Aku menatap hamparan segerombolan awan-awan berarakan dengan indahnya, aku menghelakan nafasku. Setelah Jepang, apa lagi yang lebih buruk daripada itu? Aku sungguh sangat menyesal telah menentukan pilihan untuk pindah dari Arizona, seandainya waktu dapat berputar kembali aku ingin mengikuti ibuku ke Raleigh, Carolina Utara –setidaknya tidak buruk dibandingkan disini. Pesawat itu baru saja mendarat, aku mengetatkan jaket dua lapisku bersama dengan pria berambut panjang berwarna cokelat –sepupu tingkat tiga dari ayahku- yang langsung menghubungi ayahku ketika kami berada diluar bandara. Dia hanya berbisik-bisik dengan ayahku, dan yang ku dengar dari percakapan mereka hanya 'aku sudah sampai', Malaysia, Riau dan Sumatera Barat hanya sepenggalan saja yang ku dengar darinya. Bukan bisnis namun mengenai 'kawa...' kawa apa lah itu yang pasti bukan kopi kawa kesuakaanku ketika kami berada di Sumatera Barat, dan sate dari Madura yang manis, membayangnya saja sudah membuat perutku bergejolak.
"Ayo Nona," ajak Neji setelah selesai berbicara dengan Hiashi.
Sebuah mobil Volvo keluaran terbaru berada di depanku dengan anggun, aku tidak menyangka jika sepupu tingkat tigaku ini kaya, melihat dan menimbang rumahnya yang tidak ada sama sekali mewahnya –atau mungkin ayahku? Itu adalah pemikiran yang tidak benar sama sekali. Kami berdua memasuki mobil tersebut, sangat menarik dengan interior didalamnya dari speakernya yang sangat menawan dan jok mobilnya dari kulit sapi yang disasak, namun sayang aku tidak bisa menggunakan speaker itu selama perjalanan yang memakan waktu selama dua jam tersebut karena ajaran Neji Hyuuga mengenai asas kesopanan –huh seakan dia memiliki itu, bahkan dirumahnya dia sering 'bermain' tanpa memedulikanku yang masih dibawah umur melihat adegan itu.
Akhirnya perjalanan itu kuhabiskan dengan menatap pohon-pohon yang gelap karena tidak adanya cahaya matahari membuatku tidak dapat melihatnya, sangat membosankan namun aku bersumpah dapat melihat segerombolan serigala yang besar berlarian dari ke dalaman hutan tersebut –sepertinya serigala tersebut mendapatkan nutrisi yang banyak dan baik pada tanah ini. Mobil ini berhenti didepan sebuah rumah yang dapat dikatakan cukup untuk ditempati, aku keluar dari mobil Volvo ini bersama dengan Neji dan barang bawaanku yang diturunkan oleh supir Volvo pribadinya mungkin.
"Disini tempat anda Nona dan saya hanya bisa mengantar anda sampai disini saja, semoga hari anda disini menyenangkan nona," ucap Neji hormat, seakaan itu perlu melihat sikapnya.
"Tunggu Nii-san, saya ingin bertanya apakah disini tidak ada kendaraan?" tanyaku mengingat-ingat bagaimana ketika masa kecilku dahulu yang selalu Hiashi bawa menggunakan mobil patrolinya.
"Mobil anda sudah disediakan oleh Hiasi-sama di dalam garasi Nona." Untung saja Neji menjawab apa yang sangat kuinginkan.
"Terima kasih Neji Nii-san," ucapku menundukkan punggung.
"Tidak usah sungkan Hinata-sama," sahut Neji sebelum dia memasuki mobil dengan senyuman lebar yang seakan mengatakan 'aku bebas darimu marmut kecil' dan berlalu dengan telepon genggam di telinganya.
Aku menghela nafasku dengan berat membawa satu kopor yang ringan dan tas ranselku berisikan tab, ultrabook, serta beberapa novel action yang menghibur dan novel picisan yang dipilihkan oleh wanita Neji ketika di Jepang.
'Selamat datang hari-hari beratku!'
Akupun memasuki rumah bercatkan cokelat kayu tersebut. Meletakkan koporku di ruang keluarga dan menaiki tangga menuju kamarku, hari yang sungguh sangat melelahkan.
...
.
.
.
.
Title : My Boyfriend Vampire
Rating : T
Pair : NaruHina and KibaHina
Disclaimer :
Naruto belong to Masashi Kishimoto
My Boyfriend Vampire belong to Nauri Minna –Uchisaso AF KSS
Genre : Romance/Crime
Warning : OOC mungkin, Oc sedikit, Miss Typo mungkin.
Don't Like Don't Read
Selamat Membaca.
.
.
.
...
Awal
...
Aku melangkah malas dari kamarku ketika terdengar suara ketukan –atau tepatnya gedoran yang halus jika dapat kukoreksi- meletakkan tasku di sofa ruang tamu. Aku ingin merutuki orang yang mengetuk pintuku itu namun kedongkolanku harus kutelan terlebih dahulu dan menampakkan diriku yang sedikit ceria. Lalu aku membukakan pintuku.
"Selamat pagi, kau pasti Hinata!" sapa pria dengan memiliki rambut berwarna cokelat yang panjang mirip dengan Neji ketikaku buka.
"Iya, dan kau siapa?" kernyitku.
"Aku Inuzuka Kiba, masa kau tidak mengenaliku?" dia memasang wajah heran, ini seperti sebuah De javu, aku sangat mengenalnya tapi lupa namanya.
"Maaf Kiba-kun aku memang tidak mengenal anda," jawabku segan.
"Oh tidak apa-apa, mungkin waktu itu kalian masih kecil jadi mungkin kenangannya akan lupa," ucap seorang wanita yang muncul begitu saja di dekat Kiba, ku kira itu adalah kakaknya karena umurnya seperantara dengan umur Neji.
"Eh, maaf."
"Janganlah kau ucapkan maaf terus menerus Hinata, nanti kata 'maaf' itu akan berbeda maknanya," peringat wanita berambut pendek itu.
"Baiklah, kami hanya disuruh oleh Tou-san mu untuk membantumu menerangi hadiah dari Tou-san mu yaitu mobil mu," ucap Kiba dengan sedikit senyuman.
Whoa, aku tidak menyangka jika Hiashi sebaik itu entah berapa dolar dia menguras kantongnya membuatku meringis perihatin mengingat uangku didalam tabungan yang banyak itu.
"Oke kalau begitu." Aku mengeluarkan kata-kata yang kupikir bagus.
Kami bertiga –aku dibelakang Kiba- melangkah menuju garasi yang tidak ku perhatikan sebelumnya. Kiba membukakan pintu garasi tersebut menampakkan mobil bergaya sporty bercampur truk dan ku kira mobil itu adalah hybrid
"Wah, ini bagus Kiba-kun," ucapku terpana tanpa sadar masih memakai ucapan mengenai sufiks yang ku tidak sukai.
"Ini aku yang mereparasinya, mungkin sedikit aneh ketika menjalankannya," kata Kiba sambil menggaruk kepalanya, lucu melihat tingkahnya itu
"Kita coba?" tanyaku antusias.
"Oke, tapi apakah aku sendiri saja?"
"Maksudmu?"aku mengernyitkan dahiku.
"Kau pikir aku datang hanya dengan kakakku, Hinata?"
"Ya, ku pikir begitu," jawabku.
"Aku kesini datang dengan dua orang lagi," ucap Kiba. "Mau ku kenali"
Aku mengangukkan kepala, lalu tanpa dikomando oleh siapapun ke dua orang keluar dari mobil yang terparkir, satu orang pria bertelanjang dada dengan model rambut seperti nanas berwarna hitam tubuhnya tampak kekar sementara satu lagi pria berambut merah dengan tato 'Ai' dikepalanya bertubuh kekar namun tidak sekekar pria nanas sepertinya pria itu sedikit menahan suhu dingin ini, aku terasa ingin tertawa jika memperhatikannya.
"Dia Sabaku no Gaara," tunjuk Kiba. "Dan satunya lagi Nara Shikamaru, ada satu lagi yang mau ikut namanya Choji tapi tidak dapat hadir karena dia sedang berlatih." Ada nada tidak suka dalam penyebutan nama Shikamaru.
"Salam kenal," sapaku dalam usaha untuk tidak tertawa.
"Salam kenal juga," ucap Gaara dengan kerlipan matanya yang seperti nakal namun ku tahu itu sebagai kamuflase untuk tidak kedinginan.
"Mendokusai," keluh Shikamaru sedikit bergumam.
"Kalian mau ikut," ajakku.
"Tidak," ujar Gaara yang sedikit mendelik marah kepada Shikamaru yang menggumamkan sesuatu.
"Baiklah kalau begitu," ucapku mengakhiri pembicaraan dengan senyuman dan berjalan memasuki mobil bersama dengan Kiba yang berada disampingku ketika itu juga Hana keluar dari mobilku.
Aku mengemudi keliling kota yang katanya pusat kota itu, cukup sepi sebagai pusat kota. Tokyo saja sangat padat membuatku muak dan Phoeniks adalah tempat yang nyaman dibandingkan disini. Cukup aneh bukan sebagai pusat kota.
"Kiba, apa tempat ini selalu begini yah? sepi sekali," tanyaku untuk menghilangkan kesunyian didalam mobil.
"Disini memang selalu begitu, walaupun disini pusat kota tetapi pusat perekonomiannya bukan disini melainkan sedikit mendekat ke perbatasan dengan negara bagian lainnya," jawab Kiba menjelaskan tentang kota ini.
"Oh ya Kiba, kau sekolah dimana?" tanyaku.
"Aku sekolah di Konoha Prepatory Senior School, dan kau?"
"Aku akan masuk di Konoha High School, hari ini."
"APA?"
"Memangnya kenapa dengan sekolah itu?" tanyaku sedikit terkejut, mungkinkah Hiashi salah memasukiku.
"Tidak ada apa-apa," jawab Kiba cepat.
Aku kembali mengemudikan mobilku mengarah ke rumah. Gaara, Hana, dan Shikamaru tetap menunggu ketika kami baru saja tiba ditempat itu. Aku menyapa mereka dan kemudian pergi mengambil tasku, dengan cepat keluar berharap mereka telah pergi, namun mereka tetap ditempat itu. Aku memasuki kunci rumah ke saku jaket krem kebanggaanku dan menatap mereka bertanya.
"Kenapa kalian menatapku begitu?" tanyaku heran.
"Apa kau yakin masuk Konoha High School?" tanya Gaara. Cih pasti Kiba yang membeberkan, apa yang salah sih dengan sekolah pilihan Hiashi itu.
"Memangnya kenapa jika aku masuk ke sekolah itu?" tanyaku bingung.
"Oh tidak kenapa-kenapa kok," jawab Shikamaru sambil menarik Gaara ke dalam mobil.
Aku menatap hal tersebut dengan heran. "Kenapa dengan mereka berdua?"
"Biasa saja bagi kami," jawab Kiba. Apa jangan katakan hubungan sejenis atau apapun? Jika saja aku Fujoshi sudahku ambil foto-foto mereka yang terlihat err intim.
"Oh, kau mau ku antar," ajakku.
"Kita tidak searah, aku takut merepotkanmu," tolak Kiba.
"Baiklah kalau begitu, dimana rumahmu?"
"Di balik bukit itu," tunjuk Kiba.
"Nanti aku akan ke sana oke," ucapku.
"Untuk apa?" tanya Kiba.
"Aku hanya meminta penjelasan padamu," jawabku dengan senyuman misterius.
"Penjelasan apa?"
"Nanti kau akan tahu," ucapku. "Aku pergi ke sekolah dulu."
Mobil Hybrid itu meluncur dengan mulus di atas jalanan Konoha melewati hutan yang sangat lebat dan keluar pada wilayah kota yang bisa disebut kota mati itu dan berhenti di dekat gedung dengan tulisan 'Konoha High School'. Jika saja tidak ada papan penunjuk aku akan pangling mengatakan bahwa ini bukan sekolah, tidak ada aura institusinya sama sekalai
"Halo, kau Hyuuga Hinata, bukan," sapa seseorang wanita berambut pirang dengan kacamata tebal yang berada didekat matanya.
"Iya," ucapku dengaaan mereakahkan senyumanku.
"Baiklah, ini," kata wanita itu memberikan kertas kepadaku. "Kau harus memberikan ini nanti dengan tanda tangan pada kotaknya."
"Hai," tundukku mengundurkan diri, kebiasaanku selama di Jepang.
Aku berjalan keluar dari ruangan adminitras memasuki gedung sekolah kotak-kotak melangkahkan kakiku menuju pintu depan yang menyambutku untuk ke sekolah baru itu. Dua orang pria dengan memiliki model rambut begitu berbeda, satu memiliki model rambut bermodelkan bob dan satu lagi bermodelkan emo sepertinya menungguku. Dan kurasa tebakanku benar, andai ini seperti pertaruhan aku akan mendapatkan uang yang berlimpah.
"Hai, kau pasti Hyuuga Hinata, aku Rock Lee dan dia Sasuke Uchiha," perkenal pria berambut Bob dan juga memperkenalkan pria disampingnya.
"Salam kenal Lee, Sasuke," sapaku dengan senyuman.
"Kami akan menjadi tutor guide mu untuk satu minggu ini," ucap Rock Lee sedikit berlebihan membuatku jengah.
"Baiklah, hari ini apa jadwalmu?" tanya Sasuke memulai.
Aku menatap daftar itu dan menatap kembali ke arah ke dua manusia itu. "Bahasa Perancis, Biologi, Olahraga, dan keterampilan," jawabku.
"Wah, kita memiliki satu jam pelajaran yang sama pada jam pelajaran Bahasa Perancis," ucap Lee senang.
"Dan kau akan memiliki jam pelajaran yang sama denganku pada jam pelajaran Biologi," tambah Sasuke.
"Oke kalau begitu," ucapku. "Dimana kelas Bahasa Perancis?"
"Ikut aku kalau begitu," ajak Lee. "Sampai jumpa lagi raven," katanya kepada Sasuke.
"Kau memanggil dia raven, mengapa?"
"Dia pencinta gagak, Hime. Katanya buyut klan mereka termasuk dari vampir," jawab Lee.
"Vampire? Sebuah mitos bukan?" tanyaku sangsi. Yap! Vampir itu tidak ada, karena aku pernah tinggal di Bulgaria dan mengunjungi salah satu kastil Vampir namun yang kutemui hanyalah seseorang yang kejam dan kerjanya hanya menghisap darah saja.
"Mungkin itu sebuah mitos, sama seperti manusia serigala dan manusia harimau," jawab Lee lagi.
"Darimana mitos tentang manusia harimau itu? Yang ku tahu hanya mitos tentang manusia serigala saja," tanyaku pura-pura tidak tahu, aku hanya bisa tertawa ketika melihat Rock Lee yang sedang berpikir tersebut.
"Oh Hime, manusia harimau itu ada pada askrip yang pernah ku baca disaat liburanku di negara, negara In ... in ... in gitu lah," ucap Lee menggarukkan kepalanya.
"Indonesia maksudmu Mr. Rock Lee," kata seseorang dibelakang kami.
Kami berdua berbalik mencari sumber suara yang ternyata seorang pria berumur kurang lebih berkisar pada tigapuluh sampai dengan empatpuluh tahunan dengan sedikit luka tergores di atas hidungnya. "Halo Mr. Iruka!" sapa Rock Lee sedikit ketakutan.
"Halo juga Mr. Rock Lee," sapa guru itu kepada Rock Lee dengan senyuman yang 'manis' sekali. "Bukannya bel sudah mulai lima belas menit yang lalu," kata guru itu.
"I-iyakah sir, saya tidak tahu," ucap Rock Lee gugup.
"Tentu saja kau tidak tahu, kau ke asyikkan berbicara tahu," omel guru itu.
"Baik sir, kami langsung ke kelas kalau begitu," ucap Rock Lee undur diri dengan suara yang sangat gemetar.
Kami berjalan dengan sedikit cepat dan memasuki kelas dengan ukiran 'Bahasa Perancis' diatasnya yang beruntung sekali gurunya mengizinkan kami masuk walaupun sudah terlambat lebih dari beberapa menit dari waktu masuk dikelas tersebut.
...
Setelah kelas Bahasa Perancis, aku bertemu dengan Sasuke dikoridor bersama dengan dua orang gadis berambut panjang berbeda warna, satu berwarna merah muda dan satu lagi berwarna kuning pirang.
"Halo Hinata, mereka Sakura dan Ino," ucap Sasuke memperkenalkan ke dua perempuan itu.
"Halo Sakura, halo Ino," sapaku kepada ke dua perempuan itu yang dibalas dengan senyuman yang terpatri pada wajah mereka.
Kam berjalan menuju kelas Biologi, ketika masuk mereka bertiga langsung menempati tempat duduknya masing-masing.
Sakura duduk dengan Sasuke disudut kanan belakang pada ruangan itu sedangkan Ino duduk di dekat seorang lelaki yang hampir mirip dengan Sasuke tetapi bedanya hanya pada gaya rambutnya saja, aku menatap guru yang mengajar biologi itu dengan tatapan acuh tak acuh ketika aku menyodorkan kertasku dan langsung saja dia menandatanganinya.
"Baiklah Miss Hinata, kau bisa duduk dengan Naruto," kata guru tersebut. "Dia berambut pirang dan duduk sendirian disana," tunjuk guru tersebut.
Aku berjalan mendekati pria itu, ketika aku mendekatinya pria itu memandangku dan sedikit menggeram kepadaku, begitu juga ketika aku duduk disampingnya membuat dirinya menggeram seketika, aku berusaha menjaga jarak dengan Naruto ketika dikelas sekarang tetapi itu tidak membuat mataku tidak dapat melirik ke arah Naruto, mata saphire Naruto dapat dibilang indah tetapi mata saphire itu seperti hilang dengan sedikit hitam kelam pada kornea matanya.
Tanpa sadar aku sudah menatapnya tanpa berkonsetrasi kepada pelajaran dan baru menyadarinya ketika suara bel berbunyi. Dia keluar begitu cepat seperti angin, aku tidak dapat melihatnya ketika keluar dari meja kami dan berada di depan kelas ketika dia beralih menatapku denga tatapan penuh kebencian. Aku tidak mengetahui apa maksud mata tersebut.
"Hai Hinata, ayo kita harus makan siang bukan," ajak Ino menghampiriku bersama dengan Sakura dan pria sebangkunya.
"Aku baru disini," ucapku sangsi.
"Kau itu cukup terkenal, bahkan sebelum kau datang kemari nona lavender," kata Sasuke.
"Benarkah, aku tidak tahu soal itu," ujarku. Ku kira aku tidak seterkenal seperti itu.
Kami telah berjalan beriringan dengan obrolan yang ramai selama perjalanan ke kantin.
Kantin tampak ramai pada siang itu, maklum saja saat itu tidak ada jam pelajaran karena kami beristirahat sebelum memulai kembali pelajaran. Aku memilih salad dan soft drink untuk menu sarapanku pada hari ini, ketika aku akan memakan sarapanku, sepasang kekasih diikuti dibelakangnya juga sepasang kekasih memasuki kantin.
"Siapa mereka?" tanyaku kepada Ino yang terkenal sebagai ratu gosip ketikaku akan duduk.
"Owh, mereka adalah keluarga Uzumaki, yang tadi diawal lelaki berambut merah kekar itu bernama Nagato dan pasangannya yang berambut pirang bernama Shion, lelaki berambut hitam itu bernama Menma dan pasangannya yang berambut oranye bernama Naruko kembaran dari Naruto," jawab Ino menjelaskan panjang lebar dengan binar matanya yang dalam, tampaknya aman untuk mengorek lebih dalam dari Ino
"Hanya itu saja?" tanyaku kembali dengan suara yang diusahakan terkesan aku tertarik dengan obrolannya.
"Tidak, masih ada dua lagi. Nama yang laki-laki berambut kuning panjang Temujin dan perempuannya berwarna rambut oranye bernama Tayuya, seorang pria yang kekar juga dengan rambut oranye bernama Juugo dan pasangannya berambut merah bernama Karin," jawab Ino. "Dari semua anggotanya hanya Naruto yang belum punya pasangan," kata Ino bersemu merah bertepatan dengan masuknya Naruto ke dalam kantin, dia tersenyum kepada kami entah mungkin kepadaku. Aku mulai menguarkan aura kenarsisanku.
"Mereka sangat aneh," gerutu Sakura.
"Aneh?" tanyaku.
"Yah, polisi Minato menjodohkan anak-anaknya dengan anak angkatnya, itu terlihat aneh bukan," jawab Sakura. Dia mengaduk isi piringnya sebelum dia memakan isinya.
"Oh ya, namamu siapa?" aku berusaha untuk mencairkan suasana yang tadi sangat sepi karena membicarakan keluarga Uzumaki kepada pemuda disamping Ino.
"Namaku Sai," jawab pemuda itu singkat.
"Nama keluargamu?" tanyaku lagi. Untuk apa sebenarnya aku mengurusi urusan orang lain.
"Shimura," jawab pemuda itu pelan.
Rock Lee datang bergabung. "Maaf telat," kata Rock Lee. "Kami baru saja selesai pelajaran olahraga dengan Maito Gai."
Kami menyelesaikan makan dengan cepat dan pergi ke kelas, karena hanya aku dan Sakura saja yang memiliki waktu pelajaran olahraga secara bersamaan, tepat ditengah lapangan basket seorang pria berusia tiga puluh tahunan bergaya mengangkat tangan dengan rambut yang sama dengan Rock Lee dan berbicara yang tidak jelas di telingaku. Pelajaran yang sangat membosankan dan membuatku berjibaku dengan keringat.
Pelajaran terakhir tidak terasa telah selesai, setelah pergi ke bagian adminitrasi untuk memberikan kertas pada perempuan pirang yang hanya tersenyum ketika aku memberikannya kertas tersebut, aku memasuki mobil bergaya sportyku dengan tatapan ingin tahu dari anggota keluarga Uzumaki, dimobil itu aku tidak melihat Naruto pada mobil tersebut. Aku mengeluarkan mobilku dari parkiran. Memacunya menuju rumahku untuk menghilangkan penatku dengan makanan, entah mengapa seminggu ini nafsu makanku naik.
...
Aku memacu mobilku menuju reservasi, aku baru mengingatnya ketika tadi dirumah sedang memakan spaghetti, itu tidak penting. Warna hijau klorofil yang tengah melakukan fotosintetis itu menamani selama perjalanan menuju reservasi, aku mengalunkan nada dari radio, mobil ini bagus sekali untuk hasil reparasi. Ku lihat Kiba sedang berjalan menuju reservasi, sepertinya dia baru pulang dari rumah dipinggir hutan tersebut, aku menurunkan kaca mobilku.
"Kau mau jalan saja atau naik," ajakku melihatnya yang terperangah melihatku.
"Naik," katanya. "Aku mau ke dalam juga."
Dia memasuki mobilku, aku jalankan mobilku dan berhenti di depan rumah Kiba yang ditunjuk olehnya.
"Hati-hati Choji sedang berlatih," larangnya ketikaku mendekat ke sebuah pohon yang dibawahnya tampak seorang yang bertelanjang dada sedang melakukan latihan.
"Untuk apa dia latihan?" tanyaku. Kami duduk diteras rumah bersamaan datangnya Hana yang membawa makanan ringan dan teh hangat dinampannya.
"Menguruskan tubuhnya," ucap Kiba. "Dulu dia gemuk, namun setelah tiga bulan ini berlatih, tubuhnya telah menyusut."
Aku memakan roti buatan Hana, cokelat yang menjadi isian roti tersebut melumer dimulutku begitu juga dengan keju yang berada diatasnya.
"Jadi penjelasan apa yang kau inginkan?" tanya Kiba padaku.
"Baiklah," mulaiku. "Akhir-akhir ini aku sering merasa demam dan mimpi aneh sekali."
"Mimpi apa itu?" tanya Kiba penasaran.
"Mimpi menjadi Serigala," jawabku membuat wajahnya sedikit terkejut. "Oh lagipula itu hanya mimpi bukan, mimpi itu bunga tidur." Aku berusaha menenangkannya
"Iya, itu hanya mimpi saja," ucap Kiba membenarkan perkataanku.
Aku menyeruput tehku melihat suasana di kompleks itu, suasana yang tenang walaupun tetap hari itu cuacanya sangat mendung.
"Oh ya, aku lihat kau pandai mereparasi mobil dan sepeda motor." Kataku. "Bisakah kau mereparasi sepeda motor, aku jatuh cinta dengan sepeda motor yang baru saja ku ambil dari tempat sampah. Yah walaupun perlu perbaikan disana sini, bisakan." Sebenarnya aku hanya menginginkan teman ngobrol melepaskan penat.
"Tentu saja, tapi kau harus membawa motornya ke sini," ujarnya.
"Oke, berarti kita sepakat," ucapku. Aku mengangkat tanganku dan menanti dia menyambut tanganku untuk menyatakan sepakat.
"Yeah, kita sepakat," katanya. Genggaman tegas dan kokoh tanpa keraguan sama sekali.
Setelah itu hanya sunyi yang berada antara kami, hujan telah datang mengguyur Konoha, Choji berlari dengan cepat berlindung diteras rumah Kiba. Membuatku ingin tertawa melihatnya.
"Kau basah Choji," ucapku khawatir.
"Oh ini tidak apa-apa kok," katanya.
"Arrrgh," geramku entah mengapa seakan ada didalam diriku yang ingin keluar, pusing dikepalaku merambat naik namun pelan.
"Kau kenapa Hinata?" tanya Choji khawatir.
"Aku tidak tahu," jawabku. Setelah pusing kini rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku yang datang entah darimana membuatku tidak kedinginan lagi.
"Sepertinya kau harus menginap disini Hime," ajak Kiba.
"Oh tidak, terima kasih," tolakku. Aku tidak menginginkan rumahku kutinggalkan.
"Tapi kau akan kedinginan nanti," ucap Kiba khawatir.
"Aku tidak apa-apa," kerasku.
Hana keluar, mungkin karena dia mendengarkan keributan dari kami membuat dia keluar.
"Ada apa ini?" tanya Hana menatap kami dengan mata tajam.
"Tidak ada apa-apa," jawabku.
"Dia ingin pergi di saat hari hujan-hujan begini," teriak Kiba karena suara guntur dan kilat membuat suara yang tadinya keras menjadi kecil.
"Nanti saja pulangnya, ayo masuk ke dalam kelihatannya hujan akan semakin deras," tawar Hana padaku. "Dan aku tidak ingin ada penolakkan," paksa Hana membuat diriku yang tadi akan mengeluarkan suara mengatupkan bibirku.
Aku memasuki rumah itu bersamaan dengan Kiba dan Choji dibelakangku, ruangan dalam rumah itu mempunyai design yang bagus terutama ruang keluarga yang menampilkan seperti tanda klan, bulat dengan gambar yang sangat rumit menampilkan kecantikan mistik yang menghentakkan nalarku.
"Itu tanda suku kami," sahut suara Hana. Mungkin karena aku terpana menatap tanda itu membuat Hana ingin menjelaskannya padaku.
"Tanda?"
"Yeah, moyang kami sebenarnya bukan datang dari sini melainkan dari Amerika Serikat, jadi sebagai pengingat bahwa kami memiliki tanah moyang, maka kami memakai tanda suku kami," ucap Kiba menjelaskan sebelum Hana membuka suaranya.
"Eh, nama sukumu itu apa?" tanyaku penasaran.
"Suku Quileute, dulu hidup nomaden tapi seribu tahun telah menetap di Washington tepatnya di Forks, kami sering berkunjung ke sana," jawab Hana. Sekarang Hana mendahulukan Kiba yang akan menjawabnya.
"Arrgh," geramku tiba-tiba persis seperti tadi bercampur aduk semuanya dengan pusing yang membuncah dikepalaku.
"Kau kenapa Hinata?" tanya Hana khawatir.
"Oh tidak apa-apa," jawabku berusaha untuk menenangkan mereka walaupun yang ku rasa adalah sakit dikepalaku yang sangat hebat, oh mungkin karena aku tidak terbiasa dengan cuaca disini.
"Benarkah," kata Choji memastikan.
"I-iya," ucapku yakin. Tetapi pusing dikepalaku semakin hebat, mendera begitu saja seperti tidak mau ditekan. "Arrgh," geramku kembali, pandanganku kabur dan terakhir kulihat, semua orang, mulai dari Hana, Kiba, Choji, Gaara, Shikamaru dan banyak lagi yang tidak ku kenal mengelilingiku sebelum kegelapan menyelimutiku.
.
Sekelebat bayangan kuning lewat di depanku, aku tahu ini adalah mimpi yang ku alami, tetapi didalam mimpi itu aku bisa melihat sosok itu dengan jelas, sosok yang memandangiku dengan geraman kebencian pada pelajaran Biologi, yap siapa lagi kalau bukan Naruto dan keluarganya. Mereka menatapku dengan mata biru kelamnya seperti akan menerkam tetapi sesosok binatang muncul dengan geraman yang keras memekikkan telinga ini yang ku tahu itu adalah namaku yang dipekikannya.
"Hinata," pekik serigala itu. Makin lama pekikkan itu semakin keras atau bisa disebut juga dengan lengkingan yang semakin keras dan keras.
Cahaya masuk ke mataku membuat mata ini ingin membuka bersamaan dengan gelitikan pada telingaku membuat telingaku kegelian membuat mata ini membuka.
.
Rasa hangat menghampiri diriku ketika diriku perlahan-lahan memaksa untuk membuka mata ini, ketika ke sadaran kembali mendatanganiku aku merasakan atau tepatnya kulitku merasakan hangatnya selimut dan kulit seseorang yang sedikit menempel pada kulitku. Aku tidak tahu siapa dia, tapi yang dapat ku pastikan bahwa dia bertelanjang dada karena kulitnya menyentuh diriku, karena itulah yang ku rasa. Oh sial, aku telah dicabuli. Aku tidak mengira Kiba akan seperti ini.
"Kiba, jangan tidur di sana, dia masih panas," teriak Hana yang ku rasa baru memasuki ruangan entah ruangan yang mana.
"Owh, jangan seperti itulah, aku hanya menghangatkan dia," teriak Kiba yang memekakkan telinga ini.
"Uugh," erangku.
"Kau lihat bukan, minggir kau," kata Hana menyingkirkan tubuh hangat Kiba dari belakangku.
"Kau tidak apa-apa Hinata," ucap Hana ketika dia membukakan selimut yang menyelimuti diriku.
"Ku-kurasa be-begitu Hana," aku melantunkan kata-kata dengan gemetar.
"Kalau begitu minum ini, ini masih terlalu pagi untukmu terbangun," ujar Hana sambil menyodorkan segelas minuman berwarna merah kepadaku yang ku tahu itu adalah sejenis ramuan.
"Apa ini?" tanyaku penasaran.
"Minum saja, kau membutuhkannya sekarang," jawab Hana.
Dia menatapku dengan tatapan intimidasi kepadaku.
Aku meminum ramuan itu, hangat itu yang terasa pada tenggorokanku. "Terima kasih Hana," ucapku sebelum rasa kantuk menyelimutiku kembali.
...
.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
...
Maaf, ini adalah re-write chapter pertamanya, ku usahakan untuk tidak kecepatan. Yoo lanjut chap ke dua nee.