Chapter 23

Konoha

Hanabi mengerutkan keningnya melihat laporan keuangan keluarga hyuga dari suna yang harus ia tanda tangani, sepertinya bisnis di suna sedikit lesu, harus segera ditangani, jika tidak perusahaan air minum mereka disana akan bangkrut.

"Keuntungan perusahaan air minum ternyata lumayan ya...?"

Hanabi terlonjak, ia menoleh dengan cepat sambil mengambil kunainya.

"Oh...ternyata kau paman." Kata Hanabi menghembuskan nafas lega.

Sasuke mengernyit, kenapa sih tunangannya ini tidak bisa memanggilnya dengan nama saja. Jarak umur mereka kan tidak terlalu jauh.

"kenapa kau selalu memanggilku dengan sebutan paman. Aku tidak setua itu tahu" kata Sasuke kesal.

"Kenapa kau tak mau mengakui bahwa kau sudah tua, ckckck...aku tak akan memanggilmu sensei karena sekarang kau bukan seorang senseiku. Nanti kalau kita sedang latihan, aku akan kembali memanggilmu sensei." Kata Hanabi tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen-dokumen yang memusingkan kepalanya.

"Kau bisa memanggilku dengan namaku...ehem.." kata Sasuke hati-hati. Ia berjuang agar pipinya tidak memerah ketika Hanabi memandangnya lekat-lekat.

"Apa? Kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Sasuke tak nyaman.

"Orang-orang bilang kau tak suka di panggil dengan nama depanmu, kau lebih suka dipanggil dengan nama keluargamu" kata Hanabi sambil mengernyit bingung.

"Aku tak suka dengan orang-orang yang sok akrab" kata Sasuke cuek.

"Hmmmm berarti aku harus memanggilmu uchiha san, begitu?"

"Kau kuizinkan memanggilku Sasuke" kata Sasuke keras kepala. Hanabi hanya nyengir. Ia ingat teman-teman perempuannya sangat iri mendengar Hanabi dilatih shinobi hebat dan tampan seperti Sasuke. Mereka sering berbisik-bisik tentang betapa dinginnya Sasuke uchiha. Hanabi hanya memutar bola matanya jika mendengar hal itu. Menurutnya sifat Sasuke lebih mirip dengan laki-laki yang hasrat seksualnya sudah lama tidak disalurkan sehingga suka marah-marah. Tentu saja Hanabi tak akan mengatakan hal ini pada teman-temannya. Bisa-bisa ia dikeroyok.

"Aku dengar ayahmu pergi cukup lama, memangnya beliau kemana?"tanya Sasuke penasaran. Tadi Sasuke memang berniat menemui calon mertuanya untuk mempercepat pernikahannya dengan Hanabi. Tapi ternyata saat ia datang mereka mengatakan sudah seminggu lebih calon mertuanya itu pergi keluar desa untuk urusan mendesak.

"Menjemput nee-sama pulang kekonoha" kata Hanabi tanpa mengalihkan matanya dari dokumen yang diperiksanya.

"Menjemput Hinata?" bisik Sasuke tak percaya.

"Iya...dulu nee-sama hanya pulang sebentar. Setelah itu kan pulang lagi ke roppan gara-gara burung hantunya sakit. Ayah menunggu-nunggu kepulangan nee-sama, tapi setelah beberapa minggu nee-sama tidak pulang-pulang. Jadi ayah memutuskan untuk menyususlnya kesana" jelas Hanabi panjang lebar.

"Ke...kenapa aku tidak mendengarnya?" tanya Sasuke

"Buat apa aku memberitahumu, kau kan bukan keluarga hyuga. Lagipula aku sekarang sudah bisa menggantikan tugas ayah, jadi ayah mau menjenguk nee-sama selama apapun tidak akan ada masalah" jawab Hanabi santai.

"Ngomong-ngomong aku ingin mencoba restourant baru dekat gedung hokage, paman mau menemaniku?" lanjut Hanabi dengan senyuman manis.

Seketika senyuman Hanabi menghilang ketika melihat uchiha Sasuke sudah tak ada diruangannya.

####

Hening beberapa saat terasa mencekam. Arata dan Kanata hanya memandang kedua orang tuanya dengan kakek-kakek yang berada di kamar mereka secara bergantian. Sementara Hiashi menatap Naruto dan Hinata dengan tatapan tajam.

Otak Naruto serasa membeku karena bingung apa yang akan ia lakukan. Ia melirik Hinata yang berada disampingnya dengan wajah menunduk.

Hiashi menghembuskan nafasnya berat.

"Apa ada yang mau menjelaskan?" tanya Hiashi setelah beberapa saat masih saja hening. Ia melirik kedua cucunya yang sekarang berlindung dibalik badan orang tuanya sambil sesekali mengintip untuk melihatnya dengan takut-takut.

"Bi... biar Hinata jelaskan ayah" kata Hinata memberanikan diri. Hinata tahu suatu saat ayahnya akan tahu tentang Arata dan Kanata. Tapi ia tak menyangka ayahnya harus tahu secepat ini.

" Biar saya saja yang jelaskan Hiashi sama..." kata Naruto cepat. Hinata memandang Naruto heran. Hiashi Cuma memandang Hinata dan Naruto secara bergantian.

"Naruto san biar saya saja yang..." Hinata menutup mulutnya begitu melihat pandangan Naruto.

"Anak-anak belum makan siang, perjalan tadi pasti sangat melelahkan untuk mereka. ajaklah mereka makan siang. Biar aku yang menjelaskan hal ini pada ayahmu" bisik Naruto tegas. Hinata tahu dari nada bicara Naruto bahwa Naruto sedang tidak bisa dibantah.

"Ikuti aku namikaze" kata hashi dengan suara dingin.

Naruto mengikuti Hiashi keluar ruagan denganwajah kaku. Ia telah mempersiapkan diri. Apapun yang akan Hiashi katakan atau lakukan asalkan itu tak membuat Hinata atau anak-anak mereka terluka maka Naruto akan terima.

####

"Kaa-chan..kakek-kakek tadi ciapa?syelam..." kata Arata tampak ketakutan. Hiashi hampir tidak pernah menampilkan wajah ramahnya pada siapa saja. Bahkan pada kedua putrinya pun Hiashi sangat jarang bersikap penuh kasih sayang.

"Um...kakek tadi otousannya kaa-chan...jadi kalian harus hormat dengan kakek itu ya." Kata Hinata lembut. Detak jantungnya belum kembali normal setelah tadi melihat ayahnya tiba-tiba muncul di kamar anaknya.

"Namanya kakek ciapa kaa-chan?" tanya Arata ingin tahu.

"Kakek Hiashi sayang" kata Hinata sambil mencoba tersenyum.

"Berarti kita punya kakek ya nii-chan" kata Kanata semangat. Ia pasti senang sekarang setelah tahu ia punya ayah ternyata mereka punya kakek juga.

"Iya...tapi kok kakek kita syelam cih kaa-chan" kata Arata merajuk," Alata pingin kakek kita jangan itu. Kakek kita diganti aja kaa-chan" lanjut Arata manja. Ia tak mau kakek yang seram, ia ingin kakek yang hobi main.

Hinata yang mendengar rengekan Arata hanya meringis. Bagaimana bisa ganti. Memangnya barang bisa ganti seenaknya.

"Tidak bisa Arata sayang...kakek Hiashi tidak bisa diganti" kata Hinata sabar. Ia tidak tahu apa yang akan ayahnya lakukan jika mendengar Arata tidak mau mengakuinya sebagai ganti.

"Tukal dengan kakeknya seijulo aja kaa-chan" usul Kanata semangat. Hinata hanya meringis mendengar perkataan Kanata mau menukar kakeknya dengan kakek temannya, seijuro yang berprofesi membuat mainan anak.

"Tetap tidak bisa sayang..." bujuk Hinata lembut.

Sejujurnya Hinata juga tidak tahu apa ayahnya mau mengakui jika ia telah punya cucu. Raut wajah ayahnya tadi sama sekali tidak bisa ditebak. Apa ia akan dibuang oleh keluarga hyuga karena hamil diluar nikah?, dimana ia akan tinggal bersama anak-anaknya jika mereka diusir? Apa Naruto benar-benar mau membantu mereka?.

"Ayo kita makan siang digazebo belakang, biar kaa-chan siapkan makanannya sementara kalian siap-siap cuci tangan terus nunggu di gazebo belakang ya?" kata Hinata sambil berusaha tersenyum.

"Um...kita nggak nunggu touchan ya kaa-chan?" tanya Arata polos.

"Touchan sedang bicara masalah orang dewasa dengan kakek jadi mungkin touchan akan telat" kata Hinata mencoba menjelaskan.

"Ooooh..." kata Arata dan Kanata bersamaan. Kelihatan sekali mereka kecewa karena tidak bisa makan bersama ayah mereka.

Hinata menyuruh anak-anaknya untuk ke gazebo sementara ia kedapur untuk memnyiapkan makanan.

Hinata bisa melihat hampir semua pegawainya menatap Hinata dengan pandangan ingin tahu. Hinata yakin mereka sudah bergosip ria.

"Bi...tolong siapkan makanan untuk tiga orang ke gazebo seperti biasa ya" perintah Hinata pada bibi Ginko begitu melihat Bibi Ginko muncul di dapur. Awalnya Hinata ingin menyiapkan makannya sendiri. Begitu tahu ia jadi pusat perhatian dadakan, ia memilih menunggu saja digazebo belakang bersama Arata dan Kanata.

"Iya Hinata sama" ucap bibi Ginko seraya memberi pandangan peringatanpada pegawai yang berbisik-bisik tadi.

#####

Hinata melihat kedua anaknya tidur-tiduran digazebo belakang. Memang khusus gazebo itu Hinata melapisi lantainya dengan karpet tebal yang lembut. Dulu ditempat itulah kedua buah hatinya belajar merangkak dan berjalan. Walaupun saat belajar berjalan kadang mereka sampai keluar gazebo.

Pernah Hinata menunggui mereka bermain saat mereka sudah bisa berjalan, Kanata tercebur kekolam ikan samping gazebo. Bukan hanya Kanata yang menangis, Hinata juga ikut menangis , ia merasa bersalah karena hampir membuat Kanata celaka. Saat itu ia sedang memperhatikan Arata sehingga tidak menyadari bahwa diam-diam Kanata telah berjalan tertatih-tatih sampai tercebur ke kolam.

"Anak-anak kaachan kenapa lemes begitu?" kata Hinata melihat anak-anaknya hanya tidur-tiduran di gazebo. Gazebo itu memang dibangun lumayan luas sehingga biasanya Arata dan kanat bisa main kejar-kejaran sambil menunggu makanan tiba.

"Alata pengen main cama touchan" kata Arata cemberut.

"Kanata pengen maen chinobi-chinobian" sahut Kanata sambil ikut-ikut cemberut.

Hinata hanya menghela nafas panjang. ia ingin melupakan fakta bahwa Naruto dan ayahnya sedang memperbincangkan entah apa di ruang pertemuan. Ia tak berani menduga-duga. Ia sebenarnya ingin mengalihkan perhatiannya pada kedua buah hatinya. Ia sama sekali tak tenang mengetahui bahwa ayahnya dan ayah anak-anaknya berada diruangan yang sama.

"Hinata sama... makanannya sudah siap"

Suara bibi Ginko memecah lamunan Hinata. Hinata melihat bibi Ginko dengan empat pelayan membawa nampan berisi makanan.

"Kalian makan dulu kaachan mau bicara dengan bibi Ginko sebentar" kata Hinata sambil tersenyum kepada kedua buah hatinya. Kanata dan Arata hanya mengangguk ogah-ogahan.

Hinata menggamit tangan bibi Ginko dan menyeretnya agakjauh dari gazebo.

"Apa saja yang diketahui oleh ayah bi?" desak Hinata pada bibi Ginko. Tadi saat Hinata datang dari liburan, ia langsung berlari kekamar Arata dan Kanata begitu bibi Ginko memberitahunya bahwa Hiashi datang dan saat itu tengah berada di kamar mereka.

"Tidak banyak beliau baru tahu bahwa Hinata sama punya dua orang putra. Kemungkinan ayah mereka adalah hokage sama, beberapa bulan terakhir ini hokage sama sering menengok mereka." kata bibi Ginko ragu-ragu.

"Hanya itu?" tanya Hinata memastikan.

"Beliau tanya seberapa sering hokage sama kemari, dan um...um...ada yang menjawab akhir-akhir ini seminggu sekali" lanjut bibi Ginko.

"Apa ada lagi yang kalian sampaikan pada ayah?"

"Um...tuan Hiashi tanya apakenapa kami sering mengatakan akhir-akhir ini. Dan um...kami bilang bahwa sebelum 2 sampai 3 bulan yang lalu hokage sama belum pernah terlihat disini" sahut bibi Ginko takut-takut.

Hinata menghela nafas panjang. ia hanya berdoa bahwa semau akan baik-baik saja.

Hinata menghampiri kedua anaknya yang makan belepotan kemana-mana ketika bibi Ginko pamit ke dapur.

Arata dan Kanata memang belum mahir makan sendiri. Mereka masih belajar memakai sumpit jadi ya wajar saja jika makanan mereka tercecer kemana-mana.

"Waaah...kalian makin pintar makan sendiri" puji Hinata riang. Arata dan Kanata nyengir identik begitu mendengar kaachan mereka.

"Kaachan...makanan kita udah mau celecai tapi toucha belum datang" kata Arata merajuk.

"Sabar ya sayang...nanti kalau sudah selesai pasti touchan kesini" bujuk Hinata sambil tersenyum.

"Itu touchan..."teriak Kanata semangat sambil bangkit berlari menyongsong touchannya.

"Hei...hei...hei...baru sebentar ditinggal tousan sudah kangen ya?" tanya Naruto sambil tersenyum ketika melihat Kanata berlari memeluknya. Naruto pun menggendong Kanata dan membawanya ke arah gazebo dimana Hinata dan Kanata ssedang makan siang.

"Kita udah celecai makan touchan" kata Kanata cemberut

"Waduh...berarti touchan makan sendiri ya?" kata Naruto pura-pura sedih.

"Kita temani touchan...kaachan juga makannya belum celecai" kata Arata semangat.

Naruto memandang Hinata penuh arti sedangkan Hinata memandang Naruto penuh tanda tanya.

"Biar aku panggil pelayan untuk membawakan makan untuk namikaze san dan mainan untuk anak-anak" kata Hinata beranjak pergi. Mereka perlu menyibukkan Arata dan Kanata agar tak menganggu pembicaraan serius mereka.

####

Hinata dan Naruto memang perlu bicara. Tapi tak satupun dari mereka yang membuka suara untuk mengawali pembicaraan. Arata dan Kanata sibuk main mainan yang begitu banyak hasil rengekan mereka pada Naruto saat liburan mereka kemarin.

"Ehem..." Naruto berdehem untuk mengurangi rasa canggung yang sedang dialaminya. Hinata memandang Naruto lekat-lekat. Ia menyiapkan diri mendengar apa yang akan Naruto katakan.

Awalnya Hinata mengira bahwa ayahnya kana datang bersama dengan Naruto. Namun sepertinya ayahnya enggan menemui Hinata. Apa ayahnya peduli padanya? Entahlah Hinata juga bingung.

"Aku...aku...sudah menceritakan semuanya pada Hiashi sama" kata Naruto gugup.

"Semuanya?" tanya Hinata ragu.

"Ya...semuanya, dimulai dari malam itu...sampai ...sampai...sekarang" kata Naruto sambil menunduk.

"Oh...memangnya...memangnya...Naruto san ingat um...malam itu" tanya Hinata kaku.

"Eh...ah...ya...aku ingat" jawab Naruto tak kalah kaku. Suasananya jadi kaku.

"Ehem.." Naruto berdehem untuk menghilangakan kekakuan diantara mereka.

"Apa...apa...ayah marah mengenai Arata dan Kanata?" tanya Hinata takut-takut.

"Ah...entahlah...aku tak bisa membaca wajahnya, aku taktahu apa dia marah atau senang.

"Lalu...lalu..kira-kira...apa kami masih boleh tinggal disini, maksudku bisa saja ayahku tak mau mengakuiku sebagai putrinya karena hamil diluar nikah. Dan...dan... uang tabunganku belum cukup untuk membiyayai kami bertiga" kata Hinata mulai panik.

"Astaga Hinata...sudah kubilang...kalian akan jadi tanggung jawabku, kalau Hiashi sama tak mau mengusirmu dari sini kau bisa tinggal dirumahku bersamaku." Kata Naruto tegas.

"Sa...saya rasa saya mau menemui ayah dulu, saya akan minta maaf dan minta ayah mengijinkan agar kami masih bisa tinggal disini" kata Hinata masih dengan nada panik.

Naruto menahan Hinata untuk bangkit dengan memegang tangannya.

"Hiashi sama mengatakan bahwa ia tak ingin bertemu dengamu dulu" kata Naruto dengan nada minta maaf.

"Kenapa?" bisik Hinata tak percaya. Dalam bayangan Hinata, ketika ayahnya tahu bahwa ia melahirkan anak diluar nikah maka ayahnya akan berteriak teriak marah sambil menamparnya. Bukan seperti ini.

"Ada hal lain yang perlu kita bicarakan Hinata" kata Naruto pelan.

Hinata kembali duduk dengan cemas. Ia ingin bertemu ayahnya. Ia ingin tahu reaksi ayahnya mengenai masalah ini. Walaupun Naruto mengatakan ia tak bisa membaca raut muka ayahnya. Hinata bisa. Ia sudah mengenal ayahnya dari ia lahir. Ia akan tahu jika ayahnya merasa marah, kecewa ataupun masa bodoh terhadapnya.

"Ehem..." Naruto kembali berdeham untuk menarik perhatian Hinata yang entah kemana.

"Hinata...aku sudah berjanji pada ayahmu untuk bertanggung jawab secara legal." Kata Naruto sungguh-sungguh.

"Secara legal?" tanya Hinata tak paham.

"Ya...dua hari lagi...kita menikah" jawab Naruto dengan nada minta maaf.

####

Hai hai hai...

Ni yang minta updetan...udah gw update.

Makasih atas kritik dan saran chapter kemaren ya...seperti biasa saran dan kritik akan dijawa tersirat ataupun tersurat

Ada yang ribut disclaimer...menurut gw disclaimernya udah gw cantumin kok...mungkin yang yang tereak2 itu kelewat aja bacanya atau gak bisa bhs inggris jadi gak tahu kalau itu disclaimer *gw Cuma menduga lho ya...jangan tersinggung*

Fic2 yang gw rekomendasiin emang kebetulan semua bhs inggris, soalnya awalnya gw nemu ffnet gw kira ni situs cm ada bhs inggris doang. Gak ada bhs indonesianya *polos bgt ya gw*

Btw gw nggak bashing sakura lho...kok pada sebel ya hehehe...moga aja gak ada penggemar sakura yang baca ff gw bisa-bisa gw diamuk nanti

Btwada yang kritik katanya akhir cerita berhenti ditengah jalan. Lha iya dong ini kan ceritanya multi chapter. Dan entah kenapa gw gak suka garis pembatas gw lebih suka tanda ### jadi sori ya permintaan garis pembatas gak bisa dikabulkan* sebenernya pingin tandanya gambar es krim atau muffin sayang gak ada*

Oh ada jg yang tanya nanti sakura sama siapa,ummmm...yang cowok mungkin ada yang mau?* kalau kebetulan ada cowok baca romance*

Buat yang berminat ngeditin...makasih bgt tapi biar gw edit sendiri deh nanti kalo gw luang. Soalnya sambil buat latihan cara menulis gw yang masih parah hehehe

Yap sekian dulu...jangan lupa review ya ^_^