Disclaimer: No, not me.


Chapter 23


Tarikan nafas pada pagi hari ia keluarkan secara perlahan seraya membawa tubuhnya yang telah bangkit dari istrahat untuk membuka jendela. "Pagi yang cukup cerah…" Pemuda itu sekali lagi menarik nafasnya yang dalam dan kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Waktu yang bagi dirinya merupakan jam yang telat untuk bangun, namun untuk kali ini ia membiarkan tubuhnya beristrahat lebih lama mengingat hari apa ini.

Pemandangan pemuda itu mengitari ruangan yang berada di sekitarnya, cat putih dengan oranye yang terlihat pudar akan waktu, retakan-retakan kecil di beberapa sudut, Namun, bersih dari segala kotoran. Meskipun dengan keterbatasan perabotan maupun hiasan lainnya, dirinya entah mengapa suka yang seperti ini.

Satu jemari kecil ia ulurkan dan kemudian ia sentuhkan pada dinding. Dinding di mana ada beberapa coretan-coretan yang sudah hampir hilang. Pemuda itu tersenyum kosong, menyentuh 3 coretan berupa gambar tak jelas. Yang terlihat seperti 3 orang, yang jelas 2-nya adalah sosok yang lebih besar dengan gaya rambut yang bias membedakan antara wanita dan juga pria. Dan yang terakhir, si kecil yang berada di tengah. Dengan kedua tangan saling bersatu dengan dua orang dewasa itu dan juga senyum lebar yang tergambar.

"….Dulu aku mengharapkan itu semua kenyataan. Sekarang…. Tidak." Gambar harapan palsu itu tidak akan pernah menunjukkan wajah asli dari kedua orang yang membuatnya terlahir di dunia ini, tapi baginya hal itu tidak perlu ditunjukkan, bahkan jika sampai akhir hayatnya, ia akan merasa lega jika wajah itu tidak akan ia lihat.

Naruto berdiam berdiri beberapa saat sebelum melanjutkan kegiatannya, dengan suara siulan sekali-kali menemani aktivitas paginya. Suara-suara dari aktivitas di luar sudah ia dengar pagi ini. Hal yang sebenarnya biasa, namun tingkat volume-nya tidak sebanyak ini. "Oh, iya… Final."

Yang dimaksudkan adalah akhir dari tahap Ujian Chunnin. Di mana akan diadakan pertandingan atau lebih tepatnya pertarungan antara finalis. Dengan daya Tarik melihat calon Ninja masa depan, maka dijadikanlah sebagai tontonan umum dengan mengundang tamu penting dari Daerah tetangga. Kompetisi antara Desa Ninja untuk mendapatkan Klien.

Oh, dirinya juga menjadi finalis tersebut. Jika bisa dikatakan, dirinya mungkin yang menjadi finalis tersantai kedua setelah Shikamaru. Waktu hanya tersisa beberapa hari, namun tingkat pengunjung yang tiba di Konoha mulai terlihat banyak memenuhi Konoha. Ia bisa menebak kedatangan mereka terlebih dahulu. Yang jelas itu tidak menjadi masalah bagi dirinya. Naruto melihat sekali lagi aktivitas dari luar jendela sebelum melanjutkan kembali bersih-bersih. Bersih-bersih total yang ia lakukang dua minggu sekali. Hal ini ia lakukan untuk mengisi waktu luang, jika dirinya tidak latihan, menjalankan misi atau menghabiskan waktu dengan perempuan penyuruh itu.

"Hm, tidak mengira kau sebagai tipe yang suka bersih-bersih. Tidak laki sama sekali."

"Itu bukan menjadi urusanmu," Pemuda itu menjawab dengan nada tidak peduli. Remaja bermata biru tersebut menatap ke arah jendela, di mana terdapat seoarang Pria tua bertengger dengan asiknya. Hal yang membuatnya kesal adalah ia terlambat menyadari kehadiran orang itu, sebelum detik terakhir dia berbicara. Hal itu mengatakan banyak sekali mengingat kemampuannya mendeteksi area sekitar. Dengan kata lain orang tersebut memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan sama sekali. Yang hanya membuatnya bisa merasa baikan sedikit hanyalah reaksinya yang bisa ia jaga dari terkejut. "Lagipula siapa dan apa maumu hingga berani memasuki kediaman orang lain tanpa permisi?"

"Oh, dingin sekali." Pria itu menjawab dengan menyeringai.

"Setiap orang tentu saja akan bersifat negatif jika kau memasuki rumah mereka seperti maling. Aku hanya menahan diri dari menyerangmu." Kata-kata itu sebenarnya tidak pernah ia katakan sebelumnya. Yang benar saja, dirinya tidak sedingin itu. Lagipula ada sesuatu dari bagaimana pria itu berpakaian membuatnya kesal, atau itu wajahnya?

"Hohoho. Aku menjadi gembira mendengar itu."

Apa?

Urat berkedut yang berada di dahi yang menjadi tambahan ekspresi dari Naruto. Apalagi ketika ia melihat ikat kepala yang digunakan Pria itu. Bukan lambing desa. Melainkan kanji yang jelas menyatakan sesuatu.

..

..

"Apa kau hanya akan berdiam diri saja atau apa?" Naruto bertanya sambil melanjutkan acara bersih-bersihnya. Dengan sapu untuk membersihkan sudut langit-langit dari sarang laba-laba dan kemudian yang lainnya. "Bukan aku menolak atau bagaimana diperhatikan oleh seseorang. Jika itu wanita, aku merasa terhormat sekali. Tapi kenyataannya berbeda, dan itu menyeramkan."

Jiraiya tersenyum kemudian menyeringai lebar, tidak merasa tersinggung sedikit pun. "Hahaha, belum lama mengenalmu tapi kau anak yang menarik sekali. Aku rasa kita akan akrab di masa depan." Jiraiya kemudian melompat, dan kemudian membuka kedua tangannya dengan lebar, sebelum menghentakkan kakinya beberapa kali ke lantai. Dengan sandal jenis itu tentu saja suara yang dikeluarkan kencang. "Namaku adalah Jiraiya….."

Nada aneh dan suara pas-pas an ia dengar dengan seketika. Wajah tanpa malu itu pun menari dengan bodohnya bersama dengan lirik yang jelas-jelas terlalu membanggakan diri sendiri. Ia menolak untuk mengatakan atau mengingat kembali aksi bodoh di depannya. Yang benar saja, setiap orang punya batasan malu sendiri. Sedangkan yang di depannya? Tidak.

"Oke Oke… aku mengerti. " Naruto menghela nafas lelah, "Jiraiya, salah satu dari Tiga Sannin legendaris yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Seorang Ninja dengan kemampuan yang menyamai Kage. Dan juga…. Seorang penulis literature."

Sebenarnya Pemuda itu kurang lebih sudah mengetahui jelas siapa orang di depannya, meskipun ada keraguan mengingat 'Untuk apa orang penting namun tidak ada hubungannya denganku dating menemuiku?' sebenarnya dirinya juga merasa sedikit senang bisa menemui salah satu Shinobi terhebat yang pernah Konoha produksi. Dan itu merupakan sebuah kebanggaan bagi orang konoha tersendiri mengingat Jiraiya jarang berada di Konoha, sedangkan yang satunya berkelana entah ke mana, dan satunya lagi jelas musuh Konoha.

Tidak baik untuk berpikir buruk terlebih dahulu, dan itulah yang ingin Naruto kurangin dari dalam hidupnya. Hal itu sudah Ia pikirkan matang-matang, mengingat apa yang ia lakukan juga untuk menjaga jika 'dia' bangkit kembali. Dan Naruto tidak ingin dikendalikan oleh emosinya jika ia bisa.

"Jadi apa yang diinginkan oleh sosok seperti Jiraiya mendatangi seorang Genin?" Naruto bertanya seraya menyiapkan teh untuk tamunya(Meskipun tidak diundang). Jiraiya hanya menatap punggung dari pemuda yang saat ini memasak air tersebut.

Hah, dirinya hanya mengobservasi beberapa saat. Dan setidaknya ia tahu tidak ada yang aneh dari anak ini, meskipun dari tingkah lakunya membuatnya merasa asing. Mungkin yang ia bayangkan adalah sifat dari Ibunya, atau… dari Ayahnya. Tapi tidak. Iya… dia tidak bisa berkata apa-apa mengenai itu, lingkungan lah yang mempengaruhi sifat dan cara tumbuh. Jadi, setidaknya Naruto baik-baik saja di matanya.

Menyesap sesaat teh yang disiapkan oleh anak itu, Jiraiya sekali lagi mengambil gambaran mengenai anak dari muridnya tersebut, pandangan mata yang tajam meskipun tidak terlihat karena ditutupi dengan kebosanan, rambut pirang yang sedikit berantakan namun tetap ditata pendek. Tubuh yang fit dan berbentuk untuk seorang Ninja seumur dia.

Dan tentunya juga, dua tangan yang bisa memotong apa saja. Jiraiya masih merinding mendengar perkataan dari Guru tuanya mengenai kemampuan bocah di depannya. Apalagi memikirkan batasan apa saja yang bisa di lewati oleh teknik tersebut.

Jiraiya menyeringai sembari menutup mata sejenak, "Heh, aku hanya tertarik dengan kemampuanmu saja. Mendengar bisik-bisik dan informasi yang kadang simpang-siur membuatku menjadi ingin mengetahuinya secara langsung."

Naruto menatap Pria tersebut, "Oh, terimakasih. Tapi, hal sekecil itu tidak mungkin sebanding dengan si Hebat Jiraiya-sama yang memiliki koleksi jurus-jurus yang mengaggumkan."

Hal kecil? Jiraiya hendak melotot mendengar perkataan itu. Tidak tahukah anak ini bahwa apa yang diciptakan anak ini mungkin menjadi salah satu teknik mematikan yang pernah ada di dunia Ninja!?

Dan tiba-tiba ia melihat itu, mata anak itu menajam dengan dinginnya dan hawa yang berada di sekitarnya berubah. "Meskipun kau tertarik dengan apa yang menjadi punyaku, aku tidak akan mau dan tidak akan pernah memberitahu siapapun mengenai Jigen-tou. Tidak peduli kau itu Sannin, ataupun Hokage sekalipun."

Ha… apakah semudah itu anak ini membaca pikirannya? Meskipun pada dasarnya dirinya tidak seingin itu mengetahui teknik tersebut. Lagipula Jiraiya sudah merasa Hebat dengan apa yang ia punya. Siapa sih yang tidak mengenal Jiraiya?

Meskipun Jiraiya harus mengakui keberanian anak ini berbicara seperti itu di depan dirinya. Tidak seperti yang lain yang berbicara layaknya menjilat berusaha membuatnya takjub.

Jiraiya menaruh telapak tangannya di dagu sebagai penyangga, "Tidak hanya saja aku tertarik dengan murid Kakashi, yang berhasil sampai ke final ujian Chunin. Aku kira bocah Uchiha itu yang akan menjadi bintang bersinar tahun ini, ternyata dugaan itu salah." Naruto tidak bereaksi mendengar itu, memang begitulah kenyataan, dengan keadaan dan betapa pentingnya Uchiha tentu saja rekan satu timnya itu menjadi pusat perhatian.

"Aku hanya melakukan yang terbaik." Naruto melanjutkan, "Menjadi Chunin."

"Ya ya aku mengerti. Pasti menyebalkan hanya melakukan misi kelas D, yang tidak Ninja sama sekali. " Jiraiya mengangguk sesaat sebelum terdiam sejenak.

Sejujurnya ia melakukan ini untuk rekannya, setidaknya diantara mereka bertiga ada yang berhasil menjadi Chunin, dan melihat betapa sungguh-sungguhnya Sasuke dan Sakura membuat dirinya tergerak meskipun ia tidak akan pernah menunjukkan hal itu kepada mereka. Yang lebih tepatnya adalah Sakura, ia merasa apa yang ia lakukan kemudian dan menjadi Chunin akan memotivasi perempuan itu lebih baik.

Jiraiya pikir dirinya akan jual mahal agar terjadi situasi di mana anak ini ingin menjadi muridnya, melihat bagaimana selama ini Naruto memilliki kemampuannya dari belajar sendiri. Dan performanya baik itu dari misi-misi yang dia jalankan, ataupun saat menghadapi Ujian Chunin membuat anak itu sudah membuka sendiri jalan promosi tingkatannya. Jika dibiarkan saja, Naruto memang akan menjadi Ninja yang mendapat pengakuan dari seluruh Desa maupun Negeri lain.

Memang lawannya adalah seorang Hyuuga, yang juga memiliki performa bagus selama menjalani karir Ninja-nya. Hyuuga berbakat yang bahkan melebihi dari pewaris klan utama. Meskipun keterbatasan sebagai kelas bawah di kasta Hyuuga, tapi anak itu melebihi dari espektasi. Sesuatu yang sangat jarang dalam hidupnya ia saksikan muncul dari golongan bawah Hyuuga tersebut. Tapi, hal itu tidak bisa ia samakan dengan anak di depannya ini.

Seharusnya ia juga tidak terkejut akan hal ini, baik dari perkembangan dan juga sifat anak di depannya. Dia memang keturunan Namikaze Minato, dan itu sudah sepantasnya sang Anak mengambil satu atau dua dari orangtuanya.

"Bagaimana jika semua ini sudah selesai, kau ikut denganku? Menjadi murid." Jiraiya tiba-tiba mengatakan hal tersebut. "Aku yakin dengan potensialmu saat ini, aku bisa mengasahnya lagi lebih tajam."

Naruto melebarkan matanya.

Terkejut. Ya, itu yang Naruto bisa rasakan pada saat ini. Baik itu dari tawaran yang entah dari mana datang, maupun keseriusan dari pria berambut putih tersebut.

"A-Ada apa ini..?" Naruto memperbaiki posisi duduknya. "Bukannya menolak atau apa, tapi kenapa? Kita bahkan baru bertemu hari ini. Dan meskipun aku mengetahuimu dari reputasimu, itu bukan berarti kau juga mengenalku. Aku menilai anda Jiraiya-san, bukan tipe yang melakukan hal seperti ini secara tiba-tiba. Dan lagipula, tanpa bantuanmu pun, aku merasa diriku berkembang ke arah yang kuinginkan."

"Ha, kau menolak Menjadi murid satu-satunya, exclusive, dari Jiraiya!?" Sedikit terkejut, tapi bukan berarti itu alasan yang tepat untuk over-dramatis. Tapi tetap saja pria itu melakukannya, "Tidakkah kau pernah membaca buku sejarah bagaimana kehebatanku? Atau apa kau tidak tahu siapa yang menjadi Guru dari Hokage ke-4, yang membuatnya menjadi hebat itu aku."

"…Tapi tetap saja ia mati, bukan?"

"…apa?"

Jiraiya tidak tahu harus berkata apa mendengar respon yang dingin itu. Sial…. Tidak perlu bertanya, ia sudah mengetahui jelas bagaimana tidak sukanya Uzumaki Naruto dengan Hokage-4, Namikaze Minato. Meskipun Naruto tidak terlihat 'terlalu' membenci akan Minato, tapi yang jelas dia tidak menyukai sosok yang menjadi pahlawan Konoha tersebut.

Dirinya juga tidak bisa menyalahkan itu, mengingat Naruto sudah mengetahui siapa yang menyebabkan hidupnya seperti ini. Dirinya mempercayai muridnya melakukan apa yang memang terbaik, tapi terkadang di sudut pikirannya, ia berpikir apakah hal ini benar? Tapi kenyataan tidak semanis apa yang diinginkan. Percuma saja menyesali apa yang telah terjadi, dunia Ninja memang bukanlah tempat di mana ada happy-ending. Mungkin itu juga menjadi salahnya tidak ada selama Naruto tumbuh. Tapi bisakah dia menyalahkan dirinya? Jaringan mata-mata Konoha dirinya yang ia pegang, tidak mungkin ia meninggalkan koneksi yang ia buat susah payah yang membutuhkan banyak pengorbanan dan kerja keras, apalagi mengawasi Orochimaru.

Jiraiya kembali terbawa ke dunia nyata akan perkataan Naruto.

"Sejujurnya, aku tidak suka dengan sesuatu atau orang yang berhubungan dengan mendiang Hokage ke 4. Hal itu hanya membawa rasa buruk di lidahku memikirkannya begitu saja," Naruto menarik nafas, "Tapi aku sadar, itu semua sudah terjadi dan apa yang hanya bisa kulakukan adalah menerima dan tetap menjalani hidupku seperti biasanya. Lagipula hidupku tidak seburuk ketika aku belum menjadi Shinobi," Naruto tertawa halus yang kosong, "Sekarang? Mana ada yang berani bertindak padaku, karena mereka tahu, aku mempunyai hak untuk membela diri, dan… hasilnya juga tidak sepadan dengan apa yang mereka inginkan. Cacat seumur hidup…. Itulah yang mereka dapatkan."

Jiraiya terdiam sesaat medengar hal itu, ia juga tidak bisa menyalahkan hal itu juga. Tapi, dirinya harus percaya, bukan? Hanya inilah yang ia bisa lakukan sebelum semua menjadi buruk.

"Aku mengerti hal itu." Jiraiya menarik nafas, "Tapi meskipun semua terasa baik-baik saja, kehidupan Ninja mu semakin naik, dari segala aspek. Ada beberapa hal yang akan membuatmu berhenti berpikir 'semua baik-baik saja', dan semuanya hanya menunggu waktu sebelum semuanya meledak."

Tertarik serta bingung. Itulah yang dirasakan Narutp pada saat ini.

"Apa maksudmu?"

"Ada alasan lain mengapa aku ingin menjadikanmu murid." Jiraiya berhenti sesaat mendapatkan perhatian penuh dari pemuda berambut pirang tersebut. "Kau tahu bukan, apa yang tersegel dalam tubuhmu, bukan?"

"Ya, ekor Sembilan yang dulu menyerang Konoha." Naruto menjawab dengan menaikkan alis mata, mulai tidak suka dengan arah pembicaraan. "Dan apa hubungannya itu dengan semua itu."

"Meskipun aku bukan orang yang terampil dalam menguru Jinchuriki, setidaknya aku cukup berbakat untuk melatih seorang Jinchuriki. Dan itulah yang ingin aku lakukan. Melatih Jinchuriki Konoha mengendalikan Bijuu yang berada di dalam mereka." Jiraiya berkata serius..

"Aku tidak membutuhkannya."

"Berhenti bertingkah kekanakan, bocah." Jiraiya melotot. Membuat Naruto menegangkan tubuhnya sesaat. "Aku tahu kau kuat, tapi kau tidak sekuat itu. Masih ada monster-monster di luar sana tanpa kekuatan spesial yang diberikan ke mereka seperti kau. Dan semua ini ada hubungannya dengan dirimu." Jiraiya mengggelengkaan kepalanya sesaat. "Ini bukan waktu yang tepat untuk menolak apa yang kutawarkan."

"Ada yang mengincarmu. Tidak… lebih tepatnya apa yang kau bawa."

Naruto terdiam mendengar itu, ia mengeratkan rahangnya. 'tidak berhenti, masalah demi masalah terus bermunculan. Sial kau Minato.'

Jiraiya menatap pemuda yang jelas baru memproses informasi tersebut. "Dari informasi yang kukumpulkan, ada organisasi misterius dengan nama Akatsuki, mereka kelompok yang cukup mencolok dengan jubah hitam dengan corak awan merahnya, namun meskipun mencolok, rata-rata dari orang tidak beruntung yang berpapasan dengan mereka tidak pernah selamat untuk menceritakan. Kedok mereka masih menjadi Ninja bayaran yang dapat di sewa siapa saja. Dan Desa Iwagakure yang tercatat menggunakan jasa mereka beberapa kali. Tapi dari semua itu, tujuan mereka adalah mengumpulkan para Jinchuriki atau Bijuu yang berada di dalam mereka."

"….Untuk?" Naruto memberanikan bertanya.

Jiraiya menggelengkan kepala, "Bagaimana mengumpullkannya aku tidak tahu, tapi yang jelas mereka memiliki suatu rencana, yang bahkan aku tidak ketahui. Dan untuk apa mengumpulkan itu, yang jelas hal itu tidak digunakan untuk sekedar koleksi saja." Sannin itu menatap Naruto dari atas ke bawah, "Dengan dirimu yang sekarang, kau tidak apa-apanya dengan anggota mereka."

Naruto terdiam dan merenung. Jika hal itu benar maka hidupnya dalam bahaya. Memang terkadang dirinya besar kepala akan kekuatan yang ia miliki. Namun, ia juga harus menyadari bahwa memang benar ada yang lebih kuat dari dirinya. Dan jika benar organisasi itu beranggotakan Ninja-Ninja kelas atas, maka sudah jelas bagaimana hasilnya jika apa yang dikatakan Jiraiya benar.

"Kau tidak sendiri. Ingat, ada Aku, ada Konoha yang melindungimu."

Kata-kata itu cukup membuat Naruto terdiam kembali. 'Heh, tentu saja itu akan terjadi, Konoha tentu tidak mau kehilangan Jinchuriki-nya.'

"Jadi bagaimana?"

..

..

"Aku akan memberikan jawaban setelah Ujian Chunin berakhir. Ini semua cukup sulit untuk dicerna." Ekspresi seperi menelan pil pahit. Itulah yang ditunjukan oleh Naruto kepada pria tersebut. Tidak menunjukkan rasa tidak suka yang hampir mengenai titik benci yang Ia rasakan pada saat itu.


Langkah kaki ia bawa, kembali menuju ruangan yang ia sudah kenali. Dengan hela nafas menguatkan tekad, pemuda itu membuka pintu kamar itu dengan pelan. Sinar matahari sore yang terlihat dari satu jendela yang terbuka, yang saat ini menyinari seseorang yang terduduk di kasur dengan bantuan pada punggungnya. Ia merasa perempuan itu terlalu cepat untuk sudah bisa duduk, namun mengingat penyembuhan Ninja yang lebih cepat dari pada biasanya. Ia rasa hal itu merupakan hal yang wajar.

Naruto hanya hening terdiam berdiri menatap gadis itu yang membuka lembaran baru dari sebuah buku, dan raut wajah yang menunjukkan keseriusan membaca. Apapun itu, hal tersebut membuat senyum kecil muncul di wajah pemuda tersebut.

"Selamat sore, Haku."

"Selamat sore juga untukmu, Naruto-san."

Formal sekali. Naruto hanya bisa menggelengkan sesaat kepalanya sebelum mendekati pemilik sura feminine tersebut, ia langsung menuju pot bunga yang ada, dan mengganti isi bunganya dengan yang baru. Suatu kebiasaan yang ia lakukan ketika berkunjung.

"Terimakasih lagi, untuk bunganya hari ini."

Naruto hanya tersenyum kecil, dan kemudian duduk di kursi samping kasur tersebut. "Apa yang kau baca?"

"Ah, ini…" Haku melihat kembali bukunya dan tersenyum sebelum menatap pemuda tersebut. "Ini, buku yang baru aku dapatkan. Menceritakan tentang Ninja yang baik hati, mempunyai hati suci, dan selalu berjuang demi kebaikan." Melihat ekspresi Naruto yang mengangguk saja membuat Haku kembali tersenyum. "Dan kau tahu, siapa tokoh utamanya? Namanya adalah Naruto."

Naruto hanya menaikkan alis matanya dengan sedikit terkejut, sebelum melihat buku tersebut. Dengan sekilas membaca, benar apa yang dikatakan oleh Haku.

"Wow, siapapun orang yang memberikan nama 'Naruto' pada karakternya, tentunya orang yang sangat kreatif dalam memberikan nama." Sarkasme itu tentu saja dikenali secara langsung oleh Haku.

"Tapi setidaknya buku ini membuatku terhibur walaupun sedikit, dan entah mengapa ketika membaca ini, karakter yang kubayangkan adalah kamu." Haku kembali melanjutkan membaca tanpa menyadari wajah yang diciptakan oleh Naruto.

Sedangkan Naruto hanya terdiam sesaat. Baik hati? Hati yang suci? Mencari perdamaian? Huh, lelucon macam apa itu?... Hal itu sungguh jauh dengan kepribadiannya. Tidak ada yang namanya perdamaian, apalagi seorang Ninja yang selalu menolong baik hati. Apalagi lagi dari setting buku tersebut di mana peperangan sedang berlangsung.

"Siapa orang bodoh yang menulis buku cerita untuk anak-anak itu?"

"Hm," Haku melihat cover belakangnya, "Jiraiya."

"Dan bagaimana kau mendapatkan buku itu, Haku-san?"

"Kemaren ada seorang Pria dengan gaya yang cukup tidak biasa dan rambut putih panjang yang datang." Melihat ekspresi Naruto Haku langsung melanjutkan, "Dia hanya menjenguk dan kemudian menanyakan aku beberapa hal mengenai bagaimana selanjutnya jika aku sudah sembuh. Setelah itu dia memberikan aku hadiah kecil berupa buku."

Mendengar perkataan Haku sudah cukup membuatnya tenang untuk sesaat meskipun ada kecurigaan. Untuk saat ini memang belum ada yang mengetahui dari mana Haku dan juga kekuatan apa yang ia pegang. Jika terdengar sedikit saja mengenai Haku adalah Yuuki terakhir, maka semua akan menjadi runyam masalahnya. Dan itu merupakan hal yang tidak diinginkan oleh Naruto sama sekali. Sekarang bukanlah yang tepat untuk memikirkan itu, tapi sebaiknya dirinya mempunya rencana jika hal itu terjadi. Untuk saat ini ia bisa merasa lega sesaat.

Naruto kembali menatap buku yang sepertinya memang ditulis oleh Jiraiya tersebut, tapi siapa yang menyangka bahwa Jiraiya menulis buku selain genre mesum? Meskipun dari kelihatannya buku tersebut tidak mempunyai ketenaran yang sama dengan buku Icha-Icha miliknya. Ya siapa dirinya menilai apa yang orang lakukan mengenai hobi-nya… Meskipun ada sedikit kecurigaan mengenai nama tokoh tersebut.

Apa yang ia pikirkan sekarang ini, memang banyak. Meskipun tubuh terkadang berkata untuk istrahat, tetapi tidak untuk otaknya. Hal itu sudah lama terjadi, dan itu merupakan sesuatu yang membuat Naruto merasa tenang meskipun tidak. Karena sebab itulah ia bisa bertahan sampai saat ini, berpikir dengan mandiri tanpa memerlukan bantuan siapa-pun. Dirinya bukanlah tipe seperti Shikamaru yang memang lahir dengan kecerdasan yang jauh dari rata-rata, tetapi ia adalah tipe yang belajar dan berkerja keras. Meskipun kelihatan di mata orang lain dirinya memiliki bakat sejak lahir. Kerka keras selalu mengalahkan bakat. Semua orang memiliki kesempatan yang sama, yang membedakan hanyalah bagaimana orang itu mau bertekad untuk mendapatkan apa yang mereka mau di kehidupannya.

"Jadi, aku dengar-dengar kamu lulus ke tahap Final Chunin… selamat berjuang."

Naruto melepaskan pikirannya ketika mendengar kata-kata itu. Dan hanya bisa tersenyum lebar untuk sesaat. Memang dirinya saat berinteraksi dengan Haku, dirinya jarang mengungkit hal yang berhubungan dengan kegiatan Ninja. Dan pembicaraan memberatkan lainnya, seperti ketika pertama kali Haku sadarkan diri. Setelah kejadian itu, baik dirinya maupun Haku tidak pernah mengungkit kembali di mana Haku terlihat sangat rapuh.

Membicarakan hal tidak penting, bahkan konyol yang terkadang membuat mereka tersenyum.

"Aku terkadang bermimpi bagaimana menjadi Ninja yang memiliki rumah untuk dilindungi, alasan untuk tetap kembali. Rekan yang bisa dipercaya… dan hal mustahil lainnya yang tidak pernah kurasakan. Yang ada hanyalah Aku dan Zabuza-sama, selalu berpindah-pindah ketika pekerjaan kami sudah selesai, dan terkadang harus selalu waspada terhadap sekeliling. Dan selalu melihat darah, hingga membuatku terbiasa… suatu hal yang membuatku merasa jijik pada diriku sendiri…." Ekspresi dari gadis itu menatap jauh, mengingat kembali kenangan lama yang terbawa kembali. "Zabuza meskipun perlakukannya yang kasar padaku, ia tetap selalu berada di sampingku, satu-satunya orang yang bisa kupercaya… satu-satunya yang bisa kuanggap layaknya Ayah yang tidak pernah kumiliki."

Haku menatap telapak tangannya, dan bisa melihat es kecil yang membentuk bagaikan Kristal. "Kekuatan inilah yang membuatku berharga di mata Zabuza-sama, hingga ia membawaku, membesarkanku, dan melatihku. Aku ada untuk melindunginya, layaknya ia ada untuk seseorang di dunia ini yang bisa kupercaya lebih dari keluargaku sendiri."

Naruto hanya terdiam sesaat. Namun meskipun rasa berat yang ada, hati kecilnya membisikkan sebaliknya. 'Semua itu memang harus dilakukan.'

"Aku hanya mengatakan sekali ini." Suara lembut itu memiliki baja dibaliknya, "Tidak peduli kau mengatakan sebaliknya, tidak peduli kau akan membenciku setelah ini." Haku menarik nafas dalam, "Dari dalam hatiku, aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

…..Naruto bisa menerima itu. Karena itulah apa yang sebenarnya terjadi.

"Tapi aku juga akan menjadikanmu satu-satunya yang bisa kupercaya mulai sekarang. Sebagai alat, sebagai pelindungmu…. Itulah aku, Yuuki Haku. Dan tidak aka ada yang pernah merubah itu!"

Suatu pernyataan yang keluar dari karakter Haku yang ia ketahui, namun dari raut wajah itu, dari tatapan mata yang sangat ia kenal itu dari cermin yang selalu ia lihat. Haku tidak melupakan trauma itu, meskipun sifatnya terkadang mengatakan lain, namun tidak untuk saat ini. Haku membutuhkan pegangan, ia membutuhkan tali untuknya bertahan….

Ia baru menyadari hal itu. Selama tumbuh besar, Haku selalu menggantungkan hidupnya bersama Zabuza, dan tidak pernah keluar dari lingkaran itu. Haku tidak bisa begitu saja melepaskan hal itu begitu saja. Ketika tali itu sudah putus, ia akan mencoba mencari yang lain agar dirinya bisa tetap bertahan, agar dirinya tidak kehilangan seluruh dari akal sehatnya dari kehidupan yang ia alami. Dan Haku menemukan itu pada diri Naruto, keputusan yang dia buat dengan keadaan yang saat ini ia alami.

Suatu hal yang membuat Naruto meringis, tidak hanya dari kesimpulan yang ia dapat. Namun juga dari masa lalunya yang hampir sama. Masa kecil yang tidak menyenangkan dengan penduduk desa yang memang tidak ada niat baik kepada dirinya, Naruto kecil mencari pegangan itu, tali tersebut untuk tetap bisa bertahan, agar tidak menjadi monster yang selama ini ia lihat saat ia masuk dalam mimpi. Ia memang menemukan itu, tapi tidak seasli yang ia kira, dan yang ia lakukan saat itu adalah menjadi keluar dari lingkaran itu, dan menggantungkan dirinya pada apa yang membuatnya menjadi sekarang. 'Kekuatan.'

Ia akan melihat itu sebagai kekecewaan, namun ia tidak bisa menyalahkan siapapun mengenai itu. Ia tidak bisa tiba-tiba marah akan apa yang dikatakan oleh Haku akan apa yang terjadi pada dirinya, tidak semua orang bisa melakukan apa yang ia lakukan ,tidak semua orang mempunyai mental sekuat dirinya. Dan tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk bisa keluar dari lingkaran tersebut.

Mata itu berharap besar, seperti jika ia mengatakan hal yang salah, maka Haku akan kehilangan alasannya untuk bertahan. Untuk saat ini, yang bisa ia lakukan pada saat ini hanyalah menerima perkataan Haku, hingga suatu saat perempuan ini dapat berdiri dengan sendirinya.


Suara bising yang terdengar dari kerumunan orang yang duduk dengan rapi, menunggu tontonan yang memang merupakan alasan utama mereka untuk melihat secara langsung dari jarak dekat tanpa perlu khawatir akan keselamatan mereka. Yaitu pertarungan di mana para Ninja akan mengeluarkan teknik dan jurus yang tidak bisa dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa yang tidak terlatih menggunakan chakra. Ada juga yang membawa keluarganya, atau lebih tepatnya anak-anak mereka. Menonton pertarungan berdarah para Ninja dengan anak-anak merupakan ide yang sangat cemerlang! Ya, memperkenalkan kekerasan sejak dini pada anak-anak.

Bukan berarti ia menjadi munafik mengatakan anak-anak harus terjaga pikiran maupun mental mereka dari dunia Ninja yang sesungguhnya. Bahkan ia sangat mendukung sekali ide tersebut, agar masyarakat yang tidak datang dari kalangan Ninja, mempunyai sedikit pengetahuan akan Ninja, dan kemungkinan kecil meningkatan persentase bertahan hidup mereka beberapa angka.

Hanya saja, bagaikan tontonan layaknya film action di televisi, mereka memperlakukan final Ujian Chunin layaknya seperti itu juga. Itulah yang membuat Naruto mulai merasa kesal. Jujur saja, ia tidak terlalu suka mencolokkan diri sebisa mungkin layaknya apa yang dilakukan Sasuke, atau lebih parahnya Rock-Lee. Dan dengan penonton sebanyak ini yang datang dari seluruh penjuru desa yang ada di map, menunjukkan kekuatan, teknik, jurus, gaya bertarung, senjata dan semacamnya, apakah itu hal yang baik dipertontonkan kepada Desa lain? Meskipun belum ada konflik yang terjadi antar desa, tapi tetap saja ide dari hal itu membuat Naruto merasa enggan.

Untuk mereka berdua.

Naruto mengingatkan kembali pada dirinya. Usaha dan kerja keras yang dilakukan Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura.

Dua orang yang memang tidak ada artinya bagi dirinya sama sekali sejak saat pertemuan mereka pertama. Namun, usaha, kesungguhan mereka sudah cukup membuat hati kecilnya berkata menyelesaikan semua ini. Dan itu bisa Naruto hargai hingga membuat dirinya berniat menyelesaikan Ujian Chunin entah bagaimana pun itu hasilnya.

Lagipula Ujian Chunin ini tidak menjadi penentu apakah dirimu akan menjadi Chunin atau gagal, bukan berarti menang atau kalah, tapi seberapa layaknya engkau menjadi Shinobi dan Kunoichi dari pikiran, kekuatan dan aspek lainnya yang dinilai oleh juri. Bukan berarti ia suka mendengarkan gossip atau bisikan dari penduduk yang ada.

Namun, dengan pendengaran yang tajam, tidak berarti ia menangkap satu atau dua pembicaraan. Mengenai siapa yang jelas akan menjadi Chunin, dan mendengar namanya dibicarakan sudah membuat ego-nya naik sedikit. Siapa yang bisa menyalahkannya? Anak seumuran dirinya memang terkadang ingin mendapatkan pujian ataupun diperhitungkan oleh orang banyak. Meskipun hal itu tidak terlalu berpengaruh akan hasil akhirnya, tapi dalam hatinya Naruto ingin semuanya berjalan lebih lancar. Ia sudah menyiapkan dirinya dengan baik, dari kondisi tubuh maupun melatih kembali kemampuannya sebagai Shinobi. Memperbaiki celah yang ada dalam cara bertarungnya dan menutupinya agar tidak ada kemungkinan bagi lawan untuk mengeksploitasi.

Rock-Lee, Hyuuga Neji, Kankuro, Nara Shikamaru, Temari, Aburame Shino, dan Yamanaka Ino.

Itu adalah finalis yang ia ingat berhasil melaju ke tahap ini.

Rock-lee yang mengalahkan Kiba dalam pertarungan Taijutsu. Kekuatan Kiba memang berdasar pada Taijutsu, tapi untuk melawan Rock-lee, perbedaan itu terlihat jelas ketika lee meningkatkan kekuatannya. Dengan tidak sadarkan diri, Kiba dinyatakan kalah, dan Lee tanpa luka lecet berarti melaju tanpa ada halangan.

Neji yang mengalahkan sepupunya sendiri dalam pertarungan seni bela diri Hyuuga, dan bisa ia katakan dengan telak? Hal yang tidak ia suka meskipun dirinya kurang mengenal baik Hinata adalah, Neji melancarkan serangan fatal meskipun tahu lawannya sudah berada dalam kondisi tidak dapat melawan lagi. Memang dalam kenyataan, dan dalam pertarungan hal itu dapat dilakukan tanpa ada larangan, tapi keluarga sendiri?

Naruto memang tidak tahu apa itu rasanya memiliki keluarga, saudara maupun sepupu. Tapi setidaknya ia tidak akan pernah berniat membunuh keluarganya sendiri.

Tapi bisikan kecil dari dalam hatinya mengatakan hal yang lain, Hinata memang lemah, sudah sewajarnya ia tidak akan bisa bertahan di dunia di mana kau mempertaruhkan hidupmu. Bukankah itu lebih baik? Hinata mungkin tidak akan bisa menjadi Ninja lagi dengan luka dalam yang dia derita, tapi setidaknya? Ia akan tetap hidup, bukan? Tidak dengan kehidupan Ninja, tapi kehidupan seorang gadis biasa di desa.

Naruto mengggelengkan kepalanya, bisikan itu selalu ia dengar. Mengatakan hal buruk mengenai orang lain dan meremehkan mereka.

Pemuda itu berusaha mengalihkan perhatiannya dan kembali melihat peserta lain. Kankuro, pengguna teknik boneka dari Suna. Mematikan dengan caranya sendiri. Ia bisa memuji kemampuan itu mengingat betapa ahlinya Genin dari Suna itu menggunakan pengendalian bonekanya untuk melumpuhkan lawan. Sedangkan saudarinya sendiri yang merupakan satu timnya juga, Temari berhasil mengalahkan Tenten.

Kipas besar tersebut, dengan afinitasnya kepada angin, Temari merupakan petarung jarak jauh. Sedangkan Tenten yang merupakan Kunoichi yang mengandalkan senjata-senjata untuk melawan Temari, tidak berkutik. Menyimpan seluruh senjata dalam perkamen dan kemudian melemparkannya bagaikan bom Ke arah Temari. Itu adalah taktik utama yang digunakan tenten, tapi sayangnya tidak berhasil mengingat Temari dengan mudahnya mementalkan semua itu.

Shikamaru, eh, tidak ada kata-kata untuk orang ini. Naruto memang yakin Shikamaru akan melaju hingga tahap Final.

Naruto kemudian menatap pemuda seumurannya yang berdiri dengan tenang. Kacamata hitam dan juga jaketnya yang memiliki kerah tinggi, membuatnya terlihat mencolok.

Aburame Shino, sosok pendiam sejak masih di Akedemi Ninja, berhasil dengan mudah menang karena lawannya seorang Kunoichi yang memiliki phobia akan serangga. Suatu cara konyol untuk kalah, dan juga lucu untuk menang. Tapi, Naruto bisa mengatakan Shino bisa menjadi lawan yang berbahaya jika dalam situasi yang benar.

Dan Ino….

Nama itu membuatnya tersenyum. Bisa melaju ke tahap ini dengan perjuangannya sendiri. Mengatakan besar bagaimana perempuan yang dulu tidak menganggap serius karirnya sebagai Ninja, yang lebih mementingkan bagaimana penampilannya daripada mengasah kemampuannya, tumbuh berkembang pada saat ini.

Mungkin ia ada ambil bagian dari hal itu, tapi semua hal berasal dari dalam hati dan tekad untuk berubah. Jadi ini semua adalah Ino, dan mengingat kembali bagaimana Ino bertarung, sudah cukup membuatnya bangga sebagai temannya, bahwa Ino menggunakan taktik yang meneriakkan Ninja! Dan juga teknik klannya. Perpaduan itu membuat Ino bisa menang mudah dari lawannya.

"Naruto!"

Naruto terlepas dari lamunannya, dan terlambat sadar bahwa sosok yang meneriakkan namanya itu sudah berada di depan wajahnya. Dan selanjutnya yang ia ketahui adalah beban yang bertambah dengan Ino yang memeluk dirinya.

"Ino, lepaskan!"

"Tidak!" Ino menjawab dengan seketika. Wajahnya yang ceria dan senyum lebar menemani hal itu. "Kau ke mana saja dua minggu ini!? Aku tidak ada melihatmu sama sekali! saat aku mengunjungi tempatmu, kau selalu tidak ada!"

"Itu karena aku latihan."

"Tidakkah kau kasihan padaku, aku dilihatin orang dengan tatapan kasihan seperti anak yang tidak dibolehkan masuk oleh orangtuanya ke dalam rumah. Atau seperti gadis yang masih berharap kepada kekasihnya yang tidak ingin lagi menemuinya."

Pemuda itu menarik nafas dalam, ia bisa merasakan sesuatu yang empuk di wajahnya, namun tidak… Naruto tidak akan tergiur begitu saja!

"Ino!" dengan mengeluarkan seluruh kekuatannya, Naruto membuka semua jemari tangannya dan melancarkan serangan mematikan ke sisi perut perempuan itu.

Mata Ino melebar, menatap tidak percaya kepada Naruto. Mata Naruto yang tajam seperti mengatakan ini adalah akhir hidupmu. "Sudah kukatakan berhenti, tapi kau tidak mengerti…."

"Ampun?"

"Tidak."

Dengan begitu, Naruto mengeluarkan teknik mematikannya yang sangat ampuh untuk Ino. Menggelitik tubuh Ino pada area sensitifnya, bukan area itu, tapi area yang Naruto temukan berada di sekitar perut dan pinggul perempuan itu. Ino tidak berkutik, dan hanya bisa tertawa menggeliat tidak tahan akan perlakuan pemuda berambut pirang itu pada dirinya.

"Hahahaha!" Keselek, "Naruto." Tertawa kembali. "Berhenti!"

"Hhm."

Naruto terhenti saat itu juga, melepaskan Ino yang kemudian berlutut karena kehabisan tenaga, dan nafas yang memburu yang dia coba kembalikan ke normal.

Mata Naruto menatap pemilik suara itu, yang ternyata Shikamaru. Yang saat ini menatap tidak nyaman ke arah lain.

"Ee…"

Naruto bisa merasakan seluruh pasang mata tertuju pada dirinya, dari pria berambut pirang panjang yang memiliki wajah seram, penonton, dan juga wajah finalis lainnya.

"Tidak tahu di malu. Melakukannya di tempat umum." Komentar pedas Temari seraya menggelengkan kepalanya.

Ha… pemuda dengan garis wajah itu hanya bisa menghela nafas, dan menatap Ino yang menyeringai lebar.

Yap… semua ini salah Ino.

...

...

...


.

.

.

Ee… hallo? Stop! Jangan melempari Author dengan kaleng. Dengarkan dulu penjelasan dari ane.

Pertama ya, gw memang Hiatus. Karena pada saat itu gw memang sibuk kuliah….. dan, ada juga sih tidak sibuknya, malahan libur. Ya tapi gw jadi terlena dan tanpa gw sadari sudah lewat beberapa bulan lamanya, hingga bisa dikatakan nama gw sekarang hanyalah legenda jaman dahulu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.

Sebulan ini, Gw sudah nyoba untuk ngetik dan mengetik, dan hasilnya selau nihil, tidak ada bara api yang mendorong kereta jurusan kristoper21, gw seperti kehilangan arah, kehilangan apa yang mau ditulis, dan gak tau apa yang mau ditulis. Sempat berpikir, fuck this all, im gonna delete ma account and done with it. Tapi tidak, entah dari mana atau karena dipaksakan mengetik hingga muncul sendiri bayangan yang mau ditulis. Dan here I am.

Kristoper21 mencoba kembali masuk ke arus pusaran laut yang melahirkan namanya. Dan mudahan ia tahan akan semua itu. Ya, gw mencoba untuk menulis kembali dan berharap bisa hadir diantara kalian para pembaca untuk memuaskan nafsu kalian pada cerita-cerita usang ane yang sudah lama terbengkalai. Tapi, ya… ada tapinya, gw nggak bisa janji dalam sebulan ini aktif beneran karena di depan mata..

Final semester 2 perkuliahan di depan mata gw (Senin depan tanggal 6), dan parahnya, selama kuliah ngggak ada yang masuk ke otak gw, gimana mau final? Materi kuliah aja nggak ada yang masuk. Dari dosen yang nggak jelas, sok bisa tanpa modul bin selalu salah rumus, dan salah ngitung. Ya am, ditambah dosen jarang masuk dan cara penyampaian yang hah…

Dan waw, meskipun tidak membalas, gw selalu membaca review kalian, baik itu yang nggak enak, ataupun dukungan untuk kembali nulis. Saya sangat mengapresiasi itu semua. Dan, kalian adalah MVP dalam hati gw.

Mungkin ini dulu dari saya, kesibukan saya memang saya utamakan dalam kuliah, dan mengingat setelah final ada liburan yang cukup lama, puasaan+libur kuliah. Saya rasa, kalian bisa mengharapkan nama saya beberapa kali muncul dalam list anda sebelum kembali hilang hibernasi di dalam bongkahan es. Dan akan kembali setelah dunia tidak membutuhkannya.

Oh untuk yang ingin berinteraksi dengan saya atau ingin gabung grup, saya sering muncul di facebook, tepatnya di grup fanfiction(titik)net Indonesia (Hilangkan tanda kurung, dan titik diubah menjadi . ) Ya gw admin di situ.

psst, ini cerita pertama gw yang lewat dari 100k words. wuhh.