Charlie Weasley mengusap nisan adiknya perlahan. Huruf-huruf yang terukir di pualam putih itu mulai memudar sedikit setelah sepuluh tahun, namun dia masih bisa mengingat setiap karakter seolah-olah ayahnya baru mengukir kalimat itu kemarin.

Fred Gideon Weasley (1978 – 1998). Pahlawan yang meninggalkan tawa dan kebahagiaan.

Sebongkah besar batu seperti baru saja dimasukkan paksa ke tenggorokan Charlie. Selalu begitu setiap dia mengingat kematian adiknya. Dia seringkali berpikir, seandainya dia ada disana waktu itu, seandainya dia di Hogwarts, bukan di Rumania, mungkin dia bisa menyelamatkan adiknya? Mungkin dia bisa menjaga keluarga mereka tetap utuh?

Nah… gumam suara kecil di kepalanya. Mungkin juga tidak.

Charlie menarik napas panjang. Diperhatikannya sekeliling makam. Kebanyakan kuburan telah tertutup ilalang, nisan-nisan terselubung lumut dan tanaman merambat lainnya. Kecuali nisan Fred, yang bersih dan terawat. Charlie bertanya-tanya, siapa yang selalu menjaga makam Fred. Bisa jadi ibunya, atau George.

"Hai, Dik," sapanya, tersenyum. Tentu saja tidak ada balasan.

"Aku kembali. Kali ini untuk selamanya," kata Charlie, suaranya bagai bisikan angin. "Mungkin," tambahnya di akhir, tertawa lemah.

Dia mengayunkan tongkat sihirnya, menciptakan seikat bunga dari udara kosong, dan meletakkannya di bawah nisan.

Dia berjalan keluar pemakaman. Menyusuri jalan setapak yang dipagari oleh berbagai tanaman bunga, dia tiba di jalan utama yang lebih besar, cukup besar untuk dilewati kereta atau mobil. Putra kedua keluarga Weasley itu berhenti sesaat, menatap lurus ke arah langit biru yang cerah, dan senyum lebar mengembang di wajah bulatnya. Senang rasanya kembali ke rumah.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Charlie pulang ke The Burrow sesering yang dia bisa. Saat Natal, hari peringatan kematian Fred, dan hari lahirnya anggota keluarga baru, dan kapan pun bosnya serta naga-naganya mengizinkan. Setiap kali tiba di Inggris, hal pertama yang dia lakukan adalah mengunjungi makam adiknya, untuk mengingatkannya arti keluarga, arti pulang ke rumah.

Charlie berjalan sambil memasukkan tangan ke saku celananya menuju The Burrow. Jaraknya sekitar dua mil. Tentu saja dia bisa ber-Apparate, tapi Charlie suka berjalan kaki dari makam Fred ke rumah. Membuatnya merasa sedang pulang. Setiap langkah yang membawanya lebih dekat ke rumah, ke orang tuanya, terasa ringan dan menyenangkan. Dia pernah tak sengaja membaca literatur Muggle, dikatakan 'perjalanan pulang ke rumah selalu terasa menyenangkan, (si)apa pun yang kau sebut rumah,' dan dia tidak bisa lebih setuju lagi.

Matahari di langit mulai condong ke arah barat ketika Charlie mendengar suara mesin aneh di belakangnya, semakin mendekat. Dia menoleh, terheran-heran melihat mobil Muggle menderu ke arahnya. Tidak pernah ada mobil Muggle di daerah ini sebelumnya, kecuali Ford Anglia terbang milik ayahnya. Pikiran pertama Charlie adalah ayahnya membeli mobil lagi, tapi ayahnya tentu tidak selugu itu dan mengulangi kesalahan yang sama kan? Kemudian dia ingat bahwa sebaiknya dia sembunyi. Kalau itu benar seorang Muggle, dia jelas tidak berharap bertemu Muggle dalam jubah penyihirnya.

Mobil hijau itu berhenti di hadapannya sebelum Charlie sempat bersembunyi. Kepala berambut hitam keluar dari jendelanya.

"Hei, kau tahu jalan menuju Desa Netherhill?" seorang wanita muda bertanya pada Charlie. Frustrasi terdengar dari intonasinya. Wajah Asia wanita itu mengernyit menyipitkan matanya, menahan silau sinar matahari yang melayang di langit di belakang Charlie.

Netherhill adalah desa Muggle di balik bukit besar 5 mil di utara The Burrow. Charlie belum pernah kesana, tapi dia tahu jalannya. Ikuti jalan utama terus ke timur, kemudian belok ke arah utara setelah melewati The Burrow.

"Well?" tanya wanita itu, agak tidak sabar.

"Lurus terus saja ke timur, lalu belok ke utara setelah satu mil. Sekitar 2-3 mil ada hutan kecil; Netherhill ada di baliknya," jawab Charlie, tangannya ikut bergerak menunjukkan arah.

"Berapa lama kira-kira?"

"Seharusnya tidak sampai sejam."

Wanita itu menghela napas, kemudian berterima kasih. Ia memacu mobilnya mendahului Charlie, debu beterbangan di belakangnya. Charlie geleng-geleng kepala. Muggles, batinnya.

Baru sepuluh langkah Charlie berjalan, mobil itu terlihat bergerak mundur, menuju ke arahnya lagi.

"Kau searah? Aku bisa memberi tumpangan," wanita itu menawarkan setelah mengeluarkan kepalanya sekali lagi melalui jendela mobilnya. Charlie tidak menjawab. Dia tidak pernah menumpang kendaraan orang asing sebelumnya. Apalagi kendaraan Muggle. Bukannya dia khawatir akan keamanannya – dia bukan jadi anggota Orde tanpa kemampuan apa-apa – tapi Charlie tidak suka terlibat terlalu jauh dengan Muggle.

"Dengar," kata wanita itu, sekali lagi terdengar frustrasi, "aku sudah seharian mengitari daerah ini untuk menemukan desa itu. Nyaris tidak ada orang di tempat ini, kalau pun ada mereka hilang begitu aku mau bertanya. Aku butuh penunjuk jalan, oke? Dan kau kelihatannya lelah."

Charlie menatapnya, menimbang-nimbang dalam hati.

"Please?" wanita itu mengatakan kata terakhir dengan wajah memelas. Charlie menutup matanya sebentar, memutuskan.

"Baiklah."

Wanita itu bersinar senang, ekspresinya lega. "Naiklah!"

Charlie memutari mobil dan melompat masuk ke jok samping kemudi. Jubah perjalanannya nyaris tersangkut ketika ia menutup pintu mobil. Dia buru-buru menyempilkan ujung jubahnya di bawah kakinya.

Wanita itu memasukkan gigi dan menginjak pedal gas. Jalannya tidak mulus. Charlie duduk agak tidak nyaman. Dia cukup berilmu mengenai mobil, untuk ukuran penyihir berdarah murni. Dari yang dia perhatikan, mobil ini bermerek VW, dan tampaknya lebih tua daripada Ford Anglia ayahnya dulu.

"Aku Cassandra," wanita itu memperkenalkan diri. Charlie tidak langsung menjawab. Dia tipe yang lamban di depan wanita, Muggle maupun penyihir. Itulah sebabnya dia masih jomblo di usia tiga puluh lima.

"Charlie," jawabnya agak malu.

"Maaf atas sikapku tadi. Pasti terdengar kasar sekali," kata Cassandra. Charlie menggumamkan 'tak masalah'.

"Hei, jangan tersinggung, ya. Aku cuma penasaran, apakah itu memang fashion daerah ini?" tanya Cassandra, menatap Charlie yang kebingungan dari atas ke bawah. "Jubah panjang itu, maksudku. Beberapa orang yang kulihat di jalan semuanya memakai jubah seperti itu. Memangnya tidak panas?

Charlie menggumamkan kata 'tidak juga'. Sebenarnya dia tidak tahu harus jawab apa.

"Aduh, maaf. Aku pasti bawel ya? Kita baru ketemu tapi aku sudah mengomentari pakaianmu." Cassandra terlihat tidak enak. Harus Charlie akui, wanita ini bicara agak terlalu cepat. Agak seperti ibunya. Charlie mendengus geli.

"Agak panas memang, tapi menguntungkan kalau kau dalam perjalanan jauh," katanya sambil mengangkat bahu.

"Perjalanan jauh? Kemana?"

"Pulang. Rumahku tidak jauh dari sini. Sebelumnya aku kerja di Rumania."

"Wow."

Tiba-tiba mobil itu mengeluarkan suara gradak-gradak yang aneh, dan berhenti.

Cassandra mengerang. "Dasar barang tua."

Dia keluar dan membuka kap mobil, yang langsung mengeluarkan asap ketika dibuka. Charlie mengikutinya keluar. Cassandra batuk-batuk, membungkuk di balik kap. Charlie berdiri canggung di dekat kaca spion. Inilah susahnya barang-barang Muggle, mereka gampang rusak.

"Bisa tolong ambilkan kotak perkakas di jok belakang? Yang warna pink terang," minta Cassandra sambil terus memeriksa mesin. Charlie bergegas mengambil kotak perkakas itu. Cukup berat ketika diangkat, tapi jelas tidak ada apa-apanya dibanding telur naga.

"Kunci Inggris, please." Cassandra membuka tangan kirinya.

Charlie membuka kotaknya, tidak yakin mana yang dimaksud kunci Inggris. Cassandra tampaknya bisa membaca pikiran Charlie.

"Yang warna perak, paling besar." Dia geleng-geleng kepala.

Cassandra menghabiskan lima belas menit mengutak-atik mesin mobilnya. Awalnya wanita itu berharap Charlie bisa membantunya, tapi harapannya pupus begitu mengetahui pria berambut merah itu tidak bisa membedakan kunci Inggris. Charlie berdiri menonton, memperhatikan wanita itu. Dia sangat Asia, pikir Charlie. Tapi tidak terlalu sipit, kulitnya pucat seperti kebanyakan orang Inggris, dan bintik-bintik cokelat menyebar di daerah hidungnya. Posturnya agak mungil, dibungkus jaket tipis warna biru tua dan celana jeans ungu. Rambutnya panjang, hitam dan lurus, jatuh tepat di pinggangnya. Mungkin dia blasteran.

Cassandra mengerang lagi. Charlie terlonjak dari renungannya.

"Aku tidak tahu dia kenapa lagi. Sudah tua, lebih tua dariku," keluhnya. "Kurasa kita terpaksa menunggu mobil lain lewat." Dia menjatuhkan badannya di pinggir jalan, duduk memeluk lutut. Charlie mau tak mau melihatnya cukup imut.

"Boleh kulihat?" Charlie tahu, tidak akan ada mobil lewat sampai besok, itu juga kalau dia beruntung. Dia sebaiknya melakukan sesuatu.

Cassandra mengangkat bahu. "Aku ragu kau bisa memperbaikinya, kau bahkan tidak tahu kunci Inggris," katanya pelan. Charlie tidak mendengar akhir kalimatnya.

Memunggungi wanita itu, Charlie pura-pura memeriksa mobil. Dia mengambil salah satu perkakas asal dengan tangan kanan agar terlihat meyakinkan. Tapi tangan kirinya meraih tongkat dari balik jubah. "Reparo," bisiknya sangat pelan. Mesin mobil tidak terlihat berubah, tapi asapnya berhenti.

"Kau mau coba nyalakan mesinnya?" tanya Charlie, masih pura-pura.

Cassandra terlihat tidak percaya. Agak meremehkan sebenarnya. Tapi gadis itu kan tidak tahu Charlie penyihir.

"Cobalah."

Ragu-ragu Cassandra berjalan ke pintu mobil. Dia duduk di sisi pengemudi dan memutar kuncinya. Sekali coba, mesin mobil langsung menyala lagi.

"Whoa. Impresif. Bagaimana kau melakukannya? Sihir?" tanyanya bercanda. Senyumnya mengembang, dan Charlie lagi-lagi memikirkan kata 'imut' di kepalanya. Dia menyelipkan kembali tongkatnya di balik jubah.

"Mungkin sedikit," jawab Charlie ringan. Dia menutup kap mobil segera masuk. Mobil kembali menderu tak mulus. Di depan jalannya membelok, dari situ The Burrow akan terlihat jelas menjulang.

"Ngomong-ngomong," Cassandra memulai percakapan lagi. Gadis itu sepertinya tidak suka membiarkan suasana hening tanpa suara. "Apa pekerjaanmu di Rumania?"

"Aku bekerja dengan hewan."

"Ah, kebun binatang? Kau dokter hewan, ya?"

"Tidak seperti itu. Konservasi hewan langka, semacam itu."

"Wow, pahlawan pelindung binatang, ya? Hewan langka seperti apa?"

"Eh, sebangsa kadal… dan hewan-hewan lain juga." Naga memang sebangsa kadal, kan.

"Aku tidak tahu ada kadal yang langka juga. Apakah itu komodo? Kurasa aku pernah baca tentang kadal raksasa dari zaman purba…"

Charlie tidak tahu apa itu komodo. "Kau sendiri? Apa pekerjaanmu?" tanyanya, menjauhkan topik pembicaraan dari kehidupannya.

"Aku kerja di London. Pemandu tur museum. Tidak semenarik pekerjaanmu, yang jelas." Cassandra tertawa lepas. "Tapi aku menikmatinya, apalagi kalau ada kunjungan anak-anak SD. Aku suka anak-anak. Aku mau jadi guru SD suatu saat."

Charlie mendengarkannya bercerita mengenai cita-citanya dengan perhatian. Dalam hati dia merasa senang. Ini pengalaman baru baginya. Dia belum pernah mengobrol sesantai ini dengan wanita, kecuali ibunya, Ginny, atau keponakan-keponakannya. Plus, seorang Muggle. Charlie tidak tahu bahwa dunia Muggle bisa semenarik ini.

Cerobong asap The Burrow makin lama makin terlihat besar. Charlie tahu mereka akan segera pisah jalan. Kalau saja The Burrow masih jauh, pikirnya. Mungkin dia bisa mengantar Cassandra sampai Netherhill, lalu ber-Apparate ke rumah. Opsi itu menggodanya, tapi Charlie memutuskan untuk menolak. Dia tidak mau berurusan terlalu jauh dengan Muggle, ya kan?

"Eh, itu rumahku," ujar Charlie memotong kalimat wanita itu. Cassandra mengerem tiba-tiba, membuat mereka berdua sedikit terlempar ke belakang. Lima puluh meter di sebelah kanan, The Burrow berdiri tinggi. Dari jauh, rumah itu terlihat normal. Yah, normal mungkin tidak tepat, tapi tidak mungkin Cassandra bisa melihat sihir yang bekerja di balik dinding-dindingnya dari jarak sejauh ini.

"Terima kasih tumpangannya," Charlie membuka sabuk pengamannya, "Netherhill masih 3 mil dari sini. Kalau kau mengikuti jalan ke timur, kau akan bertemu hutan kecil. Mobilmu tidak bisa memasukinya, tapi ada jalan cukup lebar di sebelah kiri hutan. Desa yang kaucari ada di balik hutan itu," kata Charlie menjelaskan. Dia menyibukkan diri dengan sabuk pengamannya, menghindari tatapan Cassandra yang diam selama beberapa saat. Suasana menjadi sangat canggung karenanya. Charlie merasa gugup.

"Jadi…" kata Cassandra

"Jadi…" balas Charlie.

"Selamat tinggal?" gumam Cassandra tak yakin. Senyum kecil bermain-main di wajahnya yang berbentuk hati.

"Selamat tinggal, kalau begitu." Ini tidak bisa lebih canggung lagi. Hening sesaat.

"Well… terima kasih petunjuk jalannya."

"Terima kasih tumpangannya."

Kedua pasang mata bertemu. Puncak pipi Charlie dengan cepat menyamai warna rambutnya.

"Se-semoga beruntung…" ujarnya terbata, "dengan perjalananmu, d-dan hidupmu juga, kurasa."

Cassandra melemparnya dengan senyuman, matanya yang hitam terlihat seperti kenari. Charlie balas tersenyum gugup. Ia keluar dari mobil.

"Dah!" seru Cassandra, menekan pedal gas. Dan VW hijau itu pun pergi dari hadapan Charlie.

Charlie tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan saat itu, menyaksikan mobil Cassandra menghilang di kejauhan. Ia merasa senang, seperti pertama kali melihat bayi naga yang lucu. Bersemangat, seperti pertama kali duduk di punggung Norberta dan terbang bersamanya. Bahagia, seperti pulang ke rumah. Namun juga penyesalan, seperti ketika ia menemukan anak anjing lucu di usia tujuh, tapi tidak bisa membawanya pulang karena takut ibunya tidak mengizinkan. Dan ironi, sebab Cassandra adalah Muggle dan dunia mereka jarang bersinggungan dan mereka mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.

Charlie tipe yang lamban jika berurusan dengan wanita. Pria lain pasti sudah meminta nomor telepon atau alamat Cassandra, tapi Charlie bukan pria lain. Dia lebih suka menunggu dan mencari tahu jika Takdir memang menentukannya begitu. Charlie percaya pada Takdir.

Kali ini, dia percaya, Takdir menentukan bahwa begitu ia melangkahkan kaki ke rumah orang tuanya, dia akan merasa penuh dengan kebahagiaan, dan Cassandra akan terlupakan. Dia percaya itu.

Sampai Takdir menentukan lain.