THE REASON

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya cuma minjam tokoh-tokohnya saja

Story by Morena L

Pair: Sasusaku dan pairing lainnya

Warning: AU, OOC, typo, DLDR

.

.

.

Aku tidak pernah berhenti bersyukur pada Tuhan. Ayah mengajarkan padaku untuk selalu bersyukur pada-Nya. Apa pun nasibku aku harus selalu bersyukur. Tuhan tidak akan memberikan cobaan yang tidak mampu ditanggung oleh umat-Nya.

Namaku Haruno Sakura. Kelas 3 di Konoha International High School, punya rambut yang tidak biasa―errr―maksudku pink, berjidat lebar dan punya otak yang―ehem―bisa dibilang encer. Kehidupanku biasa-biasa saja, terlalu biasa malah. Kehidupan sekolah yang biasa, persahabatan dengan para gadis yang erat tipikal anak SMA pada umumnya, kecuali pacaran karena selama 18 tahun hidupku aku belum mempunyai seorang pacar. Oh, tidak lupa juga kehidupan keluarga yang biasa dan bahagia. Aku hidup dalam keluarga bahagia bersama ayah, ibu, dan kakak perempuanku.

Keluargaku adalah gambaran keluarga yang hangat, aku dibesarkan dengan penuh cinta di dalamnya. Orang tuaku, Haruno Kizashi dan Haruno Mebuki memiliki restoran sushi yang tidak terlalu besar sebagai usaha keluarga. Kakakku, Haruno Karin, adalah mahasiswa jurusan Sastra Jerman di Konoha University yang dikenal sebagai Universitas terbaik di Konoha. Dia memang sudah lama mendambakan Jerman sebagai negara tujuannya ketika bekerja nanti. Impianku sendiri adalah ingin masuk di Fakultas Kedokteran Konoha University.

Hidupku datar? Mungkin. Membosankan? Tidak juga. Kosong? Aku bahagia, menurutku. Kurang tantangan? Sepertinya. Tapi semua itu berubah ketika aku mengenal dia. Orang yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Demi apa pun yang ada di dunia ini, aku tidak pernah bermimpi dapat terlibat terlalu jauh dalam hidupnya. Bahkan bisa dibilang akulah penentu hidupnya. Ya dia, pria berkuasa dengan nama keluarga yang hebat. Dia,pria yang menjadi pujaan banyak wanita. Dia, pria yang dengan kekayaan tanpa batas. Dia, pria berambut raven dengan gaya aneh yang mencuat ke belakang. Dia, kakak kelasku dulu yang membuat siapa saja menahan napas jika ditatap dengan mata onyx tajam itu. Dia, pria cuek, dingin, tidak mengenal ampun, ambisius, entah kata apa lagi yang bisa kukemukakan untuk menggambarkan pria ini. Dia, Uchiha Sasuke, pria yang memintaku melahirkan anaknya dengan alasan yang tidak kuketahui.

Yang aku tahu cuma satu, akulah yang dia pilih diantara sekian banyak wanita yang bisa dipilihnya sesuka hati. Alasannya? Aku tidak tahu.

Kalian pikir mungkin aku gila. Tapi setelah sekian lama, aku akhirnya tahu alasannya. Alasan yang membuat aku bertahan di sisinya. Alasan yang membuatku tidak sanggup pergi darinya. Alasan yang membuatku mengandung dan melahirkan bayinya dari rahimku. Alasan yang hanya aku, dia, dan Tuhan yang tahu. Alasan yang mengikatku terlalu kuat padanya. Inilah alasanya, semoga kalian semua bisa memahami.

.

.

.

.

.

oOo

.

.

.

"Sakuraa … bangun, imouto pemalas!"

Karin sudah kehilangan kesabaran untuk membangunkan adik semata wayangnya itu.

"Sebentar onee-san, aku masih ngantuk." Aku membuka mata dengan malas. Oh, ayolah, ini hari Minggu dan masih jam 6 pagi. Kenapa dia membangunkanku sepagi ini? Menyebalkan.

"Kau sudah berjanji untuk menemaniku lari pagi di taman kota. Sekarang bangun dan bersiaplah!" seru Karin sambil membuka selimutku dan melemparnya entah kemana.

Aku akhirnya bangun dengan dengan muka cemberut, kesal karena tidurku diganggu. Dengan setengah malas aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dia memang pemaksa dan susah dibantah!

Akhirnya setelah bersiap-siap kami pun segera pergi menuju ke taman kota.

"Wajahmu jangan cemberut begitu, kau seperti si Nara pemalas itu saja malas bangun pagi!" Lagi-lagi dia merecokiku.

"Enak saja, aku tidak semalas teman onee-san itu, ya ...," gerutuku kesal. Daripada mendengar omelannya terus lebih baik aku menurut saja.

oOo

Sampailah kami di taman kota. Suasana taman ini sangat asri dan udaranya sangat segar sehingga banyak orang yang sering mengunjunginya entah untuk lari pagi, piknik, atau hanya sekadar jalan-jalan. Aku tahu alasan sebenarnya kakak mau lari pagi setiap akhir pekan di taman ini. Semua karena orang itu.

Uchiha Sasuke, mahasiswa tingkat dua jurusan bisnis di Konoha University. Pewaris tunggal kerajaan bisnis Uchiha. Hanya tinggal berdua dengan asisten pribadinya, Hatake Kakashi. Orang tua dan kakaknya sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat saat dia masih berumur 10 tahun. Rumor yang kudengar setelah kematian orang tuanya, ada banyak pihak yang berusaha merebut Uchiha Group sehingga pada usia 16 tahun Uchiha Sasuke sudah memegang tampuk tertinggi sebagai Presiden Direktur. Masih muda bukan? Kemampuannya memang sudah tidak diragukan lagi, dia sudah mempelajari tentang bisnis sejak masih kecil jadi sangat wajar jika Uchiha Group tetap berkibar di bawah tangannya. Haaaah, itu semua yang diceritakan Karin-nee, dia memang sangat memuja Si Bungsu Uchiha itu.

Hm, orang yang dimaksud sudah datang. Semua orang cuma bisa menahan napas jika melihatnya, kecuali aku, tentu saja. Kenapa aku tidak tertarik padanya? Well, sudah menjadi sifatku untuk tidak tertarik pada orang yang tidak kukenal. Oke, aku akui dia terlihat tampan dengan sepatu Nike-nya itu, celana training berwarna biru gelap, dan jaket yang senada dengan celananya itu. Seperti dugaanku sebelumnya, onee-san sudah memandang ke arahnya dengan wajah merona dan tatapan memuja. Tapi, kali ini ada yang berbeda, dia tidak sendiri seperti biasanya tapi bersama dengan dua orang temannya yang sepertinya familiar buatku.

"Kyaa ... itu Sasuke-kun! Sakura! Itu Sasuke-kun!"

"Iya, aku tahu," jawabku malas

"Tumben dia hanya bersama Naruto dan Shikamaru."

Tunggu sebentar, Naruto? Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Astaga, kenapa aku bisa lupa, dia kan anak Gubernur. Kalau tidak salah Shikamaru itu teman onee-san yang sering dia sebut sangat pemalas itu. Haah, memang sudah menjadi sifatku untuk tidak mengingat hal tidak terlalu penting untukku, termasuk nama orang.

"Forehead, apa yang kaulakukan di sini?" Ino Yamanaka sedikit terkejut melihatku.

"Menemani Karin-nee lari pagi," jawabku santai.

"Lho, mana Karin-nee?" mendengar itu aku langsung mengedarkan pandanganku mencarinya. Ah, dia pasti sudah menguntit pangeran pujaannya itu.

"Sepertinya aku sudah ditinggal, kau sendiri? Apa yang kaulakukan?" tanyaku pada Ino.

"Eh, i-itu, aku hanya lari pagi saja. Sekaligus ... i-itu ... melihat Shikamaru." Ino menjawabku dengan malu-malu.

Kami berdua akhirnya memutuskan untuk duduk di bangku taman yang terletak tidak jauh dari tempat kami berdiri.

"Kau masih suka pada Shikamaru-senpai, pig?" aku langsung teringat kalau Shikamaru-senpaiinilah orang yang setiap hari diceritakan Ino. Jika Karin-neemenceritakan kemalasan Shikamaru-senpai yang membuatnya kesal saat SMA dulu, maka Ino menceritakan senpai kesayangannya itu dengan penuh kata-kata pujaan.

Ino hanya menghela napas kemudian menjawab "Aku tahu ini salah, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan, kan? Walaupun dia pemalas entah kenapa aku sangat menyukainya."

"Hentikan, pig, kau tahu itu sia-sia."

"Aku tahu, forehead, aku tahu. Sebesar apa pun usahaku menarik perhatinnya hasilnya tetap sama saja. Mereka bahkan sudah bertunangan sejak tiga tahun yang lalu. Tapi tetap saja aku … aku …" suara Ino menjadi terbata dan matanya terlihat berkaca-kaca.

"Sudahlah, pig, jangan jadi mellow begini." Aku tersenyum dan memegang tangannya. "Aku minta maaf karena sudah menyinggung Shikamaru-senpai. Nah, lebih baik kau temani aku mencari makan, aku sudah kelaparan!" Kemudian aku menarik tangannya dan pergi. Daripada menunggu Karin-nee yang menguntit pangeran ayam itu, lebih baik aku mencari sesuatu yang dapat mengganjal perutku.

.

oOo

.

"Ah, kenyangnya …," kataku sampil menepuk-nepuk perutku. Aku baru selesai makan tiga potong roti panggang dan segelas hot chocholate di sebuah kafe di dekat taman kota. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi.

"Dasar rakus kau ini," cibir Ino.

"Hei, pig, aku adalah penganut prinsip perut kenyang hati pun senang," jawabku santai.

Bertepatan dengan selesainya kata-kataku pintu café terbuka dan masuklah empat orang. Tiga diantaranya adalah pria-pria yang mencuri perhatian banyak orang di taman tadi. Sedangkan tambahan satu orang lagi adalah wanita yang paling dicemburui oleh sahabat pirangku ini. Ya, Sabaku Temari, tunangan Nara Shikamaru. Sepertinya dia juga baru habis lari pagi. Ino hanya membuang muka dengan cemberut karena melihat Shikamaru-senpai masuk digandeng tunangannya itu.

Mereka duduk di meja yang letaknya tidak jauh dari kami. Sepertinya pembicaraan mereka cukup seru, aku memasang telingaku baik-baik untuk mendengarnya. Hahaha ... aku memang punya jiwa ingin tahu yang tinggi.

"Naruto, kudengar ibumu masuk rumah sakit?" terdengar suara Temari-senpai.

"Ya, ibu mendadak pingsan jadinya kami semua panik dan membawa ibu ke rumah sakit," jawab Naruto-senpai dengan raut wajah yang sedih.

"Ibumu sakit apa? Apa sudah membaik keadaannya?" Temari-senpai bertanya lagi.

"Ibu baik-baik saja, hanya kelelahan menemani ayah keluar kota." Naruto-senpai menjawab sambil menunjukkan cengirannya. Ekspresinya berubah dengan sangat cepat ya.

"Hn, Dobe, sampaikan salamku pada Kushina-basan." Suara ini, pasti suara Uchiha Sasuke.

"Ya, Teme, terima kasih. Oh ya Shika, kudengar kalian berdua akan segera menikah? Benarkah?"

Mendengar itu aku langsung melirik Ino. Wajah Ino langsung memucat, dia menggigit bibirnya. Terlihat jelas dia sedang berusaha menahan air matanya.

"Mendokusei … ya, itu permintaan ayahku. Akhir-akhir ini penyakitnya sering kambuh, jadi dia memintaku secepatnya menikahi Temari."

"Woah, selamat, ya ... Tidak kusangka di umur dua puluh tahun kalian berdualah yang menikah pertama." Naruto-senpai terdengar sangat bersemangat mendengar jawaban sahabatnya itu.

"Masalahnya ada pada kedua adikku, Naruto. Mereka belum rela aku menikah dengan si pemalas ini. Ayahku sih setuju-setuju saja. Jadi, sekarang Shikamaru tinggal meyakinkan Gaara dan Kankurou."

Aku semakin manajamkan telingaku, sedangkan Ino aku tidak tahu dia kemana. Mungkin dia ke toilet karena sudah tidak sanggup menahan air matanya.

"Hhhh ... kedua adikmu itu sangat merepotkan. Waktu mau tunangan dulu saja susahnya minta ampun apalagi menikah. Mendokusei …," gerutu Shikamaru-senpai. "Aku juga tidak mungkin mengecewakan ayahku yang segera ingin melihat Temari jadi menantunya apalagi ibuku yang sudah tidak sabar mau cucu. Arrgh, merepotkan sekali."

Temari-senpai terlihat merona, dia pasti bahagia karena diterima di dalam keluarga kekasihnya itu. Tiba-tiba aku merasakan ada aura yang sangat menusuk, aku mengedarkan pandanganku. Tepat saat aku bertatapan dengannya, aku seolah tersedot pada tatapan itu. Tajam dan mematikan, aku tidak sanggup memindahkan arah tatapanku.

Aku kemudian menunduk,mengambil selembar uang dari kantongku, meletakannya di atas meja dan pergi menyusul Ino ke toilet, setelah menemukannya aku menariknya untuk pulang. Tidak peduli dengan wajahnya yang masih berurai air mata. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Aku benar-benar terintimidasi dengan tatapan itu.

.

oOo

.

Hari ini rutinitasku kembali. Bangun pagi–sarapan–ke sekolah–pulang–membantu ayah dan ibu di restoran–belajar–tidur. Ah, aku benar-benar merasa hidupku sangat datar.

Pagi ini Ino masuk ke dalam kelas dengan mata yang masih terlihat bengkak dan memerah. Sepertinya dia menangis semalaman. Aku jadi tidak tega melihatnya. Segera kutarik dia ke lantai teratas sekolah yang memang sepi.

"Pig, kau kenapa? Masih kepikiran rencana pernikahan Shikamaru-senpai?"

"Ya."

"Ayolah , pig, itu sudah keputusan mereka. Kau sendiri tahu kalau Shikamaru-senpai sangat menyayangi Temari-senpai."

"Forehead, tolong jawab. Apa kekuranganku? Apa kelebihan perempuan itu dibandingkan denganku? Aku yang lebih dulu mengenal Shikamaru! Ayahku adalah teman ayahnya. Sebelum ayahku meninggal dia sudah menitipkanku pada Shikamaru. " Tampaknya Ino sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

Hanya aku yang tahu tentang hal ini. Sahabatku ini memang berteman dengan Nara Shikamaru sejak kecil. Ayah mereka berdua sama-sama bekerja di Departemen Pertahanan Negara. Ayah Ino meninggal lima tahun yang lalu karena sakit, dan sebelum meninggal dia menitipkan Ino pada keluarga Nara agar mereka juga bisa ikut menjaganya. Ino menyukai Shikamaru-senpaisejak lama, tapi dia hanya menganggap Ino seperti adiknya sendiri. Dia menjaga Ino selayaknya seorang kakak menjaga adiknya. Sayangnya, ada rasa berbeda yang dirasakan Ino padanya.

Semuanya berubah sejak keluarga Sabaku pindah ke Konoha empat tahun yang lalu. Shikamaru-senpai jatuh cinta pada putri tertua keluarga itu, Sabaku Temari. Mereka berpacaran selama setahun dan memutuskan untuk bertunangan. Sejak saat itu hubungan keduanya menjadi canggung. Lebih tepatnya, Ino yang selalu mengambil jarak mereka bertemu. Shikamaru-senpai yang pemalas tidak mau memusingkan hal-hal yang dia anggap merepotkan sehingga dia juga membiarkan saja saat Ino menjauhinya.

"Cinta itu tidak bisa dipaksakan, pig, terimalah, sejak awal dia memang sudah menetapkan hatinya untuk Temari-senpai," aku berusaha bersikap netral. "Kau pasti bisa dapat yang lebih baik darinya. Kau cantik pig, dan cukup pintar. Aku yakin masih banyak yang mau denganmu," ujarku berusaha membesarkan hatinya lagi.

"Tapi … kenapa sesakit ini ditolak olehnya, padahal sudah tiga tahun," kata Ino yang masih mencoba untuk mengelak. Air matanya semakin deras mengalir.

Aku kemudian memeluknya, berusaha menenangkannya. Walaupun dia egois tapi dia tetap sahabatku. "Menangislah, pig. Setidaknya kau punya aku."

.

oOo

.

Kami berdua bolos jam pelajaran pertama. Ketika masuk di kelas ternyata ada murid baru. Sepertinya dia anak yang pemalu dan lembut.

"Hei kalian berdua, dari mana saja? Tadi Anko-sensei menanyakan kalian," kata Kin.

"Ada urusan penting," jawabku sekenanya dan langsung duduk di bangkuku. Anak baru itu duduk di sebelahku dan saat ini dia sedang memandangku takut-takut.

"Hai, namaku Haruno Sakura, salam kenal. Tidak perlu menatapku seperti itu dan jangan sungkan denganku. Siapa namamu?" aku berinisiatif bertanya lebih dahulu.

"Na-namaku Hyuuga Hinata, salam kenal. Aku pindahan dari Sekolah Putri Konoha," jawabnya.

"Hai, Hinata, kenalkan juga ini sahabatku Ino Yamanaka, kau boleh panggil dia Ino atau pig," kataku memperkenalkan Ino dengan panggilan sayang kami.

"Foreheaad!" tampaknya Ino tidak terima dengan panggilan sayangku itu. "Panggil Ino saja, Hinata-chan, salam kenal dan senang bertemu denganmu."

Syukurlah suasana hati Ino sudah membaik sehingga kami bisa mengobrol dengan cukup akrab bersama Hinata.

"Ngomong-ngomong, Hinata, kenapa kau pindah dari sekolah lamamu? Kita juga sudah kelas tiga, cukup tanggung, lho," tanyaku padanya.

"Eh, i-i-itu, aku hanya ingin mencari suasana baru. Aku sejak kecil bersekolah di sekolah putri jadinya aku ingin mencoba bersekolah di sekolah umum." Aku dan Ino mengangguk-angguk mendengar jawabannya.

Kurasa aku bisa akrab dengan gadis Hyuuga ini. Setidaknya itulah yang kupikirkan. Kenyataannya dia memang gadis yang baik. Aku hanya tidak tahu jika ada orang di belakang gadis pemalu ini akan mempersiapkan badai untuk Uchiha Sasuke, badai yang juga menyeretku ke dalamnya.

.

.

.

Tbc

A/N:

Hai salam kenal semua, aku Morena L. Masih newbie di ffn, jadi review dari kalian semua sangat diperlukan untuk perbaikan fict ini. RnR ya. Terima kasih ...