Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya cuma minjam tokoh-tokohnya saja

Story by Morena L

Pairing: Sasusaku dan pairing lainnya

Warning:AU, OOC, typo(s), DLDR

.

.

.

Tampaknya Tuhan mulai menghukumku karena selalu merasa hidupku datar-datar saja, kurang tantangan. Hari ini aku pulang sekolah seperti biasa, tetapi suasana di dalam rumah tidak biasa. Entahlah hanya perasaanku saja atau apa. Suasana di rumah sedikit mencekam, ayah, ibu, dan Karin-nee sedang duduk di ruang keluarga. Karin-nee duduk di hadapan ayah dengan menunduk dan pucat, di sebelah ayah tampak ibu yang sedang berusaha menenangkannya.

"Ta-daima ...," seruku agak terbata.

"Sakura, langsung masuk ke kamarmu!" Ayah berbicara dengan agak membentak.

Melihat ayah yang seperti itu aku tidak berani untuk membantahnya. Wajah ayah seperti menyimpan murka. Sepertinya ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Segera aku masuk ke dalam, namun karena rasa ingin tahu yang tinggi aku diam-diam menguping dari tangga yang bersebelahan dengan ruang keluarga kami.

.

oOo

.

"Jelaskan apa ini, Karin!" Haruno Kizashi membentak putri tertuanya yang sedang duduk di hadapannya itu.

Karin semakin menunduk tidak berani menatap ayahnya. Air mata mulai menetes dari matanya. Penyesalan hinggap di benaknya, ia takut, sangat takut. Terbongkar sudah rahasia yang dia simpan selama ini. Semua itu akibat kecerobohannya menyimpan benda-benda tersebut hingga ditemukan ibunya saat membersihkan kamar gadis itu. Di atas meja yang memisahkan dirinya dan orangtuanya terdapat beberapa kantong yang isinya pil-pil berwarna putih dan kantong yang berisi jarum suntik.

"Karin! Jawab Ayah!" semakin tidak sabar sepertinya pria paruh baya ini. Ia tidak menyangka salah satu putrinya menyimpan barang haram seperti itu.

"Tenang, Ayah, tenang," Haruno Mebuki mengusap-usap punggung suaminya yang menegang, berusaha untuk menenangkannya. "Karin, jawab Ayah, nak."

"I-itu … i-itu …" Karin tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya, dia menggigit bibir sementara air matanya semakin mengalir deras. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ayahnya pasti sangat marah sekarang. Air matanya mengalir deras seolah-olah tidak mau berhenti menelusuri pipinya.

Sang ayah semakin memijat kepalanya yang bertambah pening. Rasa kecewa semakin membuncah dalam dadanya, apa dia sudah salah mendidik kedua anaknya? Apa dia sudah gagal sebagai orang tua?

"Karin …" Nada bicaranya menurun. "Kenapa kau bisa menggunakan barang haram ini? Kau tau narkoba itu terlarang?" terdengar jelas ada nada kekecewaan dalam bicaranya. Perasaan gagal sebagai orang tua semakin pekat menyelubungi lelaki paruh baya itu.

"Maafkan aku. Hiks ... hiks ... maafkan aku ..." Karin segera berlutut di samping ayahnya dan meminta maaf sambil memegang kaki kiri ayahnya. Hanya ini yang bisa ia lakukan sekarang memohon ampun dari kedua orang tuanya. Perbuatannya memang sangat salah dan tidak ada alasan yang bisa dia kemukakan untuk membenarkan perbuatannya itu. Kalau perlu dia akan mencium kaki kedua orang tuanya untuk mendapaatkan maaf.

Kizashi berdiri, pria paruh baya ini berusaha menulikan telinganya dari tangisan sang putri. Ia kecewa, sangat kecewa. Rasa kecewa mengalahkan kemarahannya. Ia segera berjalan menuju ke kamarnya untuk menenangkan diri. Tidak sanggup melihat anaknya yang menghadirkan rasa kecewa dalam dirinya. Semakin ia melihat Karin, rasa gagal sebagai seorang ayah semakin besar. Melihat reaksi ayahnya tangisan Karin semakin keras.

Mebuki tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jujur ia juga kecewa dan marah, anak yang selalu dia anggap sebagai teladan untuk putri bungsunya sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tetapi, naluri sebagai seorang ibu mengalahkan semua kecewa itu. Jika ia ikut marah seperti suaminya maka putrinya akan semakin terjerumus. Segera dipeluknya sang anak, mengusap punggungya dan berusaha menenangkannya. Setidaknya dengan tindakan itu Karin mendapat kekuatan dan ia bisa berpikir dengan lebih jernih.

Sakura terdiam saat bertemu dengan ayahnya di tangga. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Wajah ayahnya terlihat begitu lelah bercampur dengan marah dan kecewa. Sebagai anak mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan, segera dia memegang tangan kiri ayahnya.

Kizashi menatap putri bungsunya ini sejenak. Tangannya yang bebas mengelus mahkota merah muda itu. Setidaknya masih ada satu anaknya yang tidak membuatnya kecewa.

"Kau tidak akan mengecewakan Ayah, kan?"

Sakura mengangguk, "Ayah marah pada kakak? Tolong maafkan dia, Ayah …," mohon Sakura sambil menundukkan kepalanya.

"Ayah tidak marah, hanya kecewa dan merasa gagal sebagai seorang ayah. Jadi, Sakura jangan membuat Ayah merasa kecewa untuk kedua kalinya, ya." Dengan menghela napas Kizashi melepaskan tangannya yang sedang digenggam Sakura dan segera menuju ke kamarnya. Dari belakang Sakura dapat melihat punggung ayahnya bergetar, sepertinya ayahnya itu sedang menahan air matanya.

Beberapa hari kemudian Kizashi masih berdiam diri. Ia hanya berbicara seadanya pada Sakura dan istrinya. Sedangkan pada Karin jangankan berbicara, melihatnya saja ia terlihat enggan. Bukannya ia tidak ingin melihat putrinya itu, sungguh ia ingin merengkuh anak sulungnya itu dan memeluknya. Namun, niat itu selalu ditepisnya karena perasaan kecewa yang masih terlampau besar dalam hatinya.

.

oOo

.

Hari ini hujan dan Sakura tidak membawa payung, dan sialnya lagi hujan turun saat ia sudah di tengah perjalanan pulang. Untung saja di dekatnya ada sebatang pohon besar sehingga gadis itu bisa berteduh di bawahnya. Walaupun pohon ini besar dan berdaun lebat tetapi tetap saja masih ada tetes-tetes air hujan yang berhasil lolos. Suhu udara semakin dingin, gadis manis itu memeluk dirinya sendiri berusaha menghangatkan tubuh.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah sedan hitam berhenti. Tampaknya mobil itu mogok karena beberapa kali terlihat mobil itu gagal untuk dijalankan. Pemilik mobil itu keluar dan berjalan ke arah Sakura. Gadis itu sedikit terkejut melihat pemilik mobil yang tak lain adalah Uchiha Sasuke.

Pemuda itu berdiri di sebelah Sakura dengan wajah angkuhnya itu. Dalam hati, gadis bermata hijau jernih itu berpikir kalau tindakan si pria Uchiha cukup aneh. Walaupun mogok, lebih baik kalau pemuda itu berteduh di dalam mobilnya saja dari pada berteduh di bawah pohon seperti ini. Alih-alih memperhatikannya lebih lama, Sakura memilih untuk melihat tetes-tetes hujan yang semakin deras membasahi bumi. Tiba-tiba, gadis itu merasa ada yang berbeda di sekitarnya. Aura di sekitarnya yang sudah dingin semakin bertambah dingin. Gadis itu merasa sangat terintimidasi dengan keberadaan pria di sebelahnya. Hanya karena keberadaanpria itu saja sudah membuat keadaan jadi seperti ini. Tampaknya kini Sakura jadi memahami kenapa dia begitu disegani.

"Kau punya ponsel?" Sasuke akhirnya membuka suara.

"Maaf? Apa?"

"Kutanya kau punya ponsel atau tidak?" pria bertanya lagi penuh dengan angkuh itu berkata sambil melihat ke depan tanpa menoleh sedikit pun.

"Hei, tahu sopan tidak? Kalau bicara lihat lawan bicaramu." Sakura malah mencoba menantangnya, berusaha untuk tidak peduli siapa pemuda itu dan intimidasi akibat keberadaanya. Semua orang harus diperlakukan sama jika tidak sopan.

Sasuke menolehkan kepalanya dan menatap gadis di sampingnya itu tajam. "Baterai ponselku habis, aku perlu menghubungi seseorang."

Dengan cemberut gadis itu mengambil ponselnya dari dalam tas dan menyerahkan pada Sasuke. Pemuda itu lalu menekan beberapa tombol dan menghubungi entah siapa. Setelah berbicara beberapa lama barulah ia mengembalikan ponsel tersebut pada Sakura.

"Hei, mana ucapan terima kasih?" tuntut Sakura. Baginya meminjam barang orang lain tanpa mengucapkan terima kasih sangatlah tidak sopan.

Tapi, Sasuke tetap tak peduli. Ia tetap diam dan melihat ke arah jalan.

Ingin rasanya Sakura menjambak rambutnya yang cukup mencuat itu. Tak lama kemudian, datanglah mobil sport berwarna hitam dan pada badan mobil terdapat corak lidah api berwarna orange. Kaca pada pintu diturunkan dan terlihatlah makhluk berkepala pirang dengan cengiran di wajahnya.

"Yo, Teme, maaf lama. Saat kau meneleponku tadi aku sedang makan ramen."

"Hn." Tanpa banyak bicara pria segera masuk dan duduk di sebelah sahabat pirangnya itu. Sakura semakin mendecih kesal melihatnya.

"Masuklah, kami antar kau pulang. Anggap itu ucapan terima kasih yang tuntut," katanya dengan nada angkuh itu dan lagi-lagi ia berbicara tanpa melihat sang gadis yang sedang kesal.

Sakura tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Masih kesal karena perlakuan yang ia anggap sangat tidak sopan. Tsk, saking kesalnya, ia lebih memilih menunggu sampai hujan reda daripada menerima tawaran tadi.

"Masuklah, Nona, nanti kau sakit kalau terus di sini. Lagipula belum ada tanda-tanda hujannya mau reda," kata Naruto lengkap dengan cengirannya itu. Setelah mempertimbangkan kata-kata itu, akhirnya ia masuk ke dalam mobil dengan enggan.

"Kau adik kelas kami di KIHS, kan?" tanya Naruto-senpai sambil menjalankan mobilnya.

"Iya, senpai. Tidak kusangka senpai masih mengingatku." suasana hati gadis itu kembali baik karena keramahan Naruto-senpai.

"Rambutmu sangat unik makanya aku masih mengingatmu. Oh, ya, rumahmu di mana?"

"Aku tinggal di restoran sushi empat blok dari sini," jawab Sakura segera.

"Wah kalau begitu kalau aku datang bisa dapat sushi gratis dong."

"Enak saja senpai. Bayar! Walaupun kau senpai-ku tapi yang namanya pelanggan harus tetap bayar." Sepanjang perjalanan diisi dengan candaan Sakura dan Naruto. Sedangkan orang itu hanya duduk diam dan memandang ke depan. Sebenarnya, Sakura cukup penasaran, hal apa yang bisa membuat tertarik manusia sedingin es itu.

Sesampainya di rumah gadis itu segera turun. Setelah mengucapkan terima kasih, ia segera masuk ke dalam rumah. Rumah tampak sepi, ayah dan ibunya pasti sibuk di restoran. Ia segera masuk ke kamar mengambil pakaian bersih dan segera menuju kamar mandi yang ada di antara kamarku dan kakak.

.

000

.

Rasanya nyaman sekali kalau habis mandi. Sakua segera menuju kamar kakaknya, ingin melihat keadaannya. Ketika pintu kamarnya dibuka, gadis itu sangat terkejut melihat kondisi kamarnya yang sangat berantakan. Karin duduk meringkuk di pojok kamarnya sambil menangis. Melihat itu, Sakura segera menghampiri lalu memeluk kakaknya dengan erat.

"Kakak tenang saja. Aku akan berbicara dengan ayah agar dia segera memaafkanmu," bujuknya pada Karin.

Bukannya reda tapi tangisan Karin semakin kencang. Ia meremas lengan baju Sakura dengan cukup kuat.

"Berjanjilah Sakura, jangan ceritakan ini pada siapa pun. Aku punya masalah yang lebih gawat daripada yang kemarin."

Gadis itu semakin bingung. Ada apa lagi ini? Masalah apa lagi yang dialami kakaknya?

"Sakura, hiks ... hiks ... aku … aku ... hamil …"

Bagaikan tersambar petir, mata Sakura melebar. Gadis itu menatap Karin tidak percaya. Oh, Tuhan, bagaimana kalau ayah tahu? Seketika itu juga kepalanya menjadi pening.

"Ha-Hamil? Kau bohong kan, kak?" lelucon. Ini pasti lelucon yang sering dibuatnya!

"Tidak Sakura!" dia menjadi histeris. "Aku benar-benar hamil! Ayah pasti akan membunuhku kalau dia tahu!" Karin memeluk adiknya semakin erat.

"Siapa?" aku berbisik di telinganya. "Siapa ayahnya? Kenapa kau bisa melakukan ini, kak? Bukankah kau sangat menyukai pangeran Uchiha itu dan bermimpi menjadi istrinya? Kenapa hal ini bisa terjadi?" Tanya Sakura sambil mengelus pundak sang kakak.

"Hozuki Suigetsu,teman sejurusan Sasuke," Karin menjawabnya setelah lebih tenang. Ia membiarkan saja saat Sakura menuntunnya ke tempat tidur.

Sambil memegang tangan Sakura, ia menceritakan semuanya. Gadis itu baru mengenal narkoba dua bulan yang lalu. Saat itu ia sedang mengikuti pesta ulang tahun temannya di villa di atas gunung.

.

oOo

.

-Flashback-

"Uchiha Sasuke akan datang, kan?" tanya Karin harap-harap cemas. Ia sedang berada di pesta ulang tahu Juugo, salah satu temannya sejak SMA.

"Dia pasti datang, Juugo kan temannya juga," jawab Tayuya.

Karin berharap Sasuke benar-benar datang. Jujur saja ia mau datang ke pesta ini karena mendengar Sasuke akan datang. Ia sudah sangat senang walau pun hanya bisa melihat bungsu Uchiha itu.

Setelah waktu menunjukkan pukul dua belas malam, orang yang ditunggu Karin tidak datang juga. Karin duduk sendirian dengan bosan di sofa yang ada di sudut ruangan sementara teman-temannya yang lain sedang asik berpesta. Sejujurnya dia tidak nyaman berada di sini. Dari awal tanda-tanda kemunculan Sasuke memang tidak ada, sebab pada pesta ini tidak ada Naruto, Sai, dan Shikamaru yang merupakan sahabat pria itu.

"Hei, kau terlihat bosan, minum ini?" tawar Suigetsu padanya.

Tanpa bertanya Karin meminum minuman berwarna coklat yang ditawarkan itu. Bukan satu atau dua gelas, tetapi dia meminum lebih dari lima gelas. Karin merasa kesal karena tidak bisa melihat pria pujaan hatinya itu. Dia tidak sadar jika sekarang dia sudah mabuk.

"Cobalah pil ini juga, Karin sayang." Suigetsu menyodorkan sebutir pil berwarna putih padanya.

"Sasuke-kun tidak dataang … aku kesaaall!" Karin mulai merancau sembarangan.

"Makanya telan pil ini, dijamin kau akan mengurangi rasa kesalmu, kau akan merasa bebas dan melayang."

"Hmm … Benarkah?"

"Ya! Cobalah."

Kerin segera menelan pil tersebut, tidak lama kemudian dia merasa bebas, seolah-olah dirinya dapat terbang. Perasaan apa ini? Dia tidak pernah merasa sebebas dan serileks ini.

"Karin ... Karin …" terdengar seseorang memanggilnya

"Sasuke-kun? Kau datang?"

Suigetsu tersenyum penuh arti, awalnya dia hanya ingin menggoda gadis ini. Gadis yang selalu ketus padanya di kampus.

"Iya, Karin sayang, aku datang untukmu, kau senang?" terdengar nada menggoda dari suaranya.

"Aku senang sekali, Sasuke-kun. Aku sangat menyukaimu."

Suigetsu semakin menyeringai dan meraih pinggang Karin. Tangannya ia lingkarkan pada pinggang ramping itu.

"Aku juga menyukaimu. Kau tahu kalau kau itu cantik." Suigetsu semakin mengeratkan rangkulannya pada pinggang Karin dan membisikan rayuan di telinga gadis berambut merah itu.

"Karin sayang, mau mencoba permainan yang seru?"

"Apa itu, Sasuke-kun? Aku ikut apa pun maumu." Karin sepertinya sudah pasrah. Dalam bayangannya yang sedang memeluknya dan membisikkan kata-kata mesra itu adalah Uchiha Sasuke.

Karin tidak sadar saat dirinya dibawa ke salah satu kamar di lantai atas. Dia tidak sadar saat Suigetsu mulai melucuti pakaiannya dan menodainya.

-End of Flashback-

.

oOo

.

Sakura menggeram tidak percaya.

"Kita harus laporkan dia ke polisi! Ini tidak bisa dibiarkan!" Emosi Sakura benar-benar hampir meledak.

"Aku tidak bias, Sakura. Tidak bisa!"

"Kenapa? Dia sudah menodaimu, membuatmu terjerat narkoba!"

"Saat dia menodaiku, dia juga merekam dan memotretnya. Hiks ... hiks ... dia mengancamku akan menyebarkan semuanya kalau aku berani melaporkan perbuatannya itu!" kakak semakin meremas tanganku yang menggenggam tangannya.

"Berjanjilah, Sakura, janji seorang adik, kau tidak akan mengatakan ini pada siapa pun," mohon Karin.

Aku memegang tangannya. "Aku janji, ini janjiku sebagai adikmu. Aku tidak akan memberitahu siapa pun tapi kupastikan dia akan membayar semua yang sudah dia lakukan padamu!" Ya, dia pasti akan membayarnya. Pasti!

Saat makan malam, ayah dan ibu tidak banyak bicara. Ayah semakin pucat dan lemas, begitu juga dengan ibu. Ada apa ini? Jangan-jangan mereka tahu soal Karin-nee. Aku dan kakak saling memandang dalam diam. Ayah dan ibu tidak menghabiskan makanan mereka. Ini Aneh! Tidak biasanya seperti ini.

"Sakura, Karin, ada yang harus ayah bicarakan dengan kalian berdua. Setelah kalian menyelesaikan makan kalian, segera ke ruang keluarga." Setelah berkata demikian, ayah dan ibu pergi menuju ruang keluarga.

Aku menjadi semakin tidak nafsu makan dan menurut asumsiku kakak pun demikian. Kami segera mengikuti ayah dan ibu menuju ruang keluarga.

Ayah tampak tegang, ibu terlihat tidak bersemangat. Aku dan kakak segera duduk berhadapan dengan ayah dan ibu.

"Karin, Sakura, dengarkan Ayah dan coba untuk mengerti Ayah, ya," kata ibu.

Perasaan kami menjadi tidak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Semoga ini hanya ada dalam pikiranku, semoga tidak ada hal buruk yang akan terjadi.

"Kalian berdua dengarlah. Karin, Ayah minta maaf jika kemarin Ayah mendiamkanmu. Sekarang keluarga kita menghadapi masalah yang amat sangat berat." Ayah mengambil napas sejenak.

"Ayah ditipu oleh seorang kenalan, dia meminjam uang dan surat-surat tanah kita untuk membangun usahanya. Karena kasihan Ayah meminjamkan dia tabungan kita dan surat-surat tanah yang Ayah punya sebagai jaminan. Ternyata dia kabur, dan yang lebih parah dia meminjam uang sejumlah enam ratus juta yen dan menjadikan tanah, rumah, dan restoran kita sebagai jaminannya."

Ya Tuhan, Apa lagi ini? Ingin rasanya aku menulikan telingaku. Aku dan kakak saling pandang tak percaya.

"Dan teman Ayah itu meminjam uang pada kelompok yakuza. Tadi mereka datang ke restoran. Jika kita tidak bisa mengembalikan enam ratus juta yen dalam waktu tiga minggu maka semua milik kita akan disita. Bukan itu saja, mereka akan mengambil kalian berdua dan menjadikan kalian pelacur."

Air mata ayah dan ibu semakin mengalir deras, begitu pula dengan aku dan kakak. Tidak, ini tidak mungkin. Apa-apaan ini? Apalagi sekarang kakak sedang mengandung.

"Ayah tidak masalah jika milik kita diambil semua, tapi jika kedua anak Ayah dijadikan pelacur, Ayah … Ayah … tidak terima …" ayah dan ibu bersujud di hadapan kami. "Maafkan kami orangtua yang tidak berguna anak-anak," kata ayah dan ibu dengan air mata yang memenuhi wajah mereka.

Segera aku dan kakak memeluk ayah dan ibu. Cobaan macam apa ini ya Tuhan? Belum habis satu masalah sudah muncul masalah yang lainnya.

Kami berempat saling berangkulan dan menumpahkan air mata bersama. Kakak sampai meraung-raung, penyesalan yang dia rasakan pasti lebih besar dariku.

Kami berusaha saling menguatkan. Keluarga adalah segalanya. Cobaan yang datang pasti bisa kami lalui jika kami bersama.

.

000

.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Kami sudah berada di kamar masing-masing. Ayah berkata jika dia akan memikirkan jalan keluarnya. Aku duduk di tepi jendela dan memandang langit.

Tidak ada satu bintang pun di langit. Seolah-olah cahaya itu tertutupi oleh sesuatu. Langit malam ini seperti suasana hatiku. Kelam tak bercahaya, semua seperti hancur dengan begitu mudahnya.

"Tuhan, apa ini cobaan-Mu untukku? Ini terlalu berat, Tuhan. Aku minta maaf jika aku sering mengeluh karena merasa hidupku membosankan." Sungguh jika aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan mengeluh lagi dengan hidupku.

"Jika ada jalan untuk kami, tunjukkanlah. Aku tahu aku jarang berterima kasih, jika Kau bisa mengeluarkan kami dari cobaan seperti ini, maka aku rela jika aku yang jadi tumbalnya!" Ah, sepertinya air mataku akan mengalir lagi.

Kugigit bibirku mencoba menahan air mataku. Selama ini aku jarang menangis, tapi malam ini entah sudah berapa banyak air mata yang kukeluarkan.

Di tempat tidur aku berusaha untuk memejamkan mataku. Berharap ketika bangun pada keesokan hari aku semuanya hanya mimpi. Nyatanya aku salah, ini bukan mimpi. Ini semua nyata.

.

oOo

.

Aku masuk ke dalam kelas dengan lesu. Ini sudah dua minggu sejak hari itu. Ayah sudah berusaha mencari pinjaman kemana-mana namun belum mampu menutupi semua. Enam ratus juta yen adalah jumlah yang sangat besar. Kakak pun semakin tidak berani memberitahu perihal kehamilannya. Dia tidak mau semakin membebani ayah dan ibu.

"Sa-Sakura-chan, kau ke-kenapa?" raut penuh kekhawatiran terlihat sangat jelas saat Hinata bertanya.

"Tidak apa-apa, Hinata-chan." Aku mencoba tersenyum menjawab pertanyaannya.

Teman-teman di sekolah semakin heran dengan perubahanku. Akhir-akhir ini aku menjadi lebih diam dan pandanganku semakin kosong.

"Forehead, sepertinya kau sedih. Ada apa? Kami temanmu, jika kau punya masalah ceritakan pada kami," kata Ino diiringi anggukan dari Hinata. Aku menjadi merasa bersalah pada mereka berdua. Saat ini kami bertiga berada di atap sekolah tempat biasanya Ino menceritakan masalahnya kepadaku.

"Aku memang punya masalah, jika aku sudah siap pasti akan kuceritakan pada kalian berdua." maaf teman-teman tapi aku belum bisa menceritakan hal ini pada siapa pun.

Mereka berdua mencoba memahaminya dan tidak bertanya lagi. Aku beruntung memiliki teman-teman seperti mereka berdua.

.

oOo

.

-Di sebuah ruangan yang tampaknya seperti ruang kerja-

"Kakashi apa semua sudah siap?" tanya seorang pria dengan rambut mencuat pada pria yang berdiri di depan meja kerjanya. Di meja tersebut terdapat tulisan Presiden Direktur.

"Semua sudah siap, Tuan, saya sudah menyelidiki semuanya yang Tuan ingin tahu selama seminggu ini." Tampak seorang pria bermasker dan berambut perak menjawab pertanyaan tuannya itu.

"Segera berikan padaku hasil penyelidikanmu, kau bisa memastikan semua ini bisa berguna, kan?"

"Tentu saja, Tuan, jaringan mata-mata saya bisa dipercaya."

"Bagus, surat-surat yang kuminta sudah kau siapkan semua?" tanya pria itu lagi.

"Tentu, Tuan, tinggal ditanda tangani saja."

Mendengar ini, Sang Presiden Direktur menyeringai. Asisten pribadinya ini memang bisa diandalkan. Ya, cuma Hatake Kakashi satu-satunya orang yang bisa dia percaya di Uchiha Group ini. Tapi, Uchiha Sasuke, apa sebenarnya yang kau rencanakan kali ini?

.

oOo

.

Hari sudah senja, aku membolos pada pelajaran terakhir hari ini. Aku menatap langit sore dengan pandangan sendu. Satu minggu, waktu kami tinggal satu minggu lagi. Apa yang harus kami lakukan?

Aku turun menuju kelasku yang berada di lantai tiga dengan langkah gontai. Aku masih merasa sedang dipermainkan nasib. Aku tidak ingin pulang, tetapi keluargaku pasti akan semakin kawatir. Aku masuk ke dalam kelas dengan menunduk, semua orang pasti sudah pulang. Kuambil tasku dan melangkah keluar, tapi tiba-tiba aku mendengar suara.

"Hn."

Kuangkat kepalaku dan menoleh ke belakang. Mataku melebar melihat pemilik suara tersebut. Uchiha Sasuke sedang bersandar di tembok belakang kelas sambil melipat tangannya dan melihat ke arahku. Apa dia lakukan di sini? Dia tidak mengenakan jasnya, hanya celana hitam dan kemeja biru dengan lengan yang dilipat sampai siku. Dia juga tidak mengenakan dasi, agak berantakan memang tetapi terlihat menarik. Oke, anggap saja ini hiburan untuk mataku. Yang jadi masalah, apa yang dia lakukan di kelasku? Bukankah dia sudah lulus dua tahun yang lalu?

"Uchiha-san, apa yang kau lakukan di sini?"

"Mencari seseorang. Aku ada perlu dengannya." jawabnya datar.

Aku mengedarkan pandanganku, "Tapi di sini tidak ada orang. Semua guru dan murid sudah pulang. Kalau kau mencari salah satu dari teman-temanku datang saja lagi besok."

Dia tidak berbicara, tatapi melihat lurus ke arahku. Kenapa mata itu selalu mengintimidasi?

"A-aku pergi dulu, Uchiha-san."

"Kau."

"Eh, apa?" aku semakin tidak mengerti.

"Orang yang kucari itu kau. Aku ada perlu denganmu," lanjutnya lagi.

Astaga! Jangan bilang ada masalah lagi? Sudah cukup keluargaku bermasalah dengan yakuza, aku tidak mau menambah masalah dengan Uchiha. Jangan-jangan dia tersinggung dengan sikapku waktu itu? Matilah aku jika iya.

"U-Uchiha-san, kalau aku ada punya salah denganmu aku minta maaf ...," kataku sambil menunduk.

Tidak ada jawaban. Kuberanikan diri melihatnya, dia masih tetap memandangku dengan onyx tajam itu.

"Kau tahu, sejak dulu kau masuk di sekolah ini, aku kesal melihatmu. Apalagi kemarin, siapa kau sampai aku harus berkata tolong dan terima kasih padamu?" kata-kata itu benar-benar tajam dan menusuk. Aku semakin tidak berani menatapnya.

"Aku minta maaf, kumohon jangan menambah masalahku lagi, Uchiha-san." Demi apa pun aku ingin menyelesaikan ini sesegera mungkin.

"Kakak pecandu narkoba dan sedang hamil, keluarga terlilit hutang sebesar enam ratus juta yen, dan kau serta kakakmu terancam menjadi pelacur. Apa itu masalahmu, Haruno?"

Aku terbelalak, dari mana dia tahu tentang semua itu? Segera kuhampiri dia.

"Dari mana kau tahu? Kau ingin mengancamku?" persetan dengan segala sopan santun dan rasa takutku.

"Tidak, tapi aku menawarkan solusi." Masih dengan nada datar dia menjawabku.

"Aku bisa membayar semua hutang keluargamu, membuat Hozuki Suigetsu mendapat pelajaran dan bertanggung jawab, serta membantu rehabilitasi kakakmu, jika itu jawaban yang ingin kau dengar."

Oh, Tuhan, apa doaku dikabulkan?

"Ap-apa? Kau tidak bohong, kan?"

"Uchiha tidak pernah menarik kata-katanya." Dia berkata dengan kebanggaan seorang Uchiha. "Tapi ada satu syarat."

"Syarat apa itu? Akan kulakukan apa pun? Jika kau memang bisa menyelesaikan semuanya akan kulakukan apa pun!" kataku tergesa sambil mencengkeram kemejanya. Aku seperti kesetanan begitu mendengar dia bisa menyelesaikan semua masalahku. Apa pun akan kulakukan, bahkan jika aku harus membunuh pun tidak masalah.

"Baik. Akan kuselesaikan semuanya, syaratnya cuma satu." Hening sejenak di antara kami. Dia melihatku dengan tatapan tajamnya dan aku balas memandangnya dengan tatapan tidak sabar. Aku tidak peduli apa pun itu asalkan semua masalah kami bisa selesai.

"Syaratku. Haruno Sakura, kau harus melahirkan anakku."

.

.

.

Tbc

AN:

Hai, ini sudah chapter 2. Terima kasih atas reviewnya. Hubungan antara sasusaku pelan-pelan akan terbuka seiring dengan perkembangan cerita. Semoga kalian semua suka ya. Sekali lagi RnR please. Thank you.