My Boyfriend is a Vampire
Naruto (c) Masashi K
T
OOC, OC, Typo (?),
Don't Like Don't Reading
...
.
.
.
21. Penglihatan Naruko
.
.
...
Perjalanan yang direncanakan akan berhenti pada satu gerai makanan, sepertinya harus pupus. Yah, mungkin perutku sudah protes karena setelah aku bangun belum juga diisi oleh apapun, bahkan sebatang cokelat kecil saja tidak. Namun, kondisi lapar pada saat ini mungkin hanyalah kondisi duniawi yang menghambat perjalanan kami dari kejaran mahluk-mahluk abadi penghuni kerak-kerak neraka.
Pepohonan, tebing, pegunungan, dan lembah telah kami lewati. Namun, tidak pernah berhenti sedetikpun. Perjalanan yang katanya dua jam itu rupanya perjalanan tiga hari tiga malam.
"Naruko, apakah ini perjalanan dua jam?" kernyitku.
Tidak ada sahutan dari Naruko, dia hanya tersenyum-senyum mendengarkan sesuatu.
"Hinata, sebentar lagi kau akan melihat keindahan daerah Poto yang menakjubkan," senyum Naruko.
A-apa? Poto! Apa mereka gila, mereka bisa dilihat dengan jelas jika terkena matahari.
"Mau makan terlebih dahulu, manusia?" tanya Menma menggoda.
Cih, Menma selalu menggodaku dengan hal yang membuatku membencinya, ini keterlaluan jika bisa aku menggaris bawahi. Yah, meski harus ku akui bahwa kekuatan Menma jika dibandingkan denganku adalah satu banding seratus yang artinya kesempatanku melawannya sangatlah kecil kemungkinannya untuk menang, tapi jika dihitung dengan otak, mungkin aku akan memenangkan pertarungannya dengannya. Dimana sih kekuatan yang besar dahulu ketika aku menginginkannya untuk meremukkan kepala Menma yang tersenyum jahil itu.
"Terima kasih, vampir," senyumku menjawab pertanyaan Menma.
Senyum jahil Menma kembali mengembang, selalu begitu jika sesuatu yang direncanakan olehnya akan terlaksana dan sepertinya dia telah mencapai targetnya dengan sebuah misteri yang terkandung di dalam senyumannya. Kali ini aku memang benar-benar berharap dengan kekuatan itu. Dimanakah perginya? Hah!
"Kenapa kau tersenyum, Menma?" tanyaku curiga.
Menma hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku, kemudian tanpa menatapku kembali dia mengendarai mobilnya menuju hamparan pepohonan yang meninggi dan padat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi bagiku pepohonan ini sama dengan bunuh diri. Yah, pepohonan ini sangat menakjubkan dengan keindahannya dan tubuh tingginya pertanda bahwa pepohonan ini sudah sangat tua. Pepohonan ini berbeda bagiku, energi yang terkandung di dalam belantara hutan ini membuat perutku bergejolak dan aku tidak mengetahui arti dari perutku yang bergejolak.
Entah apa yang terjadi, mungkin saja aku lapar bukan?
"Hei! Kau tahu, di sini tidak ada restoran, kau bisa memilih tempat yang tepat Menma?" gerutuku.
Yeah, sepertinya aku akan menempatkan Menma pada daftar hitamku agar ketika memilih tempat yang bagus aku tidak akan menyerap begitu saja dari Menma atau mungkin bersiap-siap untuk mengasah pisau menggorok lehernya.
"Kata siapa kita akan makan di restoran, alam menyediakan semuanya, Hinata," senyum Menma jahil.
Dan itu berarti, aku akan berburu makananku sendiri dengan tangan kosong. Oh bagus sekali Menma, kepalamu mau ku tembak dengan pistol yang sering digunakan oleh penembak jitu dunia, apa?
Perjalanan kami selanjutnya menuju jalan kecil yang berkerikil oh tidak berkerikil mungkin dapat dikatakan berbatu-batu yang akan dengan mudah menghempasku bulak-balik dari kiri ke kanan mobil jika saja aku tidak memakai sabuk pengaman. Sesekali mobil ini menikmati perjalanan dengan guncangannya yang cukup hebat, tidak ada jalan yang mulus setitikpun. Jika tidak dipenuhi dengan batuan yang bisa dibilang menyusahkan jika melewatinya, maka selanjutnya adalah melewati kubangan air yang memiliki warna kecokelatan dan memiliki kedalaman kira-kira dua puluh sentimer sampai dengan dua puluh lima senti meter, cukup dalam bukan?
"Kau mau mengganjal perut terlebih dahulu, Hinata?" tanya Naruko menunjukkan rasa belas kasihan kepada mahluk yang tidak dapat berpisah dengan yang namanya makanan.
Akan tetapi, tampaknya Naruko salah tempat dan sangat terlambat di dalam menawarkan makanan kepadaku. Bayangkan saja, jika kamu berada di belantara hutan dan jalanan hutan tersebut dipenuhi dengan jalanan berbatu. juga memiliki kubangan air yang sangat banyak dan cukup lebar. Maka, pertanyaannya hanya satu. Apakah perutmu akan sanggup dan tidak memuntahkan isinya di jalanan seperti ini? Maka jawaban yang patut jika kamu mengalami mual di dalam perjalanan adalah untuk tidak menyentuh sama sekali hal-hal yang berbentuk seperti makanan, aku yakin seratus persen.
Dan akhirnya, setelah penantian yang panjang untuk berkendara di jalanan mulus yang mana sangat membantuku sedikit menahan mual ketika berjalan di belantara hutan dengan jalan berbatu dan kubangan air tersebut, terbayar beberapa menit sebelum berhenti dipinggiran sungai yang berarus sedang dengan air yang mengalir tidak lebih hanya seperantara lutut saja.
Apa kami akan berburu ikan, lalu membakarnya?
Jawabannya baru saja dimulai.
"Nikmatilah seluruh pemandangan selama empat puluh menit, Nona" ucap Menma seperti, seperti apa yah, mungkin seperti bartender atau pelayan yang melayani pembeli untuk membeli secangkir wine.
Untunglah, sepertinya Menma hanya menyuruhku untuk menikmati pemandangan yang tidak dapat aku menjelaskannya dengan kata-kata yang lebih manis selain pemandangan yang sangat indah, bahkan 'sangat indah' itu terasa merendahkan tempat dimana aku berpijak sekarang.
Mungkin kata-kataku dapat aku menarik kembali, mungkin Menma bisa dijadikan alternatif menanyakan sebuah pertanyaan mengenai beberapa daftar objek wisata yang dapat dikatakan menakjubkan, yah mungkin bisa aku bertanya kepada Naruko dibanding dengan Menma yang aku meyakini bahwasannya dia akan menjawab peranyaanku secara bertele-tele. Aku berani bertaruh lima dolar jika memerlukan untuk membuktikan bahwasannya Menma adalah mahluk yang terburuk dari yang paling buruk. Oh maaf Menma, itu yang sebenarnya.
Akh mengapa kita membahas Menma? Jika dia mengetahuinya mungkin telinganya yang cukup lebar itu malah bertambah lebar lagi, dia selalu begitu, selalu sangat senang dan ummm apa yah istilah yang cocok untuk Menma, mungkin polos.
Menma polos, ohhhh apa yang telah ku makan tadi sehingga mengatakan bahwa seorang Menma Uzumaki adalah mahluk yang polos. Mungkin aku salah diberi makan oleh Naruko, seperti broklat yang kukira cokelat dan itu tidak benar, tentu saja, kalau benar berarti kini aku tengah berada di salah satu pusat pengisian bahan bakar. Sepertinya aku salah penyebutan, Menma bukan polos tapi pome –singkatan dari polos-polos mesum- yang membuka topengnya namun aku sendiri tidak mengetahuinya.
Jauhkan aku dari pembahasan mengenai Menma atau kalian akan melihat tubuhnya sekecil apapun akan lenyap sebab aku tidak akan tahan untuk tidak menggoreng salah satu jari porselennya.
'Cit... cit... cit...' sebuah suara yang sangat menenangkan, suara mahluk kecil yang dipercayai oleh sebagian dari para peniliti bahwasannya mahluk ini bukti teori evolusi selain buaya dan ular tentu saja.
Mahluk kecil itu dengan riang terus berisik memenuhi belantara hutan yang sepi, suaranya yang merdu mengingatkan sesuatu atau mungkin ini aku mengalami sebuah de javu. Entahlah, aku baru saja melihat burung tersebut berubah di angkasa menari turun untuk menghiburku dengan senyuman manis dan mata yang indah.
Berbicara mengenai mata, sepertinya aku mengingat mata kelam Menma dua hari yang lalu. Di mana, mata tersebut seperti ceruk kegelapan dan sedikit sentuhan dari beberapa kerak neraka yang rupanya jatuh ke dalam pandangan mata tersebut, membicarakan mengenai mata Menma dan tentu saja mata Naruko yang sama bahkan lebih mengerikan dari mata Menma membuat bulu kuduk ku berdiri. Sangat mengerikan.
Seakan itu tidak mengerikan, satu ekor reptil merayap menjulurkan lidahnya menatapku, meski reptil bernama lain kadal tersebut terbilang kecil di banding komodo yah kadal tersebut telah berhasil membuatku diam tidak bergerak, tidak bergerak sama sekali. Tatapan mata kadal tersebut memerangkapku di kedalaman matanya yang seperti palung terdalam di dunia, tatapan pemangsa dan tatapan tersebut sama seperti ketua Amaru yang memerangkapku sebagai mangsa yang empuk. Mangsa yang dengan cepat dia permainkan seperti kucing memainkan bola benang, seperti anjing yang langsung berlari ketika di lempar kayu atau tulang, seperti itulah aku sekarang. Hanya sebongkah bola benang, hanya sebatang kayu kecil, hanya menjadi tikus yang mencicit ketakutan, menciut dan berlari ketakutan tanpa berani melawan kucing.
Namun, meski tatapan kadal tersebut memperangkapku, aku dapat menangkap sinar tersebut dari sudut terdalam alam bawah sadarku, sinar kehangatan dan kecerian, sinar dari seorang pemuda yang bergerak lembut dan tersenyum padaku di luasnya hutan belantara, yang tersenyum memercikkan air ke permukaan wajahku, seorang pemuda yang bergerak dengan indah dan membiusku menatap matanya pada suatu malam, mata yang tanpa sadar mencuri untuk menerkam kedua kurvaku pada malam tersebut, mata yang selalu sama, selalu dapat mempesonaku.
Ini tidak normal, mataku seperti menghamba kepada mata hewan kecil tersebut, ini tidak boleh
Kadal tersebut masih menatapku, bahkan ketika aku telah berlari sepanjang dua puluh meter dari tempat tersebut, pandangannya masih sama saja, masih sama mencengkamnya. Setidaknya tidak mengerikan ketika aku telah berlari menjauh dari sana berlari menginjakkan kaki berlari di tanjakan jalan yang berundak. Sebenarnya bukan berlari seperti mempercepatkan langkah kakiku, uhm aku tidak memahaminya, tadi aku masih berada di dalam rerimbunan hutan dan kini aku telah berada tepat di depan batu yang besar.
'Uuuugh, de javu lagi,' terasa tertohok pada bagian dadaku, sungguh ini sangat mengerikan.
Pada bagian mimpi manakah aku memimpikan tempat ini? Pada bagian mana?!
'GROAARRRRGH!' cih suara serigala sialan, selalu suara yang sama.
Bulu-bulu yang kasar, moncongnya yang berliur dan selalu ...
... menyetuh pipiku. Siapa serigala tersebut?
Oh yah, sepertinya aku sudah gila, yah aku memang selalu gila –dan sial tentu saja- dimana serigala itu berada? Sini akan aku patahkan lehernya, atau mungkin mematahkan kedua kakinya atau mungkin membunuh mereka dengan pistol Hiashi jika aku bawa, atau mungkin disini ada kayu yang cocok jadi panah lalu panah tersebut bisa ku celupkan kedalam cairan kodok beracun dan membunuh serigala kecil yang malang.
'Arrrrrrggggh!' kepalaku rasanya ingin di pecahkan. Serangan aneh menyentuh saraf-saraf di dalam setiap sel-sel otakku. Uuugh, serangan dari mana ini.
'Ingat, kau akan mati, sayang!' desah suara itu lembut di dalam kesadaranku, suara yang masih sama mengerikan.
'Aku ingat wanderer sialan! Aku mengingatnya di dalam sendi kehidupanku,' rutukku.
'Selamat menikmati hidupmu, pengendali,' aku dapat merasakan bahwa dirinya menarik senyuman, menarik senyuman bengisnya.
Cih, sudah ku katakan tubuhku ini adalah hutan belantara atau bahkan sekarang sudah menjadi setandus Sahara. Ku harap itu bisa membakar wanderer di dalam tubuhku.
'Tidak mudah, pengendali.'
Yah tidak mudah, tapi aku akan membunhmu setelah ini wanderer!
.
.
.
.
.
S-sakit, rasanya sakit sekali pada bagian dadaku. Siapa kini yang kubohongi? Siapa kini yang sangat pongah mengatakan dirinya kuat? Siapa? Yah, itu aku. Aku mahluk kotor yang beridiri pongah, yah itu aku. Aku selalu bangga berdiri diatas lumpur kesombongan, yaitu aku.
Rasanya aku ingin menertwakan diriku sendiri, betapa bodohnya aku terhanyut di dalam permainan sesosok oh bukan dia bukan sesosok, sosoknya saja tidak terlihat jelas selalu buram. Dia bukan sesosok, tetapi rasanya dia sangat menyakitiku, dia memang bukan sesosok, tetapi dia bisa mengobrak-abrok tembok keangkuhanku. Siapa mahluk itu? Siapa jiwa berengsek tersebut?
Kalian tahu! Rasanya ingin mencabut beberapa sendi di dalam tubuhku, bahkan mencabut nyawaku sendiri agar wanderer tersebut tidak menguasaiku, menguasai setiap sendi dan pergerakan. Seandainya saja bisa, rasanya aku menginginkan mencabut nyawa, atau ada alternatif lain? Uhm hanya satu, jika dia bergerak seperti manusia, mungkin aku bisa mengasah pisau, kalau tidak untuk membunuh wanderer bisa jadi untuk alat wanderer tersebut membunuhku.
Terkadang aku sering bertanya selama beberapa hari ini, selama uhm mungkin ketika jiwaku di kuasai wanderer? Ketika aku melangkahkan kaki bergerak cepat mencari jalan untuk keluar dari kegelapan lorong. Aku sering bertanya, apa yang kualami sekarang? Apa ini namanya kematian? Atau apakah ini invansi alien kedalam tubuh seseorang?
Mungkin invansi alien itu terlihat berlebihan atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Jika ini invansi alien, kenapa Hiashi mau tubuhku sebagai sarang alien? Tapi kenapa ada pesawat ruang angkasa di mimpiku? Kenapa?!
'Uuugh,' ketika aku menggerakkan kaki ku, sesuatu yang buruk baru terjadi.
Kaki tersebut terasa hangat dan tentu saja kedua kaki tersebut menegang, akh yah sesuatu yang buruk bukan? Apakah bau anyir dan besi berkarat itu baik? Hal yang barusan aku alami bisa dikategorikan sangat buruk. Baru bau darah, bukan hal yang sebenarnya, bukan?
"Auch!" sesuatu berusaha keluar dari tubuhku.
Sesuatu itu adalah cairan merah kental. Apakah Menma aman? Aku tidak tertarik dengan dia yang ...
"Grrrrrrrrrrhh!"
... mengamuk.
"Menma, diam kau!" nada perintah membungkam Menma yang tengah berada di dalam puncak rasa hausnya.
Woooa, nada perintah yang bagus, sangat susah membungkam Menma yang tengah mengamuk, aku mengakuinya aura Naruko ketika mengeluarkan perintah tersebut sangat menekanku, itu bukan perintah tetapi titah. Kau tahu titah raja bukan? Titah raja tidak dapat diganggu gugat ketika kerajaan masih menjadi konstitusi pertama, dan jika siapa saja melanggar peraturan, maka; tiket kematian telah berada di dalam genggaman.
Mengenai titah, auranya sama persis bahkan kurang ketika aku tengah marah dengan Hiashi di waktu lampau. Ku mohon jangan sampai aku menyakiti hati Hiashi kembali.
"Uhm, sudah Hinata," senyum Naruko menghiburku.
Jika ada peluh, mungkin kini Naruko tengah mengelap peluhnya dikarenakan dia berlari dari ruangan menonton televisi, menuju ruangan belakang yang memandang langsung langit sore yang tertimpa cahaya. Namun dia vampir, jadi tidak akan mungkin ada peluh.
Rasanya sangat nyaman. Tidak ada rasa hangat yang mengalir, tidak ada kepala yang pusing seakan akan pingsan, tidak ada kaki yang berdarah terkena goresan. Jika kau bertanya kepadaku, mungkin aku akan menjawab; ini sungguh luar biasa. Tanpa bermaksud melebih-lebihi, tetapi memang ini cukup aneh. Kalian tahu mengapa aku mengatakan aneh? Karena, luka yang parah di bagian kaki di karenakan tergores batuan yang tajam tersebut, menghilang dengan cepat di banding seharusnya. Jika ditilik seharusnya, maka kali ini kakiku pasti akan di perban selama satu minggu lebih, tetapi kali ini tidak. Mengapa tidak? Yah itu terjadi di karenakan apa yang di lakukan oleh Naruko.
Entah ramuan apa yang berada di dalam alat penyemprot yang biasanya Naruko selalu bawa, tetapi alat penyemprot tersebut sangat bermanfaat di situasi genting seperti yang terjadi pada saat ini, oh dan tentu saja sangat efektif dibandingkan dengan menjahit permukaan kulit dengan dua sampai tiga jahitan. Ah yah semua ini sungguh sangat efektif, aku sangat kagum dengan teknologi tersebut.
"Naruko, bolehkah aku bertanya?" tanyaku ketika kami beranjak dari ruangan tersebut untuk menikmati siaran televisi lokal maupun multinasional.
Naruko hanya diam, tidak menyahut, tetapi aku tahu dia tengah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang di prediksinya.
"Uhm, yah silahkan, mau bertanya apa, Hinata?"
Sial, aku melupakan beberapa topik yang ku ingat. Akkkkkhhhhhh. Sepertinya aku akan menggali beberapa ingatan dengan bersantai terlebih dahulu, mungkin dnegan melihat televisi.
Sampai saat ini, aku tidak kembali dengan pertanyaan kepada Naruko, meskipun aku tahu bahwa Naruko menunggu aku melemparkan pertanyaan kepadanya, yah itu tidak buruk juga sih, lagipula aku juga bodoh kok, tidak bisa mengingat apapun di dalam keadaan tertekan, panik bahkan sampai mengalami peristiwa yang menegangkan seperti yang tadi ku alami.
Aku melihat ke sekitar ruangan tersebut, hingga aku sampai memandangi wajah Naruko yang kaku dan dengan tubuh yang tegang. Apa yang terjadi? Sepertinya ini mengkhawatirkan.
"Menma, bisa ambilkan kertas dengan pensil?" tanya Naruko tercekat.
Menma yang di suruh tersebut, sedetik kemudian berada di samping Naruko menyerahkan kertas dan pensil sesuai permintaan Naruko. Dengan cepat, tangan Naruko menggambarkan goresan demi goresan, yang mana goresan tersebut memunculkan suatu keadaan. Awalnya satu tempat latihan skaetboard, kemudian gambar tersebut semakin berkembang, menjadi suatu taman di penuhi beberapa fasilitas yang cocok untuk parkour dan juga sebuah gedung. Yah sebuah gedung. Awalnya aku tidak mengetahui gedung apa tersebut, tetapi sebuah lambang yang mentereng nyaman di atas pintu masuk menyadariku bahwa gedung tersebut –dan kemungkinan besar taman juga- adalah sebuah gedung latihan dari olahraga capoeira.
"Ada apa? Mengapa Naruko menggambar tempat latihan skateboard dengan tempat latihan capoeira?" tanyaku.
Naruko dan Menma saling beradu pandang, mereka terlihat heran dan juga khawatir.
"Kau yakin?" tanya Menma.
Aku mengganggukkan kepalaku sambil tersenyum, "Yah, aku sangat yakin sekali, karena bertahun-tahun kuhabiskan hari di dua tempat itu."
Dan tampak sebuah sinar kengerian berada di kedua pasang bola mata tersebut. Ini sungguh sangat aneh bukan?
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
Poto : Pelabuhan
A/N: saya masih bingung, saya rasa gaya penulisan saya berhenti di situ-situ saja tanpa adanya perkembangan sama sekali. Apakah teman-teman sekalian bisa membantu saya, mungkin dengan kritik yang membangun?
.
Rnr? Flame? Concrit?