Title: Temanku dan Pengisi Hatiku

Disclaimer: Naruto belong to Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Crime

Pairing: NaruHina, KibaHina, KibaOC

Warning: Inside, and Standard Warning, DLDR

...

2. Geraman

.

.

.

.

Aku melangkahkan kakiku bersama dengan Gaara, sekolah masih dalam keadaan sepi.

"Ke bangku itu," tunjuk Gaara.

Aku hanya bisa menuruti Gaara. Berjalan disampingnya sambil memikirkan rambut panjang Hinata yang tergerai dengan wajah yang manis, entah mengapa diriku menegang dengan darah yang berdesir.

Bangku taman itu masih lembap, namun Gaara telah duduk dibangku tersebut sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya itu.

Buku tersebut pasti bertemakan filsafat atau beberapa lainnya yang sering Gaara baca.

Entah mengapa Gaara selalu menggaruk seluruh tubuh bagian atasnya ketika dia sedang membaca buku.

Sebuah van berwarna hitam memasuki parkiran sekolah dan berhenti menurunkan dua orang dari dalam mobil satu bertubuh sedikit tinggi dan satu bertubuh lebih pendek dari kami. Mereka Utakata dan Konohamaru ke dua kakak beradik Sarutobi anak Freg yang ramah.

Mereka tersenyum kepada kami, aku membalas senyuman mereka sedangkan Gaara meringis sambil menggaruk seluruh badannya.

"Kalian terlalu pagi," ucap Utakata ketika mendekati kami.

Dia duduk disampingku dan Konohamaru duduk disamping Gaara.

"Biasa, seperti kau tidak mengetahui Hana saja Ute."

Aku memperhatikan Gaara.

"Kenapa kau Gaara?" tanyaku khawatir.

Dia menatapku kesal.

"Ini karena baju Lian," jawabnya. "Sudah berapa lama baju ini tidak di cuci?"

Aku hanya menggaruk belakang kepalaku.

"Sekitar lima bulanan," jawabku.

Wajah Gaara membelalak mendengar jawabanku. Dia melepaskan baju tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.

"Konohamaru temani aku," perintah Gaara berdiri dengan badan yang menggigil.

"Kenapa harus aku?" tanya Konohamaru.

Tanpa menjawabnya Gaara menarik Konohamaru mengikutinya pergi membeli baju.

Utakata tertawa memegang mainan gelembung ditangannya.

'Dasar kekanakan' aku melihatnya meniup gelembung tersebut.

"Bagaimana dengan Lian? Ku kira bisnis bengkelnya lancar." Utakata memulai pembicaraan setelah membuang sabun itu.

"Darimana kau tahu? Aku saja tidak tahu," kernyitku.

"Yahiko dan tentu saja mantan pacar kakakku yang brengsek itu Shisui Uchiha," ucap Utakata menekankan kata-kata terakhirnya.

"Tenanglah Ute," aku berusaha menenangkannya yang ku tahu itu sangat sia-sia.

Kami terdiam, bingung dan sepi ditemani dengan banyaknya para pelajar yang berdatangan.

"Sepertinya aku akan mencari Gaara," kata Utakata mengundurkan diri.

Kini aku sendirian di bangku taman yang lembap, sungguh roman picisan yang dapat mengalahkan opera sabun sekalipun.

'Kau terlalu berlebihan Kiba,' pikirku.

Aku menatap bosan ke seluruh penjuru sekolah, bahkan Shikamaru yang sekarang memakai kemeja dan tertawa-tawa dengan Kankurou dan Sasori membuatku bosan. Kankurou seperti biasa dia bertelanjang dada sama seperti ke dua orang tersebut jika tidak bersekolah. Dia mengacak rambut Sasori dan berlalu meninggalkan ke dua orang itu berbalik berjalan kaki.

Sungguh gila menyaksikan mereka berdua yang kini berjalan memasuki ruangan sekolah, aku berdiri bersama kedatangan seseorang. Dia memelukku dari belakang. Pertanda buruk.

Aku membalikkan badanku dengan bosan. Sebuah sentuhan lembut yang dingin menyentuh bibirku.

"Kau menungguku?" tanyanya.

Ingin kujawab tidak, tapi itu akan menambah masalah yang baru dan tentu saja berat dengan tangisan mendera.

Akhirnya aku tidak menjawab pertanyaannya.

"Ayo," dia menggelanyuti tanganku.

"Kapan kau pindah?" tanyaku.

Dia mengedikan matanya tidak suka.

"Tidak tahu, dad sedang mengurusnya, namun di bulan ini aku akan pindah" jawabnya murung.

Ingin aku bersorak dalam hati mendengar jawaban darinya.

"Oh jangan murung begitu Hiko, kau pasti terkenal di sekolah barumu," dustaku.

Sudah dipastikan wanita ini tidak akan terkenal bahkan di Jepang sekalipun.

Wajahnya sedikit ceria.

Kami berdua berjalan dan berpisah di koridor yang berlainan. Aku mensyukuri itu. Namun tidak mensyukuri kelas apa yang ku masuki, kelas sejarah yang membosankan.

Aku menatap papan putih yang telah berserakan dengan tulisan yang sungguh menyakitkan mata tersebut. Bahkan aku akan menirukan Shikamaru yang biasanya tertidur di dalam kelas, seandainya saja itu bisa dilakukan di kelas ini.

Sang 'pendongeng' dari neraka itu seakan-akan menatap kami bagai makanan yang cocok bagi bara api nerakanya membuatku sedikit ingin keluar dari kelas ini.

'Tenanglah Kiba, lima bulan lagi kau akan bebas dari kelas neraka ini,' tenangku pada diriku sendiri.

Helaan nafas yang berat ku hela dari hidung. Aku membayangkan sesuatu yang menyenangkan, mungkin bermastrubasi dengan membayangkan wajah Hinata, singkirkan itu dari pikiranmu Kiba.

"Bagaimana kau sebutkan apa saja yang kau ketahui mengenai perang dunia ke dua?" tanya pendongeng neraka itu.

Sumpah kali ini aku berharap kepada arwah nenek moyang dan juga yang terlebih dahulu meninggal untuk membantuku kali ini dari si pendongeng neraka itu.

"A-anu s-sir..." gagapku.

Triiiiing...

Syukurlah arwah nenek moyang mengabulkan permintaanku, aku membawa tasku yang sama sekali tidak ku keluarkan isinya daritadi mencatat sejarah, aku bersorak gembira dengan itu. Kelas ke dua Fisika, pelajaran yang sangat ku sukai. Namun tempat duduknya yang tidak ku sukai, bersama dengan Hiko. Aku lebih menyukai menukar tempat dudukku dengan kelas sejarah yang menyiksa itu, walaupun jika dipikir kembali aku lebih menerima semeja dengan Hiko ketimbang mendengar ocehan tidak jelas dari pendongeng neraka itu.

Aku duduk dengan mengeluarkan bukuku dan penaku tanpa melihat kesamping sembari menyalin tulisan di papan tulis ke kertas buku yang bergaris dengan pena yang hampir habis tintanya. Penjelasan pelajaran sekarang mengenai kuat arus listrik, cukup menguras otak namun menyenangkan dibandingkan sejarah. Hampir kulalui di kelas Fisika tanpa halangan, sampai bel berdering nyaring. Tangan yang lembut itu merangkul tanganku ketika aku akan keluar, kami keluar bersama melewati koridor yang ramai dengan anak yang menuju kafetaria. Dapat kurasakan tarikan dari lengan itu menuju ke koridor yang sepi tidak dinganggu oleh siapa pun. Aku menghela nafas pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Ini kesalahanku menembak perempuan ini menjadi pacarku beberapa bulan yang lalu. Wajah Hiko mendekati wajahku melumat bibirku menyapu pelan bibir bawahku meminta izin memasuki bibirku, aku membuka bibir itu menerima 'aduan pedang' yang telah biasa kami lakukan bersama. Awalnya aku tetap mempertahankan supaya lidahku tidak ikut hanyut dalam ritme permainannya, namun itu susah –sangat susah dengan bibir paling mematikan seantero Konoha Reservation Junior School dalam melakukan hal seperti ini.

Tubuhku mendekap tubuhnya yang ringkih, darah berdesir aneh di sepanjang nadiku dan beberapa aliran darah. Ku rasa aku menegang dengan badan yang memanas ingin minta dipuaskan. Aku semakin mendekap erat dan memperdalam lumatanku, setidaknya walaupun aku tidak mencintainya namun sangat menikmati ritme permainannya. Ku rasakan oksingen semakin menipis pada paru-paru, aku memerlukan sel-sel darah merah kembali bekerja memasok oksigen ke tubuhku. Lumatan itu berakhir dengan deru napas yang belum stabil. Baru ku sadari bahwa menghirup udara itu adalah suatu nikmat yang sangat berharga bagi kehidupan, aku menghisap saliva yang manis itu kemudian berjalan menuju kafetaria bersama Hiko disebelahku. Dering nada telepon berasal dari kantung saku Hiko, dia mengangkatnya menjauh dari diriku membuatku bersyukur.

Aku menduduki diriku ke bangku terdekat menunggu Hiko selesai dengan peneleponnya. Selang beberapa menit dia kembali dengan wajahnya yang bermuram durja. Dia menatapku tidak semangat, tidak seperti ketika kami berdua saling melumat.

"Ada apa?" tanyaku menatapnya.

Dia menatapku lebih dalam.

"Dad baru saja menelepon, besok kami akan berangkat menuju bandara," jawab Hiko muram.

'Akhirnya neraka ke dua telah hancur' sorakku dalam hati.

"Ya su-," perkataanku terpotong dengan bel yang berbunyi nyaring tanda pelajaran akan dimulai.

Akhirnya aku tidak dapat menikmati istirahatku di kafetaria.

...

"Dimana kau sembunyikan alat penyadap itu?" tanyaku kepada Hana dengan tatapan tajam.

Hana masih tidak ingin menatapku dengan cara membersihkan yang telah bersih.

"Oh ayolah Hana jawab," pintaku.

Hana menghela nafasnya mendongakan kepalanya bukan menatapku melainkan Obito Uchiha bersama denga Itachi disebelahku yang sedang menikmati muffin buatan kakakku. Aku cukup kesal karena bukan Hana yang menjemput kami tadi siang sehabis sekolah melainkan Obito Uchiha, yang langsung pergi setelah berjumpa dengan keluarga Uzumaki ke dalam hutan entah mengapa dan sekarang dia bersama dengan Itachi adik sepupunya karena dia telah berumur dua puluh satu tahun.

"Di bawah radio," jawab Hana.

Aku bersorak sorai.

"Sudah puas?" tanya Hana.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Sekarang pergi, ke kamarmu atau kau bermain dengan konsol murahan yang menjijikan itu," omel Hana padaku.

Karena malas mendengarkan ocehan dari Hana aku keluar dari dapur, namun aku masih mendengar percakapan yang tadi sempat kupotong dengan sengaja.

"Obito bisa di tempatkan di bawah Sasori atau Kankurou," ucap Itachi.

"Tidak, itu tidak ada pada sistem hieraki..." entah mengapa jika membahas ini suara manja dari Hana kepada Itachi tidak terdengar.

Aku menidurkan diriku pada bantal di ruangan menonton. Hanya game GTA yang kumainkan, sangat membosankan dengan gerakkan L1 R1 untuk berciuman di dalam game. Aku mematikan permainan. Berdiri dan berjalan menuju rumah Gaara atau paling tidak rumah Chouji.

Aku berjalan menuju rumah Chouji. Tempat terbau di reservasi karena hasil pelatihan Chouji yang sumpah sangat menyiksa itu. Sayup-sayup terdengar alunan musik aerobik dari dalam ruangan yang dahulunya garasi disulap menjadi tempat khusus untuk Chouji berlatih..

"Lebih baik kau ke rumahku saja berlatihnya," ucapku memasuki ruangan itu.

"Ide bagus," Chouji mematikan tape recorder dan keluar dari ruangan itu.

Tampak raut ceria di wajahnya.

"Aku nanti menemuimu," tepukku pada bahu Chouji.

Dia hanya tersenyum maklum dan berbalik berjalan ke rumahku.

Aku berjalan menuju rumah Hiko yang berada di tepi jalan karena dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya, katanya ingin meninggalkan kenangan kepadaku –alasan yang konyol. Ku hirup oksigen semakin cepat dengan langkah kakiku menuju rumah Hiko.

Tok... tok... tok..., aku mengetuk pintu rumah Hiko yang tampak sepi tidak ada penghuni, aku terus mengetuk pintuku hingga secarik kertas tampak menempel di sebelah rumah itu.

Pergi ke bandara

Hanya itu saja yang tertulis pada secarik kertas itu.

'Dasar merepotkan,' keluhku. Aku kembali berjalan sambil menatap rerimbunan hutan yang hampir menyelimuti sebagian wilayah ini.

Srek, srek. Terdengar gesekan dari wilayah hutan, aku melihatnya dengan mataku dan pupil yang semakin mengecil menatap objeknya fokus. Dua ekor serigala, satu berwarna hitam pucat dan satu lagi berwarna hitam kebiru-biruan yang sedang bergerak, itu serigala yang besar sangat besar. Aku berjalan cepat untuk bergerak menuju reservasi yang sedikit terbuka dibandingkan daerah hutan ini, aku masih tidak mempercayai penglihatanku itu. Ada serigala di reservasi? ku rasa ayahku tidak pernah mengatakan bahwa di tempat ini ada serigala bahkan ketika aku berumur lima tahun yang sering bermain ke dalam hutan bersama dengan sepupuku dan juga teman-temanku tidak pernah sekalipun Nathan Kiwa Inuzuka sang ketua suku yang hanya dapat dikalahkan oleh mom –menceritakannya kepada kami khususnya aku.

Lega rasanya ketika kembali ke reservasi.

Tiiin... tiiin... tiiin...

Suara klakson mobil membuatku menatap mobil yang mengklaksonku.

"Kau mau jalan saja atau naik," tawar Hinata membuka pintu samping kanan.

"Naik," kataku. "Aku mau ke dalam juga."

Aku memasuki mobilnya, lalu menunjukkan arah rumahku. Tampak Chouji sedang berlatih di bawah pohon dengan bertelanjang dada dan onggokan yang ku duga sebagai baju Chouji tergeletak dibawah kursi. Kami keluar dari dalam mobil. Hinata berjalan mendekati pohon rimbun tempat Chouji berlatih.

"Hati-hati Chouji sedang berlatih," larangku dan dia menuruti laranganku.

"Untuk apa dia latihan?" tanyanya. Kami duduk diteras rumah bersamaan datangnya Hana yang membawa makanan ringan dan teh hangat dinampannya.

"Menguruskan tubuhnya," jawabku. "Dulu dia gemuk, namun setelah tiga bulan ini berlatih, tubuhnya telah menyusut."

Aku menyaksikan dia memakan muffin buatan Hana dengan anggunnya.

"Jadi penjelasan apa yang kau inginkan?" tanyaku sembari menyeruput teh.

"Baiklah," mulainya. "Akhir-akhir ini aku sering merasa demam dan mimpi aneh sekali."

"Mimpi apa itu?" tanyaku penasaran.

"Mimpi menjadi Serigala," jawab Hinata membuat ku sedikit terkejut. "Oh lagipula itu hanya mimpi bukan, mimpi itu bunga tidur."

'Tadi serigala sebenarnya dan sekarang mimpi Hinata, aneh.' batinku

"Iya, itu hanya mimpi saja," ucapku membenarkan perkataanku.

Dia menyeruput teh sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru reservasi.

"Oh ya, aku lihat kau pandai mereparasi mobil dan sepeda motor," kata Hinata. "Bisakah kau mereparasi sepeda motor, aku jatuh cinta dengan sepeda motor yang baru saja ku ambil dari tempat sampah. Yah walaupun perlu perbaikan disana sini, bisakan."

"Tentu saja, tapi kau harus membawa motornya ke sini," ujarku tertarik.

"Oke, berarti kita sepakat." Hinata mengangkat tangannya dan menanti aku menyambut tangannya untuk bersalaman tanda sepakat..

"Yeah, kita sepakat," aku menatapnya dengan sunggingan senyuman.

Setelah itu hanya sunyi yang berada antara kami, hujan telah datang mengguyur Konoha, Choji berlari dengan cepat berlindung diteras rumah.

"Kau basah Choji," ucap Hinata khawatir.

"Oh ini tidak apa-apa kok," acuh Chouji.

"Arrrgh," tiba-tiba Hinata menggeram entah mengapa.

"Kau kenapa Hinata?" tanya Choji khawatir.

"Aku tidak tahu," jawabnya seperti menahan rasa sakit yang kemudian tiba-tiba berubah.

"Sepertinya kau harus menginap disini Hime," tawarku.

"Oh tidak, terima kasih," tolak Hinata.

"Tapi kau akan kedinginan nanti," ucapku khawatir.

"Aku tidak apa-apa," keras Hinata masih tetap menolak penawaranku.

Hana keluar dari dalam rumah, mungkin karena mendengar keributan dari kami bertiga. Aku lihat dia menggenggam sebuah telepon genggam ditangannya.

"Ada apa ini?" tanya Hana menatap kami dengan mata tajam.

"Tidak ada apa-apa," jawab Hinata.

"Dia ingin pergi di saat hari hujan-hujan begini," teriakku karena suara guntur dan kilat membuat suara yang tadinya keras menjadi kecil.

"Nanti saja pulangnya, ayo masuk ke dalam kelihatannya hujan akan semakin deras," tawar Hana kepada Hinata. "Dan aku tidak ingin ada penolakkan," paksa Hana.

Kami memasuki rumah yang penuh dengan obrolan orang walau tidak terdengar dengan jelas. Hinata menatap tanda suku Quileute yang terpajang di dinding karena ayahku salah satu ketua jadi diwajibkan bagi lima ketua untuk memajangnya di dalam rumah yang menurutku itu sungguh sangat merepotkan.

"Itu tanda suku kami," sahut suara Hana.

"Tanda?"

"Yeah, moyang kami sebenarnya bukan datang dari sini melainkan dari Amerika Serikat, jadi sebagai pengingat bahwa kami memiliki tanah moyang, maka kami memakai tanda suku kami," ucapku.

"Eh, nama sukumu itu apa?" tanya Hinata penasaran.

"Suku Quileute, dulu hidup nomaden tapi seribu tahun telah menetap di Washington tepatnya di Forks, kami sering berkunjung ke sana," jawab Hana.

"Arrgh," kembali Hinata menggeram.

Aku mengembalikan pandanganku dari rombongan Gaara, Yuki, Utakata dan Konohamaru yang menjauh dari rombongan lainnya sedang mengobrol.

"Kau kenapa Hinata?" tanya Hana khawatir.

"Oh tidak apa-apa," jawabnya yang ku tahu itu hanya untuk menenangkan kami..

"Benarkah," ucap Chouji memastikan.

"I-iya," kata Hinata lemah.

Dan kemudian geraman kembali menggema dari mulut Hinata, dia seperti akan pingsan untuk saja aku bisa menangkapnya sebelum dia terjatuh. Orang-orang berdatangan termasuk antek-antek Shisui dan teman-temanku –mengerubungi Hinata.

"Biar aku membawanya ke kamar," ucap Shisui.

Aku mendelik marah.

"Kamar Kiba, kamarku sedang dipakai sebagai perawatan mereka yang terluka tadi," entah apa yang dibicarakan Hana, dia menyuruh Shisui memasuki tubuh Hinata ke kamarku yang untung saja telah ku rapihkan.

Dengan cekatan Hinata mempersiapkan air hangat, sedangkan Yuki pergi ke dapur entah membuat apa. Aku duduk disebelah teman-temanku, mereka seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi sedangkan antek-antek Shisui juga kelihatan bingung sembari memperhatikan secarik kertas yang telah lusuh dan juga telah banyak bekas coretan yang tampak.

"Dia tidak ada pada daftar ini," bisik Kankurou pada Sasori memberikan daftar itu.

Aku menatap mereka heran.

"Hana, ramuannya sudah jadi," teriak Yuki mengatasi suara guntur yang kembali membahana.

Hana mengambilnya dan tersenyum kepada Yuki penuh terima kasih. Yuki menjawabnya dengan anggukkan namun dia bergegas mendekati kami ketika Shisui akan mendekatinya, tampaknya Yuki masih sakit hati melihat Shisui dengan pasangan yang lain sebulan setelah mereka putus setahun yang lalu.

Aku berdiri memasuki kamarku yang telah kosong dan hanya diisi oleh Hinata saja dan kemudian membuka bajuku mengingat kembali rangkaian buku tips mempertahankan hidup kau harus saling berpelukkan untuk saling menghangati dan aku melakukannya setelah bertelanjang dada dan masuk ke dalam selimut tempat Hinata berada untuk menghangatkannya. Aku tidak bisa tertidur dengan desiran darah yang semakin deras mengeluarkan persedian darahnya.

'Kuasai dirimu Kiba,' batinku kembali berusa menghangatkan Hinata.

Aku hampir menutup mataku entah jam berapa ketika Hana memasuki ruangan itu.

"Kiba jangan tidur disana, dia masih panas," teriak Hana ketika memasuki kamarku.

Aku membalas teriakannya dengan gerutuanku. "Owh, jangan seperti itulah, aku hanya menghangatkan dia."

"Uugh" sebuah erangan keluar dari Hinata.

"Kau lihat bukan, minggir kau," Hana menyuruhku menyingkir dari Hinata.

"Kau tidak apa-apa Hinata," ucap Hana membuka selimut Hinata.

"Ku-kurasa be-begitu Hana," kata Hinata dengan suara yang gemetar.

"Kalau begitu minum ini, ini masih terlalu pagi untukmu terbangun," ujar Hana sambil menyodorkan segelas minuman berwarna merah kepada Hinata yang ku tahu itu adalah ramuan yang dibuat oleh Yuki.

"Apa ini?" tanya Hinata penasaran.

"Minum saja, kau membutuhkannya sekarang," jawab Hana.

"Terima kasih Hana," ucap Hinata setelah meneguk habis ramuan itu, kemudian dia tertidur.

Aku menatapnya penuh perhatian.

"Kau keluar, dia seorang gadis Kiba," gemerutuk Hana.

Aku tahu itu adalah murkanya Hana.

"... kau bisa saja memperkosanya," omelan Hana masih lanjut dan menyuruhku untuk tidur disofa sementara dia memerintahkan kepada Chouji, Gaara, Utakata dan Konohamaru untuk pulang sementaru Yuki merawat 'pasien' steroid Hana yang ada dikamarnya sementara dia berdiskusi serius dengan kelompoknya.

Aku meneliti memandang kelompok kecil itu. Kulihat Shikamaru, Itachi, dan Obito tidak ada disana, aku tahu sekarang Shikamaru masih ada dihutan bersama Itachi yang ku rasa memasang sabu atau heroin ditubuh mereka sementara itu Obito sedang di rawat Yuki mungkin teler entah menegak apa.

Sejam, dua jam, aku habiskan dengan tidur yang gelisah.

"Kau, bawa ramuan ini kepada Hinata," perintah Hana dengan ramuan yang seperti air putih itu.

Aku membawa gelas itu ke kamarku dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Aku tertidur disebelah Hinata dengan memunggunginya berbeda dengan yang tadi.

...

"Akh," teriak Hinata membangunkanku dari tidur. "Hu ... hmuh ... hmuh."

"A-ada apa Hinata?" tanyaku membalik tubuh menatap Hinata

"Hosh ... hosh ... hosh." Keringat dingin sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulitmya, dia kelelahan dan itu –errgh sangat seksi.

"Minumlah." Aku mengambilkan ramuan itu memberinya minum.

"Sudah jam berapa sekarang?" tanya Hinata.

"Baru jam tiga, kalau kau mau tidur lagi, tidurlah," jawabku

"Aku tidak ingin tidur lagi," kata Hinata bangun dari tempat tidur itu dan duduk dipinggir tempat tidur, aku menduduki diriku di sampingnya.

"Kenapa?" tanyaku padanya.

"Aku mimpi buruk tadi," jawab Hinata. Kepalanya dia senderkan ke bahuku membuat detak jantungku berdetak tidak karuan.

"Mimpi apa?" tanyaku membelai rambutnya dengan jari-jariku.

"Owh, kau pasti akan menertawakannya Kiba, mimpiku ini sangat aneh, lebih aneh daripada sangat aneh," kata Hinata.

"Oke jelaskan saja mimpi yang aneh lebih aneh dari aneh itu," ucapku menirunya supaya dia menceritakan mimpinya itu.

Dia menarik nafas sebelum aku menjelaskan sesuatu padaku. "Aku bermimpi bahwa aku menjadi santapan vampire."

Cara dia menjelaskannya sungguh indah dengan alunan merdu yang keluar dari dalam bibirnya, ingin aku melumat bibir itu. Darah berdesir cepat dengan detak jantung yang tidak beraturan yang kurasakan dan tubuhku yang menegang dengan pikiran kotorku.

"Ada apa Kiba, tubuhmu menegang," ucapnya panik menatap diriku.

Aku kembali ke dunia nyata dan bersyukur pikiran kotor itu menjauh dari otakku. "Tidak apa-apa," aku berusaha menenangkannya.

Hinata bangun dari tempat tidur berjalan sedikit mendekati jendela untuk melihat keluar. Aku menatapnya yang jika ku potret akan menimbulkan sesuatu yang sangat indah.

"Kiba," mulai Hinata

"Ada apa Hinata?" tanyaku. Aku sedikit berharap dia mengatakan aku mencintaimu dari bibirnya yang seksi.

Hinata berbalik menatapku, dia meneliti dari atasku yang tidak memakai baju hingga ke bawah. Kuharap otak Hinata masih normal tidak memikirkanku secara macam-macam melihat tubuhku yang tidak berbalut baju.

"Apa kau tidur seranjang denganku tadi?" itu sungguh-sugguh sangat mengecewakanku

"Tidak juga," jawabku. "Lima belas menit setelah kau tertidur kemarin aku keluar bersama dengan Hana dan satu jam yang lalu aku berada seranjang denganmu."

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya tajam penuh selidik.

"Tidak ada, aku hanya berbaring membelakangimu," jawabku santai, ternyata pikiran kotor itu tidak terjadi, aku menyibakkan surai panjangku ke belakang yang tadi sedikit berantakkan.

"Benar?"

"Tentu saja benar Hime."

"Huft," desahnya lega.

Aku juga bersyukur karena itu, aku membawa gelas ramuan keluar dari kamar meninggalkan Hinata dikamar.

Hana menatapku penuh selidik.

"Kau memperkosanya?" tanya Hana.

Aku bergidik ngeri ketika kulihat stik bisbol di tangan kanannya.

"Tentu saja tidak, kau kira wajahku, wajah pemerkosa apa," gerutuku menyerahkan gelasku.

Aku berjalan menuju ruang menonton, tampak disana Yahiko, Shikamaru, Itachi, Kankurou, Sasori sedang mengobrolkan entah apa tanpa adanya Shisui sang ketua 'Pemakai steroid.'

"... nomaden menghampiri kita, alfa kini sedang menghubungi keluarga Uzumaki mengenai penyerangan itu, ku rasa mereka tidak ada hubungannya," bisik Kankurou secara keras.

"Belum tentu, siapa tahu itu..." bisikkan itu semakin mengecil.

Shikamaru menatapku, aku mengacuhkan tatapannya dan berjalan ke sofa ruang tamu untuk menidurkan diriku.

...

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

.

...

A/N: Huft, sungguh sangat membutuhkan perjuangan ditambah dengan keringatan membuat adegan-adegan itu. Otak mesum author sedang jalan padahal ini masih lebaran. Yang OC disini hanya Hiko saja sementara Yuki itu saya ambil dari tokoh the movienya.

.

.

.

.

Rnr?