Flashback

Telinga Etherland memerah. Di saat sampai di kantor dalam keadaan pegal, ia harus mendengar celotehan Wang Yao.

'Iya iya, tidak perlu di ulang, aku tahu Lukas dan Eduard luka parah di rumah sakit, hampir tewas kehabisan darah, selain itu… patah tulang? Butir peluru masih bersarang di tubuh?' Etherland menggelengkan kepala, mencoba melupakan peristiwa di mana Wang Yao mencegatnya dan mengomel karena dia dan Antonio serta Gilbert dan Francis kabur ke tempat rekreasi, menjadi sorot perhatian lagi.

Kini dirinya berada di parkiran, membuka pintu dan duduk di jok depan, sembari memperhatikan dua bocah yang tertidur di belakang dengan damai.

"Arthuur?"

Gilbert mengetuk jendela mobilnya.

'Ck.Pengganggu,' batin Etherland. Tapi toh Etherland mempersilahkan orang itu masuk.
Pemuda tersebut pun menarik seringai puas, "Kesesese, kau pasti perlu bantuan untuk mengangkat dua bocah ini."

"Anggap saja begitu."

"Kau masih kesal ya?"

"Berisik, Alfred dan Matthew bisa terbangun dengan suara nyaringmu," balas Etherland sambil men-starter mobilnya. "Lagipula, kau hanya ingin nebeng saja kan?"

"Francis meninggalkanku begitu saja sih ... " Keluh Gilbert dengan kesal, "Teganya meninggalkan aku yang paling awesomese-dunia ini."

Etherland memutar bola mata, oh, ia tahu kemana arah pikiran Francis itu.
Dasar kodok sialan, dia masih mikir kalau aku ada apa-apanya dengan si Gilbert ya?!

Walau demikian, tak ada satu protes pun yang keluar dari mulut Etherland. Sepanjang jalan ia dan Gilbert sesekali mengobrol, sesekali pula bercanda … Oke, dalam hal ini Etherland nyaris tak tertawa.

"Kau itu kenapa sih?!" Sunggut Gilbert dengan merengut, "Kau benar-benar dalam masalah, ya? Memikirkan sesuatu yang tidak awesome?"

"Bukankah ini sudah biasa?" Etherland balik bertanya,"Sekarang berhentilah mengoceh, kau ingin aku menabrakkan mobil ini ke trotoar?" Sumpah, ia tidak berminat sama sekali untuk tertawa. Kepalanya penat sekali.

"Hmm, kau mau minum sebentar setelah mengantar anak-anak ini?" ajak Gilbert, tanpa menyerah. Etherland diam tak bergeming dan fokus ke jalanan,

"Aku tidak tahu sih kau kena masalah apa, tapi wajahmu seakan mengatakan kau perlu minum, kesesese."

"Tertawalah sepuasnya, Beilschmidt. Kau boleh turun sekarang."

"Eiittss, kau benci lelucon ringan ya?" Gilbert membalas sembari menampilkan pose perlawanan. "Tch, nggak asik ah, lagian ini kan tidak begitu larut … "

Untuk sesaat Etherland meresapi kata-kata Gilbert, tersadar akan sesuatu yang lebih penting.

"Yah, pergi saja sendiri kalau kau mau." Guman Etherland, menatap lurus tujuan yang telah terlihat. Ia memperlambat kendaraannya. Setelah berhenti, digendongnya Matthew yang tertidur pulas, kemudian Alfred, dan ia pun melangkah masuk ke dalam apartemen.

...

..

Ketika akhirnya Gilbert keluar dari mobil dengan senyum riang, lalu melangkah masuk ke apartemennya, Etherland menghembuskan nafas lega. Dipandangnya rembulan yang bersinar terang, sebelum akhirnya kembali men-starter mobilnya, membelah kegelapan malam di jalanan beraspal mulus.

Mobil itu tidak di arahkan menuju jalan pulangnya.
Etherland membawa kotak beroda itu ke sebuah tempat, tempat yang sangat ia kenal. Tempat seorang pemuda Australia dengan plester di hidungnya bekerja.

… Kalian pasti sudah tahu kan?


Brocken


Hetalia © Hidekaz Himaruya.

Brocken © Me

.

Warning :

AU. Kata-kata kasar, sakratis bisa terjadi di sini. OOC mungkin?. Latar ngabsurd. Gajeness mungkin…? Penyebutan nama tempat, merek, dan sebagainya hanyalah bentuk keisengan tanpa maksud untuk menjatuhkan ataupun mengklaim.

.

Happy Reading

Don't like don't read


Cahaya matahari merembes masuk lewat celah-celah gorden, sinar matahari itu mengusik Etherland. Selama sepersekian detik ia hanya bisa menatap bengong di atas sofa tempatnya terbaring. Tubuhnya terasa pegal. Pandangannya menyapu sekitar. Dahinya berkerut, ruangan ini …

Beberapa botol wiski berada di meja. Sepertinya tadi malam terjadi sesuatu yang panjang.
Etherland berusaha mengingat-ingat apa saja yang terjadi semalam. Ia ingat setelah mengantar Gilbert dan adik-adiknya, ia pergi menemui Aussie, lalu, lalu…

"Kau baik-baik saja?" Pemuda dengan plester di hidungnya itu datang, dengan lengan baju di gulung dan wajah polos. Etherland membeliakan mata dan tersentak, kemudian memandang Aussie dalam diam.

"Jangan katakan kalau kau lupa apa yang kau lakukan semalam." Keluh pemuda itu, lantas tanpa penjelasan kembali ke dapurnya. Etherland yang bingung memilih masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya. Memangnya tadi malam ia bilang kalau mau nginap?

Perlahan tapi pasti Etherland mulai bisa mereka-reka. Mereka berbincang sembari menegak wiski. Lalu keduanya mengobrol dalam waktu yang sangaaat lama. Lama sekali dan…, dan…

Etherland terhenyak begitu saja. Membiarkan air shower membasahi tubuhnya.

(***)

"Oke, ehhmm, Arthur—bukan, maksudku…Etherland." Aussie mengucapkan itu dengan keraguan besar, sarapan di sodorkan ke hadapan Etherland. "Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, hm?"

"Maksudmu?" Etherland balik bertanya.

"Well,"Aussie menyeruput tehnya sebentar, "Banyak yang kau ceritakan padaku, termasuk orang misterius itu. Seperti yang kukatakan tadi malam, aku tidak ingat Kartini punya kenalan semacam itu."

Etherland menyimak kata-kata pemuda Australia tersebut.

"Kau ingin tahu bagaimana aku bisa melacak orang itu sekarang?"

"Oh yeah! Benar sekali Tuan Alis!" Seru Aussie dengan penuh semangat, "Mengenai semua kegilaan ini. Kau membuatku terpaku hanya dalam waktu lima belas menit setelah pantatku menyentuh sofa tadi malam."

"Kau yakin tidak ingat Kartini memperkenalkan orang berkuncir padamu?"

"Yup." Aussie mengangguk pasti dan menyeruput sup krim jamurnya, "Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa meyakinkan Kartini mengenai semua ini? Meski Kartini akrab dengan hal mistis, tapi kurasa ia pun akan sama kagetnya dengan diriku bahwa ia akan mati dalam beberapa hari lagi. Kau bukan Grim Reaper."

Etherland menyudahi sarapannya.

"…Aku tidak tahu pasti." Jawab Etherland dingin. Aussie terdiam dan akhirnya membawa piring-piring itu ke bak pencucian.

"Aussie! Tunggu dulu!" Mendadak Etherland memanggilnya, Aussie menoleh dalam hitungan detik dengan pandangan penuh tanda Tanya.

"Bisa kah—"

Dan saat itu telepon genggam Aussie berdering. Pemuda itu mengangkatnya, tampak terkejut di sela perbincangan sebelum menutup dan memandang Etherland. "Oke—kau bisa katakan itu nanti! Aku harus ke kantorku, sekarang!"

"Tu-Tunggu-Tunggu-Tunggu!"Etherland keliatan bingung, mengejar Aussie yang terburu-buru, "Kau mau berangkat sepagi ini?!"

Aussie menarik nafas dan menatap tak percaya pada Etherland, "Pagi?"Aussie mengulang kembali, menatap sesaat pada awan hitam yang kini menggantikan nuansa cerah sang pagi, "Ini sudah mau jam sepuluh!"

Yang pertama kali terlintas di benak Etherland adalah Matthew dan Alfred yang tertidur dengan kunci duplikat di meja makan.

"Mijn God!"

Dan tokoh utama kita pun lari tunggang langgang menuju mobilnya, memacu dengan kecepatan tinggi ... hanya untuk mendapati bahwa apartemenya sudah kosong.

Kosong pemirsa sekalian. Dengan sedikit noda berantakan di mana-mana, makanan-makanan instan tak sehat, lengkap dengan peralatan makan yang tidak dicuci. Etherland terdiam membisu membiarkan detik berlalu dalam naungan kelabu sang hujan yang mulai turun. Hawa dingin itu masuk—masuk lewat beranda dan jendela yang terbuka—sepertinya memang tak tertutup sejak tadi malam.

Sebuah note kecil tertempel di kulkas, tulisan cakar ayam yang terburu-buru membuat Etherland menarik nafas kala menyesap isinya.

Kau kerja lembur, Iggy? Kami tidak mendapatimu pagi ini, jadi kami bikin sarapan sendiri. Matthew keliatannya masih lelah, ngomong-ngomong Hero sisakan sarapan di meja untukmu!(hahahaha)
Jangan sampai Hero mendapati mukamu seperti Matthew lho! Mukanya pucat seperti zombie yang menyeramkan. Baiklah, kami pergi dulu, 'kay? Jangan khawatir, kami hapal jalan ke sekolah kok.

Etherland memandangi sisa sarapan yang dikatakan oleh Alfred. Ia meneguk ludah, bukan karena bentuknya tidak jelas dan tampak tak meyakinkan, namun akibat hatinya yang kini tidak karuan memikirkan dua bocah itu. Mereka bahkan masih memikirkan dirinya saat sarapan?

[Ziekenhuis Amstelland 10.25 a.m]

"Well, menurut kalian siapa yang datang terlambat hari ini?" Gilbert berseru beberapa meter dari rekan-rekannya yang berdiri menunggu di luar pintu sebuah kamar. Beberapa orang memicingkan mata pada sumber kegaduhan di hari mendung tersebut, sedangkan si pusat perhatian tampak tidak peduli dan menyeret Etherland dengan entengnya, "Kuberi kalian tiga pilihan, satu, Arthur Kirkland, dua, Kirkland Arthur, tiga, Thomas Lowry!"

"Siapa itu Lori?"

"Bukan Lori, Antonio."Pemuda dari Kuba itu menyikut Antonio yang bertanya dengan polos-polosnya siapa itu Thomas Lowry, "Eh, sebentar, ini bukan waktunya kita bercanda di depan pintu!"

"Bwahaha! Lelucon itu perlu untuk mencairkan suasana yang tidak awesome." Gilbert berujar dengan kebanggaan, ekspresi itu tak berlangsung lama ketika pemuda Jerman itu menyadari sesuatu "Bentar, kok kamu menguarkan bau-bau aneh sih?!" Gilbert mendorong Arthur di hadapan kumpulan polisi ini, memasang wajah masam, "…Seperti bau binatang gitu…"

"Bau binatang dari mana?!" Elak Etherland tak terima dipermalukan di hadapan suster-suster cantik—eh, maksudnya 'rekan-rekannya', "Loe kira gue tidur meluk kambing gitu?!"

Di sisi lain, seorang guru olahraga berkebangsaan Denmark tampak bersin.

"Serius, Alis!" Gilbert menegaskan sembari membersihkan pakaiannya yang tampak lecek, "Gue yang begitu awesome dan sangat handsome ini telah terkontaminasi dengan bau tak sedap! Kenapa sih loe nempel-nempel ama gue sejak tadi?!"

"Emang yang nyeret gue kaya' lembu dengan begonya itu siapa sih?!" Etherland berseru ketus.

"Oke-oke, ini beneran gak penting buat di bahas. Kambingnya nanti aja diomongin lagi." John, pemuda asal Kuba itu mencoba menengahi dengan senyum kecut, "Bisa kalian tenang? Dan Gilbert, suaramu itu bisa membangunkan seisi rumah sakit."

Gilbert dan Etherland menurut, kemudian mereka semua masuk secara bergilir. Si Francis dan Gupta adalah dua orang pertama yang masuk ke dalam ruangan Lukas, John dan Antonio menjenguk Eduard lebih dulu. Dua orang yang sempat berseteru cuma bisa menunggu di luar dengan bengong. Dua orang malang itu tampaknya diletakkan di kamar yang berbeda.

"Eh…, emang kita tadi bicarain kambing, ya?" Etherland membuka percakapan dengan wajah serius, "Kukira kita bahas soal bau tak sedap."

"Sshhh, nggak usah nyebut-nyebut diri sendiri napa? Bikin malu aja."

Satu jitakan melayang.

"Ngomong-ngomong, minum kopi bentar yok! Sekalian kita majang muka di Garden Room." Gilbert mendapat ide yang bagus dan menyeret Etherland secara mendadak, "Mereka pasti lama, kesesese."

Sementara yang diseret mendelik tajam, perempatan kembali menyembul di pelipisnya, "Grrr…Gil, gue baru sikat gigii!"

Selama dua puluh menit ke depan, hari baru Etherland harus dihabiskan dengan merusak citra Garden Room—ruang teduh dengan lanskap hijau tumbuhan yang tenang—dengan kericuhan; debat kusir nggak pentingnya dengan Gilbert membuat Etherland seakan lupa waktu. Oke, sebenarnya nggak selalu ricuh juga sih, ntoh tokoh utama kita itu masih sempat meringis, antara ingin tertawa atau melempar pot bunga ke muka Gilbert.

(***)

Ketika kawanan kepolisian keluar dari ruang pasien, mereka menangkap basah kebersamaan tokoh utama kita dengan si pria albino. Kegaduhan yang baru lima menit terhenti kembali tercipta di lokasi itu. Oke, tak mau mendengar serentetan guyonan tak menyenangkan 'koleganya', Etherland bergerak maju menuju ruang pasien bersama Gilbert. Tidak, mereka berpisah. Etherland memutuskan lebih dulu memasuki ruangan si Eduard dan Gilbert masuk ke tempatnya Lukas. Suasana benar-benar hening, bau obat-obatan menusuk indra penciuman tokoh utama kita tersebut. Matanya menatap kosong akan tubuh Eduard yang tampak tak berdaya itu, mereka berdua pasti mengalami hal yang sangat hebat, batin Etherland.

Yang ia tahu dari cerita Yao, dua orang yang sebelumnya berada di kantor ini meninggalkan markas sekitar satu jam setelah dirinya pergi. Seharusnya perjalanan mereka itu akan baik-baik saja—mereka hanya ingin melihat kembali lokasi kejadian korban kedua di sebuah gedung bekas yang keliatan usang dan berdebu. Siapa yang tahu penelusuran mereka ke dalam bangunan besar itu malah mengantar mereka ke dalam sebuah masalah besar, yah, karena sepertinya si pembunuh juga terus mengawasi areanya; keduanya diserang ketika mereka tengah berpencar di lantai dua.

Sampai sekarang, baik Eduard maupun Lukas masih dalam keadaan tidak sadar. Etherland duduk di dekat Eduard. Pemuda ini harus menjalani tiga jam operasi untuk keretakan tengkorak berlipat ganda di tambah hancurnya sebuah tulang panggul. Otaknya mengalami pembengkakan dan di tubuhnya terlihat semacam sayatan pisau yang cukup tajam. Pemuda Estonia ini tak hanya diterjunkan dari lantai empat; pembunuh brengsek itu ternyata sempat juga mematahkan tulang hidung dan merontokan dua gigi Eduard.

Yah, mungkin nasib Lukas juga kurang lebih sama. Entahlah, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kisah sesungguhnya di gedung itu. Dengan sisa tenaga dan kesadaran, pemuda Norwegia tersebut berkali-kali mencoba menelpon siapapun yang bisa menolongnya, walau akhirnya ponsel tersebut di ambil alih oleh pelaku.

Ia tidak bisa membayangkan bagaimana mengerikannya berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin tersebut. Lukas maupun Eduard pasti melakukan perlawanan yang hebat untuk mempertahankan hidup mereka. Untuk pekerjaan mereka. Untuk harga diri mereka. Betapa gigihnya untuk sekedar mempertahankan satu nafas agar tetap bisa di hembuskan.

Tak ada yang tahu pasti kapan dua orang malang tersebut akan sadar, semua orang cuma bisa berharap dan menunggu tak tentu arah. Bagi Etherland, dua ruangan ini seakan mengeluarkan aura tak mengenakan, aura yang mencekik dirinya, batu masalah yang semakin membebani perannya saat ini.

Etherland yang tak tahan lagi, bergegas keluar dari ruangan itu. Ia memandang sejenak kamar Lukas dan memutuskan untuk masuk dan menengok sebentar, dan sialnya, Roderich Edelstein rupanya juga duduk dengan elegannya di samping Lukas. Sesaat keduanya saling pandang.

"Masuklah, Kirkland. Jangan menatapku seakan-akan aku ini hantu."

Meneguk ludah dan dengan tingkah yang kikuk, Etherland mengambil kursi lain dan duduk berhadapan dengan Roderich.

"Jadi apa yang kalian lakukan ketika dua orang anggota kalian nyaris mati seperti ini?" Roderich bertanya dengan nada angkuh, "Tolong jangan katakan bahwa kalian malah membolos di area rekreasi."

Geblek! Gilbert mana sih?! Orang itu seenaknya kabur ya meninggalkan dirinya menghadapi mimpi buruk di sini?!

"Sayangnya, memang itu yang terjadi." Jawab Etherland dengan datar, "Herr, aku benar-benar menyesalkan kejadian ini."

Roderich Edelstein terdiam. Selama beberapa menit Etherland menceritakan awal mula dirinya bisa terseret dalam acara tersebut, sementara Lukas terbaring di tengah mereka dengan selang infus. Gelegar sang halilintar memecah Amstelveen dalam kilatan cahaya putih yang berlalu begitu cepatnya, rintik hujan mengetuk jendela kaca dengan derasnya.

"Kau meninggalkan detensimu, rekan-rekanmu, hanya untuk mengejar seorang gadis tak jelas sampai sore?"

"Bukan itu maksud—"

"Antonio menceritakannya padaku." Potong Roderich dengan tangkas, "Dasar naïf."

"Kalau Anda sudah tahu untuk apa Anda bertanya lagi pada saya?" Etherland balik bertanya dengan kedutan di pelipisnya. Suaranya kali ini cukup nyaring dan berintonasi kuat, seolah berusaha untuk memberikan tameng yang lebih tebal dari hujaman kata-kata tajam sang hoofdofficier.

Roderich menyipitkan mata. Tampak tak suka akan balasan Etherland yang terdengar cukup kasar.

"Aku hanya tidak bisa…, cerita dari Antonio…" Roderich mengucapkannya dengan tatapan tajam, "..Aku berharap bahwa Antonio tidak benar. Bisa-bisanya kalian…!"

"Anda ingin kami bersujud minta maaf? Herr, apapun itu, itu tak akan bisa menyadarkan Lukas dan Eduard sekarang."

Roderich terdiam sejenak.

"Kinerjamu benar-benar kacau belakangan ini, Kirkland." Pemuda Austria itu menggelengkan kepala tanda menyesal, dan saat itu juga, handphone elegan milik Roderich berdering. Keduanya bertatapan sejenak dan sang pemilik mengangkat panggilan tersebut, firasat Etherland mendadak tidak enak.

"Baiklah." Roderich bangkit dari duduknya, "Kurasa ini akan benar-benar semakin rumit."

"Maksudmu?"

"Sepertinya berita tentang kau dan kolegamu ini sudah sampai ke bagian personalia."Roderich merapikan kemejanya dari debu, "Itu artinya kau di panggil, Kirkland. Ini serius."

Ini baru namanya mimpi buruk.


Alfred F. Jones dan Matthew Williams sudah terbiasa pulang sendiri berjalan kaki. Mereka paham kesibukan Kakaknya di kepolisian. Semua ini seharusnya bukanlah masalah besar bagi mereka. Seharusnya sih begitu.

Dua orang bocah itu masih bertengger di depan sekolah dengan ekspresi yang tak bisa di ungkapkan, semua teman-teman mereka sudah pulang dan sekolah lama-lama terlihat begitu menyeramkan di mata Alfred. Oke, kata lapar masuk dalam hitungan catatan derita Alfred dan Matthew hari ini, mereka juga kedinginan. Siapa yang menyangka pagi cerah langsung berubah haluan menjadi gulungan awan hitam yang mengerikan?

Dan Alfred bisa merasakan bahwa tubuh adiknya itu menggigil, wajahnya benar-benar pucat seperti hantu! Alfred tak bisa berbuat banyak selain mencoba merangkul tubuh mungil tersebut lebih dekat.

Tepat ketika keduanya dalam suasana hangat, seseorang muncul di belakang mereka. Sebuah tangan yang kasar menepuk pundak Alfred layaknya adegan film horor, deru nafas itu mengusik ia yang lantas menolehkan kepala dengan takut-takut.

Semuanya berlangsung cepat, tak ada yang dapat mendengar teriakan seorang Alfred F. Jones yang beriringan dengan suara guntur serta kilat putih yang membutakan pandangan sesaat. Yang tersisa dalam pikirannya adalah sosok sang 'Kakak' yang tengah berkerja di kantor. Tangannya memeluk Matthew secara refleks, sesuatu seakan memukul jantung bocah Amerika tersebut saat melihat siapa yang ada di belakang mereka.


Etherland tersentak mendengar gelegar petir yang menggetarkan langit kelabu. Kopi panas di tangannya tumpah. Tampak kalap, dirinya menggerutu kesal sembari membersihkan noda kotor yang ada. Sesekali ia memandang ke luar jendela, hujan masih deras dan ia semakin khawatir dengan Alfred dan Matthew. Bagaimana mereka bisa pulang? Apa mereka bisa memasak air? Membuat makanan? Memikirkan itu membuatnya jadi tak karuan. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan dua anak itu. Intuisinya mengatakan demikian.

"Memikirkan sesuatu, Kirkland?" Roderich muncul dengan ekspresi dingin, lebih terlihat seperti menyinggung bagi Etherland. Dirinya mengiyakan saja sebelum akhirnya menarik nafas berat.

"Bisa aku pulang sebentar?"

"Apa?"

"Aku harus mengurus adik-adikku."Jawab Etherland dengan singkat, "Aku—"

Roderich menyipitkan mata, "Ya, ya, ya. Kutunggu kau satu jam lagi. Cepat."

Etherland mengangguk dan berlari menuju ke parkiran bawah, melewati Antonio yang berjalan berlawanan arah dengannya. Pemuda Spanyol itu menatap cukup lama sosok Etherland yang akhirnya menghilang di ujung lorong.

(***)

Etherland memberhentikan mobil di depan sekolah Alfred dan Matthew, kemudian refleks berlari keluar dengan cepat saat melihat kedua anak tersebut, tak peduli bahwa pakaiannya mulai basah di rintiki oleh hujan.

"Kalian baik-baik saja?!" Tanya Etherland sembari melepas jasnya. Dua bocah itu mengangguk. Tapi perhatian tokoh utama kita beralih kepada sosok wanita paruh baya yang berdiri di belakang mereka. Ia tak mengenali siapa itu,

"Anda…"

"Kau lupa Iggy?" Alfred menyela dengan polosnya, "Beliau ini guru pelajaran menganggambar, lho!"

Etherland menghela nafas lega. Wanita itu mengangguk, "Senang bertemu kembali denganmu, Herr." Ia tersenyum, "Aku menemani anak-anak menunggumu di sini, sungguh melegakan kau datang."

"Terima kasih sudah menjaga mereka." Ujar Etherland dengan kikuk.

Perlahan hujan mulai mereda. Etherland menutupi kepala Alfred dan Matthew dengan jasnya, "Ngomong-ngomong apakah Anda…"

"Oh, tidak perlu." Jawab wanita itu, seakan sudah tahu apa yang akan di katakan oleh Etherland. "Suamiku akan datang lima menit lagi, sebaiknya kalian cepat pulang dan menghangatkan diri."

"Iggy, kau…"

"Tidak apa-apa," Etherland tahu bahwa si Alfred merasa tak enak memakai jasnya sebagai 'payung' sementara dirinya berhujan-hujan, "Pergilah duluan."

Tiga orang itu pun berpamitan, dan Etherland membiarkan Alfred dan Matthew melangkah lebih dulu. Jasnya berkibar bak bendera di atas kepala dua anak itu, menghalangi air hujan menyentuh mereka. Well, kalau sampai Alfred dan Matthew jatuh sakit, ia sendiri juga kan yang akan kerepotan.

"Iggy, Aku lapaar~" Rengek Alfred dengan suara nyaring ketika mereka bertiga telah sampai di mobil. "Ayo kita makaaaann!"

Etherland terdiam sejenak memikirkan tawaran Alfred, "Baik, baik, kita belanja sebentar di Hema."

"Assyiiikk~, kita mau makan di restoran?! Hero mau burger~!"

"Aku nggak bilang kita makan di situ!" Sembur Etherland. Alfred tertawa mendengar penyangkalan tersebut, puas bisa membuat tensi makhluk gadungan itu naik.

(***)

Meski hujan yang kini tak begitu deras masih melanda Amstelveen, awan gelap tak mampu mematikan keramaian Stadshart. Lokasi yang bertempat di pusat Amstelveen ini mempunyai 180 toko ditambah tiga department store besar seperti Hema yang menyediakan segala yang diperlukan. Area tersebut nampak dibanjiri oleh manusia yang mencari kebutuhannya. Lampu-lampu di nyalakan, menciptakan kesan hangat dan nyaman, jauh dari terkaman hawa dingin yang merembes di luar sana.

Tak perlu waktu lama bagi Etherland untuk sampai ke sana, di antara arus manusia yang ada. Etherland lebih terlihat seperti bapak-bapak yang membawa anaknya berbelanja daripada seorang Kakak yang ketiban sial harus menjaga dua adiknya. Berkali-kali Etherland harus menasehati Alfred untuk tidak terlalu ribut dan bertingkah kelewat aktif. Lima menit kemudian, ia harus menggendong Matthew yang berkali-kali tertinggal di belakang. Bocah pendiam itu sama sekali tak berbicara—uhm, lebih tepatnya, Etherland tidak mendengarnya.

Mereka memasuki sebuah swalayan besar. Setelah meletakan Matthew di troli belanjaan, perjalanan Etherland dan dua 'adik'nya dimulai. Berkali-kali Etherland harus menceramahi Alfred lantaran ide gila seperti membeli tumpukan daging ham—Oke, selain karena itu tidak sehat, ia juga ingin berhemat. Etherland tidak bisa membayangkan dirinya makan daging satu minggu penuh.

"Berhentilah makan burger, Al. Kau tahu itu bisa membuatmu semakin gendut." Celetuk Etherland dengan kesal, "Aku khawatir kau jadi obesitas nantinya."

"Hero nggak bakal kena obesitas!" Bantah Alfred dengan tegas, tak terima dirinya dikatain seperti itu, "Memangnya kau tahu berapa berat badan Hero?"

"Kalau begitu coba katakan padaku berapa berat badanmu, hm?" Balas Etherland dengan senyum sinis.

Telak.

"Ka-kalau begitu bagaimana dengan soda?! Hero tidak bisa hidup tanpa soda!"Alfred berseru, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Omong kosong. Soda bukan sesuatu yang baik kau minum setiap hari."

"Ugghhh~"

"Bagaimana kalau semua junk food-mu kuganti dengan sayur dan air mineral?" Etherland mengambil dua bayam dan membuat pose sok keren yang sebenarnya diniatkan untuk membuat bocah itu tertawa dan melupakan angan-angan gaje-nya, "Sayur dan buah bisa…"

Etherland tak melanjutkan kata-katanya.

Ia terbelalak ketika mendapati seorang gadis menatapnya dengan aneh ... Kartini—ya, Kartini! Sungguh kebetulan yang luar biasa mereka bertemu di swalayan saat membeli sayur. Super sekali.

"A-anggap saja hal tadi tidak pernah terjadi!" Kata Etherland dengan cepat, menghentikan pose aneh dan meletakan sayuran ke dalam keranjang. Ia menyapa Kartini sambil tertawa garing, "Ka-kau sedang belanja juga?"

"Kau tidak bisa melihat barang-barangku?"

Oke, ini konyol. Alfred langsung mendapat jitakan keras ketika tertawa mendengar respon gadis itu atas pertanyaan tidak elegan Etherland. Tokoh utama kita mendorong Alfred dan kereta belanja bersamanya, "Sstt, belanja sono, Fred. Aku ada perlu bentaaar. Jangan di ganggu, oke?" Bisik Etherland segera. Meski dengan muka bloon, toh bocah itu pergi juga dengan kereta belanja berisi Matthew dan dua sayuran. Pergi dengan cepat pula.

"Err…, Aku…, Eh, Etherland-nya ada di sini?"

"….Nggak."Jawab Kartini dengan ragu-ragu, melangkah mundur ketika Etherland berjalan mendekati dirinya.

"Hey! Aku nggak maksud jahat." Seru Etherland mencoba tersenyum, "Ini tidak seperti adegan menjelang penculikan di sinetron kesukaanmu."

"Lho? Kamu tahu aku suka nonton sinetron?"

Etherland jadi bingung sendiri mau berkata apa, "Err…, Kamu nggak inget aku?"

Kartini terdiam sejenak berusaha mengingat sebelum akhirnya berseru sembari menunjuk Etherland dengan timun yang dipegangnya, "Kamu badut yang kemarin masuk ke toilet cewek!"

Perkataan gadis Asia tersebut ibaratkan sebuah balon kata yang menusuk Etherland dalam adegan komik. Semua orang mendadak memperhatikan mereka. Ugh, kenapa dia ingatnya yang bagian itu?! Kenapa nggak bilang 'kamu orang ganteng yang kemarin' atau apalah, kalau seperti ini kan kedengarannya ambigu!

Kartini tertawa renyah melihat ekspresi serius Etherland, menepuk punggungnya dengan keras, "Kenapa kau menanggapinya dengan serius sih?! Jadi keliatan lucu."
Etherland mengikuti Kartini yang mendorong keretanya ke deretan rak yang lain.

"Tapi aku nggak nyangka kamu punya anak."

"Adik." Ralat Etherland dengan ketus.

Kartini tersenyum, "Tapi kalian benar-benar terlihat seperti ayah dan anak, lho. Kurasa satu swalayan pun akan mengatakan hal yang sama."

"Aku anggap itu sebagai pujian." Etherland mengalah, "Tapi ngomong-ngomong, kau harus lebih berhati-hati dari sekarang."

"Hm? Memangnya kenapa?" Sepasang mata cokelat gelap itu menatap Etherland dengan bingung.

"Gadis sepertimu sering berjalan-jalan sendiri—aku khawatir ada yang berniat jahat padamu."Etherland mati-matian berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan 'aku adalah Etherland' ini benar-benar bukan saat yang tepat rasanya.

"Omong kosong." Respon Kartini dengan senyum geli, "AKu sudah terbiasa seperti ini, Herr. Yaah, tapi aku hargai perhatianmu itu."

Etherland tak menjawab dan menatap sendu punggung gadis itu. Ia merasa bersalah saat gadis mengatakan demikian, ia memang sering meninggalkannya untuk bisnis.

"Firasatku mengatakan demikian." Jawab Etherland lirih.

"Oh ya?" Kartini bertanya balik sembari memasukan kecap ke dalam keranjang belanjaannya, "Aku bisa menjaga diri, kurasa."

"Kau boleh mencariku untuk apapun, aku selalu ada di kantor polisi." Etherland berujar, "Kalau kau perlu apapun, kau bisa menghubungiku."

"Kau seorang polisi?" Senyum ramah masih menghias rona wajah gadis yang ceria itu, "Terima kasih, kau—"

"Eth—bukan, maksudku Kirkland." Ujar Etherland, menelan ludah dengan berat, "Aku Arthur Kirkland."

"Senang bertemu denganmu kalau begitu, Kirkland."Jawab gadis itu dengan tenang, "Well, mungkin ini kedengaran agak aneh, tapi sepertinya kau sudah mengenalku sejak lama."

"Begitukah?" tanya Etherland balik.

"Hu-um, kau bahkan tahu nama tunanganku. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Etherland terdiam, gadis itu tampak berusaha mengingat-ingat lagi dengan keras. Buru-buru Etherland menepuk bahunya dengan lembut, "Kau tidak perlu memikirkan siapa aku sekarang."

"Yang penting kau harus selalu menjaga dirimu baik-baik. Harus."

Kartini termenung sejenak sebelum akhirnya tertawa, "Baik-baik, aku percaya padamu, Kirkland. Kurasa kau bukan orang jahat."

Memang bukan kaan? Perempatan di pelipis Etherland menyembul, suasana barusan mendadak rusak oleh perubahan emosi ini.

"Ngomong, adik-adikmu mengingatkanku pada adik-adikku."

"Sungguh?"

Kartini mengangguk, "Tampaknya adikmu itu aktif banget ya?"

"Yaah, memang." Balas Etherland, "Meski tingkahnya menyebalkan begitu."

"Iggyyy~!"

Yang diperbincangkan nongol rupanya. Spontan Kartini dan Etherland berhenti dan menatap Alfred yang sudah berdiri di kasir bersama setumpuk belanjaan luar biasa tersebut. Tanpa pikir panjang Etherland berlari, menghampiri bocah yang kini nyengir kuda tanpa dosa tersebut dengan tatapan tajam. Apesnya lagi adalah, kasir telah menghitung jumlah total belanjaan. Dunia Etherland mendadak runtuh.

Ketika angka total belanja semakin lama makin membengkak, nafas Etherland tercekat. Tuhaaan, mimpi apa ini?! Baru saja ia tinggalkan berapa menit, Alfred telah memborong belanjaan tanpa pandang bulu. Ia memperhatikan satu persatu barang-barang tersebut. Apa-apa'an ini?! Hei! Ngapain bocah laknat ini nyomot barang tak wajar seperti kondom?! Kondom pembaca sekalian! Buat apa? Buaat apaaa?! Lu ngambil dua lagi!

"Oh, iya, Hero juga ambilkan obat perontok bulu. Mungkin buat alismu bisa." Alfred cekikan mengatakan hal itu.

"Nggak butuh!"

"…Herr?" Sang kasir memanggil dengan nada takut-takut. Nyawa Etherland serasa melayang melihat angka yang harus ia bayar.

"Iggy, jangan merengut gitu doong, kan Hero sudah melaksanakan tugas belanja dengan baik~! Iggy juga lagi banyak duit kaan?"

"Banyak duit dari Hongkong?!" Sembur Etherland dengan ketus, menyerahkan kartu ATM-nya pada si kasir. Ketika mereka sudah selesai dan menuju keluar swalayan, Etherland menyerahkan kantong kresek besar itu pada Alfred, "Gue bunuh loe habis ini! Kau lupa dengan nasehatku?! Kita harus selalu hemat! Hemat!"

"Sudahlah," Seseorang menegahi percakapan ini dengan senyum kecut—Kartini muncul dengan belanjaan di tangannya, "Tidak baik memarahi anak-anak seperti itu."

"Kamu nggak liat apa mereka mencomot apa saja?! Bahkan uang tunai di dompet aja nggak sanggup untuk membayar semua!" Balas Etherland dengan sengit.

"Ayolaah, tidak ada salahnya sekali-kali berbelanja agak banyak." Jawab Kartini dengan kalem, "Iya kan anak-anak?"

Alfred mengangguk setuju, "Benar! Maklum, dia ini jiwa-jiwa mata duitan tingkat dewa."

Etherland hampir mengeluarkan kata-kata tak pantasnya tersebut sebelum akhirnya Kartini menyela, "Oke-oke, ini bukan arena untuk berkelahi. Kenapa kita semua tidak menenangkan diri saja dulu di café? Toh, di luar hujan masih belum berhenti."

Seketika mood Etherland berubah—lebih tepatnya luluh oleh ajakan Kartini. Kesempatan? Iya dong! Sekarang ini ia harus melakukan pendekatan terhadap Kartini, sampai ia bisa mengatakan semuanya nanti. Kalau ia bilang sekarang juga, Kartini pasti nggak bakal percaya. Kalian pun akan sama juga kan? Kalau seseorang yang tidak kalian kenal datang dan mengatakan, 'Kamu akan mati tiga hari lagi!' layaknya seorang dokter yang memvonis pasiennya mengidap penyakit kronis.

Khuhuhuhu, Etherland emang pinter. Iya kan~?

(***)

Mereka memilih salah satu café dan duduk di dekat jendela. Bau kopi menguar dari cangkir-cangkir porselen putih. Beberapa orang memandangi mereka, daripada malu, Etherland malah bangga(?), serasa jadi sebuah keluarga bahagia, dengan Kartini serta Alfred dan Matthew. Muahahahaha! Memang iya, selalu ada pelangi setelah badai!

"Uhm…, Kirkland?"

"Ya?" Etherland kembali dari lamunannnya. Gadis yang duduk bersama Matthew itu melemparkan pandangan pada seorang pelayan yang telah menunggu mereka dengan senyum kikuk, "Baik. Baik. Aku pesan sandwich dan secangkir kopi saja."

Pelayan itu mengangguk dan pergi.

"Iggy pasti melamun hal yang aneh-aneh lagi dan—AWW!" Alfred meringis ketika pahanya dicubit oleh Etherland. Lantas saja ia menatap dengan mata berkaca yang di buat-buat.

Kartini tersenyum geli, "Kalian berdua akrab sekali ya."

"Heh!" Etherland mendengus dan merangkul Alfred dengan erat. Amat erat. "Benar. Kami benar-benar akrab. Iya kan, Adik tercinta? Hm?"

Oke, didengar dari telinga manapun, kata-kata Etherland sama sekali tidak mencerminkan keakraban yang di maksud. Namun tampaknya Kartini terlalu lemot untuk memahaminya—oke, ini terlalu kasar.

"Ghaah~! Adik tercinta?! Kau bahkan terlihat seperti ingin membunuh Hero!"

Kartini tertawa.

"Oh, maaf sebelumnya,"Kartini menyadari sesuatu, "Aku sampai lupa memperkenalkan diri pada kalian berdua."

"Tidak perlu repot-repot," Etherland menyela Alfred yang hendak berkata sesuatu, "Mereka tahu siapa kau, aku sudah memberitahu mereka."

"Tapi dia tidak tahu nama kami!" Celetuk Alfred. Matanya berbinar, makin berbinar ketika pesanan mereka semua datang. Etherland hanya bisa mengelus dada dalam hati.

"Nah! Jadi biarkan Hero memperkenalkan diri! Hero adalah—"

"Bocah obesitas."

"Hei! Tidak ada yang meminta komentarmu!" Seru Alfred dengan merengut ketika omongannya di potong oleh Etherland, "Dan aku nggak obesitas!"

"Beneran deh Kartini, nggak penting banget kamu dengerin ocehan dia." Etherland memaksa turun Alfred yang berdiri di atas kursi dengan tampang kesal, "Dan kau, berapa kali sudah kubilang untuk bersikap lebih sopan di tempat umum?!"

Benar-benar terlihat seperti bapak-bapak, pemirsa.

Mereka saling berbincang sembari menyantap hidangan sederhana yang hemat. Rasa stress dan penat Etherland terasa tersingkir oleh perbincangan ini. Musik yang mengalun lambat menghiasi suasana damai café yang lumayan lenggang tersebut.

Perasaan Etherland semakin sesak, senang bercampur sedih, bercampur gemas, bercampur khawatir. Seandainya saja bisa, ia ingin…

"Uhm…Kartini?"

"Ya?"

Makanan mereka semua telah habis, Kartini menatap bingung Etherland yang kini tampak serius. Meletakan cangkir kopinya yang tinggal setengah, Kartini menunggu pemuda beralis tebal itu melanjutkan kata-katanya.

Tepat saat itu juga, secangkir gelas jatuh, pecah di atas lantai dengan cairan cokelat kemerahan yang menggenang dan menarik perhatian seisi café. Seorang pelayan yang agak ceroboh tanpa sengaja menjatuhkan gelas tersebut di dekat meja nomor 8. Sang pemesan buru-buru membungkuk dan berusaha membantu. Pelayan tersebut tak berani menatap wanita pemesan teh yang berdada besar tersebut. Pengelola café datang, meminta maaf pada wanita berambut pendek tersebut dengan sopan dan menyuruh tegas sang pelayan untuk membersihkan kekacauan ini.

Etherland menghela nafas dan mengalihkan pandangannya. Tetapi mata Kartini masih tertuju pada kejadian tersebut.

"Umh…Maaf, Kirkland." Kartini akhirnya menatapnya dengan kata-kata menyesal, "Aku harus pergi dulu."

"Eh?"

"Aku harus pergi sekarang, Etherland akan khawatir kalau aku lama tak pulang."

Gadis itu beranjak pergi, menuju kasir membayar semua tagihan dan menghilang dari pandangan Etherland. Ia terpaku.

"Hihihihihi, kesel?" Ledek Alfred.

Etherland menginjak kaki Alfred sebagai ancaman untuk diam. Sialan, padahal ia mau bilang untuk ketemuan lagi nanti! Ia harus mengatakan semuanya.

Tak ada yang bisa di lakukan lagi, Etherland mengantar dua anak ini pulang. Membereskan barang belanjaan dan menutup pintu, sembari berpesan pada keduanya untuk tidak kemana-mana.

Saat pemuda tersebut menuju kembali ke mobilnya, ia baru menyadari bahwa ia telah menghabiskan waktu satu jam dari yang telah di berikan oleh Roderich—lewat lima menit malah.

What the Hell?!


Oke, tampaknya kalian semua bisa menebak apa yang terjadi saat Etherland kembali ke kantornya. Jadi tak perlu menanyakan mengapa ada hawa hitam yang bergantung di atas kepala tokoh utama kita yang terduduk dengan wajah bloon dan pakaian yang semakin awut-awutan setelah menghadapi rentetan ceramah Roderich Edelstein. Kepalanya terasa kosong mendadak.

Ini beneran kiamat ya?! Etherland mengacak-acak rambutnya sendiri frustasi. Bayangkan, hari ini, besok dan seterusnya ia akan ketiban sial dengan dikurung dalam bangunan besar ini—singkatnya, ia dapat acara lembur spektakuler, ugh, otak bisnisnya malah diperas sampai kering untuk mengusut kasus ini. Mampus.

Sekarang pun hubungannya dengan John, Gupta, serta personel lain selain Francis dan Gilbert memburuk. Iya, iya, soal si Lukas ama Eduard kaan? Geez, Etherland tahu ia memang salah. Iya. Tapi yang menjerumuskannya ke Madam Tussauds itu siapa coba?! Francis! Franciiiss!

Semua orang mungkin kini menatapnya sebagai pemimpin yang tidak becus, tidak bertanggung jawab, atau belagu sekalian. Kenapa nasibnya jadi begini siih? Etherland lebih baik ngitung anggaran keuangan tujuh tahun berturut-turut daripada harus melakukan ini. Sepertinya imej-nya telah rusak—maksudnya, sosok Arthur Kirkland yang sebenarnya.

Etherland menghela nafas berat, memandang ke jendela luar di mana langit oranye gelap perlahan berganti dengan malam. Ia membaca data-data yang ada dengan ekspresi jemu dari balik laptop, tak ada yang menghampirinya. Tak ada yang bicara padanya.

Etherland memikirkan tentang pembunuhan berantai ini. Kenapa ada kaus kaki yang hilang? Kenapa harus kaus kaki? Pembunuhnya pasti sedang membuat lelucon yang mengerikan. Kalau diresapi lagi, kenapa korban yang di pilih punya kisaran umur remaja SMU?

Memangnya makna kaus kaki itu apa coba? Kalau pembunuh itu berniat bikin seluruh dunia bingung maka ia sudah berhasil. Jangan-jangan yang melakukan ini orang gila lagi!

Ughh… Korban ketiga di perkosa setelah mati. Sebentar, untuk apa? Untuk apaa? Kalau seperti asumsi Lukas bahwa pelakunya pengidap Necrophiliac seharusnya tiga korban di perkosa habis-habisan, kenapa cuma satu? Kenapa?

Kemudian, soal sambungan tangan. Mereka bilang kalau tangan sambungan itu bukan milik ketiga korban. Berarti ada korban lain, Etherland tidak bisa menjamin tiga orang itu masih hidup atau tidak. Ngomong-ngomong korban lain itu adalah Jane Doe—oke, korban perempuan yang tidak teridentifikasi, kutip dari penjelasan Gupta barusan. Kenapa harus perempuan?

Ugh, siapapun pembunuhnya di luar sana, telah berhasil membuat teka-teki cemerlang untuk Etherland. Pikiran Etherland mengawang-awang selama berjam-jam lamanya. Waktu semakin lama berlalu, rekan-rekannya telah banyak pergi entah kemana.

Etherland makin bingung.

Ketika dirinya bangkit dari duduk dan melangkah menuju mesin kopi, ia bertemu dengan Francis. Alisnya terangkat sebelah ketika tahu bahwa pemuda berjanggut itu ada di sini. Ini sudah jam sebelas.

"Ou, ha~i, alis indah yang menyilaukan~"

"Francis, itu sama sekali bukan pujian."

Francis meninju dirinya dengan gestur bercanda, "Ayolaah~, jangan cemberut seperti itu. Tertawalah kalau mendengar lelucon abang Francis~!"

"Kau mau kusiram kopi panas?"

"Oke, oke, tenang, Sayang." Francis tertawa garing, "Mau ke ruangan kerja bareng?"

Etherland tak menjawab dan mengikuti saja langkah Francis.

"Mana si Gilbert?" Tanya Etherland dengan wajah bete.

"Beli makanan! Katanya kebelet makan wurst. Heran deh, emang di tempat kita ada yang jualan wurst malam-malam?"

"Aku tidak mood untuk tertawa sekarang, Bonnefoy."

Francis tertawa mendengarnya.

"Apa kalian kena harus lembur sepertiku juga?"

"Hm? Tidak." Francis menggeleng dan duduk di samping Etherland, "Aku dan Gilbert ambil jatah malam jugaa~"

Krik. Krik. Krik.

"… Serius, deh. Abang tak mungkin melakukan hal yang tidak-tidak padamu (untuk saat ini)."

"Aku tidak meminta kalian menemaniku."

"Cepat atau lambat kau akan merasakan kesepian sendiri di sini, hohohoho~!"

"Kau hanya akan menghancurkan kosentrasiku pada kasus."

"Heh, memangnya penyelidikanmu sudah sampai mana, Monsieur?"

Etherland tak menjawab.

...

"…Gilbo benar-benar menyesal."

"Soal apa?"

"Soal kemarin. Kau sampai di panggil personalia hanya karena hal seperti ini. Gilbert dan Abang—"

"Aku tak mau dengar."

"Arthur…"

"Menurutmu berapa jumlah kupu-kupu malam di seluruh Belanda?" Etherland mengalihkan topik pembicaraan. Francis terlihat bergairah mendengarnya.

"Kau mau mencoba?"

"Tidak." Penolakan yang begitu tajam menusuk hati Francis, "Tiga Jane doe yang di katakan Lukas mungkin adalah imigran ilegal yang menjadi pelacur di sini."

"Maksudmu…"

"Karena identitasnya tidak ada di manapun. Tentu saja."Jawab Etherland dengan ketus.

"Hmmm," Francis berpikir, "Ada banyak klub malam dan tempat-tempat semacam itu di seluruh negeri ini. Aku tidak yakin kita bisa menemukannya dengan mudah. Lagipula kita cuma punya sepotong tangan, sedang orang-orang datang dan pergi setiap tahunnya."

"Mungkin orang-orang Slavia atau semacamnya?"

"Oui, bisa jadi." Jawab Francis mengangguk, "Berarti pelakunya adalah orang yang bisa dengan mudahnya masuk ke tempat seperti itu."

"Apa tidak ada ciri-ciri dari tiga tangan jane doe ini?"

"Ada. Tato di lengannya, di korban kedua kalau nggak salah. Yang gambar naga."

Etherland terdiam mengetuk-ngetukan jarinya ke atas meja.

"Hmm, setahuku menyambungkan tangan seperti itu harus dilakukan cepat." Ujar Francis tiba-tiba.

"Oh ya?"

"Sekitar 10 sampai 11 jam, eh? Mungkin Abang salah. Tapi baik potongan ataupun bagian yang terpotong harus dijaga dengan baik, kondisinya juga tidak terlalu hancur begitu."

"Kalau begitu, kenapa sampai ada rentang waktu satu minggu …"

"Ada penyekapan. Benar, kan?"

Etherland mengangguk.

...

"Tapi bagaimana dengan keluarga korban, alis tak awesome?"

Etherland memandang Gilbert yang datang dengan satu plastik belanjaan, tersenyum sinis sebelum akhirnya menyahut, "Katakan saja kalau kau menginap di rumah temanmu."

"Apa yang dipikirkan oleh keluarga mereka mendengar anaknya mendadak ingin menginap di rumah orang selama satu minggu? Tidakkah itu aneh, hm?"

"Keluarga korban pertama memang punya situasi yang buruk. Anak broken home." Francis mengingatkan.

Diskusi mereka semakin seru.

"Yang kedua memang mengatakan bahwa dia menginap ke rumah temannya selama beberapa hari. Korban menelpon keluarganya dua hari sekali di jam yang sama. Orang tua temannya itu sedang pergi ke suatu tempat, katanya."

"Dan ibu korban ketiga mati membusuk dalam kamarnya yang tertutup."

Tiga orang ini saling pandang dalam diam.

"Kau berpikir sesuatu yang tak awesome?" tanya Gilbert pada Etherland.

"Cuma membayangkan kalau tiga korban diteror oleh sang pembunuh sebelum akhirnya mati. Membayangkan kalau tiga pelajar malang ini sudah tahu kapan ajal menjemputnya."

"…Dan surat teror?"

"Dibakar."

Hening.

"Wahahahahahahaha! Akhirnyaa, ada juga yang bisa gue hasilin. Emang iya, aku ini paling awesome sedunia, kesesese!"

"Heh. Yang mencentuskan itu siapa dulu sih?!" Gerutu Etherland dengan sebal, enak saja makhluk tak jelas ini seenak jidat mengklaim teori barusan. "Dan berhentilah menyebut dirimu awesome."

"Mon cheer~, tapi yang membantu kalian semua dengan info-info itu siapa? Abang Francis kaan? Honhonhon~"

"Itu—!"

"Bhuuu!" Seloroh Gilbert dengan wajah cemberut sembari menyumpalkan donat cokelat ke mulut Etherland yang baru saja membuka untuk mengutarakan uneg-uneg tidak penting, "Kau ini cerewet banget sih, alis tebal."

Oke, yang disumpal Gilbert ini bukan sembarang donat. Donat ukuran besar telak menerobos masuk, Etherland nyaris tak bisa menelannya. Belum lagi Francis yang seenak jidat mencoreti mukanya dengan krim yang ada di donat. Dirinya di permainkan seperti ini—!

DUAGH!

"WOI! WOI! Nggak usah pake kekerasan, ya!" Gilbert mundur dengan wajah masam ketika clip board menghantam telak muka Francis dengan kecepatan tinggi. "Arthur—Kita—"

TUK!

Dan tanpa sengaja Gilbert telah membuat gelas plastik berisi kopi tumpah di meja. Cairan cokelat itu merembes luas ke file-file, dokumen, termasuk ke…

"GYAAAAA!"

Kehebohan tercipta.

"Kopinya! Kopinya tumpah, Francis! Gimana nih?! Sayang banget kan ntuh minuman tumpah!" Seru Gilbert dengan heboh yang dodolnya malah mengkhawatirkan kopi yang telah mendingin itu daripada sebiji laptop Etherland yang menjadi korban kenistaan cairan hitam tersebut.

"Mon cheer~! Matilah kita bertiga. Kita musti bilang apa ama yang lainnya kalau dokumen kita pada basah ginii?!"

"Eh, Alis. Kok loe diem sih?!"

"Sayang?"

"Hallo? Alles goed?"

"…"

Brr

Brr

"LAPTOP GUE LOE APAIN GEBLEEK?!" Teriak Etherland histeris sembari menunjuk laptop butut malangnya tersebut, "Bisa-bisanya kau numpahin kopi di siniii?!"

"Yang naroh kopi di sini itu siapaaa?!" Elak Gilbert dengan ekspresi keruh. "Lagian emang apa pengaruhnya ama diriku yang begitu mempesona ini?!"

Etherland mengambil nafas dan memalingkan wajahnya dari Gilbert.

"Ayolah teman-teman yang kucintai~, kita damai saja, ya—"

BRZZT

Oke, dan laptop Etherland yang menyala itu akhirnya menunjukan gejala anehnya. Benar, suara aneh itu sontak menarik perhatian tiga orang yang merusak citra tengah malam yang indah, plus, bau terbakar yang menyengat. Hebat, kan?

"Gyaaa! Buruan! Buruan copot colokannya!" Francis menjerit heboh, serta merta menjauhkan tubuh Etherland yang terakhir kali berkontak tangan dengan benda elektronik malang tersebut, "Gil, buruan!"

Pets!

Gilbert Beilschmidt mencopotnya dengan cepat.

SIIIINGG

"…Ada yang punya gelang anti statis?"Etherland memecah keheningan ganjal tersebut.

Tiga jam kemudian

Sret

Sret

Mari kita percepat saja bagian kehebohan tiga orang polisi yang lembur bersama ini. Waktu telah menunjukan jam satu dini hari dan tak ada perubahan signifikan yang terjadi dalam ruang kerja mereka. Oke, kecuali untuk laptop Etherland yang kini di bongkar dan dibersihkan oleh pemuda albino sementara sang tokoh utama kita tengah mengetik di laptop Francis. Kertas basah di mana-mana dan tak ada yang berbicara satu sama lain; tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Francis tengah mengelap meja kotor Etherland. Etherland dan Gilbert duduk di lantai, ya, ini serius, lantai dingin seperti ini ternyata cukup nyaman juga untuk kedua orang tersebut.

"Sepi banget ya?" Francis membuka suara dan menyudahi bersih-bersihnya,"Eh, puterin lagu doong~"

Etherland mendengus kesal, "Diamlah, Bonnefoy. Aku lagi sibuk."

"Eh, ngomong-ngomong spekulasi panas mengenai kasus kita nggak di lanjutin?" Gilbert bertanya dengan suara nyaring.

Etherland mengangkat bahu, fokus terhadap salinan ketikan tulisan Lukas sembari berpikir keras mengenai berbagai macam hal.

"Gilbert, berapa banyak yang kau tahu tentang organisasi kriminal yang ada di seluruh Eropa?"

"Abang nggak di tanyai? Jahatnyaa!"

"Nggak usah banyak komen." Sahut Etherland ketus. Gilbert berhenti membersihkan dan matanya menatap langit-langit.

"…Gilbert?"

Apa orang ini bisa memberikan informasi yang membantu?

"Aku tidak berpikir kalau ada hubungannya dengan kasus kita."

"Gilbert. Jawab saja."

"Heeeii~, Abang juga tahu seperti Gilbert!" Francis berseru merebut porsi bicara Gilbert, "Abang juga dengar pas kita lagi ketemuan interpoool~!"

Etherland menghela nafas pasrah, memberikan gestur tubuh mempersilahkan pemuda berjanggut itu untuk bercerita. Francis pun berseloroh, "Hmm, ada banyak sih organisasi seperti itu, apalagi di sini kan memang pusat rute kokain."

"Benarkah?" Etherland tampak terkejut.

"Yuup~, kebanyakan mereka berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil; Voozdovac, Surcin dan Zemun dari Serbia yang mengendalikan 30-40 kelompok mafia di sana misalnya. D-Company juga kelompok mafia besar asal India yang punya banyak jaringan. Hmmm—"

Etherland menunggu kelanjutannya,

"Mafia-mafia Rusia." Sebut Francis sambil melirik raut wajah Gilbert yang berubah, "Tapi beberapa di antara mereka tidak menerima orderan membunuh orang, jadi kita lupakan saja. Kebanyakan mereka bisnis narkoba siih."

Etherland mengangguk.

"Hei, kalau kau tertarik kenapa tidak tanya orang-orang Inggris saja? Kau pasti pernah dengar Yardies kaaan, honhonhon~"

Etherland menggeleng.

"Serius kau nggak ingat ama Yardiess?!" Wajah Francis syok mendapat jawaban Etherland, "Kau gegar otak?!"

"Nggak ada yang bilang begitu." Jitak Etherland dengan keras, alis tebal(bukan miliknya) berkedut.

"Polisi Inggris pasti rata-rata tahu Yardies itu apa." Gilbert bersuara dengan seringainya, "Heh, mereka itu organisasi yang cukup tenar di tanah Britania."

Wajah adik Kartini terlintas di benak Etherland.

"Semuanya berpencar ke berbagai negara sih, termasuk para bosnya, Augusto la Torre misalnya. Masih buron." Celetuk Gilbert, "Eh, tapi kenapa sih kau nanya-nanya sesuatu yang tidak awesome?"

Etherland diam.

"Ahh, ngomong-ngomong, aku mau beli makanan lagi~" Francis berujar memecah keheningan yang baru saja terjadi. "Sekalian cuci mata sih, uhuhu~"

"Kalau sampai jam lima pagi kau tidak kembali ke sini, kucukur jenggotmu nanti—Hei! Berhentilah menempel-nempel denganku!" Etherland berseru ketika pemuda berjanggut itu masih sempat-sempatnya menggodai dirinya.

Francis terkikik geli dan berjalan keluar. Etherland menghela nafas lega sebelum akhirnya pintu itu terbuka lagi dengan keras menganggetkan dirinya.

"Mon cheer~, kalian ingin pesan sesuatu?"

"Wurst dan bir!"

"Gilbo~, Kau sudah mengatakannya tiga kali!"

"Lembur begini tidak akan awesome tanpa wurst dan bir! Kheh! Kau tidak mengerti juga ya!"

"Gilbert." Etherland mengingatkan.

"Oke—oke, jangan lempar diriku yang begitu awesome dengan laptop bulukan itu." Gilbert tersenyum masam kepada Etherland, "Satu kotak donat, Francis!"

"Gilbert! Kau mau membunuhku?!" Seru Etherland dengan ketus menunjuk dua kotak donat ukuran besar yang kosong, "Bawakan apa saja, Francis. Yang pasti jangan mahal-mahal."

BLAM!

Pintu ditutup Etherland dengan nafas tersengal. Akhirnya menyingkir satu pengganggu menyebalkan dalam hidupnya. Hah, perasaan semenjak ia masuk ke dalam permainan roda waktu ini, sifatnya berubah ya? Dirinya yang dulu selalu bersikap dingin terhadap orang lain…

Etherland memijit-mijit keningnya, Ya Tuhan, lama-lama ia bisa gila kalau seperti ini terus.

"Mulai lelah, Alis?"

Etherland tersenyum sinis, "Jangan sok kuat, Beilschmidt. Aku tahu kau sudah menahan kantuk dari tadi."

Wajah Gilbert makin masam, "Heh! Kau salah liat! Aku ini sudah biasa tahu kerja lemburan begini!" Serunya sembari menyeruput kopi.

"Berhentilah mengoceh, kau cuma menghabiskan energimu saja." Jawab Etherland dengan ketus.

Gilbert tak menjawab. Kerjaannya sudah selesai. Ia menarik nafas panjang, melonggarkan dasinya, dan bersandar di dinding bersama ekspresi yang masih keruh. Iris ruby merahnya memperhatikan gerak-gerik Etherland yang tak jauh darinya. #gyaaaaaseksiiiii / #plak #abaikan

"Hei."

"Apa?" Etherland menjawab tanpa menoleh pada Gilbert sedikit pun.

"…Gadis itu siapa sih?"

"Hah?"

"Gadis yang kau kejar-kejar kemarin." Guman Gilbert, "Siapa dia?"

"Bukan urusanmu."

"... Kau juga tak menjawab pertanyaanku tadi."

"Apa aku harus menjawabnya?"

"Alis tebal."

"Aku sibuk."

Gilbert tak menjawab, meneguk habis segelas kopi. Pemuda Jerman itu berdiri dan mendekati Etherland yang masih sibuk mengetik.

"Cih, kau bilang dirimu kuat begadang? Banyak typo bertebaran tuh."

"Hah?" Etherland mendongak dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya laptop di pangkuannya dicomot dan dirinya didorong untuk bergeser.

"Tidur sono gih!" Seru Gilbert dengan seringai tipis, "Miris gue ngelihat dokumen ini jadi acak-acakan nantinya di tangan loe."

"Aku nggak acak-acakan nulisnya!" Bantah Etherland, namun belum ia sempat bersuara kembali, jas dilemparkan tepat ke mukanya, "Berisik, serahkan perkara ngetik pada ahlinya yang awesome ini."

Etherland tak bisa lagi melawan. Rasa kantuknya yang sejak awal berusaha ditahannya itu mulai menggerogoti.

Perlahan tapi pasti pandangan Etherland menggelap, tubuhnya terasa mengapung. Suasana kantor dalam malam hari itu akhirnya menghilang dari penglihatan tokoh utama kita. Jiwanya seakan melayang ke suatu tempat di sana.

Gilbert hanya mendengus ketika mendapati pemuda di sebelahnya itu tertidur, dengan jas yang dijadikan selimut. Terbesit sesuatu yang luar biasa, Gilbert merogoh handphonenya, dan segera memotret wajah sang Briton yang tertidur. Hah! Bagus kaan? Ini harusnya di-posting di blog atau Twitter-nya, muahahaha!

Namun, melihat wajah itu sekali lagi, membuat Gilbert teringat semua yang terjadi belakangan ini. Masalah datang silih berganti di antara mereka, sementara tingkah laku seorang Kirkland berubah total dari biasanya, seolah-olah orang ini menutupi sesuatu yang penting dari dirinya, Francis dan semua orang yang ada di markas kepolisian.

Gilbert jadi agak khawatir.


Etherland dibangunkan pukul empat pagi oleh dua rekannya. Ia berjalan terhuyung-huyung menuju ke mobilnya sembari menenteng sisa jatah makan beserta laptop menyedihkannya. Perut Etherland terasa mual memikirkan isi bungkusan makanan yang di sodorkan. Ia harus pulang dan mengerjakan pekerjaan 'rumah', oke, oke—tidak perlu jauh-jauh; Etherland perlu mandi sekarang. Tubuhnya bau masam oleh keringat.

Dalam perjalanan, Etherland bisa melihat bahwa langit berbintang terang, bertabur dengan indahnya. Malam akan segera berakhir, ia tahu, dan satu hari telah ia lewati dalam penyamaran gila ini. Satu hari telah ia lewatkan tanpa kemajuan yang signifikan atas rencananya.

Apa ia bisa menyelamatkan Kartini tepat waktu ya?

Tanpa terasa Etherland sampai ke depan apartemennya. Ia berlari keluar dan memasuki bangunan kotak hangat berbata merah tersebut; menelusuri lorong-lorong yang di hiasi oleh pintu-pintu kayu sebelum akhirnya menarik nafas dan meraih gagang pintu tujuannya.

Di luar dugaan, seseorang membuka pintu. Etherland tercengang melihat sosok pemuda familiar di matanya itu— senyum cerah, plus baju abu-abu kedodoran dan celana training.

"Antonio?!"

….

Kemarin aku dengar kau dapat jatah lembur, jadi kupikir anak-anak pasti perlu seseorang yang bisa mengasuh, sementara kau bekerja, sí. Aku bukan polisi, jadi aku hanya melakukan apa yang kubisa~
Aku datang ketika kau sudah kembali ke kantor. Anak-anak tampak senang lho bertemu denganku! Kami bahkan melewatkan malam dengan perang bantal~!

Penjelasan Antonio terngiang-ngiang di telinga Etherland. Dengan menopang dagu, dirinya memandangi keceriaan anak-anak di meja makan pagi ini. Antonio dengan senyum cerahnya itu kembali dari dapur dengan satu nampan pasta tomat.

"Arthur~, ayo makan dong." Panggil Antonio dengan ramah menunjuk sepiring pasta berlumur saus tomat yang sangat banyak.

Etherland menelan ludah, ragu untuk memakan masakan pemuda ini, "Aku tidak lapa—"

Saat itu juga Alfred menyuapinya dengan pasta. Etherland sukses dibuat bungkam. Rasa tomat segar itu menyesap ke dalam lidahnya. Ugh…

Satu meja makan tertawa melihat ekspresi kaget Etherland. Suasana damai sarapan hancur lebur karena satu menit kemudian keluarlah omelan dan rentetan percakapan di apartemen itu.

….

"Kau yang berinisiatif sendiri, kan? Jadi jangan harapkan aku menggajimu sebagai babysitter, Carriedo." Ujar Etherland dengan dingin ketika hendak berangkat. Alfred dan Matthew sudah berada dalam mobil. "Ini tidak seperti aku menyukai keputusanmu. Tapi jaga mereka baik-baik."

Mata sang Hispanic tertuju lurus pada Etherland, ia tersenyum melambai, lalu masuk ke dalam mobilnya sendiri. Etherland menarik nafas lega, sebelum akhirnya berbalik dan masuk ke mobilnya.

Hari baru kembali di mulai. Waktu terus berjalan. Etherland menghidupkan mobilnya. Pandangannya menatap lurus kedepan.

Waktu kematian Kartini semakin dekat …

Lalu apa yang akan di lakukan oleh tokoh utama kita?

Etherland tersenyum simpul, menatap langit biru cerah Amstelveen pagi ini. Perlahan rencana mulai tersusun dalam kepalanya, dan…aha! Sesuatu yang bagus akhirnya terbentuk dalam benaknya.

Ia dapat ide untuk Kartini.

Alfred dan Matthew mengucapkan salam padanya dengan ceria saat tiba di sekolah, dan berlari menuju kelas. Etherland menatap penuh arti. Di dekatnya angin bertiup cukup kencang; dedaunan hijau itu bergerak mengangkasa di udara.

Bagaikan kunang-kunang di malam hari. Langkahnya terasa pasti sekarang.

Etherland kembali melanjutkan perjalanannya.


Brocken Disc 004 : Kopi Tumpah


Reich private chat

Play : May J – GO! GO! Baby

Oke, masih dengan saya, author dari fict Brocken ini. Moga kalian nggak bosa dengar kata-kata saya. Sebelumnya maaf ya update-annya suka molor~~#dogeza

Semoga nggak ngecewain kalian semua dan makasih ya yang udah ngasih review, saran, kritik dan komentarnya. Buat yang silent reader juga makasih ~~Kak Chii juga selaku beta reader saya#sobsob

Neth makin akrab ya ama BTT~~salut deh dan silahkan bagi yang ingin memberikan kritik, saran, komentar, uneg-uneg-nya akan fict ini~w demi peningkatan mutu yang lebih baik#yeah

Sekian

Reich