.

.

Disclaimer:

Naruto belong to Masashi Kishimoto

Warning:

AU, OOC, Typo(s), yang pasti masih jauh dari sempurna

.

Enjoy!

.

.

Hari ini adalah hari Jum'at, dan sama seperti kebanyakan hari Jum'at yang pernah berlalu, kebanyakan siswa dari semua sekolah akan membicarakan hal yang sama; apa yang akan mereka lakukan untuk mengisi akhir pekan ini. Sebagian di antaranya akan bercerita dengan penuh semangat mengenai rencana-rencana mereka, sebagian lagi merasa tidak bersemangat saat menyadari akhir pekan kali ini akan sama saja seperti kebanyakan akhir pekan yang sering mereka lalui—akhir pekan yang membosankan, dan sebagian lagi merasa tidak terlalu peduli pada apa yang akan mereka alami besok.

Di antara seluruh siswa tersebut, tidak ada yang mau merepotkan diri mereka untuk menanyai Hinata mengenai rencana akhir pekannya. Bahkan ketika gadis itu berjalan dengan cepat melintasi kelas-kelas menuju gerbang sekolah dengan sebuah ransel yang begitu besar untuk ukuran tubuhnya yang kecil. Mereka tidak perlu repot-repot mencegat gadis itu hanya untuk menanyakan mengapa Hinata membawa ransel besar atau apa isi ransel yang terlihat penuh sesak itu, apakah ransel itu ada hubungannya dengan rencana akhir pekannya atau tidak.

Hinata berjalan dengan susah payah melintasi kerumunan murid lain berharap bisa sampai ke gerbang secepat mungkin saat bel pulang berbunyi dan menghilang tanpa ada yang menyadari. Dalam diam, otaknya terus berputar, mengingat-ingat kembali rencanya. Kemudian di saat dia sudah sangat yakin pada tekadnya, medadak seseorang menepuk bahunya—membuatnya terperanjat dan hampir kehilangan keseimbangan karena ranselnya yang besar.

"Hinata!"

Gadis itu menelan ludah saat mengenal suara yang memanggilnya. Susah payah dia berbalik dan memasang senyum kaku yang sangat kentara. Dalam hati dia berharap orang yang memanggilnya itu tidak akan menanyai isi ranselnya.

"Shi-Shion? Ada apa?" tanyanya sewajar mungkin.

Seseorang bernama Shion itu menjulurkan sebuah kertas berwarna merah muda yang terlihat begitu cantik tanpa sedikit pun menyadari senyum aneh di wajah Hinata atau berusaha sekadar bertanya apa isi ransel Hinata—dan hal itu membuat Hinata sedikit tenang. "Besok jangan lupa datangnya, ya?" serunya semanis mungkin.

Hinata meraih kertas itu dan membaca barisan kalimat di sana sekilas, meski sebenarnya dia sudah tahu kalau itu adalah undangan pesta ulang tahun Shion yang akan diadakan besok—seluruh siswa di kelas membicarakannya, dan Hinata sudah berpikir dia bukanlah seseorang yang akan masuk dalam daftar undangan pesta gadis paling populer itu.

"Neji-senpai tidak akan mau datang kalau kau tidak datang. Jadi, kau mau datang, 'kan?"

Dan sebaris kalimat itu sudah menjelaskan mengapa gadis paling tidak populer seperti Hinata diundang. Neji adalah salah satu kakak kelas yang paling populer dan —sialnya— merupakan sepupu Hinata. Hinata tidak ingin menganggap dirinya beruntung karena memiliki sepupu yang populer, karena nyatanya kenyataan itu sama sekali tidak banyak membantunya, malah sering kali mengganggunya.

"A-akan kuusahakan." Itulah jawaban Hinata yang lalu disambut senyum girang dari Shion.

Tidak menunggu lama hingga Shion sudah berbalik pergi, menuju kawanan teman populernya yang sudah menunggu. Hinata sempat melihat sekilas ekspresi "teman populer" Shion yang menunjukkan semacam ekspresi jijik yang Hinata yakini ditujukan padanya. Dia juga sempat mendengar suara tertawa Shion dan teman-temannya yang terdengar merendahkan, sebelum akhirnya gadis berambut biru tua itu menghilang di balik gerbang.

.

.

.

.

.

Jika ada yang bersedia repot-repot menanyakan mengapa Hinata membawa ransel sangat besar hari Jum'at ini dan mengharapkan jawaban yang jujur, Hinata tidak akan berkata dia sedang begitu rajinnya hingga membawa seluruh buku pelajaran hari Senin hingga Jum'at sekaligus; karena kenyataannya di dalam ransel itu tidak ada satu pun buku pelajaran —bahkan buku pelajaran hari Jum'at itu dengan sengaja dia letakkan di dalam loker sehingga dia tidak perlu membawanya.

Lalu apa yang dibawanya?

Jawabannya mudah. Yang dibawanya adalah segala perlengkapan yang dia kira akan dia butuhkan untuk kabur dari rumah.

Yup. Kabur dari rumah!

Lupakan acara akhir pekan bersama keluarga. Lupakan pesta ulang tahun Shion yang meriah. Lupakan semua pekerjaan rumah yang menumpuk; lupakan segala hal yang akan dia lakukan jika dia tetap bertahan di rumah.

Dan di sinilah Hinata. Berjejalan dengan puluhan penumpang kereta kelas ekonomi, berusaha mencari kursi kosong. Hinata tidak pernah melakukan perjalanan dengan kereta kelas ekonomi sebelumnya. Jika pun keluarganya akan bepergian naik kereta, mereka pasti akan menaiki kereta kelas satu. Dan kenyataan itu, seperti yang sudah diduga, membuat gadis itu tidak nyaman.

Bahkan ketika dia akhirnya berhasil menemukan satu kursi kosong, dia tidak juga bisa tenang. Belum pernah sebelum ini Hinata berbaur dengan begitu banyak orang berkeringat yang tanpa ragu saling mendorong untuk bisa mendapatkan tempat yang "layak". Hinata tidak pernah tahu bahwa menaruh ranselnya begitu saja di lantai di depan kakinya adalah perbuatan yang salah. Hinata juga tidak tahu kalau wajahnya yang terlihat tidak sehat membuatnya menjadi sasaran empuk "serigala" yang kelaparan.

Intinya, Hinata tidak tahu bahwa rencana kabur dari rumah ternyata tidak akan berjalan seperti rencananya.

Tujuan Hinata untuk memulai hidup baru adalah Suna. Tidak ada alasan istimewa. Menurutnya Suna cukup jauh dari Konoha—kota asalnya—sehingga cukup kecil kemungkinan ayahnya akan berhasil menemukannya. Tetapi ketika kereta yang dikenakannya telah sampai di Suna, untuk pertama kalinya Hinata menyesali keputusannya untuk pergi dari rumah ke tempat asing ini.

Hinata tidak yakin bagaimana kejadiannya. Yang dia tahu, ketika kereta berhenti dan dia bersiap turun, dia tidak lagi menemukan ransel besarnya. Dia ingat, dia memang sempat tertidur beberapa saat. Dan saat itulah dia merutuki dirinya sendiri.

Dan kini, Hinata hanya sendirian di Suna; hanya bermodalkan baju yang dipakainya tanpa sedikit pun uang atau makanan yang tersisa. Hanya beberapa jam saja, Hinata sudah berubah menjadi gelandangan.

Dia sudah melapor ke petugas berwajib di stasiun, tetapi tidak ada hasil; yang ada hanya keputusasaan yang menjadi-jadi. Di tengah keputusasaan itulah Hinata untuk pertama kalinya menyadari kalau hidupnya yang tidak menyenangkan di rumah jauh lebih baik daripada hidup gelandangan di kota orang. Saat itulah pemikiran tentang akhir minggu yang membosankan bersama Shion bukanlah hal terburuk yang pernah ada.

Kali ini, Hinata hanya bisa menangis dan berharap dia masih memiliki sisa-sisa keberuntungan.

.

.

.

.

.

Gaara ingat, dia sedang berjalan pulang saat dia melihat seorang gadis cantik terbaring di trotoar yang sepi. Saat itu hujan, tidak terlalu deras, tapi cukup membuat gadis yang terbaring itu basah kuyup. Perlahan, Gaara melangkah mendekatinya, mengira-ngira apakah yang terbaring itu adalah sosok mayat. Tetapi saat dia melihat napas sang gadis yang teratur, dia tahu, gadis itu hanya tertidur terlalu pulas atau pingsan— dan Gaara menyimpulkan gadis itu pasti pingsan.

Awalnya, pemuda berambut merah itu hanya berniat untuk melihat, kemudian pergi sebelum ada yang memergokinya. Tidak ada yang tahu kan kalau mendadak dia dituduh telah menganiaya gadis ini dan dimintai pertanggungjawaban padahal dia tidak melakukan apa pun? Lagi pula, bisa saja gadis itu ternyata orang gila. Tetapi tepat di saat dia hendak melangkah pergi, sebuah mobil berhenti di sisinya.

Sang pemilik mobil membuka kaca mobil, lalu melongokkan kepalanya—menatap dengan curiga ke arah Gaara. "Ada apa, Dek? Dan … kenapa gadis itu?"

Oh, saat itu juga Gaara bisa merasakan jantungnya berdetak dengan cepat. Ia bingung harus menjawab apa. Dia takut disalahkan atas perbuatan yang tidak dia lakukan. Dan … dia juga tahu kalau mendadak dia jadi konyol.

"Ini … adek saya, Pak," jawaban itu meluncur begitu saja dari bibir Gaara, "dia nggak tahan hujan. Dan langsung pingsan!"

Sang bapak mengerutkan kening, terlihat tidak yakin atas jawaban Gaara. Lama, ia memandangi pemuda itu dan sang gadis bergantian, hingga akhirnya dia bersuara, "Oh, kalau gitu, biar Bapak antarkan kalian pulang. Atau mau ke dokter dulu?"

"Um, ke rumah aja, Pak! Di rumah sudah ada obatnya kok."

Dan beberapa menit selanjutnya, Gaara sudah ada di depan rumahnya sambil menggendong seorang gadis.

Sebenarnya, dia lumayan bersyukur karena bapak-bapak tadi tidak mencurigainya. Tapi sekarang dia merutuki tindakannya. Kenapa dia tidak berkata sebenarnya saja? Kenapa dia malah membawa gadis ini pulang? Kenapa dia tidak membiarkan bapak itu membawa gadis ini ke rumah sakit lalu diam-diam Gaara akan menyelinap pergi? Kenapa?

Pemuda itu mendengus keras. Lalu dengan malas memasuki rumahnya dan menidurkan gadis itu di kursi kayu panjang satu-satunya di ruang tamu itu. Mata jade-nya menatap gadis itu berkali-kali.

Sekarang, apa yang harus dilakukannya?

.

.

TBC

.

.

A/N: Hanya sebuah fic iseng…

Terima kasih buat yang sudah membaca…

Maaf banyak kekurangannya…

See ya~ :)

~TND~