Vovg : Iya, bingung memilih ide yang mana :D.. Thanks for read and Review :)
A/N : Halowww semua Readers dan Reviewers yang unyu nan kece :D Pasti kangen sama saya, kan? Hayo ngaku :D? –Oke lupakan ke gajelasan barusan. Maaf luwaaamaaa banget update, yah maklum lah kan lagi persiapan puasa dan tahun ajaran baru. (Alasan) :D And so, here we go..
.
.
.
Chapter 13
Warning! GAJE, LEBAY, OOC dan TYPO di mana-mana
Don't like don't read! I don't want any flames here!
.
.
.
Sherina bangun lebih awal dari biasanya, ia akan benar-benar berniat pergi ke kementrian pagi ini juga. Ia benar-benar berniat untuk mencari siapa orang tua kandungnya. Awalnya ia ingin ke kementrian sendirian, tetapi Draco dan Harry memaksa untuk ikut dengan alasan yang segudang. Oh mengenai Harry dan Draco yang 'tidak pindah-pindah' dari Hogwarts sejak kedatangan Sherina beberapa bulan lalu, Dumbledore sendiri yang menyuruh mereka tinggal disini. Yah, bisa dibilang situasi luar Hogwarts agak mencekam, beberapa tempat sudah dikuasai oleh para pelahap maut dan yah, Kau-Tau –Siapa. Apalagi setelah kejadian di penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap Draco itu, membuat Dumbledore lebih waspada dan menjaga Potter dan juga Malfoy junior ini.
"Baru jam empat pagi, lebih baik aku berjalan-jalan berkeliling kastil dulu sambil menunggu yang lain bangun. Lumayan lah untuk olahraga pagi." Pikirnya.
Sherina yang sudah selesai mandi langsung keluar dari ruangannya dan berjalan keluar kastil untuk menghirup udara segar. Menyusuri koridor-koridor yang diteragi cahaya api yang nyala-redup karena tertiup angin. Kastil masih sangat sepi sekali, hanya ada beberapa hantu saja yang berterbangan menembus tembok-tembok batu. Tentu mereka semua mengenal siapa Sherina itu, tetapi Sherina tidak mengenal semua hantu. Jelas saja, hantu Hogwarts kan banyak.
"Pagi, Sherina." Suara Sir Nicholas.
"Pagi Sir Nicholas." Balas Sherina sambil tersenyum, dan berlalu. Ia melanjutkan perjalanannya sambil melamun, ia Nampak sedikit galau memikirkan siapa orang tuanya.
Ia membayangkan betapa bahagianya jika bertemu kedua orang tuanya, memeluknya dan menjadi sebuah keluarga kecil yang utuh. Tapi ada hal lain yang membuatnya bertambah galau, yaitu bagaimana dengan orang tua angkatya jika ia memilih tinggal dengan orang tua kandungnya. Dan jika ia tinggal dengan orang tua angkatnya, ia merasa tak ingin lagii berpisah dari mereka –orang tua kandungnya setelah 17 tahun lebih ditinggalkan. Sherina mengerti, jika orang tua kandungnya melakukan ini karena suatu hal yang pasti ada penjelasannya. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak marah atau membenci orang tua kandungnya jika kebenaran itu sudah terungkap, dan itu sudah keputusan mutlak.
Namun tak hanya dua hal diatas, terkadang ia takut jika orang tua kandungnya takkan menerima dirinya. Meskipun ia tau jika tak ada orang tua yang membenci anaknya, tetapi entah kenapa perasaan itu enggan pergi dari benaknya. Dan itu hampir membuatnya putus asa, tetapi Sherina itu wanita yang kuat seperti ibunya. Ia tak mudah dipatahkan, dan sifat buruk nya, walaupun tidak banyak tetapi hampir semua menurun dari Severus. Mulai dari keras kepala, dan ambisius seperti seorang Slytherin.
Ia masih berjalan dan pikirannya masih dipenuhi sejuta pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Tetapi kepada siapa ia harus menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia menghela nafas panjang dan bermaksud untuk pergi ke menara Astronomi. Ia belum pernah kesana sebelumnya. kata Harry tempat itu memiliki pemandangan yang sangat indah. Dan mungkin itu bisa menyegarkan otaknya.
Baru setengah jalan menuju menara astronomi, ia bertemu dengan Severus, ayahnya. Entah apa yang ia lakukan di menara astronomi sepagi ini.
"Hai Profesor, selamat pagi." Ucap Sherina ramah.
"Pagi, apa yang kau lakukan disini sepagi ini?" Tanya Severus.
"Aku ingin menyegarkan pikiranku. Harry pernah bilang kepadaku jika cuaca pagi hari disini sangat indah saat pagi hari. Dan apa yang kau lakukan disini?" ia balik bertanya.
"dengan alasan yang hampir sama denganmu. Hanya saja bukan Potter yang memberitahuku." Ujarnya.
"Yah, kita memliki tujuan yang sama kalau begitu. Lebih baik kita menikmati matahari terbit sekarang." Saran Sherina.
Severus mengangguk.
Mereka menghadap tepat pada matahari terbit, keheningan tercipta diantara mereka. Sherina mencoba memecah keheningan itu. "Kau kemari setiap hari, Profesor?" Tanya Sherina.
"Tidak, hanya waktu-waktu tertentu saja. Dan bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk memanggilku ay—maksudku Severus." Ucapnya. Hampir saja ia keceplosan. Berharap Sherina tidak mendengar kata barusan.
"Tidak, aku menghormatimu dan karena itu aku memanggilmu dengan Profesor, atau mungkin Mr." balas Sherina.
"Oh baiklah, panggil saja Paman saat diluar jam sekolah." Ucap Severus.
"Paman, yah. Baik, Prof—Paman Severus." Ucapnya sambil memandang Severus dengan senyum senang. Severus kembali tersenyum kepadanya. Ia hampir tak pernah tersenyum kepada orang lain. Pada author pun tidak pernah! Ok, abaikan yang ini.
Sherina kembali menatap kedepan bersamaan dengan Severus. Sherina kembali terjun ke lamunannya. Sedikit melirik ke arah Severus, Sherina membayangkan betapa senangnya jika Severus adalah ayah kandungnya.
"Kenapa menatapku seperti itu?" suara lembut Severus tiba-tiba terdengar.
"Tidak. Tidak ada. Hanya saja.." Sherina terhenti dan menundukkan kepalanya, meringis.
"Ya.. Lanjutkan?"
"Hanya saja aku merasa merindukan orang tua kandungku, walaupun aku tak siapa mereka sebenarnya. 17 tahun aku terpisah dari mereka dan tinggal sangat jauh dari tempat kelahiranku." Jelasnya. Suaranya parau menandakan kesedihannya.
Mendengar hal itu, Severus merasakan sakit dari dalam dadanya. Ia berusaha sekuatnya untuk menyembunyikan rasa sakitnya, tetapi sekuat apapun ia menahannya, rasa sakit itu bertambah parah.
"Suatu saat kau akan menemukan mereka. Percayalah kepadaku." Jawab Severus.
"Ada hal lain yang membuatku takut. Jika aku sudah menemukan mereka, aku takut mereka tidak menginginkanku."
"Tidak! Kau salah! Mereka sangat menyayangimu." suara Severus agak tinggi.
"Bagaimana kau tau? Apa kau tau sesuatu tentang mereka?" Tanya Sherina penasaran.
Severus terdiam, menyadari perkataannya tadi menimbulkan kecurigaan Sherina muncul. Severus memutar otaknya lebih keras untuk menemukan jawaban yang tepat.
Tiba-tiba Severus terkekeh, "Yah, tak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya. Setiap orang tua pasti menyayagi anaknya, kau pasti tau itu, bukan?"
Sherina tersenyum, "yah, kau benar paman. Terima kasih."
Severus hanya tersenyum, menatapnya dengan sepenuh hati.
"Paman?" panggilnya.
"Ya?"
"Boleh aku meminta sesuatu?" pinta Sherina.
"Ya, tentu." Jawab Severus singkat.
"Bolehkah,,,um..Bolehkah aku memelukmu?" pintanya dengan wajah sedikit memelas.
"Apa? Kenapa?" jawab Severus kaget.
"Yah, jujur saja, aku merasa sangat nyaman dan aman saat berada disampinmu. Aku merasa begitu dekat denganmu. Dan saat pertama kita berjumpa, aku merasa seperti ada ikatan diantara kita, padahal kita belum saling mengenal sebelumnya."
Severus terdiam, tak tau harus berkata apa.
"Diam berarti Ya, kan?" goda Sherina.
"Er, baiklah." Akhirnya Severus angkat bicara, setidaknya ia ingin membuat anak gadisnya ini merasa nyaman.
Sherina memeluknya, mendekap ayahnya yang kandungnya. Ia memeluknya dengan erat, merasakan rasa hangat yang ia ingin rasakan lebih dari tujuh belas tahun. Andai ia tau jika Severus adalah ayahnya.
Severus merasa grogi awalnya, namun akhirnya ia membalasnya. Ia tau jika ia sedang memeluk anaknya yang pergi selama tujuh belas tahun. Sakit rasanya tidak mendapat kasih sayang dari orang tua kandungnya, seperti dirinya. Masa kecilnya yang suram, ia membenci ayah kandungnya. Ia selalu memukuli ibu-nya dan dirinya. Pulang pagi, kalau datang marah-marah dengan keadaan mabuk. Penderitaannya berakhir ketika ia menerima surat sekolah dari Hogwarts. Ibunya sangat senang mengetahui Severus seorang penyihir, hal sebaliknya terjadi kepada ayahnya. Ia tak ingin pulang kerumah saat liburan, tetapi karena ibu nya ia mengabaikan keinginannya menetap di Hogwarts. Betapa sedihnya saat ia pulang ibunya sudah tiada. Ayahnya menikah lagi dan pergi dari Spinner's End.
Sherina melepaskan pelukannya. "terima kasih, Ay—Paman. Kau membuatku lebih baik. Jika kau tidak keberatan, aku akan pergi ke kementrian sekarang."
Severus tersenyum dan mengangguk. "Good Luck."
.
.
.
Ia sudah bersiap, sekarang sudah menunjukkan tepat pukul tujuh. Sebelum berangkat, ia harus sarapan dulu. Di Great Hall sudah ditunggu oleh Draco dan Harry yang sepertinya sudah mencari-cari nya sedari tadi.
"Kau kemana saja?"
"Kau membuat kami khawatir tau!" ucap Draco dan Harry berurutan.
"Hanya jalan-jalan pagi, sedikit meregangkan saraf-sarafku ini. Sudah, ayo sarapan, kalian jadi ikut tidak?" Tanya Sherina.
"Iya jadi dong, kamu kan sahabat kami, jadi gak mungkin kami tinggal sendirian. Ya gak Drake?" Kata Harry.
"Yo'I Harr." Balasnya.
"Thanks guys." Ucap Sherina.
Mereka menikmati menu pagi yang sudah disediakan peri rumah, hanya makanan-makanan western saja, seperti sandwich dan lain-lain.
"Jadi, Dumbledore memberimu ijin ke kementrian hari ini?" Tiba-tiba suara Draco terdengar.
"Yah, begitulah. Dia orang yang baik." Ucap Sherina.
"Ah, ya, aku setuju." Timpal Harry.
.
.
.
"Ada yang bisa saya bantu, Mrs?" Tanya seorang pegawai di Kementrian ramah.
"Ah, ya, aku ingin mencari Mr. Willem Harcrom." Balas Sherina.
"Baik, silakan ditunggu Mrs…" dia terhenti.
"Tristy. Sherina Tristy." Kata Sherina.
"Baik, silakan ditunggu." Balas Wanita itu dan meninggalkan Sherina diruang tunggu.
Sherina, Draco dan Harry menunggu ditempat duduk yang sudah disediakan, menunggu panggilan dari wanita tadi, ia berharap jika mentri bernama Willem itu sedang ada dan bisa ia temui hari ini juga. Ia sudah tidak sabar menemui orang tua kandungnya.
"Tegang sekali, eh?" Ucap Draco tiba-tiba.
"Yah, sepertinya. Aku benar-benar deg-degan sekarang." Balasnya sambil menatap tajam kedepan.
"Rileks saja, semua pasti akan berjalan lancar." Ucap Harry, berusaha menenangkan sahabatnya.
"Aku tak tau ini rasa apa. campuran antara takut, deg-degan, tidak sabar dan masih banyak lagi. Aku tak bisa menjelaskannya." Ucap Sherina.
"Sudah, rileks saja." Sahut Draco, walapun sebenarnya ia juga ikut tegang.
-Sementara itu-
"Mr Harcrom, dia sudah datang." Ucap petugas itu tadi.
"Siapa?" Tanya Harcrom tak paham.
"Dia, Sherina Tristy. Anak dari Blade."
"Benarkah? Secepat ini?" Willem menatap petugas itu kaget.
"Ya, dia sedang menunggu diruang tunggu."
"Baiklah, segala persiapan sudah siap dan sekarang suruh ia masuk. Dan bersama siapa saja ia?" Tanya nya sekali lagi.
"Bersama Tuan Malfoy dan Potter." Balasnya.
"Oh baiklah, suruh Sherina saja yang masuk." Ucapnya.
Petugas itu keluar dari ruangan Willem dan menemui mereka bertiga yang masih duduk di ruang tunggu.
"Nona Tristy, silakan masuk. Pak Mentri sudah menunggu."
Sherina bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju ruangan Willem yang tak jauh dari ruang tunggu. Menoleh kembali ke temannya, Harry menganggukkan kepalanya. Sherina berjalan dalam diam, menatap pintu itu lekat-lekat. Sampai akhirnya Ia sampai didalam dan disambut hangat oleh Willem.
"Halo, Mrs, Senang bertemu dengan anda." Ucap Willem.
"Aku juga, Mr Harcrom." Kata Sherina.
"Silakan duduk."
"Terima kasih." Ucap Sherina.
"Jadi, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Willem dengan sedikit bosa-basi.
"Aku ingin mencari orang tua kandungku." Ucap Sherina.
"Oh, ya. Lalu, jika saya boleh tau, siapa nama orang tua kandung Anda?" Tanya Willem.
"Itu masalahnya, aku tak tau apa-apa tentang orang tua kandungku. Yang aku tau hanyalah; mereka adalah penyihir dari Inggris. Itu saja." Jelasnya parau.
"Oh, bisa ku lihat. Lalu, bagaimana Anda bisa mengenali orang tua kandung anda?" Tanya Willem lagi, ia mencoba membuat perbincangan ini selama mungkin untuk memperlambat waktu.
"Maka dari itu saya datang ke Kementrian untuk mencari kebenarannya. Jadi saya sangat memohon kepada anda untuk membantu saya." Ucapnya memelas.
"Oh, baiklah Mrs., Saya akan membantu sejauh yang saya bisa. Jadi, silakan ikut saya menuju labolatorium sihir." Ucap Willem.
"Oh, baiklah. Tentu saja." Kata Sherina.
-Sementara Itu Draco dan Harry-
"Eh, Potty, kau merasa ada yang aneh tidak antara Sherina dan Profesor Snape?" Tanya Draco.
"Ya, sedikit. Memang kenapa?" Tanya Harry balik.
"Aku punya satu-dua hal yang tidak—belum aku ceritakan padamu tentang mereka."
"Apa memang?" Tanya Harry antusias.
"Kau ingat saat penyerangan itu?"
"Ya, kenapa?" Tanya Harry semakin penasaran.
"Saat Sherina berusaha menyelamatkan aku dan tawanan lainnya, Sherina kan dikepung oleh Barty dan Ayah angkatku. Saat itulah, Profesor Snape datang menyelamatkannya dan mengorbankan nyawanya demi Sherina. kau tau kan ia seorang Death eaters?"
"Ya, lanjutkan."
"Setahuku, Profesor Snape hanya mengorbankan nyawanya hanya untuk orang-orang yang berarti saja. Dalam artian, ia nekat mengorbankan topeng mata-matanya demi menyelamatkan satu orang. Sepertinya itu sangat ganjil. Kau pastinya tau sendiri jika Profesor Snape merupakan kepercayaan Dark Queen, dan abdinya yang paling setia."
"Yah memang ganjil. Aku merasa jika mereka pasti ada sebuah ikatan, dan kenapa mereka menyembuunyikannya?"
"Bingo! Potty, kau pastinya tau kan tujuan utama Sherina ke Inggris?" Tanya Draco.
"Ya. Mencari orang tua kandungnya, kan?"
"Tepat sekali, ia pernah bilang kalau orang tuanya adalah penyihir dari Inggris. Kau pasti tau maksudku, kan?" Tanya Draco lagi.
"A, a,a.. Jangan bilang kau mau mengatakan kalau Profesor Snape adalah ayahnya.! Kau sendiri yang bilang kepadaku kalau Profesor Snape hanya setia kepada satu orang saja dihidupnya." Bantah Potter.
"Orang-orang berubah, Potter!" bantah Draco balik.
"Dan jika Profesor Snape ayahnya, kenapa ia pergi ke kementrian pagi ini? Dan siapa ibunya?"
"Jika feeling ku benar, ibunya adalah Profesor Blade." Draco menerka-nerka.
"Kau jangan mengawur! Bisa-bisa jika Profesor Snape dan Profesor Blade dengar, bisa habis riwayatmu!" skak Harry.
"Aku bicara apa yang feelingku bilang, tidakkah kau lihat cara mereka bicara?" jelas Draco lagi.
*PlAKKKK*
Harry memukul pipi Draco, memastikan agar temannya ini tidak gila ataupun ngelindur.
"Apa apaan kau ini?" ucap Draco memegang wajahnya.
"Aku hanya memastikan kau tidak ngelindur ataupun gila. Dan berhenti bicara yang tidak-tidak, jika orang dengar bisa tamat kita." Ucap Harry.
"Yah, baiklah. Tapi aku masih percaya kepada Feelingku." Balas Draco.
"huuh.." desah Harry.
_Back to the Sherina n Willem_
Sherina memandang ruangan itu aneh, banyak sekali botol-botol dan cairan-cairan aneh.
"Selamat datang di Labolatorium kami. Silakan duduk dan tunggu hingga kami mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan." Ucap Willem
Sherina duduk di kursi tua yang sudah disediakan. Menunggu dengan was-was, apa gerangan yang akan dilakukan mereka.
Beberapa menit kemudian, Willem datang dengan beberapa orang pria yang membawa sebuah kotak persegi panjang kecil. Sherina hanya mengerutkan dahi melihatnya.
"Anda akan melakukan dua buah tes, jika salah satu tes ini berhasil, maka anda akan tau siapa orang tua kandung anda. Anda siap?" Ucap Willem.
"Yy..ya, saya siap." Ucap Sherina.
"Baiklah, boleh saya lihat tongkat sihir Anda?" pinta Willem. Ia mengambil tongkat Sherina dan mengembalikannya lagi, ia meminta Sherina untuk melambaikannya sambil membaca sebuah mantra aneh yang tidak ia kenal.
Sinar berwarna merah keluar dari tongkat sihirnya, Willem melihatnya dengan ekspresi datar. Sherina tak tau apa artinya warna merah itu, apakah berhasil? Atau tidak?
"Er, mari kita coba tes kedua." Ucap Willem.
"Apa teskedua? Dan apa itu artinya tes pertama gagal?" Tanya Sherina.
"Sayangnya kami harus mengatakan jika tes pertama gagal, jika tes tadi berhasil maka akan berubah menjadi hijau. Maka dari itu kita coba tes kedua. Jika ini berhasil, darah anda akan terserap masuk ke kotak ini dan menunjukkan apa marga orang tua anda. Dan jika tidak, darah anda tetap akan berada di permukaan kotak ini, ." Balas Willem yakin. Dalam hati ia membatin, rencana nya tadi berhasil.
Sherina menjadi pucat, ia takut jika tes yang terakhir ini akan gagal lagi. Ia berdoa kepada Tuhan, agar ia berhasil melewati tes ini.
"Baiklah, tes kedua akan sedikit menyakitkan. Yakni, kami akan mengambil sedikit sampel darah Anda. Tenang, tidak akan banyak. Hanya beberapa tetes saja. Tak perlu banyak-banyak."
Dua orang petugas yang bersama Willem itu mengeluarkan tongkat sihirnya, yang satu memegangi kotak itu dibawah tangan Sherina.
Crass…
Satu goresan menghasilkan beberapa tetes darah yang menetes kebawah, tepat pada kotak itu. Sang pemegang kotak itu mengangkat kotanya dan meletakkannya dimeja depan Sherina. Mereka menunggu, terutama Willem dan Sherina, jika tes ini berhasil, maka Willem dinyatakan gagal dalam tugasnya.
Satu menit, dua menit, sampai lima menit darah itu tak kunjung terserap dan tidak menunjukkan nama marga orang tua mereka. Sherina sudah putus asa.
"A..apa? tidak..ini harus berhasil!"
"kami minta maaf, Mrs., tapi kami tidak bisa memungkiri jika kedua tes ini gagal. Kami sudah berusaha berusaha membantu semampu kami, tetapi hanya ini yang bisa kami lakukan." Ucap Willem.
"Sekali lagi, maafkan kami." Ucap Willem.
"Tidak, kalian tidak bersalah, dan tak perlu minta maaf. Kalian sudah berusaha semampu kalian, tetapi memang ini yang sudah ditakdirkan. Aku akan tetap mencari orang tuaku sampai ketemu." Ucapnya berusaha tegar.
"Sekali lagi maafkan kami." Ucap Willem.
"Tak apa, saya permisi dulu." Ucap Sherina meninggalkan Lab dengan tangan kosong.
Sherina menghampiri Draco dan Harry, dengan perasaan kecewa yang begitu besar.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Harry tak sabar.
"Nihil." Ucapnya lirih.
"APA? TIDAK MUNGKIN! BAGAIMANA BISA?" Tanya Draco heboh.
"Ayo kita kembali ke kastil, dan akan kujelaskan semua disana."
.
.
.
TBC
.
.
.
-Sementara itu-
Willem mengambil perkamen kosong, ia akan mengirim surat kepada Blade.
Mrs, Blade…
Mrs. Tristy sudah menjalani dua tes yang saya berikan. Dan saya memanipulasi hasilnya seperti yang anda minta sebelumnya. Jadi, saya mohon untuk tidak mengatakan ini kepada siapapun.
W. Harcrom.
Surat milik Willem pergi menuju Hogwarts secara otomatis untuk menyampaikannya kepada sang penerima. Dalam beberapa menit saja sudah sampai di kantor Blade. Ia bergegas menuju ruangan Snape di bawah tanah unttuk memberitahukan surat ini.
Tok..tokk..tokk..
Ia mengetuk pintu besar itu, menunggu jawaban dari Severus.
"Masuk."
Rovine masuk dan menutup kembali pintunya. Ia langsung berbicara tentang inti permasalahan.
"Severus, aku mendapat surat dari kementrian." Ucap Blade
"Benarkah? Ayo lihat."
Mereka berdua membacanya dengan teliti tak ingin melewatkan satu huruf saja dari surat itu.
"Yah, sekarang tinggal kita tunggu saat yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana jika saat ulang tahunnya yang ke delapan belas, bulan depan.?" Tawar Severus.
"Ya, ide yang bagus. "
.
.
.
BENAR-BENAR TBC xD
.
.
Author : Ok, cut! Acting kalian bagus sekali.
Draco : Baru tau?
Author : hehehe..
Draco : ini kebanyakan typo, salah penggunaan kata dan OOC! jadi REVIEW?