Chapter 24

Naruto menyandarkan punggungnya ke ranjang barunya. Sesekali ia melirik Hinata yang tengah membersihkan riasan di meja rias. Naruto tak menyangka semua terjadi begitu cepat tanpa terencana seperti ini.

Waktu Hiashi mengatakan bahwa ia harus bertanggung jawab atas kehamilan Hinata ia langsung setuju. Tak masalah. Ia menyesali dulu lari dari tanggungjawab.

Wajah Hiashi benar-benar datar tanpa ekspresi. Naruto sempat tersulut amarah. Akan lebih baik jika Hiashi marah atau menghajarnya. Ia akan menerima semua dengan tangan terbuka. Dengan begitu Naruto tahu bahwa Hinata benar-benar dicintai oleh Hiashi. Wajah datar Hiashi membuat Naruto berpikir bahwa mungkin orang itu hanya mementingkan nama baiknya dan nama baik keluarga hyuga.

Naruto kembali menghela nafas panjang lalu kembali melirik Hinata yang kini tengah sibuk melepas hiasan-hiasan di rambutnya. Sejak upacara san san kudo tadi pagi, Hinata sudah resmi jadi isterinya. Tak ada senyum atau tangis dari Hinata. Hinata sepertinya memutuskan untuk meyembunyikan perasaannya. Naruto sampai bingung, setelah ia mengatakan ia akan menikahinya Hinata langsung menutup diri. Menghindari Naruto sudah merupakan hobi baru Hinata setelah ia mengatakan akan menikahinya.

" Hinata...bisa kita bicara..." kata Naruto pelan. Hinata tetap melanjutkan mencopot hiasan-hiasan rambut tanpa membalas perkataan Naruto.

"Kita perlu bicara Hinata...mumpung anak-anak sedang dengan kakeknya" kata Naruto. Sejak Hiashi datang memang anak-anaknya diajak berkenalan lebih dekat dengan kakeknya itu. Awalnya Naruto takut anak-anaknya akan diperlakukan dingin seperti saat ibu mereka dulu masih kecil. Yah...walaupun Hiashi tidak sehangat ayahnya tapi sepertinya anak-anaknya bisa dekat dengan sang kakek. Hiashi belum-belum sudah mengajari beberapa teknik khas keluarga hyuga yang biasanya diajarkan padak anak-anak keluarga hyuga. Apalagi Arata punya byakugan. Sekarang mereka diajak kakeknya berkemah dekat danau yang tidak jauh dari penginapan.

" Hinata aku mohon..." kata Naruto memelas. Hinata Cuma menghela nafas panjang.

"Saya ingin mandi dulu hokage sama...nanti setelah mandi kita bicara." Kata Hinata pendek.

Naruto menghembuskan nafas lega. Ia menunggu Hinata mandi dengan gelisah. Jika dalam kondidi normal, Naruto sudah pasti harus menahan diri saat tahu bahwa Hinata telanjang hanya beberapa meter dari dirinya. Tapi ia sibuk dengan pikiran kelangsungan hidup rumah tangganya. Ia sungguh tidak keberatan hidup bersama Hinata tentu saja. Hinata akan menjadi isteri yang baik untuk siapa saja yang jadi suaminya. Ia tentu merasa beruntung bersanding dengan Hinata yang baik hati dan pengertian. Tapi ia juga tak ingin memaksa Hinata hidup dengannya jika Hinata sendiri merasa tak nyaman.

Naruto begitu serius dengan lamunannya sehingga ia tidak menyadari Hinata keluar kamar mandi.

"Boleh saya duduk?" tanya Hinata membuyarkan lamunan Naruto seketika.

"Ap...oh...tentu saja...jangan konyol Hinata...ini kan bukan hanya ranjangku...ini ranjangmu juga" kata Naruto.

Hinata duduk berselonjor di samping Naruto.

Hening

Tidak ada yang mau memulai percakapan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah beberapa menit tidak ada yang bicara juga, Hinata memberanikan diri membuka mulutnya.

"Bukankah tadi anda ingin bicara hokage sama?" tanya Hinata pelan. Naruto menghela nafas berat.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Naruto kini menatap Hinata intens. Hinata memilih untuk menatap tangannya yang tengah bermain dengan renda-renda baju tidurnya dari pada menatap balik Naruto.

"Um...baik...saya kira" kata Hinata tak yakin. Ia tak yakin dengan semua ini. Ia tak yakin dengan perasaannya atas peristiwa yang secepat ini berlangsung. Hening beberapa saat.

"Apa...apa...kau membenciku?" tanya Naruto ragu. Hinata menolehkan kepalanya kearah Naruto dengan cepat. Ia kira Naruto ingin membicarakan perceraian ataupun anak-anak mereka , ia tak menyangka Naruto malah menanyakan perasaannya.

Melihat raut muka terkejut Hinata, Naruto tersenyum.

"Aku membuatmu sudah sejak kau menyatakan perasaanmu padaku saat invasi pain dulu. Awalnya aku berpura-pura tak mendengar pernyataan cintamu, mengajak kencan wanita lain didepanmu, memperkosamu saat mabuk, tak bertnagggungjawab saat kau hamil, membiarkanmu pergi dari konoha dan membesarkan anak-anak sendiri lalu sekarang dengan lancang aku memaksamu menikahi ku." Kata Naruto sambil menunduk. Ia tak mau melihat kearah Hinata. Ia takut melihat sorot terluka dimata Hinata. Ia terlalu bersalah pada ibu dari anak-anaknya itu.

"Hokage sama sendiri...bagaimana perasaan anda?" tanya Hinata balik.

"Kau kan belum menjawab pertanyaanku" kata Naruto kini menatap Hinata yang menyamankan tidur di sampingnya. Mungkin kecapekan karena pernikahan adat mereka dari tadi pagi.

"Saya akan menjawabnya jika anda sudah menjawab" kata Hinata tegas. Naruto menghembuskan nafas berat.

"Aku...aku takut..." kata Naruto pelan. Hinata menatap Naruto tajam seakan menilai Naruto sedag jujur atau tidak. Mata Naruto bertemu dengan mata Hinata. Ia tahu Hinata tengah menunggu penjelasanya.

"Aku takut...kau membenciku...aku ingin pernikahan ini jadi pernikahan yang normal. Tapi aku tahu kau tak menginginkan pernikahan ini. Aku takut kau membenciku karena setuju begitu saja ketika ayahmu memintaku untuk menikahimu. Aku begitu menginginkan sebuah keluarga. Dan hari ini aku mendapatkan keluarga secara utuh. Aku takut jika hanya aku satu-satunya orang yang menginginkan keluarga ini benar-benar terjadi." Kata Naruto panjang lebar. Hinata tetap terdiam. Berusaha mencerna kata-kata yang baru saja disampaikan oleh Naruto.

"Jadi...jadi...perasaanmu bagaimana Hinata?" tanya Naruto mendesak. Hinata berbaring memungguinya. Menolak berhadap-hadapan dengan Naruto. Henig sejenak sebelum Hinata membuka mulutnya.

"Saya...saya juga takut...semuanya terjadi begitu cepat. Saya mencintai anda begitu lama. Sampai tidak tahu sejak kapan saya benar-benar jatuh cinta. Saya hanya melihat pada seorang laki-laki tanpa melihat ada laki-laki lain yang ada di sekeliling saya. " Hinata menelan ludah. Sulit mengatakan apa yang selama ini ia pendam.

"Saya selalu punya waktu untuk memperhatikan anda. Sampai saya hafal bagaiamana sifat anda, bagaimana ekspresi anda, saat anda senang atau pura-pura senang, marah atau pura-pura marah, sedih, semangat, semua ekspresi anda tanpa saya sadar sudah saya hafal. Sampai saat saya menyatakan cinta pada anda dan anda berpura-pura lupa pada apa yang saya katakan pun saya tahu. Saat itu saya sadar bahwa mencintai orang bisa menjadi hal indah tapi juga bisa menjadi hal yang mengerikan." Lanjut Hinata serak.

Naruto tahu Hinata menahan tangis. Jika Hinata tak memungguinya mungkin saja ia dapat melihat air mata Hinata. Ia benar-benar merasa bersalah. Naruto mendengar Hinata mengatur nafas sekaligus emosinya.

"Saya berusaha menenangkan diri bahwa mungkin anda sedang sibuk untuk menghadapi perang, jadi tidak ingin pusing masalah percintaan. Namun setelah perang saya tahu bahwa...bahwa anda memang memilih untuk mengabaikan saya. Sejak saat itu saya berusaha merelakan anda..." kata Hinata terbata.

Naruto sebenarnya ingin sekali memeluk Hinata dari belakang. Tubuh Hinata yang berbaring memungguinya terlihat ringkih dan kesepian.

"Saat saya terbangun di kamar anda tanpa pakaian dan ingatan saya senang sekaligus takut. Saya senang paling tidak saya memberikan keperawanan saya pada laki-laki baik yang selama ini saya cintai, tapi saya juga merasa takut, bisa-bisanya saya merasa senang bisa tidur dengan laki-laki yang tidak mencintai saya." Hinata melanjutkan ceritanya. Sepertinya ia bertekad bahwa malam ini ia ingin menumpahkan semua beban pikiran selama ini.

"Saat saya tahu bahwa saya hamil...saya...saya...ingin bernegosiasi dengan anda. Saya tahu anda telah mengajak Sakura-san berkencan. Yang saya inginkan adalah anda...anda mau meluangkan waktu sedikit jika anak ini lahir...saya tidak akan meminta anda menikahi saya atau hal sejenisnya. Saya tahu rasanya tak punya sosok seorang ayah, saya tak ingin anak saya mengalami hal yang sama. Tak disangka saya mendapat penolakan keras dari anda." Naruto dapat mendengar suara Hinata tertahan seakan menahan rasa sakit. Ia hanya melihat Hinata dari belakang tanpa bisa melakukan apapun saat wanita itu mengingat kenangan pahit yang Naruto buat untuknya. Hening beberapa saat. Naruto bahkan tak berani memecah keheningan.

Naruto kaget tiba-tiba Hinata berbalik kehadapannya. Naruto melihat mata Hinata merah dan ada jejak-jejak air mata dipipinya.

"Dulu waktu ibu saya masih hidup, beliau pernah berkata bahwa bagi wanita akan lebih bahagia jika menikahi pria yang mencintainya dibanding dengan menikah dengan pria yang dicintainya. Dulu saya bingung apa maksudnya. Tapi saya kira sekarang saya paham. Dan saya memutuskan untuk melakukan hal itu. Saya ingin Naruto-san menghormati keputusan saya" kata Hinata mantap. Naruto menatap Hinata dalam. Ini salahnya. Ia tahu Hinata menolaknya, Hinata menolak menjadi bagian dari keluarganya.

"Lalu...lalu...bagaimana dengan pernikahan kita?" tanya Naruto, lidahnya kelu.

"Pernikahan ini kan hanya untuk membuat ayah saya dan klan hyuga tidak mengganggu anak-anak kita Naruto-san. Anda masih bebas berkencan dengan Sakura-san asal tidak diketahui keluarga saya. Saya tak keberatan." Kata Hinata sabar.

"Kenapa kau selalu mengungkit-ungkit Sakura. Dia Cuma teman. Tak lebih tak kurang ." kata Naruto sebal.

"Kalau bukan Sakura mungkin nanti akan ada wanita lain yang di inginkan Naruto-san, asal bisa menerima dan bersikap baik dengan anak-anak saya tak keberatan" kata Hinata sabar.

"Kenapa kau begitu keras kepalatak mau menjadi keluargaku Hinata" kata Naruto putus asa.

"Saya sudah jadi ibu dari anak-anak anda" kata Hinata.

"Aku ingin kau benar-benar jadi isteriku" kata Naruto memohon.

"Saya tidak bisa Naruto-san...saya sudah mengatakan alasannya" kata Hinata mengeras.

"Hinata..."Naruto kembali memohon.

"Anda Cuma terbawa suasana Naruto-san, anda tidak mencintai saya. Anda akan berubah pikiran suatu saat nanti" Hinata tetap akan pendiriannya. Naruto sudah membuka mulu untuk membantah tapi ia mengurungkan niatnya ketika melihat raut muka Hinata.

"Saya lelah Naruto-san bisakah kita lanjutkan besok pembicaraan ini?" tanya Hinata retoris.

"Ya..." kata Naruto pelan.

Hinata meniup lilin dimeja kecil samping tempat tidur mereka, Naruto Cuma menghela nafas melihat Hinata pulas disampingnya. Bisa-bisanya tidur begitu saja. Tentu saja Naruto tak mengharapkan dilayani diranjang seperti suami-suami baru kebanyakan pada malam pertama mereka. tapi paling tidak Naruto ingin melihat Hinata agak salah tingkah atau grogi atau malu-malu atau entah apa saja. Naruto kan pernah dicintai dengan amat dalam oleh wanita itu.

####

Naruto dikagetkan dengan suara orang berteriak-teriak saat ia mandi. Tak berapa lama kemuadian ia menengar kamar mandinya digedor-gedor. Naruto melilitkan handuk begitu saja ke pinggangnya. Kalau sampai ada orang menggedor-gedor pintu pasti ada hal gawat yang terjadi. Bulu kuduk Naruto berdiri. Apa terjadi sesuatu apada putra-putranya. Hiashi memang tidak membawa banyak pengawal saat mengajak putra-putranya kemah di dekat danau.

"Ada ap..."

Belum selesai Naruto bertanya Naruto terhuyung ketika merasakan pukulan keras di dagunya. Ia merasa darah mengalir dari dagunya. Pandangannya yang sempat kabur kini jelas kembali.

Naruto melihat ayah mertuanya dengan raut muka luar biasa murka yang belum pernah Naruto lihat. Naruto juga melihat Hinata sedang burasaha menahan tubuh ayahnya yang kini bersiap kembali memukul Naruto.

Naruto kebingungan. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa tiba-tiba ia di pukul?

"KAU...KAU...BERANI-BERANINYA...KAU..." Hiashi sepertinya benar-benar marah sampai tidak bisa berkata-kata.

Naruto bisa melihat para ninja elit yang biasa mengawal Hiashi berada di pintu paviliun bersama bibi ginko yang memegangi Arata dan Kanata . Naruto bisa melihat anak kembarnya ketakutan. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka baru saja melihat ayah mereka terpelanting gara-gara dipukul oleh sang kakek.

"Ayah...Hinata mohon...Hinata mohon ayah...apapun masalahnya ayo bicara baik-baik..." bujuk Hinata memohon.

"LEPAS HINATA...AKU AKAN MEMBUNUHNYA..."teriak Hiashi. Baru kali ini Naruto melihat wajah Hiashi merah karena marah.

"Ayah...Hinata mohon ayah..." Hinata masih memohon

"LEPAS HINATA...SEKARANG..." Hiashi kini membentak Hinata yang masih juga memeganginya.

"Ayah...apapun itu ayo bicarakan dulu secara baik-baik" kata Hinata keras kepala

"ANAK SIALAN ITU SUDAH TIDAK BISA DIAJAK BICARA. ASTAGAAA...AKU TIDAK TAHU KENAPA MINATO BISA PUNYA ANAK SEEPRTIMU. KAU...KAU...BOCAH SIALAN..."

"AYAH...CUKUP!" teriak Hinata keras. Mata Hinata berkaca-kaca.

Teriakan Hinata sepertinya menyadarkan Hiashi dari nafsu membunuhnya. Ia menatap Hinata lekat.

"tolong berhenti...tolong...ada anak-anak ayah...tolong jangan buat anak-anak takut" kata Hinata kini terisak. Hiashi menoleh kebelakang melihat cucu-cucu yang dari kemarin ia manja menatapnya ketakutan. Hiashi menghela nafas, mengatur kembali emosinya. Ia Menatap Naruto tajam.

"Pakai pakaianmu dan temui aku di dojo utara" kata Hiashi dingin.

Sementara Naruto masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

####

Halooooo...semua...

Lama tak jumpa...

Makasih buat yang masih dukung ff ini

Maksih yang udah review...maaf g bisa bls satu-satu..

Biasanya sih pm gw bales satu-satu tapi karena sekali gw buka akun yang pm banyak bgt jadi gw ga bls dulu ya buat pm kali yang pm jg nuntut update...yang penting udah update kan hehehe

Dan makasih buat yang udah ngusulin macem-macem buat bisa buka ffn. Makasih banyak bgt... ^_^

Well...akhirnya naruto ma hinata canon jg

Nunggu kisah cinta mereka masih minggu depan movienya. Udah seneng bgt tahu ada adegan kissing ma wedding lagi...

Um... update selanjutnya belum tahu...doain aja deh... btw ga ada editan, jadi maklum kalo typo