dan ia menelan ludah, sebelum akhirnya menghela nafas panjang.
"Ya—"
Malam itu, sebuah panggilan tak terduga datang.
Brocken
Hetalia Axis Power ©Hidekaz Himaruya
.
Brocken © Me
Asean-tan :
Eka Kartini Puspa (Indonesia), Ahmed Rizal Zainnor(Malaysia), Chihye Yin(Singapura), Qariatul Fajriyah(Brunei Darussalam) by Me .
Etherland Netfmmel (Belanda)
Warning:
Death Chara. AU. Sumpah serapah (?)
Beta reader : 3plusC
Happy Reading.
Don't like don't read.
...
Dari apartemennya di De Pijp, Amsterdam, Etherland dengan langkah cepat meneguk secangkir kopi instan yang mendingin di coffe table dan meraih kunci mobil yang tergeletak di sofa EKTORP putih. Syal biru-putihnya yang khas berkibar, ...astaga bahkan dalam cuaca seperti ini dirinya masih mengenakan pakaian semacam itu. Setelah memberikan beberapa potong wortel pada sepasang kelinci peliharaannya, ia keluar dan mengunci pintu apartemen. Jam masih menunjukan pukul setengah sepuluh pagi ketika ia akhirnya duduk di jok mobil miliknya. Dengan atap terbuka, ia menikmati sinar matahari dengan mengenakan kacamata hitamnya. Perfect.
Etherland memacu mobilnya dengan cepat, mengindikasikan bahwa dirinya kini sedang digelut oleh sebuah kepentingan; penting sekali! Ia menyetir dengan perasaan menggebu-gebu yang tak biasa—beruntung tidak menabrak beberapa pengendara sepeda tadi. 'Sialan', desisnya sembari bersumpah serapah. Hari ini ia memiliki urusan yang tak boleh diremehkan. Well—ini bukan soal kerjaan. Sudah berapa lama ia tidak menghadiri meeting? Persetan dengan si Gila Tembak itu. Yang pasti ini prioritasnya.
Setelah berbelok, Etherland akhirnya memperlambat dan memarkir kendaraannya di depan sebuah bangunan tua. Buru-buru ia membawa ranselnya dan berlari memasuki bangunan tersebut, menaiki tangga besi yang berkarat dengan penuh semangat, sebelum akhirnya... bertubrukan dengan seseorang. Sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, orang dihadapannya keburu menyapanya dengan aksen Italia yang kental. Iris emerald-nya bisa melihat sosok pemuda dengan rambut cokelat susu dan ahoge yang mencolok. Dia...
"Vee~vee~ ciao! Apa yang kau lakukan disini, Signo—UAAHH!" Sapaan pemuda ceria itu terpotong oleh jeritan nyaring saat ia melihat ekspresi sangar sang Belanda. Ia tampak ketakutan dan salah tingkah, membuat Etherland memutar bola mata dengan malas. Sejenak, ia menepuk pundak pemuda itu dengan cukup keras, "Tidak ada waktu untuk salam, Herr. Katakan dimana dia?"
"Vee?"Pemuda Italia itu tampak bingung tak mengerti dengan ekspresi polosnya, "…Signor Che?"
Etherland hanya bisa merutuk kesal dalam batin menghadapi pemuda ber-ahoge tersebut, ia menggumankan sepatah kalimat dalam bahasa Italia yang kurang lancar dan sang lawan bicaranya itu akhirnya menarik senyuman lebar dengan wajah cerah ceria dan menunjuk ke ujung lorong yang dihiasi pintu-pintu kuno.
"Ve~! Grandpa Roma ada di ujung sana, tapi barangnya sudah tidak ada lagi, vee~"
Spontan Etherland menghentikan langkah, dan berbalik kepada pemuda—yang bernama Feliciano Vargas. Ekspresinya yang mendadak garang lagi membuat sang Italia terkejut, "Vee~Ampuni akuu~ Tolong~"
"Berisik, ah!" Kali ini Etherland tak tahan lagi dan membekap pemuda cengeng tersebut, "Katakan apa maksud perkataanmu sebelumnya!"
"Vee?"
Hilang sudah wibawa seorang Etherland Netfmmel, usahawan keren(?) nan populer(?). Kali ini ia merasa seperti mendapat serangan darah tinggi dadakan yang membuatnya ingin melempar pemuda ini kayang keliling Venus. Tidak lucu memang.
Banyak waktu ia habiskan dengan keluyuran mencari informasi dan berkutat dengan laptopnya sampai pagi. Dan setelah bergelut dalam dunia maya yang membuat laptopnya terbantai mengenaskan oleh kerja paksa majikannya —menatap layar monitor sampai mata beler dan teler tidak elit di atas sofa setelah beberapa hari tak tidur— plus membuat hidupnya mendadak kacau dengan tempat tinggal yang menyerupai kapal pecah, jadi... segala usaha yang penuh cucuran keringat dan air mata untuk mendapat apa yang ia cari selama ini berakhir sia-sia?
…..
"BUKANNYA AKU SUDAH PESAN DULUAN?!"
Amarah pun meluap, membuat pemuda Italia polos dihadapannya semakin berjengit ketakutan. Iris emerald Etherland menatap garang pemilik iris hazel tersebut, tangannya yang besar mencengkram bahu pemuda tersebut.
"Aku tak tahu juga, ve~, kemarin seorang kakek tua datang dan ngobrol panjang dengan Kakek—"
Tanpa aba-aba, sang pria Belanda tersebut langsung berlari menuju ujung lorong yang ditunjuk tadi. Ia melangkah dengan penuh emosi—mengabaikan pemuda dengan iris hazel di belakangnya yang sempat-sempatnya berkata, 'Vee~~di sana ada pasta juga~~' namun tak dipedulikannya. Ini bukanlah waktu makan pasta sembari berbincang-bincang dengan si-Kakek-Roma ditemani secangkir kopi, well, kalau saja barang yang dimaksud oleh Feliciano masih utuh, mungkin Etherland akan mempertimbangkannya. Sayang, semua bayang-bayang tersebut tak akan terwujud dengan kenyataan yang meleset dari perkiraannya.
Pintu kayu berat dibukanya dengan paksa. Dan...dari posisinya, ia bisa melihat dua orang menyedihkan dalam ruangan kumuh berdebu; seorang pemuda dengan ahoge yang hampir mirip dengan orang yang ditemuinya di lorong, dan seorang pria tua dengan kaos kumal, tengah menyantap sepiring pasta—itu dia.
"Ahyaa! Selamat pagi, Signor~"Pria tua itu menyapa Etherland yang mengangguk kaku dalam diam. Sorot matanya menukik tajam kepada pria yang lebih tua di depan—yang tampaknya tak bisa mengerti situasi.
"Che. Kakek, ini orang yang memesan to—"
"Aku tidak berbicara denganmu, Lovi~"si pria tua memotong ucapan pemuda beraut muka cemberut. Pemuda yang dipanggil Lovi itu mendengus kesal, merengut seperti anak kecil dan memilih untuk keluar ruangan.
"Topengnya sudah dijual, tulip-bastardo!" Seru si Lovi sebelum akhirnya pintu tersebut tertutup oleh bantingan keras. Ada jeda keheningan yang memasuki ruangan itu, membentuk atmosfir aneh yang menggelitik. Jadi, memang benar—
"Heraherahera~kau sudah dengar, kan, Signor?"
Sebuah perempatan muncul di pelipis Etherland. Membuatnya...
BRAK!
Etherland menggebrak meja dengan telapak tangannya yang besar. Iris emerald-nya menggelap menatap tajam pria tua yang berpostur cukup besar itu.
"Jangan bercanda, Kakek." Ada rasa tidak enak ketika Etherland menyebutkan kata kakek, "…Maksudku, Herr…"
Etherland buru-buru meralat panggilan 'Kakek' dengan kata 'Herr' yang lebih formal dan sopan, setidaknya ia bisa menunjukan wibawa dan kemampuannya sebagai pengusaha yang diplomatis.
Tuan Roma mengangguk paham dan senyuman lebar masih terukir jelas di wajahnya. Pembicaraan mereka berlanjut dengan diskusi (dan bukan adu mulut)— yah, setidaknya Etherland tidak perlu menghancurkan setengah wajah harga dirinya…
Setengah?
"Saya sudah kesana-kemari untuk mengorek informasi sampai ke sini, dan bukankah minggu lalu saya sudah membuat kesepakatan dengan anda lewat telepon dari Tokyo untuk melakukan transaksi jual-beli barang itu hari ini?!"
Tuan Roma mengangguk tenang, entah tanda mengerti atau tidak sama sekali.
"Dan topengnya sudah terjual, Signor~"
BRAK!
Untuk kesekian kali Etherland menggebrak meja dengan kasar, emosi serasa mendidih di kepalanya, "Justru itu yang saya pertanyakan! Kenapa anda malah menjual topeng tersebut pada orang lain?! Anda tahu 'kan saya amat membutuhkan benda itu!"
Etherland tersengal-sengal, menatap lawan bicara dengan berang. Peluh menetes dari pelipisnya, merasa cukup kepanasan dalam ruangan itu dan ia menghempaskan diri di kursi berlengan bagiannya dengan keras.
"Wine."
"APA?!" Etherland terperanjat saat mendengar kata itu, ia mengelus dada dan mencoba bersabar menghadapi kakek-yang-tak-peka ini. Ia menghela nafas berat dan menampilkan facepalm, "….Maksud Anda?"
"Yaa, kemarin ada seorang kakek yang datang dengan sebotol wine yang uhh~ enak sekali! Benar-benar memuaskan dan dia meminta barter dengan topengnya, begitulah, uhm…"
Jantung Etherland serasa di pukul oleh pemukul besi, jatuh kedalam kekosongan. Gott, seorang eksekutif keren(?) yang sukses dengan gelimang harta kalah negosiasi oleh sebotol wine? Brengsek! Ia bisa memberikan sesuatu yang lebih baik—yang terbaik malah.
Merasa 'bisnis'nya gagal total, Etherland memilih berlalu sambil memijit-mijit kepala. Tidak habis pikir dengan orang tua itu, mengabaikan kepergiannyanya dan kembali menyantap pasta.
"Hah..."
Etherland melangkah dengan hampa, merasakan bagaimana cahaya mentari mendominasi di langit terbuka. Tak lama, ia telah memasuki Jaguar XKRS Convertible miliknya dan sesaat melirik layar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab dan satu pesan. Sigh.
…
Sebenarnya, apa yang diinginkan pria Belanda tersebut didasari oleh peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Peristiwa yang mengubah seluruh kehidupannya; menjadi titik balik dan membuat segalanya tak berwarna lagi di mata. Hati terasa teriris ketika mengingat kenangan pahit yang tak diinginkannya.
Segalanya berawal pada saat itu…
….
...
Juni, 20xx
Beberapa hari sebelum pulang ke Belanda...
Keramaian masih terasa; cahaya telah memecah kegelapan dengan penerangan yang membentuk siluet para pengunjung. Diantaranya, Etherland terlihat masih bergelut dalam arus manusia.
Kembang api bermekaran, sementara stan-stan berjejer rapi membentuk pola teratur.
Jakarta Fair.
Event tahunan itu masih berlangsung meriah.Etherland memperhatikan sekeliling dengan malas. Bosan. Ia mendengus kesal sembari melangkah dibelakang saudara-saudaranya, Bella dan Luxie, yang berjalan antar satustankestan yang lain dengan semangat. Mereka tengah berada di Hall A dan Etherland bisa mendengar musik hiburan di panggung utama sana.
Well,sebenarnya kedatangan mereka disini untuk sekedar liburan dan bisnis (terutama untuk Etherland). Banyak tempat yang mereka datangi selama kunjungan ke Indonesia tersebut, tak hanya ibukota negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Menghabiskan waktu berjemur matahari di Bali atau sekedar jalan-jalan di Malioboro sembari memborong souvenir pun turut diperhitungkan.
Walaupun tidak seperti Pasar Malam Besar atau Museumnacht, pria Belanda tersebut tak menunjukan minatnya secara khusus. Ia disini lebih cenderung untuk kepentingan. Dua saudaranya keluyuran di bagian furniture sementara dirinya hanya menyilangkan tangan di dada, memasang wajah yang bisa membuat para gadis, ehm, meleleh?
Sebenarnya, dari pada meleleh, mungkin para gadis justru akan menaikan sebelah alis melihat rambut yang bagaimana caranya bisa melawan gravitasi seperti itu.
Etherland Netfmmel. Menanjaki dunia bisnis di usia muda, merintis bisnis ekspor-impor keperluan medis serta hasil alam semacam buah dan sayuran. Usaha penuh cucuran air mata dan keringat, yang ia upayakankan mati-matian untuk menghidupi dua saudaranya yang masih berada di jenjang kuliah. Walaupun pria berkebangsaan Belanda yang terlihat sering mengenakan syal biru-putih dan suka dengan hal-hal imuttersebut memiliki hubungan kurang begitu mulus dengan rekan-rekan sejawatnya,namun ia tak mau menyerah dan dengan keras kepala bertahan dalam asam-manis dunia bisnis.
Beruntung ia bertemu dengan seorang pria Jepang bernama Kiku Honda dalam sebuah perjalanan Berlin Airlines, yang ternyata juga bernasib sama dengan dirinya. Keduanya bekerja sama saling bahu-membahu. Begitu rukun, sampai-sampai Bella Netfmmel, adiknya, merasa sedikit aneh. Pada suatu jamuan afternoon-tea, ia berkomentar. Namun pria Belanda itu mengangkat bahu cuek, mengaku tak tahu menahu apa yang dimaksud. Hubungannya dengan Kiku Honda memang akrab dan kental—biasa, kan? Etherland tidak mau berpikir lebih jauh.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun, keadaan mulai membaik. Setidaknya, bisnisnya mengalami kemajuan dan ia bisa menghidupi keluarga kecilnya,walau kemudian mereka terpisah-pisah; Bella bekerja sebagai petugas medis di Belgia sementara Luxie memilih untuk mengajar taman kanak-kanak di Ettelbruck, Luxembourg. Ketiga saudara itu mulai jarang bertemu dan berkomunikasi, terpisahkan oleh jarak dan aktivitas sendiri.Dan ini adalah momen kebersamaan setelah sekian tahun terpisah.
"Hoi, Bella, bisakah—"
Suaranya yang berat terendam. Ia menyadari bahwa dua saudaranya itu sudah tidak ada di sekitar.Etherland berkeluh kesal, mendapati dirinya tersesat dalam festival di negeri orang. Tak ada masalah pun yang baginya sudah sangat menjemukan, apalagi sekarang, kemana ia harus mencari?
Ia sedikit menyesal lantaran tidak membawa kamus atau penerjemahnya yang biasa. Pengusaha Belanda dengan kehidupan datar itu kini jadi terlihat seperti bule nyasar—atau lebih tepatnya bule jabrik (tulip?) yang terdampar menyedihkan. Marah? Kesal? Percuma,tak ada yang bakal berubah. Kalau seandainya berkeluh kesal itu bisa mengantarkannya kepada dua saudaranya itu, mungkin boleh, misalnya saja ia bersumpah serapah dalam bahasa Belanda dengan pengeras suara—sesuatu yang mungkin mengundang tentu saja tak akan ia lakukan! Sorry, Etherland Netfmmel yang tampan(?) begini benar-benar menjaga harga diri. Usianya terlalu muda untuk jadi bahan gosip dunia, sudah cukup yang ngegosipin hubungannya dengan—AH, Lupakan.
Pandangannya menyapu area sekitar dengan teliti, mencoba menemukan keluarga kecilnya di tengah jejalan manusia. Tak mau banyak pikir ia terus berjalan.Sampai kemudian langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok gadis berkulit sawo matang dengan surai rambut hitam yang tergerai bebas. Wajah polosnya dibingkai sedemikian imut, membuat pria kaukasia kesepian, ya, Etherland, mendadak bersemu merah. Tuhan, batinnya, mimpi apa semalam dia bisa menemukan orang seperti itu di tempat seperti ini?
Pikirannya mulai melayang kesana-kemari. Sial, cewek itu lebih imut ketimbang kelinci peliharaannya! Dengan postur tubuh proposional dan pakaian kasual yang simpel namun pas untuk tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh yang—Mjin God…
Memori berkelebat dalam otaknya. Jantungnya seakan terhenti sejenak ketika ia mulai merasa familiar dengan wajah itu—dia…
Buru-buru Etherland mengalihkan pandangannya sebelum sang cewek menyadari bahwa ia tengah ditatap oleh sosok dengan degup jantung tak karuan. Tu-tunggu. Etherland tidak percaya dengan yang namanya cinta-pandangan-pertama, tapi masalahnya orang itu sungguh rupawan. Pemikiran pria Belanda itu beralih pada bayangan seorang gadis Asia berkulit sawo matang dengan pakaian maid—atau lolita-dress yang manis, duduk anggun diantara boneka-boneka kelinci.Lucu dan imut, dengan efek berkilau plus pita-pita komikal— Oh, Etherland bersumpah serapah kala menyadari bahwa bawaan 'lolicon'nya kambuh! Ia sekarang jadi berubah seperti bule tulip segede gaban yang blushingtak jelas sambil cengengesan aneh di tempat asing. Ah, persetan, asalkan ia bisa menikmati sosok itu lebih lama lagi.
Ia yang sebelumnya berkeluh kesal dalam hati lantaran terseret di acara macam begini kini berganti dengan syukur. Boleh dipanggil Indische saja? Nama itu terlintas dari benaknya; oh, pasti dia sedang terpengaruh buku sejarah untuk masa kejayaan negerinya di Zamrud Khatulistiwa. Dengan tingkah yang polos khas remaja, hilir mudik dan sesekali tertawa, mengobrol dengan beberapa penjaga stan yang ramah..., gadis itu tampak lebih seperti titisan dewi di kegelapan, dengan garis wajah yang halus—membuatnya ingin melindungi gadis itu dari tangan-tangan kotor dunia. Ia bisa membayangkan suara indah gadis itu menyebutkan namanya, atau memasang wajah memelas dengan air mata...
Rambut tulipnya serasa melayu, dan dirinya kembang kempis dalam gejolak emosi. Ia melangkah mengikuti gadis itu dari belakang,menembus hawa dingin yang menerjang—namun tak mampu membekukan dia untuk mengikuti gadis itu.
Bahkan disuruh menerjang kingkong pun abang mau melakukannya untukmu.
Ya, tampaknya tokoh utama kita ini mendadak diterpa sesuatu yang namanya jatuh cin—HOI! Aku nggak bilang jatuh cinta! Etherland (mengelak dari fakta) dengan semu merah yang seakan permanen di wajahnya. Jujur, dia belum pernah mengalami hal yang sering menjadi perbincangan para gadis remaja itu. Ia memang pernah membaca beberapa novel soal percintaan,tapi—tunggu, apa ini yang namanya jatuh cinta pandangan pertama? Sepertinya bukan, ia kan hanya penasaran...(atau, terpesona?)
pada gadis yang mengalihkan kebosanan malam ini. Tapi ia tahu rasa debaran dan adrenalin yang berpacu seperti ini tak bisa dibiarkan begitu lama. Proyektor di gelar dalam otaknya, membentuk potongan memori yang samar akan wajah itu. Tubuhnya memanas dan terasa hangat saat menatap punggung gadis itu, pandangannya yang biasanya menusuk tajam melunak, seolah khawatir akan menusuk gadis itu hingga rapuh.
Hasrat menggebu sedikit menguatkan keberanian dan mentalitas untuk berkenalan lebih jauh. Tangan Etherland terangkat, bersiap untuk menepuk bahu mungil sang gadis sebelum sesuatu dari belakang tiba-tiba membuatnya terjerembab jatuh. Sontak saja ia bersumpah serapah atas serangan mendadak yang nyaris meremukan tulang belakangnya, belum lagi merusak mood yang telah dibinanya.
"Ntuh kan, gara-gara kamu, Jar!"
"Ih, kok nyalahin aku?! Kan salahmu sendiri, Cina mata empat!"
"Aaah, ini semua gara-gara kamu! Kembaliin marchandise anime baruku, aku nyarinya susah!" Suara gadis itu cukup keras untuk tertangkap di telinga, "Dan aku udah nggak make kacamata lagi!"
"Wee~ Nggak mau-nggak mau!"
Etherland merasakan bobot satu orang anak di punggungnya; ia tengkurap pembaca sekalian, dengan sangat tidak elitnya. Mungkin anak yang lain tengah berdiri di dekatnya, tak peduli bahwa Etherland sudah beralih jadi alas duduk dengan wajah bertemu debu permukaan.
'Ini anak makan apa'an sih kok bisa seberat ini?'batinnya, 'Tatanan rambut eksotis milikku hancur sudah!Sialan, aku juga jadi kehilangan jejak sang gadis, kan?!'
HUAAAH!
Oh,bagus. Setelah dirinya yang keren ini terjerembab jatuh dengan tidak elit, kini sumpah serapahnya diperkaya oleh suara tangisan anak kecil yang semakin memperkeruh suasana. Tontonan yang mengasikan, ya? Ahh, terserah kalian mau bereaksi apa tapi, MENYINGKIRLAH DARI PUNGGUNGKUUU! AKU HARUS MENGEJAR GADIS ITU!
"Fajar? Yin?"
Mendengar suara lembut itu membuat Etherland yang malang mendongak.Pupilnya membeliak ketika bayangan sosok gadis impiannya tertangkap di retina. Jantungnya kembali mencelos dan darahnya berdesir panas. Membuatnya tak tahan untuk menarik cengiran lebar, sembari bersyukur kepada Tuhan atas insiden yang mengantarkannya selangkah lebih dekat kepada sang bidadari!
"Mesum." Kata menyakitkan itu menusuk Etherland Neftmmel yang baru saja terbawa suasana berbunga-bunga, meluluh lantakan khayalan berkilau seketika. Pandangannya tertuju kepada asal suara, seseorang yang mirip sekali dengan Kiku Honda, hanya saja orang ini mengenakan kacamata persegi panjang berbingkai merah dan hoodie warna gelap. Pemuda itu menatapnya tidak suka, "Ngapain cengengesan dihadapan kakakku?!"
Bocah-bocah sebelumnya mendekati pemuda tersebut, mengadukan perkara marchendise. Menyadari situasi, Etherland buru-buru bangkit dan membersihkan wajahnya yangdilumuri debu. Sejenak ia memicingkan mata kepada pemuda-yang-mengejeknya-dengan-kata-kata-barusan, alisnya terangkat dan membatin jangan-jangan orang dihadapannya ini mengidap…apa itu kata kiku? Sis..Sis…AH! Sister-Complex!
"Oi, Lon!"Ia tersentak kala mendengar suara gadis-pujaan-dadakannya berbicara, menepuk punggung pemudamenyebalkan di depannya. "Setidaknya kau sopan-sopan dikit dengan orang asing napa!"
Sang pengusaha Belanda itu masih terhenyak sampai akhirnya si gadis berkulit sawo matang mendekati dirinya, menanyakan apakah dia baik-baik saja dan meminta maaf atas insiden plus perkataan kasar adiknya. Lantas saja ia menjawab dengan sedikit tergagap. Tak menyadari bahwa ada dahi yang berkerut melihat mereka berdua membuka percakapan—
"ARRGHH!" Seruan pemuda itu menyentaknya, ia baru mau menanyakan nama sang gadis sebelum si pemuda berkaca mata buru-buru menarik pergelangan tangan kakaknya, "Memang hakikatnya lah! Cuba awak lihat!"
Pupil Etherland mengecil saat menyadari bahwa handphone -dengan gantungan kelinci imut beserta isi folder yang tak kalah 'parah'- miliknya sudah berpindah tangan. Ia tak bisa berkata banyak ketika perhatian gadis berambut hitam itu beralih pada ponselnya.Sial, pasti gara-gara jatuh tadi—
..Tapi sejak kapan dia…
Dirinya merasa semakin tak karuan ketika melihat perubahan ekspresi si gadis.Peluh menetes dari pelipis, tenggorokan serasa mengering. Ja-jangan, itu…
"Hentai."
….
'Etherland-san, hentai itu mesum. Lolicon itu orang yang menyukai hal-hal berbaut ke-imut-an…terus juga yang tsundere maksudnya…'
…
Oh, itu termasuk dari sederet istilah yang di beberkan Kiku saat ia pertama kali ke Jepang untuk mengunjungi orang itu. Pria Jepang itu memberitahunya berbagai hal baru.
..
Pernyataan itu sukses membuat Etherland menunduk lesu. Kabut-kabut hitam mulai bergerumbul seiring banjir air mata.
"Ada lidah yang lebih tajam dari pisau cukur rupanya."
Mission 01 : Gagal.
Mungkin takdir mengatakan dia harus menjomblo lebih lama lagi. Sungguh malang.
Bego. Nampaknya yang namanya 'cinta' itu tak cocok bagi spesies macam dirinya. Mustinya hape nista itu tidak dibawa. Bukannya berkenalan, dia malah mendapat cap menyakitkan. Tapi bukan Etherland namanya kalau menyerah secepat cahaya.
"Tu-tunggu dulu, Nona!"Etherland menginterupsi dengan bahasa Indonesia yang belepotan dan beraksen aneh sembari menyambar handphone-nya, memencet beberapa tombol untuk keluar dari folder mencurigakan yang mungkin telah terjamah setengahnya. Bibirnya komat-kamit saat bertutur kata, "Jangan salah paham! Ini…ini bukan punyaku! Handphone ini hanya titipan dan…"
….
...
Ergh...
Etherland langsung cengo ketika ia sadar bahwa bidadari-entah-siapa-namanya bersama tiga adiknya itu telah menghilang dari hadapannya. Seolah kabur selagi sempat...
...Atau barangkali takut dengan penampakannya yang besar, berkepala tulip plus ekspresi stoik, tapi punya bawaan gaje?
Ia mengedarkan pandangan, mencoba melacak kembali jejak gadis titisan dewi-nya itu. Ia tak ingin kehilangan kesempatan emas untuk membawa pulang—EGH! Maksudnya berkenalan!
Walau mungkin mengikat rambutnya jadi twin-tail dan menyuruhnya untuk mengenakan lolita dress menarik juga…
Ia merasa kenal dengan orang itu, gadis itu pernah ia temui di suatu tempat. Kepalanya terasa sakit saat memikirkannya. Kapan, ya? Pertanyaan itu berputar dalam otaknya. Bayangan gadis itu terasa kabur jika menilik dari gulungan memorinya, tapi…
"BROER!"
Etherland terhenyak mendapati bahwa syal biru putihnya ditarik cukup kuat, membuatnya terhenti seketika. Ia menoleh dan mendapati kedua saudaranya, Bella dan Luxie , berdiri dengan tentengan tas belanjaan. Ia bisa melihat sang bungsu menaikan sebelah alisnya,
"Ngapain, Broer? Ada kelinci kabur?
Namun ia mengabaikan dan kembali menajamkan indra menerobos keramaian. Barangkali sosok itu terselip di salah satu stan. Waktu terus berlalu..., dan dalam jarak beberapa meter ia bisa melihat siluet yang dicarinya tengah menuju area parkir. Etherland tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berseru.
…
Ya. Seruan yang akan selalu di kenang oleh gadis itu.Sebuah kata memalukan yang membuatnya menghentikan langkah sejenak,berbalik memandangi Etherland dengan bingung.
'INDISCHE! SAYA…ERR—AKU! KITA PERNAH BERTEMU SEBELUMNYA, KAN?!'
Bahkan dalam hitungan menit, sebuah pertemuan mampu membuat seorang pria eropa seperti dirinya meneriakan pernyataan abstrak?
Serta merta ia merangkul gadis itu dari belakang, membuat sasarannya terhuyung dengan beban berat yang mendadak datang….
Helaian rambut hitam kelam yang halus dengan iris cokelat gelap yang teduh, berkolaborasi dengan kulit sawo matang yang eksotis. Menciptakan sebuah maha karya berseni tinggi, mampu membuat setiap mata terhenyak sejenak dalam kilau kecantikan yang bagaikan titisan dewi.Oh, bahkan pematung terunggul pun tak akan mampu memahat kecantikan itu dengan akurat.
Etherland telah terpanah oleh asmara, membuatnya terbutakan oleh yang namanya cinta. Tak berhenti ia 'tuk berusaha menggapai sang pujaan, walau telah tergaris perbedaan; diantara bangsa dan bahasa, strata dan kasta. Segalanya teralih kepada gadis itu.Sungguh, masih menjadi misteri bagaimana perasaan hangat yang menggebu mampu mengalihkan kendali akal sehat. Mereka adalah hal yang abstrak; tak mampu di sentuh, mistis, namun memikat.Menarik setiap orang, dalam balutan euforia di singgasana kenikmatan...
Baiklah, Etherland menyadari bahwa rasa penasarannya menuntun dirinya ke arah perasaan 'tertarik', hal yangbelum pernah ada dalam hidupnya. Hati kosong yang kerontang itu mulai di penuhi oleh benih hijau dan sulur-sulur emosional yang hidup membelit mata hatinya. Ia bersumpah akan melakukan apapun untuk sang bidadari, sekalipun ia akan memberikan seluruh yang dimiliki.
Dan rangkaian kebahagiaan Etherland Neftmmel tidak berselang lama, karena sebuah tinju terarah padanya,
"NAMAKU KARTINI! BUKAN INDISCHE, DASAR MESUM SOK KENAAALLL!"
…..
Itu tiga setengah tahun yang lalu.
Jika kau mengikuti kisah hidup sang pengusaha Belanda itu sampai kesini, maka selanjutnya kau akan melihat bagaimana perkembangan hubungan mereka. Sifat sang gadis yang seringkali terkesan kasar membuatnya terkesan lucu. Hari-hari indah diisi dengan pelukan mesra (biasanya berakhir dengan jotosan andalan sang Indonesia) dan kerap kali diselingi amukan si Rizal yang jengah, ...atau sebenarnya anak itu hanya cemburu dengan kedekatan Etherland dengan kakaknya?
Keceriaan berbumbu adu jotos penuh cinta itu semakin di semarakkan dengan kehadiran dua adik si Indonesia; Chihye yang maniak IT dan si alim Fajriyah (biasa di panggil Fajar). Sungguh, betapa ributnya rumah kecil tersebut jika semuanya berkumpul…
"WOI! NGAPAIN KAU DATANG LAGI?!"Sosok Rizal tak asing lagi menyambutnya di depan pintu—dengan wajah dongkol tentunya.
"Buat ketemu Bidadari, Lon. Nggak mungkin aku bolak-balik Belanda-Indonesia cuma buat nyuci bajumu."
"Kau ini…" Gerutuan terlontar.Fajriyah menghampiri Etherland sambil ngemil snack, "Kalau masuk minimal pakai salam napa?"
"Selamat sore?"
"TELAT!"
"Berisik!" Dari dalam seorang gadis rambut panjang dengan poni yang di jepit kebelakang, Chihye, mengeluh dari sofa tempatnya duduk. Pandangannya beralih sejenak kepada si tamu, sebelum kemudian kembali berkutat dengan kerjaannya bermain Metal Gear—belum tamat, hehehe.
..Tuh, kan? Pembaca dapat melihat sendiri bagaimana riuhnya rumah itu jika Etherland datang.
"Kau masih main itu?" Si bule tulip mendekatinya, melirik game yang tengah ditekuni Chihye.Yang diajak bicara menoleh dengan seringai meremehkan.
"Heh! Jangan ngomong seolah-olah kau sudah menamatkannya, ya! Aku tahu kamu bahkan nggak punya PSP!"
Sudah bukan rahasia lagi kalau keluarga kecil ini punya bawaan ceplas-ceplos seperti kakaknya (Bidadari kata Etherland), dan sang pengusaha Belanda itu hanya menunjukan ekspresi cuek bebek dan keburu ngacir sebelum ada benda-benda asing menimpuk kepalanya(Lirik si Ahmed Rizal Zainnor untuk kasus ini).
"Aku malah punya Nittendo-wii, Chi."Etherland berguman menyebut nama panggilan akrab bocah Singapura tersebut.
"Udah basi."Bocah itu menggerutu kesal memalingkan wajahnya. Mencibir dengan nada sakratis, walau Etherland tahu orang itu sebenarnya tertarik dengan nittendo-wii yang di ungkit.
"Hahh, kenapa sih orang seperti kau bisa dekat dengan Indon…"
"Lon, sirik tanda tak mampu."Waw, bahasa Indonesia Etherland cukup lancar sekarang, "Secara kan aku lebih ganteng dari pada kamu, mirip Edward Cullen lagi!"
"APAA?!"
Etherland mengabaikan amukan Rizal dan terus melangkah menuju dapur. Dari posisinya sekarang, Etherland bisa melihat Indische—ehm, maksudnya Kartini, dengan celemek putih, tengah berkutat bersama panci kecil yang menguarkan aroma-aroma sedap penggugah selera. Pemilik surai rambut panjang itu sempat tersenyum manis kearahnya. Senyum penuh makna yang sulit dijelaskan.
"Mijn Engel. Abang kangen nihh~~"Panggilnya, memeluk sang gadis secara mengejutkan. Membuat gadis Indonesia itu berontak, "Lepasin aku, dasar mesum!"
Daya tarik Kartini yang lain adalah kalau sifatnya seperti ini; namanya tsundere kata Kiku. Aish…ia seperti otaku saja tertular sederet kosakata laknat tersebut. Ia senang menggodai orang tersebut, walau sering berakhir dengan jitakan panas penuh tenaga dan rasa sayang bagi Etherland.
"Haah, kenapa sih aku harus bertemu dengan orang sepertimu?"Kartini mendesah pelan sembari mengurut dahi. "Udah mesum, sok kenal sok dekat lagi."
"Ayang kok jahat sama abang siihh? Kita kan memang udah di pertemukan sejak dulu—sebelum acara pameran ituuu~~takdir telah mempersatukan kittaa"
"Tuh kan beneran sok kenal sok dekat!"Kartini mengambil jarak, "Katakan sekali lagi dan kepalamu akan benjol, Eth. Aku nggak ingat pernah bertemu dengamu sebelumnya—sebelum Jakarta Fair."
"Kau lupa, bidadariku? Aku masih ingat lho, walau waktu itu wajahmu amat kabur."
"Nggak usah ngegombal deh, Eth."Kartini memotong dengan sebal, kembali berkutat dengan masakannya."Kau benar-benar menyebalkan, ya."
Etherland terdiam sejenak sebelum akhirnya melepas tawa, "Masa' sih Edward Cullen kaya' aku ini menyebalkan?" Kartini mendelik tajam ke arahnya begitu kata penuh percaya diri itu di keluarkan, raut wajahnya mendadak ilfeel melihat Etherland yang begitu PeDe-nya mempromosikan diri sebagai Edward Cullen—tokoh vampire di novel Twilight.
"Tapi walau bagaimanapun abang tetep cinta kok sama kamu."
Ck.
"Oh, sudahlah, Etherland."Kartini hanya menanggapi perkataan Etherland dengan dingin, walau semburat merah di pipinya sudah menunnjukan bahwa dia malu mendengar kata-kata Etherland barusan, "Kau pikir aku belum kenyang mendengar gombalanmu tiap kunjungan?"
"Tapi aku kan beneran cinta sama kamu!"Etherland mempertegas kalimatnya, kali ini ia cukup serius dengan menarik Kartini agar menatapnya secara dekat. Iris emerald-nya menunjukan keteguhan yang kokoh."Kau menganggapnya bercanda, Kartini? Kau pikir aku…main-main?"
Pupil Kartini mengecil, dan Etherland memperkuat cengkramannya. Tak ingin melepas gadis itu, bibirnya terbuka sedikit seolah ingin mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara yang keluar, lidahnya kelu.
Menit berlalu, kini sepanci kecil sayur dengan sendok yang berdiam menjadi saksi—memantulkan sebuah bayangan kemesraan antara dua insan yang bersemu merah. Dunia tak perlu menjelaskan arti rasa sayang, tak perlu menjabarkan apa makna dari dua buah bibir yang saling berpaut mesra dalam curahan sinar mentari senja. Cukup satu kata, cinta. Pujangga termahsyur pun tak perlu berpanjang lebar melebihkan deskripsi tepat untuk mereka.
"Ik hou han jou, Mijn Engel."di sela ciuman itu Etherland berkata, "Aku mencintaimu selalu, bidadariku. Selalu."
Kartini menatap penuh arti terhadap pria Kaukasia itu sebelum akhirnya mundur perlahan dan tertawa ringan, ada setitik kristal bening di pelupuk matanya. Wajahnya memerah, dan Etherland tak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Bodoh, ya."Etherland sudah bersiap untuk mendengar penolakan setelah kata itu, gadis itu menyeka air matanya."Meski aku selalu bilang 'kau menyebalkan' atau 'aku benci kamu' berulang kali, aku tetap tidak menolak kau menciumku, ya?"
…
Eh?
"Ya, ya, ya."Kartini seolah tahu apa yang ada dalam benak Etherland. "Terima kasih kau sudah memiliki perasaan khusus seperti itu untukku. Jadi kau mau apa sekarang?"
Kartini cantiikk~~cukup bilang 'aku terima' atau 'iya' susah sekali, ya? Tidak perlu berbelit-belit seperti itu. Kau juga sama seperti Etherland, kan? Perasaanmu…
Singkatnya, mereka jatuh cinta.Menanjaki satu buah kehidupan dengan status baru pada keduanya.
Mereka tahu apa yang mereka lakukan.Tak perlulah engkau menanyai ulang. Lihat bagaimana kemesraan mereka setiap harinya, kau pun akan tahu bahwa keduanya saling membutuhkan.
Inilah Etherland Netfmmel, setengah tahun sejak insiden memalukan di suatu malam berbintang. Ia telah merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang melengkapi kehidupannya dengan kehadiran seseorang yang amat ia cintai. Hidup terasa lebih berarti dan dirinya merasa berada dalam puncak dunia.
Definisi bahagianya adalah Kartini. Sayangnya...
...
"GOMBAL AJA LU SAMPAI MAMPUS, TULIP!"
Kartini memasang raut wajah cemberut dengan semu merah yang tampak jelas, bibirnya komat-kamit entah merapal apa. Pandangannya yang berapi tertuju perangkat aksesoris ke-moe-an. Lebih spesifiknya, seperangkat baju maid seksi dengan telinga kucing.Bisa dibayangkan?
"Aih, sayang. Pakai dong~, kamu itu paling manis sedunia, apalagi pakai begini—"
"MANIS DARI HONGKONG?!"Sahutan ber-capslock itu sukses membuat pemuda berkebangsaan Hongkong di ruangan lain bersin.Yang barusan berseru mendadak jadi ganas dengan gagang sapu di tangan sebagai senjata. "NGIMPI AJA SONO!"
Melanjutkan deskripsi yang terpotong oleh teriakan cantik Kartini. Sisi buruk pasangan baru tunangan (mereka melaksanakannya bulan lalu) ini adalah keributan yang mereka hasilkan.Terbukti dari keluhan tetangga dan peringatan manajer apartemen tempat mereka tinggal di Amsterdam. Beruntung caci maki dan adu jotos yang sebenarnya dilakukan dengan setengah hati itu sebagian besar didominasi kosakata berbahasa Indonesia.Jika tidak, mungkin para tetangga akan menanyakan apakah keduanya punya latar belakang hidupdi kebun binatang.
Yah, bagaimana pun juga, hubungan mereka terlihat jadi lebih berwarna, kan? Walau harus diakui dipukul dengan jurus-hasil-latihan-pencak-silat itu tidak enak. Lihat saja bekas kemerahan dan bakpao panas yang bersemi di kepala tulip Etherland. Tenang, gadis itu bukanlah tipe anarkis yang siap menghancurkan perkakas rumah anda kalau dia merasa terancam (terutama dengan hal berbau gombal).Sisi amuk massanya itu hanya 1% dari sosok cantiknya. Secara singkat, dia lebih banyak speechless dengan goda-godaan Etherland. Tapi mungkin lain kasusnya kalau dengan orang lain, jadi tolong jangan coba-coba sebelum pantat wajan yang hitam legam mendarat di dahi anda—atau yang lebih ekstrem ; adanya cedera tulang serius disertai diare abnormal sebulanan.
Dan sebagaimana biasanya kebersamaan dibina, terdapat gelombang kehidupan bersiap untuk menerjang. Mengombang-ambingkan dunia indah yang telah ditata bersama…
…..
…
"Eth!"
Langkah Etherland terhenti, selangkah dari ambang pintu. Tubuhnya terasa membeku ketika Kartini menghampirinya dengan cepat—diburu sebuah kegelisahan yang mendalam.Alisnya terangkat. Ada yang tidak beres.
"Lukas bilang ada sesuatu yang aneh." Kartini membuka mulut untuk berbicara. Raut wajahnya terlihat ketakutan—sesuatu yang membuat hati Etherland luluh.
"Aku sendiri juga merasakan bahwa ada orang lain selain kita dan…"
Ini bukan pertama kalinya Etherland mendengar keluhan mengenai hal supernatural dari bibir Kartini. Bukan pula hal seperti ini asing baginya.Ratusan, entah ribuan kali ia berhadapan dengan hal serupa. Terutama di kediaman Kartini, di Indonesia.Bukannya ia tidak tahu bahwa tunangannya itu memang bisa berurusan dengan hal ghaib semacam itu (santet buat bikin sembelit si Totally misalnya), tapi kali ini ada yang terasa lain..., dan dirinya cukup terperanjat dengan gelagat tunangannya itu.
"Aku…ada urusan dengan pihak Jepang, Sayang." Etherland berusaha menenangkan Kartini, mendekap erat tubuh mungilnya dan mengecup dahi sang wanita yang kemudian menjadi bersemu merah.
"Kau tak perlu sedemikian khawatir—"
...
Ada sesuatu yang ingin dikatakan 'penghuni ketiga' itu. Ada yang ingin dikatakan gadis itu. Ada firasat tak nyaman yang bergemuruh dalam hatinya, sesuatu yang abstrak dan tak terlihat. Ia tahu. Ia tahu. Tapi kali ini memang tidak biasa…, lebih ganjil….
"Eth…ETHERLAND! TUNGG—"
BLAM
Kartini memandang kosong pintu yang telah tertutup.
Sungguh, batinnya saat terduduk di sofa, ia... muak. Muak dengan suara-suara itu, suara yang memanggil namanya, mengganggunya dengan hawa dingin yang berhembus di belakang tengkuknya. Ia muak dengan ketukan tanpa pemanggil yang bertengger di jendela,mengganggunya, mengacaukan isi kepalanya.Dan kini, ia dibiarkan sendiri dengan semua kepingan itu.
Kartini
tahu bahwa perkataan Lukas—temannya itu memang benar. Ia…tidak, orang itu tak menunjukan dirinya. Egois kah dirinya yang ingin meminta bantuan? Meminta perlindungan? Setidaknya biarkan tangan itu menariknya dalam dekapan, bukannya berjabat dengan orang-orang di sana sementara dirinya dibiarkan melapuk dalam diam.
Tapi bukan Kartini namanya kalau bermental lemah sentimen seperti ini.Batinnya menguatkan diri,segera ia menyeka air mata yang menetes. Ia…sangat mencintai pria itu…tidak, bukan saatnya. Ia tahu perasaannya tidak perlu diragukan lagi, masalahnya sekarang adalah 'orang ketiga' di apartemen itu. Entah apa yang diinginkannya, tapi firasatnya mengatakan, bahwa siapapun dia, ada yang ingin dia kataka.Kepadanya, kepada Etherland.
'Kartini.'
Bisikan itu menyentak dirinya, membuatnya berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah angin dingin berhembus di belakangnya, dan getaran mulai terlihat dari aneka pajangan benda di meja.
Tak lama kemudian, bisikan itu datang dari berbagai arah, memanggilnya, memanggilnya.
Segalanya berputar.Tidak—tidak—di mana dia? Di mana?!
"Siapa kau?!"
Kartini bertanya dengan suara keras, suara penuh penekanan yang berbalut dengan sedikit rasa gentar. Ia tahu seseorang ada bersamanya.seseorang telah masuk, lewat jendela yang terbuka keras. Ia melangkah mundur, sembari mencoba merapal bacaan yang biasanya ampuh untuk membasmi roh jahat—yang entah kenapa tidak memberikan hasil memuaskan saat ini. Dan ketika lampu gantung cantik di atas pecah, ia berlari, mencapai pintu kayu dengan nafas memburu. Ia telah membuka dengan sekuat tenaga ketika iris cokelat gelapnya bertemu dengan sesosok yang berdiri diambang pintu—
.....
….
Dan begitulah bagaimana cara sebuah panggilan malam hari di Tokyo dua hari kemudian mampu menghancurkan pijar Etherland Netfmmel. Membuatnya tak bernafsu lagi untuk menghabiskan makanannya, langsung meninggalkan sang partner yang tengah tersenyum simpatik dan mengungkapkan bela sungkawa…
Eka Kartini Puspa. Mati. Pembunuhan.
…
..
"Maka dari itu sudah kubilang kau itu gila!"
Etherland menyikapi komentar yang di lontarkan pria berkulit terbakar dengan plester di hidungnya dengan cuek, tak terpengaruh walau sebenarnya ia cukup terluka setelah membeberkan kisah kematian Kartini pada Aussie, sahabat lama sang tunangan. Mereka kini duduk di area terbuka Cafe t'Smalle yang berhadapan dengan kanal panjang nan indah di Egelantiersgracht.
"Ah..., aku turut berduka. Sungguh."Aussie berkata sembari mencomot vegetarische schotel, "Tapi kau tidak perlu sampai seperti itu, kan?"
Yang dimaksud pemuda Australia tersebut adalah topeng yang diincar oleh Etherland akhir-akhir ini. Ia bisa melihat sorot kesedihan yang terpancar, sebuah sorot putus asa. Kantung mata menghitam itu juga masuk hitungan. Tuhan, katanya dalam batin, hanya Engkau yang tahu seberapa gigihnya orang ini untuk mendapatkan topeng itu.
"Kau tahu aku memerlukan itu segera, Aussie." Mata mereka bertemu, "Aku mencintai Kartini lebih dari apapun."
Staf Discovery Channel yang baru-baru ini di pindah tugaskan dari Sidney ke Amsterdam tersebut mengangguk ragu, mulai membayangkan dirinya menelpon ahli psikiater untuk mengecek kondisi pria jabrik itu, setidaknya meyakinkan dirinya bahwa orang tersebut masih waras. Yaah, siapa tahu dia bisa menggaet psikiaternya sekalian (kalau cewek) lumayan udah jomblo dari dul…
Abaikan bacotan menyedihkan pemilik koala ganas itu, yang jelas sekarang sambil menikmati makan siangnya ia tengah berusaha mencerna pemikiran revolusioner Etherland. Bukannya dia meragukan pengorbanan atas nama cintanya, hanya saja…
"Aku harus mendapatkan topeng pembalik waktu itu." Setelah terlambat dan dikalahkan oleh sebotol wine, tambah Etherland Netfmmel saat menceritakan kegagalannya untuk membeli topeng mistis tersebut beberapa jam yang lalu.
Nah, ini masalahnya. Dalamnya perasaan Etherland dan penyesalan berlarut yang telah meracuni otak membuatnya ingin memutar waktu kembali. Suatu hal yang hanya ada dalam cerita-cerita. Mustahil dilakukan untuk ukuran manusia.
"Etherland."Aussie menyela dengan alis tebal abnormalnya yang saling bertautan, "Kau…benar-benar percaya bahwa topeng itu bisa memutar waktu?"
Lirikan tajam tertuju. Sudah ia duga reaksinya akan begini. Etherland mengangguk kaku, sedikit tak nyaman dengan atmosfir yang tercipta. Ia tahu Aussie tengah menatapnya dengan aneh. Seolah-olah pemikirannya untuk mengembalikan waktu itu aneh. Oke, memang aneh.
Tapi orang itu tak mengerti...
"Etherland. Jangan jadikan cinta sebagai alasan untuk rencana gila ini."
Etherland terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Hutang masa lalu, Aussie. Aku berhutang budi dan aku ini tunangannya—aku mencintainya. Apa ini masih tidak logis dalam otak koalamu?"
"….."
"Dan ini juga kesalahan fatalku, Aussie. Jangan lupa."
Semua salahnya! Ya, ini semua kesalahannya. Kenapa ia lebih memilih untuk menghadiri rapat itu? kenapa ia malah pergi disaat Kartini membutuhkannya? Kenapa… bahkan di saat terakhir pun ia tak mampu memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepadanya? Kenapa ia malah fokus dengan pekerjaan sementara hidup sang belahan hati berada di ambang maut, kenapa ia bisa duduk santai di tengah kumpulan orang-orang itu sementara tunangannya meringkuk takut dalam kesendirian? Kenapa ia lebih…lebih percaya pada mereka ketimbang orang yang dicintainya?
Bodoh! Bodoh! Inikah caramu untuk menghukumku, Sayang? Membuatku terpuruk dalam penyesalan? Membuat segalanya berantakan?
Tangan kiri Etherland bergerak ke saku celananya, ia bisa merasakan sebuah kotak mungil di sana. Dengan permukaan yang halus namun selalu menyeretnya kedalam kesedihan. Oh, sialan, sialan, KENAPA SEMUANYA JADI SEPERTI INI?! BRENGSEK, JAHANAM KAU PEMBUNUH SIALAN! TIDAK CUKUP KAH ENGKAU MEREBUT HAL YANG BERHARGA DARIKU?!
Seandainya saja aku tak pergi waktu itu, seandainya saja aku mau mendengarkannya. Andai saja aku mau menurutinya…, Aku… aku ingin mengulang waktu. Aku ingin kembali di waktu kita bersama. Aku ingin mendekap erat dirimu, membelai, menggandeng, dan memasangkan cincin ini untukmu. Aku ingin melindungimu…TUHAN,AKU INGIN MENGULANG WAKTU! AKU INGIN MEMPERBAIKI TAKDIR INI! AKU TAK INGIN DIA MATI! AKU TAK BISA MELEPASKANNYA, AKU SALAH!AKU TAK BISA—AKU TAK BISA MEMBIARKAN DIA PERGI BEGITU SAJA!
…Therland…Eth…
"ETHERLAND!"
Sebuah panggilan keras menyadarkannya dari pergolakan batin. Etherland menatap Aussie dengan nafas memburu samar, sebelum mengalihkan pandangan ke bentangan langit di mana matahari menyusupkan cahaya lewat celah-celah dedaunan pohon yang menaungi mereka. Ia mencoba menenangkan diri.
Keheningan menyeruak diantara mereka. Sebelum akhirnya Aussie membuka mulut,
"Etherland, dengarkan baik-baik," Pemuda itu berkata pelan dan hati-hati, "Ada hal yang tak dapat terelakkan dalam kehidupan. Kau dengar aku 'kan? Kematian adalah hal yang mutlak dalam manusia, meski kau berusaha untuk tida—"
"ENOUGH!" Bentakan keras Etherland membuat pemuda baik-baik di hadapannya terperanjat, beberapa orang memperhatikan mereka dengan tanda tanya.
"Aussie! Berhenti dengan omong kosongmu itu! Aku akan memutar waktu kembali! Aku akan menyelamatkannya! Aku mencintainya dan aku tak bisa membiarkannya mati!"
Inilah...
—sesuatu yang bernama kegilaan. Berlandaskan perasaan yang menyedihkan.
Telinga Aussie bisa menangkap deretan sumpah serapah kasar, dan sesuatu entah dari mana kemudian mendorongnya untuk berdiri, menggerakan tangan untuk menghantam pipi Etherland dengan cukup keras. Beberapa pelayan mencoba mendekat dan menengahi perkelahian yang siap meletus itu.
Kebencian, kemarahan, keputusasaan, bercampur jadi satu. Iris Etherland berkilat keji, menatap sepasang mata dengan raut membeku milik Aussie.
"Kau bukan Tuhan, Etherland…"
Cinta. Hutang masa lalu. Kesalahan fatal. Apa kalian mengerti pembaca yang budiman? Apa kalian paham apa yang berada dalam pemikiran tokoh utama kita di sini?
…
Etherland melaju dalam kendaraannya, menyetir dengan penuh emosi. Pikirannya semakin carut marut dan helaan angin kecepatan yang menerpa wajahnya tak mampu jua untuk membersihkan diri dari penat pikiran ini. Ia melewati jalan-jalan di salah satu sisi kanal, dedaunan sesekali terbang melewati dirinya. Menambah setitik warna di angkasa.
…
Ketika kau berhutang budi pada seseorang, orang yang akhirnya kau cintai sepenuh hati, dan akhirnya tewas dalam keputusanmu sendiri. Kau membunuhnya secara tak langsung. Tidak kah itu akan membuat kepalamu terasa kacau sepertinya? Tidak kah kalian merasa menyesal?
Dan apakah kalian juga akan melakukan seperti yang Etherland rencanakan?
Superintenden Ahmed Rizal Zainnor; personel asal Malaysia yang bertugas di Cabang Khusus Scotland Yard, berjalan menuju bangunan berdinding bata gelap sambil menenteng tas souvenir. Ransel hitam menempel di punggungnya dan ia merutuk kesal pada gejala influenza yang menggerayangi dirinya selama musim panas ini. Tubuhnya masih terasa pegal setelah perjalanan kilat dari London. Ia harap Chie dan Fajar tidak mengoceh akibat kepergian mendadaknya ini.
Pikirannya carut marut, masih tidak percaya akan apa yang di dengarnya dari Scott Kirkland, atasannya, tentang kakak perempuannya.
Menjadi korban pembunuhan.
Oh, Tuhan. Yang benar saja, dengusnya dalam batin. Sialan, umpatnya. Ia berencana akan segera melakukan sambungan telepon kepada semua kenalannya di beberapa negara jika memang benar—akan ia lacak pelakunya habis-habisan. Tapi sebelum itu, biar ia getok dulu tunangan kakaknya yang menutup-nutupi informasi darinya. Sayang, ia tak bisa menyeret Tulip Brengsek itu ke pengadilan.
Eka Kartini Puspa, kakak perempuannya. Orang yang telah mengasuh ia dan kedua adiknya sejak kecil. Sosok yang amat ia sayangi—orang yang berharga, bahkan ia sudah bersumpah untuk melindungi orang tersebut. Walau ia tahu perasaannya mungkin tak akan pernah bersambut. Perasaan cinta…yang terlarang.
Selama bertahun-tahun ia sudah mencoba menerima hubungan kakaknya dengan Etherland. Sudah cukup sabar untuk membunuh perasaan tak terbalas itu; menekannya jauh ke dalam, mengubur dan melenyapkannya tanpa jejak. Tanpa sadar bahwa itu yang semakin menyakiti dirinya. Air mata dan rasa sakit yang menusuk ulu hati harus di telannya sendiri demi senyum kebahagiaan sang kakak. Apalagi setelah cincin pertunangan itu melingkar di jari manis—hal itu cukup menguras cahaya kehidupan dalam relung hatinya. Ia lelah. Lelah.
...Dan sekarang ia harus kehilangan sosok yang amat ia sayangi?
….
…
KRIEET
Pintu terbuka. Ia sudah berdiri dalam apartemen Etherland dengan kunci duplikat yang di berikan oleh kakaknya. Sosok kaukasia itu menyembul di bibir pintu, dan dua iris mata yang berbeda itu bertemu. Pria Belanda tersebut melangkah masuk, dengan langkah perlahan yang membuat atmosfir menjadi semakin tak enak. Rizal merasa ada sesuatu yang terjadi—tanpa sepengetahuan dirinya. Dan jangan katakan bahwa itu adalah…
"Kemana Kartini?"
Pertanyaannya mendapat pandangan tajam penuh arti dari Etherland. Ia mulai melangkah mundur. Mencoba mencari apa yang salah dengan si Tulip Brengsek.
Dan ketika mulut itu terbuka, mengucapkan sepatah kata—
Tak ada waktu lagi bagi Rizal untuk menepis kasar tangan yang menjangkaunya.
"Apa yang kau lakukan, hah?!"
Tatapan penuh api yang tertuju pada Etherland. Rizal menatap berang orang yang seenaknya mencengkram erat pergelangan tangannya.
"Lepaskan aku!" Rizal serta merta memukul tubuh itu dengan tangan kanannya yang terbebas, "Aku harus pergi, lah! Lepaskan aku tulip!"
"Nggak."
Perkataan seenaknya itu semakin membuat kepalanya mendidih, "Sialan! Lepaskan aku! Kau tidak berhak menahanku di sini!"
"…"
"Ini semua salahmu! Salahmu!"
…
'Kartini sudah tiada…'
"Biarkan aku pergi, Pembohong! Kau menyembunyikannya!"
Pikiran Etherland semakin kacau. Ia bisa merasakan getaran amarah, serta pandangan hampa yang di kobari oleh perasaan yang meluap—pandangan yang sama dengan dirinya saat ia mendapati tubuh dingin kekasihnya.
Amarah yang sama, amarah yang berlandaskan satu perasaan yang serupa.
Ia bisa merasakan bagaimana hatinya terasa sakit saat luka itu kembali terbuka. Kehilangan—Rizal dan dirinya telah kehilangan orang yang sama.
Rasa sakit yang sulit di gambarkan, terlalu abstrak namun begitu nyata. Rasa sakit yang mengaburkan pandangan, hidup, mengorek habis segala kebahagiaan. Justru itu—justru itulah—
"JUSTRU ITULAH AKU AKAN MEMUTAR WAKTU!"
Sayang—ia sayang sekali. Ia sayang, betapa rasa sayang ini telah mengubahnya menjadi seorang pesakitan; terjerat dalam penyesalan yang mengacaukan mata hatinya. Tuhan, sekali saja. Sekali saja…
Ia ingin meminta maaf, mengecupnya, menciumnnya, mengatakan bahwa ia sayang—ia ingin melindungi, biarlah itu berarti ia harus menukarkan nyawa. Ia ingin melihat senyumannya, menggenggam tangannya…
BUAGH
SRUK
Tas belanjaan cokelat itu akhirnya terjatuh. Etherland membeku, pupilnya masih mengecil dan pipinya terasa sakit setelah pukulan itu. Ia terdiam, berdiri di hadapan pemuda Malaysia yang kini memungut isi belanjaannya.
Rizal mendongak dengan pandangan berang, "Apa?!"
Ia tidak peduli bagaimana reaksi Rizal. Pandangannya tertuju pada satu benda. Benda itu.
Pikiran pun mulai berkelebat, dan sepersekian detik kemudian Rizal menyadari tangan besar itu merebut benda yang ada dalam pegangannya.
"KEMBALIKAN—"
Rasa senang mulai mengisi saat ia menyentuh permukaan sebuah topeng putih. Topeng yang familiar dalam pandangannya.
Topeng pembalik waktu.
Memang benar, 'kan?
"Kau apa-apa'an sih?!" Rizal membentak dan merebut kembali topeng putih itu, "Ini topeng antik yang kupesan untuk Kartini!"
Ia tahu bahwa kekasihnya menyukai benda antik—benda mistis.
Sesuatu berbisik, merasuki dirinya untuk bergerak dan meraihnya. Benda tajam berkilat itu terlihat lapar dan puas ketika akhirnya dirinya menembus perut pemuda Asia di depannya, menaklukan sasaran yang tak berdaya dalam sekejab.
Etherland cinta—cinta mati. Ia akan melakukan apapun untuk sang kekasih. Sekalipun itu berarti harus menghabisi orang, sekalipun itu artinya harus di tebus dengan darah...
Tangannya merasakan sensasi dingin saat bertemu dengan permukaan topeng itu. Segera ia menempelkannya di wajah—membuatnya tertarik dalam sebuah pandangan hitam, dengan rasa sakit dan panas menusuk. Meledak, menekan jantungnya, membuatnya semakin lemah. Tubuhnya mati rasa dan ia tak bisa mendengar apapun lagi selain dengingan yang memecah gendang telinga. Kerongkongan mengering dan perlahan kulit kepalanya lepas, memperlihatkan daging kemerahan yang menguarkan darah. Sesuatu menusuk kaki—benda tajam keperakan dan mengalirkan sengatan dalam tubuh.
Ia semakin tertarik kedalam lubang hitam. Lubang gelap yang dingin...
Etherland…, Etherland…, jawab aku…
Ia bisa merasakan panggilan samar yang memukul ulu hati dan ia pun menangis. Tetes darah mengalir dari pelupuk matanya. Detak jantungnya semakin melemah seiring rasa sakit yang semakin menggerogoti dirinya.
Eth…
DEG
DEG
'Kita janji akan bersama terus, ya?'
DEG
'Aku sayang…
...
Untuk Kartini. Untuk bidadariku. Untukhidupku. Aku…
Aku…
"ETHERLAAANNDD!"
Disc 01 [Enter] : Ada Tulip Galau di Amsterdam!
+ private room+
[Play : Crime and Punishment – Vocaloid]
Yup, yup, saya kembali di hadapan Anda dengan fict baru~~! Bagaimana menurut kalian? Gaje? Ancur? Aneh? Garing? Atau malah hambar? Ungh…well, ini pertama kali saya campurin genre-genre ringan. Jadi mohon koreksi dari kalian semua…atau jangan-jangan saya ini emang heartless ya? ="=
Abaikan, fict ini daku dedikasikan buat kalian semua. Bulan ini 1st anniversary , terima kasih sudah mau nerima saya disini. Dan gomen buat yang saya (mungkin) bikin jengah, jengkel atau ngeselin. Saya harap bisa jadi author lebih bermutu dari sekarang =w= silahkan monggo~kalau ada yang mau ngasih concrit, saran, masukan buat saya selaku author. Dan masih dalam suasana kemerdekaan HAPPY BIRTHDAY INDONESIAA~!*Tebar confetti* ukh, dan tak ketinggalan Singapura, Malaysia, Switzerland dan nation lain yang ultah bulan ini macam India~~hohoho, eh, dan Hatsune Miku juga w*love
Masih belum jelas sekali karena masih chapter awal. Apa ini bisa di bilang memuaskan?#failed
Oke, sekian dulu dari saya…eits, soal property apartemen dll saya ambil dari Perfecthousing, riset lain saya ambil dari mbah gugel dan keluarganya(map, translate etc) pusing bener dah risetnya, suer! Jadi maaf kalau pada nggak akurat, jangankan Amsterdam, Jakarta aja daku belum nginjek kaki ke sana, kok#anak pulau. Saya mencoba menampilkan latarnya biar kerasa dan jelas, entah apa bagus atau nggak. Dan properti isi apartemen saya pake catalog IKEA, kok nyasar ke Sweden sih? Ah, sudahlah.
Bubar bubaaaarrr~~saya mau job sekarang!*ambil tas*
.
Fanfic ini tidak memiliki sangkut paut dengan kejadian sebenarnya. Segala penggunaan latar, merek, nama orang dll hanyalah bentuk keisengan dan kenistaan author tanpa ada niatan untuk melecehkan, menjatuhkan dan mengklaim kepemilikan dari pemilik aslinya.
.
Concrit, saran, kritik, please?