Matahari mulai turun dari singasananya di puncak langit ketika Charlie dan Cassandra melipat kain alas mereka duduk. Keduanya menyusuri jalan setapak di pinggir taman itu, menikmati sunyi yang menggantung nyaman di sekitar mereka. Charlie memberanikan diri menggamit tangan gadis itu. Tangan Cassandra terasa dingin, dan kecil sekali di dalam telapaknya sendiri yang sudah kapalan dimana-mana.

Mereka terus berjalan dalam diam hingga tibalah keduanya pada sebuah lapangan besar yang dipadati kerumunan. Orang-orang dari segala usia berkumpul di sekitar lapangan segi empat luas, bersorak-sorai dan membawa berbagai banner.

"Oh, lihat!" seru Cassandra, "Sepak bola!"

Cassandra menarik tangan Charlie mendekati kerumunan, dimana mereka dihentikan oleh sekelompok orang yang memakai kaus biru laut. Charlie mendengarkan Cassandra mengobrol sedikit dengan orang-orang itu.

"Ada pertandingan amal. Seluruh penghasilan akan disumbangkan ke pasien-pasien kanker di rumah sakit. Bagaimana menurutmu?" kata Cassandra beberapa saat kemudian. Cassandra begitu berseri-seri sampai-sampai Charlie harus menahan nafas beberapa detik. Dia mengangguk, meskipun belum pernah nonton sepak bola sebelumnya.

Charlie mengeluarkan beberapa lembar uang Muggle dan memberikannya pada orang-orang dengan kaus biru, yang kemudian mempersilakan keduanya mendekati lapangan sepak bola. Cassandra bergerak dengan gesit di antara kerumunan, Charlie mengikutinya dengan sedikit kesulitan sampai ke pinggir lapangan.

Charlie tidak tahu banyak tentang sepak bola. Dulu salah satu teman sekelasnya di Hogwarts ada yang penggemar sepak bola, tapi dia sendiri tidak pernah tertarik untuk bertanya. Tampaknya sepak bola semacam Quidditch-nya Muggle, hanya saja tidak ada sapu terbang. Dia menonton saja dengan tampang kosong sementara gadis di sebelahnya ikut bersorak dengan orang-orang di sekitar mereka. Dia sudah belajar untuk bersikap santai-saja-senormal-Muggle-lain dan tidak spontan bertanya, sudah cukup malu dengan kejadian di bioskop tadi.

Lima belas menit kemudian, Charlie menemukan dirinya terhipnotis pada pertandingan. Seru juga untuk sebuah olahraga tim, pikirnya. Permainan ini mirip Quidditch zaman dulu, ketika baru ada chaser dan bludger serta snitch belum ditemukan. Tapi jumlah mereka lebih banyak, dan mereka main dengan kaki. Terampil sekali para Muggle memakai kaki mereka. Charlie menyaksikan pemain berseragam hijau-putih mencetak gol dan ikut bersorak ramai.

"Cass, aku ke kamar kecil dulu ya. Tunggu disini," kata Charlie beberapa saat kemudian. Cassandra cuma mengangguk tak jelas.

Ketika Charlie kembali, pertandingan sudah memasuki masa istirahat. Cassandra melihatnya dari jauh dan berlari memeluknya. Charlie menghirup wangi samponya dengan senang.

"Sayang sekali kau tidak lihat golnya tadi, seru banget! Kau lama sekali, sih!" ujar gadis itu sambil menonjok bahunya main-main. Pada saat itulah, Charlie sadar. Tongkat sihirnya tidak ada di saku dalam jaketnya.

"Eh?" gumamnya tanpa sadar, meraba-raba jaketnya untuk memastikan. Pasti tertinggal di kamar mandi tadi, pikirnya. Cassandra menatapnya bingung.

"Eh… ada yang ketinggalan. Sebentar ya."

Charlie tidak perlu mencari jauh sampai ke kamar mandi, sebab dua puluh meter dari tempatnya berdiri, seorang bocah lelaki berusia enam tahun mengayun-ayunkan tongkat sihirnya. Bunga api kecil membuncah dari ujungnya.

Charlie mendekati anak itu sekalem mungkin, berusaha tidak menarik perhatian orang tuanya. "Kembalikan tongkat itu, Nak," katanya sambil tersenyum.

Si bocah berjengit melihatnya, kabur ke arah lapangan.

"Hei, kembali kau!"

Charlie mengejar bocah itu sampai tepat ke pinggir lapangan, dimana para pemain sedang bersiap-siap melanjutkan pertandingan. Si bocah masih saja mengayun-ayunkan tongkatnya main-main, tertawa-tawa geli melihat bunga api warna-warni. Charlie memegang tangan bocah itu, tapi si bocah justru menggigit tangannya.

"Jangan main-main dengan benda itu, Nak, berbahaya!" seru Charlie. Dia berkutat dengan bocah itu, yang melawannya sekuat tenaga. Charlie besar dan kuat, tapi anak itu entah kenapa seperti dilindungi sesuatu yang membuat Charlie tidak bisa menyakitinya. Mereka bergulat di tanah, sementara tongkat di genggaman anak itu mulai mengirimkan garis-garis bercahaya secara random.

Salah satu garis bercahaya merah menyala mengenai banner besar di pinggir lapangan, tepat di lambang naga milik salah satu tim. Charlie terlalu fokus pada si anak, sehingga tidak menyadari tongkatnya telah menyihir gambar di banner itu menjadi hidup!

"Dapat!" seru Charlie ketika anak itu akhirnya menyerah dan tongkatnya tergeletak di tanah. Charlie memungutnya, dan menyaksikan pemandangan yang membuatnya ngeri.

Naga besar, berwarna hijau dengan sisik keemasan, muncul tiba-tiba di tengah lapangan. Mata sipitnya berwarna kuning, menginspeksi keadaan sekeliling dengan waspada. Tiba-tiba dia menggeraung keras. Para Muggle di sekitarnya menjerit dan berlarian tak tentu arah untuk menyelamatkan diri mereka.

Si naga hijau merangkak dengan kaki pendeknya, ekornya memukul-mukul berbahaya di belakangnya. Dia meraung lagi, suaranya merdu. Kerumunan bubar mendadak, jeritan panik. terdengar dimana-mana, mencari keluarga dan anak-anak yang terpisah dari orangtuanya. Salah satu anak perempuan terpaku di pinggir lapangan sementara si naga merangkak gila mendekatinya.

"Awas!" Charlie menyihir mantra angkat pada anak perempuan itu tepat ketika naga hijau itu membatukkan api tipis ke arahnya. Anak itu segera kabur begitu menyentuh tanah, menangis keras.

Si naga hijau masih saja mengamuk, berusaha melebarkan sayapnya tetapi tidak ada tempat di lapangan yang kecil itu.

"Sebelah sini!" Charlie berusaha mengalihkan perhatian si naga. Dia harus membawa naga ini menjauh dari kerumunan, semakin jauh semakin baik. Dilemparnya gelas-gelas plastik ke wajah monster naga itu. Si naga meraung marah dan memukulkan ekornya ke tanah. Bumi bergetar hebat di bawahnya.

Tapi dia berhasil, mata kuning si naga melihatnya dan naga itu mulai merangkak ke arah Charlie. Ia berlari dengan gesit ke luar lapangan. Adrenalin mengucur deras di sekujur tubuhnya. Si naga mengikutinya sampai ke tepi lapangan dan menabrak mistar gawang. Hal itu membuatnya semakin marah, tapi sama sekali tidak menyakitinya. Si naga membebaskan dirinya dari jaring gawang dan meraung-raung merdu lagi. Suaranya menakutkan

Charlie memanjat tiang lampu sorot untuk mendapat sudut pandang menyerang yang lebih baik. Dia bisa memantrai naga itu lebih baik dari atas sini. Naga tidak mudah dimantrai karena sisik mereka yang tebal dan kemampuan magis mereka, tapi setiap makhluk hidup punya titik lemah sendiri. Charlie hanya perlu menemukan titik itu.

"Disana!" teriaknya. Sebuah area kecil di atas moncong si naga, tepat di antara kedua matanya, berwarna putih keruh. Di situlah titik buta si naga hijau.

"Stupefy!"

Kilat merah menyambar, tapi justru mengenai tanduk kecil si naga. Naga itu mengentak-entakkan kakinya dengan marah. Charlie berpegangan lebih erat di tiang lampu yang bergetar seram.

Akhirnya si naga berhasil membuka sayapnya. Ia menyemburkan api tipis lagi, membakar udara di sekitarnya, lalu naik terbang. Melewati Charlie dan menuju angkasa bebas.


Rolf Scamander menggerutu kesal ketika mendapat Floo dari Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhlug Gaib. Seekor naga di taman Muggle, katanya. Naga! Di London! Apa saja yang dilakukan departemen itu sekarang ini, sampai mereka tidak bisa menjaga naga-naga? Naga Hijau Wales saja malas terbang jauh ke London dari gunung-gunung mereka yang tinggi. Pasti ada yang mengusik cagar alam mereka, pikirnya.

Dia pamit terburu-buru pada istrinya, padahal mereka sedang menikmati hari libur dengan bayi kembar mereka. Naga sialan, gerutunya kesal.

Dia tiba di London beberapa menit kemudian, bergabung dengan rekan-rekannya di lapangan Muggle itu. Para Muggle berlarian tak jelas dan menjerit-jerit ketakutan. Di lapangan, seekor naga hijau berusaha membebaskan dirinya dari jerat jaring gawang, sementara kilatan cahaya tongkat sihir menyambar kepalanya. Cahaya itu berasal dari tongkat seorang penyihir pria yang bergantungan mengerikan di atas tiang lampu.

Rolf menyaksikan naga itu melebarkan sayap dan terbang tinggi. Rekan-rekannya segera membagi jadi dua tim: tim pertama langsung terbang menyusul si naga dengan sapu sementara tim kedua bertugas menenangkan dan menghapus ingatan para Muggle. Rolf menyambar sapu terbangnya dan terbang menyusul tim pertama.

"Oi! Scamander!"

Penyihir pria berambut merah yang bergantungan di tiang lampu berseru memanggilnya. Rolf berhenti, melayang di depannya.

"Charlie? Ngapain kau di situ?" tanya Rolf kaget. Dia kenal baik dengan keluarga Weasley, dan sudah sering berkorespondensi dengan putra kedua mereka terkait naga-naga di Rumania.

"Panjang ceritanya. Boleh aku naik sapumu? Disini dingin sekali!" tanya Charlie. Rolf mengangguk dan Charlie melompat ke atas sapunya.

"Kemana naga itu pergi? Biasanya para naga suka ke danau setelah mengamuk, kau tahu danau di dekat sini?" tanya Rolf sementara mereka menembus angin.

"Para naga suka minum, ya, betul. Tapi tidak yang ini, Rolf! Aku punya perasaan dia tidak akan bertahan lama. Dia bukan naga betulan!" Charlie harus berteriak demi mengalahkan deru angin.

"Apa kau bilang? Bukan naga betulan? Memang dari mana dia berasal?!"

Charlie menceritakan kejadian dengan bocah kecil dan tongkat sihirnya secara singkat. Rolf nyaris tidak bisa percaya. Belum pernah dia mendengar anak kecil menyihir gambar naga menjadi naga betulan, apalagi anak Muggle. Anak ini pasti punya keturunan sihir.

"Yah, kalau begitu, kita cuma perlu membalik mantranya!" kata Rolf kemudian, mereka sudah bergabung dengan tim dari Pengawasan sekarang. "Kau sudah pegang tongkatmu? Jauh lebih baik kalau mantranya berasal dari tongkat yang sama!"

Charlie mengangguk. Seratus meter dari tempat mereka, sisik si naga hijau terlihat berkilauan di bawah sinar senja.

"Kalian dengar itu? Kita pakai finite saja! Ini bukan naga betulan!" Rolf menginstruksikan rekan-rekannya. Meski terlihat tidak yakin, mereka mengikuti sapu Rolf. Mempercepat laju sapu mereka hingga sampai pada jarak tembak.

"Arahkan pada celah di antara kedua matanya! Persis di atas moncongnya!" seru Charlie sambil mengangkat tongkatnya. Mereka akan bersama-sama memantrai naga itu. Si naga melirik musuhnya dan meraung merdu sekali lagi. Ia terbang lebih cepat.

"Satu, dua, SEKARANG! FINITE INCANTATO!"

Kilatan-kilatan cahaya tongkat sihir berwarna-warni melintas, mengenai tepat di titik lemah si naga hijau. Si naga berhenti terbang mendadak, membuat mereka terpaksa mengerem dan hampir jatuh dari sapu. Sekejap, mata kuning si naga berkilat menyeramkan. Kemudian terdengar suara 'puff' pelan dan si naga menghilang, tanpa bekas.


Charlie, Rolf, dan orang-orang dari Departemen Pengaturan dan Pengawasan Makhluk Gaib kembali ke lapangan sepak bola. Keadaan disana cukup tenang, terlalu tenang malah, sehingga terlihat janggal mengingat seekor naga dewasa baru saja mengamuk di situ. Para Muggle berjalan dengan santai saja seolah tidak terjadi apa-apa, para pemain sepak bola melakukan pemanasan terakhir sebelum pertandingan dimulai. Penjual makanan berkeliling seperti biasa, menjajakan minuman dan popcorn.

"Apa-apaan ini, Beth? Kau sudah meng-Obliviate semua Muggle ini?" tanya Rolf pada seorang penyihir wanita yang berdiri bingung di pinggir kerumunan.

"Aku juga tidak mengerti, Rolf. Sesaat tadi mereka masih shock. Aku tadi sedang meng-Obliviate sekelompok orang yang bingung di sana, tapi tiba-tiba semua Muggle ini tampak sudah lupa dengan kejadian tadi!" jawab Beth terkesima.

"Yah, yang penting semuanya aman dan selamat. Satu-satunya penjelasan yang bisa kuberikan cuma mantra finite tadi dilakukan sangat baik. Kerja bagus, teman-teman! Sekarang kita bisa kembali ke liburan masing-masing. Ayo, bubar! Selamat liburan!" kata Rolf, menepuk pundak beberapa rekan setimnya. Rombongan penyihir itu pun membubarkan diri, beberapa terdengar mengeluh kesal karena harus kembali ke Kementerian untuk membuat laporan.

Charlie baru saja mau menyelinap kabur dari Rolf, ketika pria itu menyahut memanggilnya.

"Dan kau, Charlie Weasley, betapa pun aku menyukaimu sebagai teman, aku tetap harus memanggilmu untuk sidang di Kementerian hari Kamis besok, karena telah berlaku lalai dalam menjaga tongkat sihir di dekat Muggle dan melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Sihir," kata Rolf santai.

Charlie menatap Rolf dengan ekspresi ngeri, lalu mengangguk pasrah. Rolf mengedip sebelah mata dan berlalu pergi.


Putra kedua keluarga Weasley, yang baru saja mendapat masalah besar, berjalan gontai menjauhi kerumunan. Dia bersyukur Rolf tidak menyita tongkatnya dan tidak ada kerusakan besar yang terjadi. Untunglah mantra tadi bekerja dengan luar biasa baik, sampai-sampai gawang yang tadinya rusak dihantam naga pun terlihat senormal biasanya.

Dia sulit mempercayai bahwa baru beberapa saat lalu dia menggenggam tangan gadis yang disukainya. Betapa lucu kejadian-kejadian di dunia ini. Satu detik semuanya sempurna, detik berikutnya langit merekah dan atapnya jatuh menimpamu. Tapi kau tidak bisa menolak, sebab Takdir hanya ada satu.

Sekarang, dimana gadis itu? Mereka terpisah di tengah kekacauan tadi, dan Charlie tidak sempat mengingat Cassandra selama sibuk menahan naga. Apakah dia selamat? Apa dia terluka? Charlie menyesali kelalaiannya. Harusnya tadi ia memastikan dahulu bahwa Cassandra ada di tempat yang aman.

Dan disanalah gadis itu berada. Duduk di bawah sinar senja yang membentuk bayang-bayang panjang di rumput. Ia tidak terluka, tetapi rambutnya berantakan karena tertiup angin. Matanya menatap kosong ke depan.

Charlie setengah berlari mendekatinya. Berjongkok di hadapannya, tangan Charlie memegang kedua bahu gadis itu dengan tegas. Suaranya bercampur lega dan cemas ketika bertanya, "Kau baik-baik saja? Syukurlah…"

Cassandra diam saja. Pelan-pelan mata hitamnya yang seperti kenari menemukan mata Charlie. Ditatapnya mata itu lamat-lamat.

"Jelaskan," ucapnya lirih. Charlie menatap bingung.

"Jelaskan apa itu tadi, Charlie, dengan naga dan tongkat bercahaya itu," perintah Cassandra.

Charlie membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Dia tidak tahu harus berbuat apa.


A/N: yeaah, update kilat kan? Dua bab dalam dua hari, kerasukan setan apa ya saya? Semoga teman-teman suka bagian ini. Saya suka naga! Anyway, ujian besok dan lusa, tapi kenapa lebih enak nulis daripada belajar ya? *gedubrak*

Silakan pencet tombol review di bawah sini :)