Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya cuma minjam tokoh-tokohnya saja
Story by Morena L
Pairing: Sasusaku dan pairing lainnya
Warning: AU, OOC, OC, typo(s), DLDR
.
.
.
Cairan itu disuntik ke dalam tubuhnya. Seperti mobil balap, dengan kecepatan tinggi cairan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Semua objek yang mampu ditampung indera penglihatannya memudar. Kabur. Gelap, gelap dan semakin gelap. Sampai pada akhirnya Uchiha Sasuke masuk ke dalam dunia semu. Dunia di mana hanya ada dirinya, Sakura, dan putra mereka. Ah, tidak, bukan hanya itu. Sekarang ada orangtuanya, dan juga Itachi. Mimpikah? Setahu Sasuke seharusnya ia sedang menjalani operasi jantung sekarang. Benar juga, operasi. Maka biarkan ia menikmati mimpi indahnya ini walau hanya sebentar.
.
.
.
Neji memutar-mutar CD yang berisi rekaman penting yang menjadi senjata utama balas dendamnya. Kebimbangan kembali menyerbunya tanpa bisa dicegah. Rekaman itu bisa menghancurkan keluarganya sekali ia melangkah. Andai saja dulu ia tidak iseng memasang alat penyadap di balik meja kerja ayahnya, tentu ia tak akan tahu tentang kenyataan mengerikan yang direncanakan ayahnya.
"Hhhh ... mau tidak mau harus kulakukan juga."
.
.
.
Tenten berdiri di depan makam orang yang pernah mengisi hari-harinya. Cinta pertamanya. Lelaki dalam hidupnya. Nisan berwarna abu-abu itu berdiri kokoh, sekokoh sosok Kaguya Kamimaro saat masih hidup. Mereka adalah prajurit terlatih, tak boleh ada hati yang terlibat saat sedang dalam tugas. Tenten pernah menyalahkan takdir. Kenapa harus dirinya dan Kimimaro yang selamat sampai tingkat terakhir di Brazil dulu? Kenapa mereka berdua harus bertarung hidup mati? Kenapa Kimimaro sengaja mengalah untuknya? Lebih baik Tenten saja yang mati, karena ia tahu kalau Kimimaro lebih kuat darinya.
"Jangan menyesal." Suara pria itu kini menyapanya. Tenten memejamkan mata, seolah mampu merasakan keberadaan lelaki itu di sampingnya.
"Aku hanya menyesal karena dulu kau sengaja mengalah," jawab Tenten.
"Karena kau lebih mampu mengemban tugas menjaga klan Uchiha. Kautahu kan kalau aku sudah sakit sejak lama," timpal Kimimaro lagi.
"Kimi ..."
"Lakukan tugasmu dengan baik. Setelah misi ini berakhir, kau akan menemukan penggantiku."
Tenten mengernyit. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Kimimaro tentang penggantinya.
"Ah, tidak. Dia sudah ada, tapi kalian sama-sama belum menyadarinya."
Angin kencang berembus. Tenten berbalik, mencari-cari ke sekeliling, tapi keberadaan Kimimaro sudah lenyap.
.
.
.
Kakashi menunggu di luar ruang operasi. Pria ini adalah orang yang sangat setia pada majikannya. Hidup dan matinya ia baktikan pada sang majikan. Ia siap mengorbankan apa saja jika itu demi tuannya. Termasuk cintanya. Mengingat perempuan itu sebenarnya membuat Kakashi resah. Perempuan itu bisa menjadi pisau bermata dua untuknya. Membantu, atau berbalik menyerang. Semua tergantung pada keputusang Sang Hawa.
Bisa dibilang misi kali ini adalah misi paling berbahaya yang akan ia jalani. Sebagai bagian dari ANBU, harusnya ia setia pada Uchiha. Harusnya ia mengabdi pada siapapun yang memimpin keluarga Uchiha. Sayangnya, ia telah mengabdi pada Sasuke sejak tuannya itu masih kecil. Telah ada ikatan saling percaya yang sangat kuat di antara mereka. Hatake Kakashi tak sudi mengabdi pada tuan yang lain. Apalagi jika tuan lain itu adalah orang yang ingin menghancurkan tuannya saat ini.
.
.
.
Sakura menyandarkan punggungnya pada tepian jendela, memejamkan mata, menikmati suasana di sore hari. Hari ini adalah operasi Sasuke, pria tercintanya. Ia terus berdoa agar operasi ini berhasil agar Sasuke dapat kembali padanya. Ah, bukan, bukan Sasuke yang pulang padanya, tapi ia yang pulang pada lelaki itu. Karena pada kenyataannya, dialah yang pergi meninggalkan Sasuke. Wanita muda itu mengelus perutnya. Merasakan putra tersayangnya bergerak di dalam sana.
"Sebentar lagi, sayang, sebentar lagi. Ayahmu sedang berjuang sekarang. Kau rindu sekali pada ayah, ya?"
Bahkan putranya pun tak ingin berjauhan lagi dengan ayahnya.
Suara kaki yang terburu-buru terdengar samar dari luar. Napas Tenten memburu. Sakura menatapnya dengan tatapan penuh tanya?
"Berhasil, Sakura-sama! Operasinya berhasil."
Linangan air mata itu tak kuasa untuk mengalir. Sakura menutup mulutnya dengan sebelah tangan, mencegah agar isakannya jangan sampai terdengar oleh Tenten. Prianya selamat. Ia bisa kembali berkumpul dengan pria yang amat sangat dicintainya itu.
.
.
.
oOo
.
.
.
Tengah malam, setelah berkutat dengan semua yang ada dalam kepalanya, Neji keluar dari kamarnya. Ia membutuhkan sesuatu yang dapat menjernihkan kepalanya. Otaknya serasa akan pecah karena banyaknya hal yang ia pikirkan. Seakan semua beban menumpuk di kepalanya sekarang.
Ia segera pergi ke ruang tengah villa-nya, menuju lemari tempat ia menyimpan banyak wine dan minuman berkualitas lainnya. Tanpa menuang pada gelas, Neji langsung meminum whisky dari botolnya. Ia perlu menumpahkan, melampiaskan semua kekesalan dan beban dalam hatinya. Sudah lama ia membayangkan akan membalas dendam pada ayahnya, kenapa semakin dekat dengan realisasi mimpinya itu ia semakin gelisah?
"Minum sebanyak itu bisa membuatmu mabuk."
Neji berbalik dan menemukan perempuan itu. Ia mendecih sebelum melanjutkan acara minumnya. Terus ia teguk api cair yang membakar kerongkongannya. Perempuan itu tak perlu ikut campur dalam masalahnya. Sejak awal perempuan itu hanya bisa menghalangi semua rencananya. Bukan hanya menghalangi, tapi membuatnya berantakan.
"Besok, aku akan membuat ayahku masuk penjara. Kau dengar? Masuk penjara!" racau Neji yang sepertinya mulai mabuk. "Aku, aku akan menghancurkan keluargaku sendiri!"
Tenten mendelik kesal. Dasar orang mabuk, bisanya cuma meracau sembarangan. Ia berusaha mengambil botol whisky itu dari tangan Neji, tapi pria itu terus mengelak. Karena kesal, ia biarkan saja Neji minum sebanyak yang pria itu mau. Lagipula ia tak punya kewajiban untuk mengurus Neji.
Neji yang sudah mabuk berat berbicara sembarangan, berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Tenten menghela napas kesal saat pria itu malah menabrak meja sehingga terjatuh. Setengah hati ia membantu mamapah Neji menuju kamar lelaki itu yang berada di dekat ruang tengah. Sesampainya di kamar Tenten membantu Neji untuk berbaring pada kasurnya. Pria itu menggeliat sebentar sebelum akhirnya bisa benar-benar tenang.
Tanpa diduga ia menarik tubuh Tenten, bergerak sedemikian sehingga kini Tenten berada di bawah kungkungan tubuhnya.
"Ternyata kau cantik juga kalau dilihat dari dekat."
"Apa maumu?" gadis itu mengerahkan semua tenanganya untuk bergerak, sedikit susah karena Neji mencengkeram erat kedua lengannya. Ia sama sekali tak menyangka kalau tenaga Neji bisa sebegini kuatnya. Gadis berambut coklat itu benar-benar terkurung sekarang.
"Aku mungkin kalah teknik darimu, tapi tidak dengan adu tenaga."
Mata Tenten melotot, ia menggeram saat merasakan bibir pria itu mulai menjajah bibirnya. Ia berusaha untuk terus memberontak, apalagi saat ini pria itu mulai mejelajahi lehernya.
"Aku lelah, aku sangat lelah."
Tiba-tiba pria itu diam. Membenamkan kepalanya pada perpotongan leher dan bahu Tenten. Gadis itu sendiri juga ikut terdiam. Ia dapat merasakan bahunya lehernya basah oleh sesuatu. Apa pria itu menangis?
"Aku lelah." Kembali Neji meracau. Ia tetap belum bergerak, tapi kedua tangannya masih mencengkeram Tenten. "Aku lelah," ucapnya lagi sebelum jatuh tertidur.
Tenten masih menatap kosong langit-langit kamar, tubuh Neji masih berada di atas tubuhnya sendiri, memberikan beban yang cukup berat. Tapi, Tenten seolah tak peduli. Pria itu bilang kalau dia lelah. Pria itu sama-sama rapuh seperti dirinya saat ini. Gadis itu mengulurkan tangannya, mengusap rambut Neji pelan, membiarkan posisi mereka tetap seperti itu selama beberapa saat sebelum akhirnya beranjak pergi.
.
.
.
oOo
.
.
.
"Tuan!"
Kakashi terlihat begitu lega saat Sasuke membuka matanya. Mata hitam sekelam malam itu tak tampak seperti sedang sakit. Mata itu seperti mata singa yang sangat murka dan siap untuk melahap siapa saja yang menjadi musuhnya.
"Aku siap untuk pembalasan, Kakashi," kata Sasuke penuh kepastian. Bahkan Kakashi pun terlihat merinding menghadapi reaksi pertama tuannya pasca operasi.
"Maaf, Tuan, tapi kita tak bisa memulai pembalasan. Tsunade-sensei mengatakan kalau pemulihan Anda memakan waktu enam sampai delapan minggu."
"Kakashi," geram Sasuke, "aku tak bisa menunggu lebih lama lagi."
"Tuan, tolong jangan terlalu memaksakan diri lagi. Kalau Anda memaksakan diri sekarang, yang ada kondisi Anda akan semakin parah."
Sasuke mendecih. Ia sudah tak sabar untuk memukul balik musuh-musuhnya.
"Saya mengerti Anda sudah tak sabar. Tapi, ingat, kita membutuhkan rencana dan persiapan yang sangat matang. Waktu pemulihan Anda bisa kita gunakan untuk mematangkan rencana kita."
"Haaaah, baiklah."
"Jangan lupa, istri Anda begitu khawatir, Tuan."
Sasuke lalu memejamkan matanya. Benar juga, masih ada seseorang yang menantinya, ah tidak, bukan satu, tapi ada dua orang yang sedang menantinya. Kakashi benar, terlalu terburu-buru kalau pembalasannya dilaksanakan sekarang. Ambil sisi positifnya, ia bisa mematangkan kembali rencananya dan selama masa pemulihan, ia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya. Keluarga kecilnya.
.
.
.
oOo
.
.
.
Siang hari yang terik tak membuat Hyuuga Hiashi berhenti untuk menyeringai puas. Uchiha Sasuke telah berhasil mereka hancurkan. Bocah tak tahu diri itu sepertinya sedang ketakutan sehingga bersembunyi sekarang. Sejak hari di mana Uchiha Obito mengudeta Uchiha Group, bocah itu tak pernah muncul lagi. Cih, bocah itu pasti sudah kehilangan tajinya. Uchiha Sasuke sudah tak punya apa-apa lagi!
Sebenarnya kubu Obito hampir gagal mengambil alih Uchiha Group. Andai saja Obito tidak membuat surat kepemilikan palsu akan saham 40% yang masih misterius itu, pastilah mereka sudah gagal sekarang. Kembali pria yang mengepalai keluarga Hyuuga itu tertawa terbahak-bahak. Membayangkan saat Sasuke kembali nanti dan anak sombong itu sudah tak memiliki apa pun terasa sangat menyenangkan. Bocah itu memang sesekali perlu diberi pelajaran.
"Sepertinya senang sekali, ya, Otou-sama?"
Tawa Hiashi berhenti saat melihat putranya menyeringai licik dari pintu ruang kerjanya. Melihat sosok Neji, murkanya kembali terangkat ke permukaan. Anaknya yang tak tahu diuntung ini kembali setelah beberapa lama menghilang.
"Apa maksud kedatanganmu kemari, Neji? Aku tak butuh anak tak berguna sepertimu!"
Neji menyeringai sinis. Ia sudah tahu kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut ayahnya. "Hati-hati, Tuan, anak tak berguna ini bisa menerkammu," ejek Neji tenang.
"Kau bisa apa? Menghilang beberapa lama dan sekarang mengancamku?"
Pria berambut coklat itu mengeluarkan ponselnya yang berwarna perak. Menggoyang-goyangkan ponsel itu sembari bersiul. Tampak sekali ia menikmati suasana ini.
"Tuan Hyuuga, Anda tahu ini apa? Ini adalah senjataku untuk memukulmu."
Hiashi tampak tak mengerti.
"Sepuluh tahun yang lalu, aku iseng meletakan alat penyadap di balik meja kerjamu. Ternyata aku mendapat sesuatu yang hebat."
Hiashi memucat sekarang.
"Rekaman percakapanmu kusimpan selama ini. Kubiarkan saja kau memperlakukanku secara tidak adil karena ada saatnya aku membalas. Kurasa inilah saat yang tepat."
Neji tersenyum senang saat melihat bulir-bulir keringat mulai muncul di dahi ayahnya.
"Mau kuperdengarkan?"
Tak lama kemudian dari ponsel Neji terdengar suara-suara tak jelas. Selang beberapa menit, suara seseorang orang yang sedang berbicara melalui telepon mulai terdengar. Hiashi merasakan semua sendinya menolak untuk bekerja, tubuhnya begitu lemas. Ternyata ada orang yang mengetahui rahasia yang sudah ia sembunyikan selama bertahun-tahun.
"Tentu saja, buat seolah itu adalah kecelakaan pesawat biasa. Pastikan Uchiha Fugaku dan keluarganya mati!"
Salah satu potongan rekaman itu membuat Hiashi semakin panik. Kalau sampai rekaman itu sampai ke polisi maka tamatlah ...
"Tenang, Tuan, salinan rekaman ini sudah sampai pada polisi."
"Kau! Kau anak durhaka! Aku akan mengutukmu!" umpat pria tua itu. Anaknya sendiri mengkhianatinya? Ini tak bisa dipercaya.
"Karena keserakahanmu kau membayar mafia untuk melenyapkan Uchiha Fugaku dan keluarganya. Kau yang pantas untuk mendapat kutukan!" balas Neji dingin.
Hiashi semakin tak berdaya saat dari belakang Neji bebeapa orang berseragam polisi masuk. Ia sudah tak dapat lagi mendengar perintah penangkapan dari salah seorang petugas kepolisian. Bergerak pun ia hampir tak sanggup. Ini pasti mimpi. Ya, ini mimpi. Saat bangun besok pagi, mimpi buruk ini pasti telah lenyap, lalu ia akan menghukum Neji seberat mungkin sampai-sampai anak itu merasa bahwa lebih baik mati saja.
"Hahahaha," pria paruh baya itu tertawa sekencang-kencangnya. Mimpinya saat ini lucu sekali. Ia bahkan dapat melihat raut keras di wajah Neji. Berani sekali anak itu memberikan ekspresi tak sopannya. Mimpinya kali ini sungguh lucu, lucu sekali.
Neji menguatkan hati saat polisi menyeret ayahnya pergi. Ayahnya tertawa seolah ini hanya lelucon. Lelaki muda itu memejamkan mata untuk menguatkan diri. Sudah sejak lama ia tahu kalau saat ini pasti akan tiba. Ia harus siap sekarang, saat ini dirinyalah yang akan memegang kendali ke mana arah berlayarnya keluarga Hyuuga setelah ayahnya tumbang.
oOo
Pintu utama rumah mewah itu terbuka. Air mata wanita yang melahirkan Hyuuga Neji itu tak kuasa untuk tak mengalir. Sebelum pergi ke kantor ayahnya tadi, ia memberitahu segalanya pada ibunya. Neji tak pernah sanggup berbohong pada wanita ini, ibu kandungnya sendiri.
"Maafkan aku ... maafkan aku," kata Neji lirih sebelum berlutut di hadapan ibunya.
Wanita itu sendiri tak mampu berkata apa-apa. Dipeluknya sang putra yang tampak sangat menyesal, bahu putranya itu bahkan sampai bergetar. Kejahatan suaminya memang sudah keterlaluan dan tak termaafkan.
"Ibu akan merasa lebih bersalah lagi jika kejahatan ayahmu tidak dibongkar," ujarnya berusaha berbesar hati. Mengusap lembut kepala putranya yang masih berlutut.
"Tolong rahasiakan ini dari Hinata dan Hanabi dan malam ini juga, kalian bertiga ke luar negeri. Aku sudah menyiapkan pesawat untuk membawa kalian pergi."
"Neji?"
"Akan ada perang besar. Aku tak mau keluargaku terkena imbasnya. Biarlah aku yang menanggung akibat perbuatan Otou-sama."
"Neji ...," lirih wanita paruh baya itu sebelum kembali memeluk putranya. Neji telah dewasa. Walaupun keluarga mereka sedang mengalami krisis, tapi Neji bisa menyingkapi segalanya dengan sangat dewasa.
Neji tahu dengan jelas kalau pertempuran ini akan berakibat bagi banyak pihak. Ibu dan kedua adiknya harus selamat apa pun yang terjadi. Mereka tak boleh menanggung risiko dari perbuatan ayahnya. Ia akan melakukan apa saja asal keluarganya selamat. Penangkapan ayahnya pun sudah ia negosiasikan dengan kepolisian agar tidak terendus oleh pihak luar. Semua ini ia lakukan untuk melindungi kebanggaan keluarganya. Kehormatan dan keberlangsungan keluarga Hyuuga kini berada di tangannya.
.
.
.
oOo
.
.
.
Kawasan villa tampak asri, dindingnya berwarna putih, dikelilingi tembok tinggi yang juga berwarna putih. Sekeliling villa ditumbuhi pohon sehingga hawanya semakin sejuk. Musim dingin yang telah berakhir membuat bunga-bunga kembali bermekaran. Sasuke mengamati keadaan villa ini dengan saksama. Istrinya berada di sini, di tempat ini. Seminggu setelah operasi, akhirnya Tsunade mengizinkannya untuk keluar. Ck, mengingat ini adalah villa milik Neji, membuat egonya terusik. Ia tak sudi berhutang terlalu banyak pada lelaki yang ia anggap musuh pada awalnya. Hyuuga Neji pasti merasa sangat puas karena bisa menekan ego Sasuke.
Benar saja. Sasuke tetap memasang topeng datarnya saat Neji membukakan pintu untuknya. Wajah lawannya itu terlihat sangat puas. Bagaimana tidak? Sasuke dapat hidup karena donor darah darinya, dan sekarang Si Bungsu Uchiha itu bersembunyi di kediaman miliknya. Oh, jangan lupa kalau Neji juga yang menjaga Sakura selama ini. Apalagi tempat ini dijadikan markas tempat berkumpulnya teman-teman Sasuke.
"Mana istriku?" tanpa basa-basi lelaki Uchiha itu langsung menanyakan keberadaan istrinya.
"Di atas, di kamarnya."
"Hn."
"Hei, Uchiha, setelah bertemu dengannya, kembalilah ke sini. Ada yang mau kubicarakan denganmu."
"Hn."
Neji mendelik. Dasar tamu tak tahu sopan santun. Sasuke berlalu dari hadapannya seolah keberadaan Neji tak pernah ada. Harusnya pemuda itu sadar kalau tanpa Neji, mungkin saja dia sudah mati.
oOo
Suara pintu itu membuat Sakura yang sedang merajut menoleh. Pria itu berdiri di hadapannya sekarang. Sosoknya yang seperti elang pemburu tampak menjulang dari balik pintu. Ia mengentikan kegiatannya merajut. Rasa rindunya sudah tak tertahankan. Sakura berdiri pelan-pelan, memegang perutnya yang semakin berat dari hari ke hari. Selangkah demi selangkah ia bergerak guna mendekati pria tercintanya. Ia merasa ingin mati saja saat mengetahui Sasuke harus berjuang melawan maut. Saat itu, satu-satunya alasan Sakura bertahan adalah putra mereka.
Rasanya begitu damai saat bisa kembali berada dalam pelukan Sasuke. Ia rindu sentuhan Sasuke, suara Sasuke, aroma tubuhnya, semuanya. Ia merindukan semua yang ada pada Sasuke tanpa terkecuali.
"Seharusnya aku membunuhmu karena sudah berani lari dariku."
Sakura terisak perlahan, mulut pria itu masih tetap jahat. Tak apa, ia merindukan kata-kata pedas nan tajam dari suaminya itu.
"Aku juga merindukanmu Sasuke-kun, sangat merindukanmu," balas Sakura sambil mengencangkan pelukannya.
"Aku juga akan menggantungmu jika terjadi sesuatu pada anakku."
"Ya," Sakura tersenyum lebar, "anakmu sehat-sehat saja. Setiap hari dia bilang padaku kalau dia merindukan ayahnya."
Nyaman sekali seperti ini. Sakura bisa bebas menyalurkan rasa rindunya. Bebas mengeluarkan air matanya. Bebas merengkuh tubuh tegap yang selalu dicintainya. Bebas mendengar suara bariton suaminya.
"Sasuke-kun."
"Hn?"
"Setelah semuanya selesai, kita main ke Kyoto, ya?"
Pupil lelaki itu melebar. Ia melepaskan pelukannya. Menatap Sakura tak percaya, seperti tak yakin atas apa yang baru saja diucapkan wanitanya itu.
"Aku ingin sekali berlibur ke Kyoto, sepertinya aku belum pernah ke sana," kata Sakura lagi seraya memeluk tubuh suaminya.
Sasuke mengangguk pelan. Ia kira Sakura sudah ingat tentang masa lalu mereka. Sudahlah, ingat atau tidak, saat ini Sakura adalah miliknya.
Sakura sendiri memutuskan untuk tidak dulu memberitahu Sasuke perihal kembalinya ingatan di Kyoto. Saat semua sudah selesai, barulah ia akan memberitahukannya. Yang penting masalah Sasuke selesai dulu.
"Aku akan di sini selama enam minggu ke depan. Untuk pemulihan dan pematangan rencana. Setelah itu saatnya membalas orang-orang tak tahu diri itu."
Sakura melepaskan pelukan mereka. Meraih tangan Sasuke dan mengajaknya duduk di ranjang. "Enam minggu lagi adalah waktuku untuk melahirkan, Sasuke-kun."
Sasuke tercekat. Ia tak berpikir sampai ke sana.
"Maaf, kalau begitu bisa saja kau melahirkan tanpa aku."
Sakura menggigit bibirnya kaku. "Tidak apa-apa, Sasuke-kun. Aku mengerti."
Pria itu mengambil tangan wanitanya. Menggengamnya. Menunjukkan bahwa wanita itu begitu berarti baginya.
"Percayalah, aku sudah menyiapkan segalanya untukmu dan anak kita."
"Sasuke-kun."
"Bahkan jika aku mati, segalanya sudah kupersiapkan untuk Itachi."
Sasuke tak main-main kali ini. Sakura dan Itachi memang sejak awal menjadi prioritas utamanya. Ibarat perang, kali ini adalah pertempuran terakhirnya. Ia akan mengerahkan semua kemampuannya dalam perang nanti. Semuanya ini hanya untuk satu hal: kehidupan yang lebih baik bagi Itachi, putranya.
oOo
Setelah berlama-lama dengan istrinya. Sasuke kembali turun untuk menemui Neji. Melihat kira-kira apa yang ingin dibicarakan oleh lelaki itu.
"Baiklah, Uchiha, langsung saja."
"Hn."
"Aku merasa sudah memberikan banyak hal padamu, tapi aku belum mendapat imbalan apa-apa."
Ck, dasar Hyuuga licik. Sejak awal Sasuke sudah tahu kalau pria Hyuuga ini pasti memiliki maksud terselubung. Dia tak mungkin mau membantu Sasuke tanpa mendapat apa-apa.
"Katakan saja maumu."
Lelaki Hyuuga itu mendekati Sasuke. Berbisik, mengucapkan apa yang ia inginkan.
"Aku menolak."
Neji menyeringai. "Aku tak menerima penolakan. Berikan yang kuinginkan dan aku akan membantumu sampai akhir."
"Kalau aku menolak?"
"Maka aku juga bisa menjadi pisau bermata dua untukmu."
Sasuke menghela napas. Permintaan Neji ini cukup berat. Pria dengan mata sekelam malam itu enggan memberikan apa yang diminta Neji. Sesuatu yang cukup penting sudah tentu akan sulit diberikan, bukan?
Lain halnya dengan Neji. Tekadnya sudah bulat untuk meminta hal itu pada Sasuke. Bagi Neji, hal yang ia minta sebanding dengan bantuannya untuk Sasuke. Jadi, pria itu tak boleh egois dan menolak permintaannya. Bantuan besar harus disertai dengan imbalan besar. Neji bukan orang murah hati yang bisa memberikan segalanya tanpa pamrih. Sasuke tentu sudah tahu dengan pengorbanan Neji yang memenjarakan ayahnya sendiri. Yah, walaupun pria tua itu memang pantas untuk dijebloskan ke penjara. Untuk semua itu, tanpa kompromi, Neji meminta hal tersebut. Tak ada tawar menawar lagi.
.
.
.
Tbc
A/N:
Q: kok dipantau tahun 2013 cuma 3x update?
A: Siapa bilang? Fict ini publish akhir desember 2012. Chapter 2-17 diupdate sepanjang 2013. Jadi, dari mananya yang hanya 3x update? ;)
Q: saham itu punya Itachi ya?
A: Awwww, punya siapa ya?
Q: kok SasuSakunya kurang?
A: Kalau SasuSaku terus kapan masalahnya selesai? Justru kunci buat mecahin masalah ada pada orang-orang di sekitar SasuSaku.
Terima kasih untuk semua yang sudah baca, review, fave, dan follow.
3-4 chapter lagi tamat. Lagi sibuk ngurusin penunjang masa depan nih. Doain cepat selesai ya, biar cepat diupdate TT
Ditunggu tanggapan untuk chapter ini, terima kasih ^^