Ino berani bersumpah, wajah Sakura yang sedang kesal berkali-kali lipat lebih menyebalkan dari wajah ibunya sendiri. Padahal sekarang mereka sedang makan, tapi raut wajah Sakura menunjukkan mimik siap bertarung. 'Pasti Naruto lagi', pikir Ino.
Sakura adalah manusia dengan khayalan super tinggi— setidaknya menurut Ino. Dia juga sosok kreatif dengan cerita negeri dongengnya yang beraneka ragam, juga koleksi nama dan potret pangeran— Sakura punya kebiasaan melukiskan wajah pangeran maupun tokoh yang 'dibayangkannya' ke dalam sebuah buku sketsa. Dan melihat Sakura dengan mode ready for battle -nya sekarang ini…. Mau tidak mau membuat Ino berdigik ngeri.
"Sa— Sakura… Kalo makan, napas!"
"Kalo lagi makan itu gak boleh napas pig! Nanti keselek!"
"Tapi pelan-pelan dong…"
"Suka-suka!"
Huh, Ino tidak habis pikir dengan Sakura. Dia sudah menghabiskan dua porsi udon. Dua? Walaupun udon tidak se-ekstream ramen, tapi tetap saja mengerikan dimata Ino. 'Berat badanku bisa langsung naik dalam hitungan detik'. Lagi pula Sakura juga bukan tipe orang yang makannya banyak, kecuali kalau sedang kesal.
oOo Practical Training to Love oOo
All characters in this story is a part of Naruto © Masashi Kishimoto
a Story by Newbie Kepo
Romance/Drama
Warning : Typo(s), abal, gaje, OOC, dll.
"— aku merasa sangat tertekan!"
Naruto diam.
Sekarang dia mengerti kenapa seseorang dari keluarga bangsawan seperti Hinata bisa melakukan percobaan bunuh diri. Ayahnya terlalu keras, kakaknya sangat sibuk, adiknya sendiri terlihat seperti membencinya. Ini jauh lebih sulit dari apa yang dia perkirakan sebelumnya, sangat rumit. Apalagi mengingat keadaan Hinata yang sedang sakit seperti ini, bukankah seharusnya dia mendapat perhatian lebih?
"Arrgghhh…" Naruto mengacak rambutnya frustasi. Dikeadaan seperti ini bisa-bisanya Shikamaru meninggalkannya.
"Ma— maafkan aku Naruto-kun." Hinata dengan wajah bersalah. "Tidak seharusnya aku membawamu kedalam semua ini."
"Apa yang kau bicarakan Hinata? Bukankah aku sudah berjanji akan membantumu?"
"De— demo…."
"Sudahlah Hinata, lebih baik sekarang kita turun! Bukankah sebentar lagi jam cuci darahmu sudah mau mulai? Lagipula jam makan siangku sudah hampir habis!" ujar Naruto sambil tersenyum lembut hingga membuat pipi putih Hinata bersemu merah. 'Dan bekalku belum dimakan!'
.
.
.
Keesokan harinya, sikap Sakura terhadap Naruto sudah lebih baik. Ya... memang begitu seharusnya, tidak alasan untuk marah sebenarnya. Sakura hanya sedang lelah kemarin.
"Oh iya, Sakura." Naruto membuka pembicaraannya— tanpa menambahkan suffix chan, takut-takut Sakura tidak suka.
"Kenapa?"
"Maaf soal kemarin dan kemarinnya lagi. Aku emosi."
"Hah?" Sakura pikir Naruto itu orang yang tidak tau kata maaf.
"Ya... Mungkin itu memang kesalahanku, jadi maafkan aku ya?" dia mengucapkannya dengan nada rendah. Benar-benar untuk minta maaf.
"Lupain aja. Bukan masalah besar kok, gak usah diperpanjang."
"Ya."
Mereka berjalan beriringan, Naruto sebenarnya agak terkejut dengan perubahan mood Sakura yang sangat drastis ini. Padahal menurut Shikamaru, Sakura itu termasuk tipe orang yang agak pendendam. Tapi sekiranya Naruto bersyukur Sakura dapat memaafkannya dengan cepat, entah kenapa dia rasanya tidak mau memiliki catatan buruk di hadapan Sakura. 'Sepertinya aku tertarik'.
.
.
.
"Pulang bareng yukk!"
Naruto kaget. Tadinya dia pikir bukan Sakura karena kemungkinannya kecil jika gadis itu mengajaknya untuk pulang bersama, tapi saat dia menolehkan wajahnya dari loker, benar saja. Itu memang Sakura.
"Eh! Tapi aku pulang dengan ini!" ucapnya dengan mengangkat sepasang sepatu roda berwarna hitam.
"Oh... Atlit ya?" nada suaranya terdengar kecewa sesaat, namun langsung berubah karena antusias melihat sepatu roda milik Naruto.
"Heh? Cuma hobi aja sih sebenarnya"
"Eh? Kirain... Emang bisa pake sepatu roda?" tanya Sakura cepat.
"Menurut lo?" ujar Naruto dengan nada bercanda.
"Hehe... Yaudah deh, duluan ya Namikaze-san"
"Ya" ucapnya. Saat Sakura nyaris melewati pintu ruangan itu, "Hati-hati, Sakura-chan!" Sakura sempat diam selama sedetik, namun segera tersenyum. "Ya"
.
.
.
TOSS
"Yes!"
Sakura dan Ino bersorak girang. Sikamaru yang berada di sebelah mereka hanya menghela napas heran. Dua perempuan ini, tidak bisa diprediksi. Calon dokter yang benar-benar gila.
"Kalian serius?"
"Tentu saja!" Ino bersorak.
"Aku tidak pernah se-serius ini!"
"Perempuan itu memang merepotkan" setelah itu Shikamaru segera masuk ke dalam bus yang sudah berada didepannya.
"Kau yang merepotkan, baka!"
.
.
.
.
.
.
Ino duduk di kursi panjang yang terletak di depan resepsionis Rumah Sakit di lantai dasar, di telinganya terpasang sepasang headphone yang tersambung dengan smartphone ungunya.
"Itu... Naruto kan? Sama siapa dia?"
"Itu Karin 'kan Sakura? Inget ga?" Amaru bersuara.
"Karin... Oh! Si cewek centil itu ya?"
Shikamaru justru menanggapinya dengan pujian yang membuat Sakura menampakkan wajah herannya. "Cantik"
"Makasih tuan Nanas!" entah bagaimana Ino tau, tapi Ino yang menanggapinya dengan nada yang terdengar begitu dipaksakan— padahal sama sekali tidak tau siapa yang sedang dibicarakan sebelumnya, tapi Ino tau itu bukan untuknya.
"Selera mu jelek sekali Shikamaru!"
"Ya... mau gimana lagi?" ucap Shikamaru melirik Ino.
"Apa?" dengan cekatan Ino melepaskan headphone-nya.
Kali ini Sabaku Gaara yang bersuara, " Bukannya kalian berpacaran?". Tanya Gaara, tepatnya kepada Ino yang ada di depannya. Ino tidak bersuara, namun hanya menganggukkan kepalanya dua kali, ke atas dan ke bawah. "Ya... Kalau selera Shikamaru jelek, berar—".
"Maksudmu aku jelek?"
"Tanya pada teman pink mu"
"Hei jidat!"
"Apa sih Ino... Masalah gitu aja dibawa serius. Biasa aja kali."
"Ih..."
Sakura mendiami Ino seterusnya, matanya masih terpaku pada sosok Naruto yang berjalan beriringan dengan wanita berkacamata itu. Keduanya terlihat akrab, sesekali Sakura menangkap basah mereka sedang tertawa lepas. Mereka tidak berjalan lambat, tapi tempo berjalannya terlihat begitu santai. Tidak terlihat seperti orang yang baru saja berkenalan, pikir Sakura.
Tapi dijarak yang cukup jauh seperti ini, Sakura dapat melihat Naruto yang berjalan sedikit tertatih. Ulangi, sedikit. Saking tidak tampaknya sampai tidak dapat disadari banyak orang. "Naruto kenapa?" tanya Sakura pada Gaara.
"Dia kemarin jatuh di kamar mandi" Shikamaru yang menjawab, Gaara hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak bicara padamu mr. Troublesome!" Sakura mengomel, dalam hati merutuki tingkah teledor Naruto.
"Jangan-jangan... Naruto-san pacaran sama Karin?"
"Siapa? Karin?"
"Kau gak akan kenal dia pig... Dia ikut pelatihan saat kita kelas dua di Kyoto, kau 'kan sakit. Dia juga gak satu sekolah sama kita."
"Uzumaki Karin ya? Dia temen kampus ku."
"Serius?" Sakura melotot.
"Iya, yang waktu itu aku bilang loh jidat! Ternyata bener dia mulai magang hari ini, asik..."
"Asik?" tanya Sakura pada Ino, sementara yang ditanya hanya bergumam yang berarti 'ya'.
.
.
.
.
"Oh... Cuma sepupu."
"Memang kenapa Sakura-chan? Kau cemburu ya~"
"Enak aja! Emang kau itu siapa, Naruto?"
Kata-kata Sakura yang terakhir itu cukup membuat Naruto terdiam. Naruto ya, pikirnya. Sakura masih diam tidak mengerti, namun sepersekian detik kemudian dia sadar apa yang dilakukannya.
Naruto.
Tanpa 'san'. Padahal seingatnya kemarin dia masih memanggilnya dengan nama 'Namikaze-san' di hadapan sang pemilik nama, tapi sekarang? Sakura tiba-tiba jadi malu sendiri.
"Maafkan aku. Aku tidak bermak—"
"Tidak apa-apa. Aku bahkan sudah memanggilmu 'Sakura-chan' dari kemarin-kemarin 'kan?" Sakura mengangguk mendengar penuturan Naruto yang matanya masih memandangnya. "Lagi pula, ini perkembangan yang baik."
To Be Continue
A/N : Holla~
I'm already back... Terimakasih untuk siapa aja yang masih setia nunggu atau sekedar baca cerita saya yang satu ini. Maaf kalau baru bisa update setelah berbulan-bulan. Terimakasih juga buat yang sudah me-review chapter-chapter sebelumnya. Terutama untuk Komuro Daichi yang udah setia banget sama cerita abal yang satu ini. Maaf untuk yang review dichapter kemarin gak bisa dibales satu-satu, tapi sekali lagi terimakasih banyak.
Oke, karena peraturan dari FFN sebenarnya gak boleh ada A/N kayak gini— kalo gak salah, jadi gak akan panjang lebar lagi. Oh ya, satu lagi. Maaf kalau yang ini belum memuaskan. Terimakasih.
See ya~