Uchiha Sasuke―27 tahun, tampan, pengacara terkenal, temperamen, perfeksionis. Haruno Sakura―17 tahun,kabur dari panti asuhan, polos, spontan, tidak peka. Ada yang bisa membayangkan apa jadinya jika mereka berdua berinteraksi?
.
.
.
.
NAIVE
Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya cuma minjam tokoh-tokohnya aja
Story by Morena L
Warning: AU, OOC, typo, terinspirasi dari Ingenuo, dldr
.
.
.
.
.
"Kalau aku meminta Anda menjadi milikku dan Ibu, apa Anda bersedia?"
"Apa kau akan senang kalau aku menyanggupinya?"
Sakura menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap wajah pria yang merupakan ayah kandungnya itu. Begitu juga dengan Karin, wanita itu bahkan jauh lebih gelisah dibanding putrinya.
"A-anak mana yang tidak senang jika bisa bersama keluarga yang utuh."
Karin tak ingin situasi ini berkembang ke arah yang tidak dia inginkan. Wanita itu harus segera melakukan sesuatu. "Sakura, masuk ke dalam."
Sakura masih tak beranjak. "Aku ingin berada di sini, Bu."
"Sakura—"
"Karin, biarkan dia di sini. Dia memang harus di sini. Putriku bukan anak berumur lima tahun," cegah Tobirama tegas.
"Aku cukup sibuk minggu depan, tapi akhir pekanku akan kukosongkan untukmu," ujarnya pada Sakura, "kau akan mendapatkan jawabanmu nanti."
Demi apa pun, ayah dan anak ini benar-benar membuatnya sakit kepala sekarang! Kenapa tak ada satu pun dari mereka yang mencoba mengerti posisi Karin? Sebelum Tobirama kembali muncul, hidup Karin baik-baik saja. Sungguh, Karin tak ingin mengulang kesalahan yang sudah dia lakukan di masa lalu.
oOo
Sakura menghampiri Karin yang sedang duduk sambil memegang kepalanya—Senju Tobirama telah pergi hampir setengah jam yang lalu. Dari ekspresi Karin, gadis itu bisa menebak kalau masalah ini sungguh pelik, bisa saja jauh lebih pelik daripada yang dia pikirkan. Namun gadis itu sudah bertekad, kali ini dia tak ingin mundur.
"Ibu, apa aku sudah membuat kesalahan?"
"Sudahlah," jawab Karin tanpa mengangkat kepalanya, "Ibu akan mengurusnya, kau konsentrasi saja dengan sekolahmu, ya."
Reaksi Karin bagaikan tamparan keras untuknya. Karin pasti sedang pusing sekarang. terlalu banyak konflik yang dihadapi ibunya saat ini. Sakura yakin bukan hanya fisik ibunya yang lelah, tapi juga psikisnya. Seketika dia merasa telah menjadi anak durhaka yang hanya bisa menyusahkan saja.
Tak diragukan lagi, gadis itu pasti sudah membuat bencana besar dalam hidup ibunya. "Ibu maafkan aku," ucapnya sambil meraih salah satu tangan karin. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Kenapa dia tak menyadarinya sejak awal? "Aku pasti sudah membuatmu susah, aku memang hanya mendatangkan masalah untukmu."
"Tidak." Karin melembutkan suaranya. "Kau anakku yang berharga, kau tak pernah membuatku susah. Sudah menjadi tugas orangtua untuk melindungi anaknya, Ibu yakin pasti hal itu juga yang ada dalam pikiran ayahmu.
"Sekarang kau tak perlu memikirkan hal ini, ingat kan nanti kau punya janji dengan ayahmu."
Sakura mengangguk.
"Sekarang mari kita bicarakan hal lain, ini tentang masa depanmu." Gantian Karin yang memegang kedua tangan putrinya. "Aku sudah memikirkan tentang ini cukup lama. Sakura ...," Karin memberi jeda sebentar. "... Ibu akan memutuskan kontrakmu dengan K2."
"Kenapa, Bu? Aku suka bekerja di sana, aku akan bekerja keras agar tidak mempermalukan Ibu," seru Sakura terkejut. Dia sungguh tak percaya kalau kontraknya akan diputus begitu saja.
"Sakura, aku merekrutmu untuk proyek K2 karena aku melihat potensi dalam dirimu, tapi hal itu terjadi sebelum aku tahu kalau kau adalah putriku. Kalau kau terus bekerja di sana, maka urusannya akan menjadi rumit. Kau bisa saja terus berada di sana, tapi apa kau sanggup menerima tatapan negatif dari banyak orang?
"Mereka akan menganggap kau hanya memanfaatkan posisiku di K2 dan seandainya kau mendapat proyek di tempat lain, kau bisa saja kembali dianggap menggunakan pengaruhku. Apa kau menyukai profesi model? Apa kau ingin serius menekuninya? Kalau iya, aku yakin sebagai ibumu kalau harga dirimu akan terluka jika terus dikaitkan kalau kau mendapatkan pekerjaan hanya karena kau adalah anakku."
Satu lagi alasan yang membuat Sakura terus merasa ditampar.
Inilah dunia nyata. Semakin lama, Sakura semakin menyadari kerasnya kehidupan yang harus dia hadapi. Dunianya sekarang sudah bukan lagi dunia anak-anak yang penuh dengan canda tawa atau mimpi, ini adalah dunia yang sulit. Jika dulu dia sering melarikan diri, maka sekarang semua harus dia hadapi. Sakura memikirkannya kembali, Ibunya pasti sudah mempertimbangkan hal tersebut matang-matang. Karin benar, Sakura pasti akan kesal jika terus dikaitkan dengan ibunya. Bukan hanya itu, Karin sendiri pasti akan mendapat banyak tudingan miring. Tidak, dia tak mau hal itu terjadi. Sakura tak mau kalau sampai orang-orang yang berada di dekatnya mendapat hal buruk.
"Ajari aku, Bu."
Karin dapat merasakan kalau genggaman tangan Sakura semakin kencang.
"Aku ingin serius dengan profesi ini, ajari aku dan aku berjanji tak akan membuat Ibu malu."
"Sakura, kau tak perlu mengkhawatirkan Ibu, yang paling penting bagi Ibu adalah dirimu."
"Pokoknya ajari aku," ucap Sakura bersemangat.
Karin tersenyum. Baguslah kalau gadis kesayangannya itu menjadi antusias. Tadinya dia khawatir kalau Sakura menjadi bertambah sedih, ternyata tidak, Sakura bisa menerimanya. Sisi posotif yang lain, Sakura agaknya lupa dengan masalah mengenai Tobirama. Untuk saat ini, Sakura tak perlu tahu tentang yang satu itu.
Sakura tak perlu tahu kalau ayahnya sudah mempunyai istri.
Dan sesungguhnya, hal tersebut adalah sumber kekhawatiran terbesar Karin. Putrinya pasti akan jauh lebih sedih kalau mengetahuinya. Apalagi, kalau sampai dia tak bisa memiliki ayahnya. Apa yang harus dia lakukan kalau hal itu terjadi?
oOo
Pada saat yang sama, Tobirama dengan mantap menuju ke kediaman Kakashi. Uchiha Sasuke mengatakan kalau Kakashilah yang memisahkan Karin dengan Sakura, kalau itu benar, maka itu tandanya Hatake Kakashi sudah membahayakan pertemanan mereka.
"Prediksiku benar, kau datang," ucap Kakashi sambil membuka pintu rumahnya.
"Kau pasti sudah memprediksi aku datang karena apa," balas Tobirama ketika melewati pintu rumah itu.
"Aku sudah menyiapkan minuman yang lebih keras dari biasanya."
"Bagus, karena aku sudah menyiapkan peluruku."
Mendengar itu Kakashi tertawa. Atmosfer di tengah mereka cukup berat, tapi mereka adalah teman lama. Mereka saling tahu tentang isi kepala satu sama lain. Salah satu dari mereka bisa mati malam ini atau pertemanan mereka malah akan baik-baik saja.
"Bagaimana kalau di halaman luar saja? Tamanku cukup bagus dan malam ini langitnya indah, seandainya ada yang mati, maka kematiannya juga pasti akan sangat indah. Ah, apa perlu kutambah musik orkestra?" Terdengar seperti sebuah kencan indah yang disiapkan dengan sempurna. Sayang sekali, ini bukanlah kencan dengan pasangan yang diinginkan. Segala hal bisa terjadi, yang baik maupun yang buruk—lebih tepatnya yang paling buruk. Jika semua terselesaikan dengan baik, bukan tidak mungkin persahabatan mereka justru bertambah erat.
"Tak perlu."
Kakashi mengangguk dan memandu Tobirama menuju ke halaman luar rumahnya. Pria itu juga memerintahkan seluruh anak buahnya untuk pergi. Pembicaraan empat mata ini tak boleh diganggu siapa pun. Di tengah taman itu terdapat meja putih berbentuk lingkaran yang dikelilingi empat kursi yang juga berwarna putih, di dekatnya ada sebuah kolam yang cukup besar, bagian tengah kolam memantulkan bayangan bulan setengah purnama yang sedang bersinar indah.
"Jadi, kauingin aku mulai dari mana?" tanya Kakashi antusias.
"Langsung saja, kau yang memisahkan mereka?"
"Ya," jawab Kakashi tanpa ragu.
Rahang Tobirama mengeras. "Kau bekerja sama dengan Mei?"
"Tidak." Sekali lagi, jawaban tanpa sedikit pun keraguan.
"Kau yang membantu Karin pergi menjauh dariku dulu?"
"Ya."
"Kau yang menyembunyikannya saat dia dicari dulu?"
"Ya."Semua dijawabnya dengan jujur tanpa ada kebohongan sedikitpun. Jawaban singkat, tetapi Tobirama sudah mengetahui apa makna dibaliknya.
"Kautahu dia sedang hamil saat meminta kau membantunya pergi?"
"Ya."
"Kau yang memasukkan putriku ke panti asuhan?"
"Ya."
"Apa kepala panti itu orangmu?"
"Ya."
"Kudengar putriku sering diikuti sejak dia masih kecil. Apa itu orangmu juga?"
"Ya, tapi, bisa juga ada pihak lain yang melakukannya."
"Jelaskan."
Kakashi mengambil napas sejenak. "Pemilik panti saat ini sudah dibunuh. Putrimu diikuti orang tak dikenal, tapi orangku bisa melindunginya dari jauh sampai akhirnya dia bertemu Uchiha Sasuke dan tinggal bersamanya."
"Apa kau membiarkan dia bersama Uchiha Sasuke karena tahu ada kemungkinan Karin bertemu dengannya?"
"Ya."
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Privasi."
"Kau memang brengsek, Hatake." Tobirama mengangkat pistol yang entah sejak kapan sudah berada dalam genggaman tangannya.
Namun, Kakashi terkekeh. "Aku terima ucapan terima kasihmu."
"Sialan, mana minumanku?" Pistol Tobirama masih belum turun. Menyadari tatapan Kakashi pada ujung pistolnya, Tobirama menembakkan satu peluru ke arah kolam sebelum menyimpan pistolnya.
"Kau tidak menanyakan alasanku melakukan semua itu?" tanya Kakashi penasaran.
"Tak perlu. Aku sudah tahu dari semua jawabanmu."
"Oh."
"Dia milikku."
Kakashi meberikan senyumnya sebagai jawaban. Kesetiaan dengan partner adalah prinsip utamanya dan Kakashi tak pernah mengkhianati prinsip yang sudah dia buat selama bertahun-tahun. Tobirama bisa percaya padanya.
"Sekarang duri yang harus kusingkirkan tinggal Uchiha sialan itu."
"Masih ada Mei. Bisa saja dia melakukan sesuatu. Kau tak melupakannya, kan?"
"Aku tahu, tapi kali ini ada aku untuk melindungi mereka. Mulai sekarang, kau jangan ikut campur lagi kecuali aku yang meminta." Sekarang dia tak akan melewatkan apa pun lagi seperti dulu. Semua kenangan yang hilang akan mendapatkan tebusannya. Sakura akan mendapatkan apa yang memang sudah layak dia dapatkan, itu janji Senju Tobirama.
"Aku mengerti," timpal Kakashi, kedua tangannya diangkat tanda menyerah.
"Hanya saja aku tidak berpikir kalau itu perbuatan mantan istriku."
"Maksudmu?"
"Aku sudah memberikan kompensasi yang sangat besar untuk Mei," ujar Tobirama menimbang-nimbang sesuatu yang ada di dalam pikirannya, "aku tahu dia berada di K2 juga sekarang. Dia mungkin hanya menggertak Karin, ya, kau pasti tahu Kakashi, semacam mengganggu musuh lama. Karena itu, aku tidak yakin kalau dia yang mengejar putriku." Tobirama sangat yakin masalahnya dengan Terumi Mei sudah selesai. Ada yang aneh, dia harus bergerak cepat sebelum putrinya benar-benar dalam bahaya.
"Kupikir kita mulai menyelidiki apa saja yang dilakukan Karin setelah melahirkan Sakura. Saat itu dia hanya tahu kalau anaknya meninggal. Dia pergi, memulai hidup baru sampai dia berada pada posisinya yang sekarang ini. Kita tidak tahu apa saja yang dia lakukan selama itu."
"Masuk akal."
Kedua pria itu mulai meminum minuman yang dibawakan pelayan Kakashi sembari berbagi tentang detail kejadian belasan tahun yang lalu. Tobirama mendengarkan dengan saksama, pria itu terus bergeming sambil mendengarkan setiap kata dari mulut Kakashi. Sesekali tanpa disadari tangannya mengepal. Membayangkan kehidupan yang dilalui putrinya selama ini membuatnya sedikit terpengaruh oleh amarah. Ditambah lagi mereka belum mendapat petunjuk sama sekali mengenai pihak lain yang mengikuti Sakura. Ketidakberesan ini harus segera terpecahkan sebelum segalanya terlambat.
.
.
.
oOo
.
.
.
Ketika kembali ke sekolah, Ino sudah menanti Sakura dengan seribu macam pertanyaan. Dia langsung menarik Sakura saat sahabatnya itu sudah menampakan diri di pintu kelas. Tempat favorit mereka untuk berbagi cerita adalah di tangga menuju ke atap sekolah, tempat yang sangat jarang dikunjungi murid-murid lain. Sebagai sahabat, sudah tentu dia khawatir dengan kondisi Sakura. Namun, selain cemas, gadis itu juga ingin memuaskan rasa penasarannya. Keadaan yang Sakura alami akhir-akhir ini sepertinya jauh lebih menarik dari film laga apa pun—tapi, tetap hal itu tak mengurangi rasa simpatinya sebagai sahabat baik Sakura.
"Maaf, Ino-chan, untuk saat ini aku belum bisa memeritahukannya padamu," ucap Sakura setelah mereka tiba di tangga dan Ino menyampaikan maksud tindakannya buru-buru menarik gadis itu.
"Masalahmu pasti lebih rumit dari yang kupikirkan, ya?"
"Hm," jawab Sakura disertai anggukan.
"Tidak masalah, aku akan terus mendukungmu."
Sekali lagi Sakura mengangguk.
"Oh, ya. Aku tak keberatan kalau kau berkencan dengan Menma."
"EH?" teriak Sakura. Dia bahkan sampai menganga tak percaya.
"Kenapa kaget begitu? Memangnya kau tidak sadar kalau dia sedang mendekatimu?"
Pikiran Sakura berubah tak menentu. Yang benar saja? "Mungkin hanya perasaan Ino-chan saja. Hubungan kami tak seperti itu."
"Tsk, kau ini, ya. Sudah sejelas itu dia mendekatimu, kenapa masih tak sadar? Sekali melihat cara dia menatapmu saja aku langsung tahu kalau dia suka padamu. Dia memang mantan pacarku, tapi aku tak keberatan kalau kalian berasama. Toh, kami dulu hanya cinta monyet. Aku sudah tak suka padanya, aku ingin mencari yang lebih dewasa seperti Paman Sasukemu itu, pria dewasa—"
"TIDAK BOLEH!" sekali lagi Sakura menjerit.
Ino terdiam sesaat sesaat sebelum tertawa terpingkal-pingkal. "Kau selalu seperti itu setiap kali aku menyebut nama Paman Sasuke. Aku yakin kau tidak mendengarkan ucapanku sejak tadi. Namun, telingamu langsung on saat mendengar nama Paman kesayanganmu itu."
"Berhenti menggodaku," gerutu Sakura sambil memanyunkan bibirnya.
"Menma atau Paman Sasuke?" tanya Ino jail. Wajah Sakura yang memerah semakin membuatnya ingin menggoda gadis itu. Reaksi sahabatnya malah terasa lucu bagi Ino. Hilang sudah niatnya untuk menanyakan keadaan Sakura, sekarang dia lebih tertarik untuk mengganggu sahabatnya itu.
"Kalau kau hanya ingin menggangguku lebih baik aku pergi saja," seru Sakura yang mulai bertambah kesal.
"Hei, tunggu aku," teriak Ino yang sudah ditinggalkan Sakura, masih diiringi tawa kecil dia berlari mengejar Sakura.
Ya sudah, sepertinya masalah yang Sakura yang hadapi memang pelik. Ino akan tetap diam dan menunggu sampai Sakura sendiri yang akan bercerita padanya. Lagi pula, dia bukan tukang gossip yang sibuk mencari info ke mana-mana. Dia hanya akan memantau dan membantu sebisanya. Sakura sendiri yang pasti akan datang padanya kalau gadis itu butuh teman berbagi. Namun, Ino sungguh-sungguh tulus saat menagatakan dia tidak keberatan pada hubungan Sakura dan Menma—seandainya mereka memang berkencan di masa depan—karena dia dan Menma memang tak pernah punya hubungan serius.
Keduanya adalah sahabat baik sampai sejauh ini. Walau belum lama, tapi mereka saling percaya satu sama lain. Namun, terkadang suatu persahabatan butuh goncangan. Pada saat itulah, baru diketahui persahabatan mereka itu sejati atau tidak. Ikatan yang mereka miliki betul-betul kuat atau hanya sebuah ikatan rapuh yang mudah diputuskan.
oOo
"Haruno Sakura."
"Ya, Sensei." Sakura langsung maju begitu mendengar namanya dipanggil Hinata. Ketika masuk kelas, wali kelasnya itu memberikan tes mendadak yang langsung diperiksa setelah selesai dikerjakan.
"Sudah, bagus. Tingkatkan lagi, ya."
"Baik, Sensei."
Sakura memajukan tubuhnya setelah melihat jemari Hinata memberika kode untuk mendekat. "Pesan dari Sasuke, dia akan menjemputmu sore ini," bisik Hinata padanya.
Tahan ekspresimu itu, Sakura. Tahan! Instruksi gadis itu pada dirinya sendiri. Senyum lebar hampir memenuhi seluruh wajahnya. Dia melirik ke arah Ino dan sahabatnya itu memberikan senyum penuh arti, seolah dia paham apa yang dibisikkan Hinata pada Sakura mengingat Ino tahu perihal hubungan di antara suami wali kelas mereka dan Sasuke. Kalau sudah begini, maka Sakura harus siap digoda lagi habis-habisan.
Sejak menerima pesan dari Sasuke, waktu bergerak sangat lambat bagi Sakura. Gadis itu seperti tak sabar menanti jam pulang sekolah. Detik demi detik berlalu dengan kecepatan yang lebih rendah dari kecepatan seekor siput. Menunggu satu jam rasanya seperti melewati bintang yang berjarak jutaan tahun cahaya. Sangat lama, sungguh menyebalkan.
Oh, ayolah, siapa pun yang menekan bel tanda pelajaran berakhir segeralah tekan tombol itu!
Begitu bel pulang terdengar, maka detik itu juga Sakura seperti ahli geologi yang berhasil menemukan fosil dinosaurus langka berusia jutaan tahun. Hampir saja gadis itu melonjak kegirangan dan meneriakan, "EUREKA!" sekencang-kencangnya. Sakura meraih tasnya dan berlari keluar, melewati Menma yang sedang melangkah ke kelasnya begitu saja.
Tidak, tidak, tidak. Sakura tak boleh kelihatan terlalu bersemangat. Siapa tahu Paman Sasuke ada perlu dengan ibunya—ini tidak seperti Paman Sasuke sedang mengajaknya berkencan saja. Tahan dirimu Sakura!
Sakura memelankan langkah kakinya. Berusaha keras agar terlihat biasa saja. Menyadari senyumnya terlalu lebar, gadis itu mengatupnya bibirnya rapat-rapat. Jangan sampai dirinya terlihat terlalu bersemangat karena dia akan malu sendiri kalau maksud kedatangan Sasuke ternyata berbeda dengan yang ada di dalam kepalanya. Seetelah sampai di gerbang sekolah, kepalanya bergerak lincah, mencari di mana Sasuke memarkirkan mobilnya.
"Cari siapa?"
Sakura melompat ke belakang karena kaget ada suara yang tiba-tiba terdengar dari belakang telinga kanannya. "Paman seperti hantu saja," keluhnya sambil mengelus dada.
"Hn." Tanpa berkata apa-apa, Sasuke segera berjalan menjauhi gadis itu.
"Paman?"
"Ayo," ajak Sasuke yang sudah meninggalkan gerbang sekolah.
Sakura agak kepayahan mengejar langkah kaki Sasuke yang lebih lebar darinya, belum lagi kecepatan pria itu membuat sang gadis seperti setengah berlari untuk bisa mengimbanginya. Sebenarnya mereka mau ke mana, sih? Sasuke terus saja berjalan tanpa peduli Sakura yang kesusahan mengejarnya. Jadi, di mana Sasuke memarkir mobilnya? Ya ampun, kalau begini terus lebih baik Sakura mendaftar saja untuk mengikuti lomba lari maraton karena yang dia lakukan sekarang seperti tak ada bedanya. Apalagi, dia harus menenteng tas sekolahnya sendiri.
"PA—" Perkataan Sakura terhenti karena tubuhnya menabrak tubuh sang paman yang tiba-tiba berhenti di depannya. Tsk, pamannya ini kenapa? Apa Sasuke salah makan sesuatu di pagi hari? Jangan-jangan, malah pamannya itu sedang kerasukan roh jahat?
"Kita naik bus dari sini." Tak memedulikan tatapan kesal bercampur tak percaya dari Sakura, pria itu langsung masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti. Gadis itu mengembuskan napas lelah, kalau mau naik bus, kenapa mereka harus berjalan cukup jauh? Mereka bahkan melewati dua perhentian bus tadi. Mungkin kepala Sasuke perlu dipukul dengan keras memakai tas sekolahnya itu agar kewarasannya kembali. Namun, karena tak ingin ditinggal sendiri, mau tak mau Sakura tak punya pilihan lain selain kembali mengikuti Sasuke.
Sesampainya di dalam, bukannya duduk, pria itu malah berdiri dan Sakura diberi kode untuk berdiri bersamanya. "Paman, masih ada beberapa tempat kosong. Kita duduk saja, bagaimana?" bujuk gadis itu setengah frustrasi. Dia sama sekali tak mengerti dengan semua tindakan Sasuke sejak tadi. Rasa frustrasinya terus memuncak tatkala Sasuke menggelengkan kepalanya. Pria itu malah memutar badan Sakura agar membelakanginya.
DEG!
Sedetik kemudian Sakura tak jadi marah karena tubuh mereka berhimpit begitu dekat. Seketika gadis itu lupa kalau dia hendak marah pada sang paman. Satu, dua, tiga, Sakura bahkan bisa menghitung detakan jantungnya sendiri. Sasuke masih tak mengatakan apa pun. penumpang yang semakin banyak membuat Sakura terus didorong menekan tubuh Sasuke.
Kalau seperti ini, dia akan susah untuk berpikir.
"Paman—"
"Kita sampai," ujar Sasuke sambil menarik tangannya, membantu gadis itu untuk turun dari dalam bus.
Sakura semakin diliputi kebingungan kala mendapati mereka ternyata turun di perhentian bus yang berada di dekat gedung apartemen yang ditinggalinya.
"Paman, kau pasti sedang mabuk," ujarnya menarik kesimpulan. "Lebih baik kau pulang saja dan tidur atau mengurusi kasus-kasusmu."
Sasuke malah melirik jam tangannya. "Masih ada satu jam lagi sebelum ibumu pulang, buatkan aku kopi—" Kali ini Sasuke yang tak dapat menyelesaikan kalimatnya karena kepala belakangnya dipukul dengan kencang. "HEI!"
"Aku hanya ingin memastikan kalau Paman tak sedang mabuk, kerasukan roh jahat, salah minum obat, keracunan makanan, atau apa pun itu!" seru Sakura dalam satu tarikan napas, tak peduli lontaran perkataannya itu terdengar jelas atau tidak. Napasnya sendiri ngos-ngosan karena tak percaya dia sudah memukul kepala Sasuke dengan tasnya. Sasuke pasti marah besar. Tamatlah riwayat Sakura hari ini.
oOo
Di luar dugaan, Sasuke malah tak marah. Dia hanya melihat gadis itu beberapa menit sebelum sekali lagi memintanya membuatkan kopi. Sasuke juga tak berkata apa-apa ketika menunggu Sakura memanaskan air di dapur untuk membuatkan pesanannya. Tak perlu bertanya mengenai kebingungan Sakura. Semua aksi dan reaksi Sasuke hari ini sangat tidak lazim baginya. Dia sampai berpikir kalau yang sedang bersamanya itu adalah alien, bukan Paman Sasukenya.
Oh, Sakura, sejak kapan dia menjadi Paman Sasukemu?
"Ini kopinya, Paman."
"Sudah bertemu ayahmu?"
"Sudah."
"Bagaimana?"
"Aneh."
Sasuke mendengarkan dengan saksama cerita gadis itu. Ya, memang aneh. Ayah dan anak itu tak berpelukan, tak ada tangisan pilu dari anak yang merindukan ayahnya atau sebaliknya. Sungguh biasa-biasa saja dan ... memang aneh seperti yang Sakura katakan.
"Paman, kalau kau bertemu ayahmu, apa kau seperti kami?"
"Tidak. Pertemuanku dan ayahku lebih buruk dari itu."
"Benarkah?" tanya Sakura tak percaya.
Kami bahkan bisa saling membunuh, tambah Sasuke dalam hati. Pria itu akan dengan senang hati menembak kepala atau menikam perut sang ayah sampai pria tua itu merintih kesakitan dan memohon ampun. Sekalipun demikian, semua itu terasa masih kurang. Sudahlah, Sasuke tak ingin menjadi kriminal dalam serial thriller Amerika.
Hanya saja, pertemuan Sakura dan ayahnya itu di luar prediksinya. Sakura adalah orang yang cukup emosional, dia bahkan menangis tersedu-sedu ketika tahu Karin adalah ibunya.
Ah, ya, Sasuke lupa. Ayah dan ibu adalah pribadi yang berbeda. Namun, dia juga tahu kalau seorang anak perempuan biasanya memiliki ikatan yang spesial dengan ayahnya. Jawaban yang paling mungkin hanya satu. Senju Tobirama menahan diri dan Sakura terpengaruh pada sikap pria itu sehingga dia juga tidak mencurahkan perasaannya yang meledak-ledak. Hal itu membuat pertemuan mereka cenderung kaku, tak seperti pertemuan ayah dan anak yang biasanya—terlebih pertemuan mereka setelah bertahun-tahun tak saling mengetahui keberadaan satu sama lain.
"Aku ingin bisa dekat dengan Ayah," ucapnya setengah berbisik. Nada suara gadis itu menyiratkan kalau ada kerinduan mendalam yang tak tersalurkan ke orang yang tepat.
"Bersabarlah."
"Oh …. Omong-omong, Ayah bilang dia mau mengosongkan waktu buatku. Semoga aku bisa lebih dekat dengannya. Jujur saja, ya, Paman, aku cukup takut padanya. Ayah terlihat menyeramkan." Dia bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Keberadaan ayahnya saja sudah membuatnya cukup terintimidasi. Sakura sedikit takut, tapi di saat yang sama dia begitu merindukan sosok ayah dalam kehidupannya.
"Ayah seperti itu kenapa bisa memiliki putri seperti ini?" Sasuke mengembuskan napas tak percaya.
"Paman!"
Sasuke berpura-pura tuli dan menyeruput kopi dari cangkirnya dengan santai. "Ibumu?"
"Paman …." Sakura sedikit ragu mengungkapkan isi hatinya yang satu ini. Dia berpikir cukup lama sebelum berkata, "Ibu memutus kontrakku dengan K2?"
"Kenapa?" Kalau Sasuke tak salah ingat, Karinlah yang paling bersemangat membawamu ke sana.
"Kata Ibu, itu sebelum dia tahu aku adalah anaknya. Sekarang lain lagi ceritanya."
"Oh, dia tak mau kau dituding masuk karena ibumu seorang petinggi K2?"
Gadis itu mengagguk.
"Belajarlah. Mulai pelan-pelan dari bawah tanpa pengaruh siapa pun. Itu akan lebih memuaskan saat kau sudah berada di puncak karirmu dan menengok perjalananmu sebentar."
"Paman …."
"Hn?" Sasuke mengangkat mukanya, pria itu mendapati Sakura sedang melihatnya dengan tatapan penuh rasa curiga.
"Paman jadi aneh ... sore ini Paman juga banyak bicara. Mengakulah, kau bukan Pamanku tapi alien! Aku benar, kan?"
"Hei."
"Buka mulutmu! Aku mau memastikan kau sedang mabuk atau tidak!"
"Bocah, kau sudah bosan hidup?"
Sasuke tak mungkin bilang kalau dia sendiri memang merasa kikuk, gadis yang dia sukai masih anak SMA dan dia harus berpikir keras bagaimana caranya agar Sakura tak terkejut. Kalau dia langsung mengejar gadis itu, bisa saja Sakura kabur karena terlalu kaget. Dan mengenai bus, dia sengaja berjalan agak jauh karena tak ingin ada teman Sakura yang menemukan mereka. Sasuke memang sengaja tak membawa mobil agar bisa berada lebih dekat dengan Sakura—aksi konyol dari pria berusia 27 tahun, Sasuke sendiri mengakuinya—tidak bisa dibayangkan berapa kali dia ingin membenturkan kepalanya ke jalan. Naruto tak boleh tahu, karena jika sahabatnya itu tahu, maka Sasuke akan mejadi sasaran ledekannya seumur hidup. SEUMUR HIDUP. Sudah cukup tawa terpingkal-pingkal Naruto yang tak percaya Sasuke bersaing dengan Menma adiknya untuk mendapatkan seorang gadis. Lalu perihal kopi, well, Sasuke hanya ingin mengulur waktu.
Demi alien—astaga! Kenapa alien!? Ini pasti karena Sakura menyebut alien sejak tadi. Terserahlah!—di antara semua perempuan yang ada di dunia, kalau bisa memilih, maka dia tak akan memilih gadis seperti Sakura. Gadis itu terlalu berbahaya—dalam makna yang sangat banyak—untuknya. Sasuke menyadari hal itu, tetapi dia tak mau melepaskan diri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
02:37 AM waktu setempat.
Sasuke segera pergi ke rumah sakit tempat autopsi seorang pria tak dikenal yang dimukan tewas di bawah jembatan. Menurut informannya, ciri-ciri pria itu sesuai dengan orang yang Sasuke cari, pria yang mengejar Sakura saat mereka pertama kali bertemu dan saat Sakura tertembak—dia tak melewatkan sedikit pun petunjuk dari Sakura.
"Pria ini dibunuh, ada luka tembakan tepat di jantungnya dan mayatnya sengaja dibuang. Tembakan jarak pendek dengan pistol yang menggunakan peredam," ujar Shizune, wanita berambut coklat pendek itu adalah dokter forensik yang memeriksa mayat tersebut. "Sampai sekarang kami belum mengetahui identitas orang ini."
Sasuke memandang mayat yang terbaring itu dengan saksama. "Apa ada ciri khusus yang bisa menjadi informasi tambahan?"
"Ya, orang ini memiliki tato naga terbalik dengan cakar yang sangat panjang pada punggungnya. Aku dengar setiap kelompok Yakuza selalu memiliki tato yang berbeda, kurasa Anda bisa memeriksa tato itu," jawab Shizune-sensei sambil menyerahkan foto-foto hasil pemeriksaannya pada Sasuke.
Pria itu memeriksa lembar demi lembar foto yang diberikan padanya. "Saya sangat menghargai bantuan dan semua informasi dari Anda. Saya harap Anda merahasiakan kedatangan saya ke sini pada polisi."
"Anda tak perlu khawatir, saya pastikan polisi tak akan tahu keterlibatan Anda di sini," balas Shizune meyakinkan.
Uzumaki Karin, Senju Tobirama, dan Hatake Kakashi harus mengetahui hal ini. Anak itu sedang menghadapi sesuatu yang sangat serius. Apakah itu musuh Tobirama, lawan Kakashi, atau malah wanita marah yang ingin balas dendam pada Karin, mengingat wanita itu sangat mudah membuat para pria tergoda. Namun, rasanya terlalu sepele jika hal tersebut dikarenakan kehidupan percintaan Karin di masa lalu.
Siapa yang tahu? Bisa saja hal sepele justru memberikan dampak yang besar.
Sakura ... sebenarnya kau sedang berurusan dengan siapa?
.
.
.
.
.
Tbc
A/N:
Terima kasih sudah menunggu.
(Sorry, tidak ada yang menjawab dengan benar alasan kenapa Kakashi misahin Karin, berarti penawaran fict pendeknya batal, ya. Btw, ada yang bisa menebak alasannya dari jawaban-jawaban tersirat Kakashi di atas?)