Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya
Warning : AU, omegaverse, OOC, yaoi
Part 14 – Red Blood
Ivan tidak menyangka Alfred dan kakaknya Arthur ―kalau tidak salah namanya Allistor― akan sampai di sini juga. Padahal tadinya ia ingin bermain kejar-kejaran dengan Arthur di tengah hutan gelap. Karena, pasti menyenangkan melihat omega itu terantuk akar pohon dan jatuh bergulingan di atas tanah, atau berlari menyusuri semak berduri hingga membaret-baret muka pucatnya. Oh, akan lebih seru lagi kalau dia tercekik tanaman rambat, atau tertusuk ranting pohon. Ivan bisa membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi jika mereka bermain di sini.
Kecuali, tiba-tiba saja si Amerika berisik itu muncul, bersama dengan si rambut api. Sebenarnya Ivan suka melihat warna rambutnya. Serupa darah. Benar-benar menarik. Kira-kira bagaimana reaksi kakaknya Arthur jika melihat kepala adiknya juga berubah memerah seperti dia? Secara alami, tentu saja.
Ivan tersenyum miring, masih sambil membungkam mulut Arthur dan menyeretnya mundur. Omega itu sudah tidak melawan lagi. Tentu saja ia kelelahan setelah berlarian menghindar. Stamina mereka hanya cukup untuk kopulasi, bukan kejar-kejaran seperti di film action. Jadi Ivan bisa menggeretnya dengan mudah. Apalagi karena tubuhnya kurus kecil seperti kekurangan gizi. Masih lebih berisi daripada Kiku, memang. Tapi tetap saja; seperti boneka usang yang bisa diseret sesuka hati.
"Jangan terburu-buru, omega. Ivan belum selesai bermain dengan Arthur, da." bisik Ivan. Sudut bibirnya tertarik semakin tinggi. Ada sensasi hangat menyentuh tangannya. Basah. Tentu saja makhluk lemah ini menangis dengan mudah. "Ah, masih terlalu dini untuk menangis, Arthur. Ivan masih punya kejutan lain untukmu."
Sekarang dia harus membawa Arthur menjauh dari Alfred dan memberinya pelajaran yang sesungguhnya. Sesuatu yang berhubungan dengan pipa kesayangannya. Sudah saatnya Arthur menerima balasan dari Ivan. Harga yang harus ia bayar karena telah menyakiti Kiku. Omega itu tidak tahu diri karena telah merebut alfa orang lain. Tidakkah ia tahu Alfred sudah memiliki pasangan? Lalu kenapa tetap meladeni si Amerika itu? Harusnya ia berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk membuat sahabat Ivan sedih.
"Sebenarnya aku enggan kembali ke tempat tadi, tapi hadiahmu ada di situ, Arthur. Kau tidak keberatan, kan? Nanti kita bisa bermain petak umpet dengan Alfred dan kakakmu, hm? Bagaimana menurutmu? Atau kau mau langsung dikembalikan pada mereka? Ivan tidak keberatan, da."
Tentu saja dia akan menepati janjinya untuk mengembalikan Arthur.
"Ah, tapi mari kita bersenang-senang dulu sejenak!"
Rumah dua tingkat di hadapannya sudah terlihat cukup menyeramkan dilihat dari depan. Gelap dan tidak berpenghuni. Tempat yang cocok untuk menyembunyikan mayat orang. Oops! Ivan tertawa kecil dan menyeret Arthur masuk. Omega itu benar-benar sudah pasrah. Seperti boneka usang yang tak bernyawa. Diseret tanpa perlawanan.
Derit pintu dibuka terdengar mencekam di tengah sunyi malam.
"Jadi ini idemu, kita menyusuri hutan gelap yang tak diketahui di mana ujungnya? Dan hewan buas apa saja yang tinggal di dalamnya, apakah kau tahu apa yang akan kita hadapi, yankee?" Allistor menghentakkan kakinya keras menginjak akar pohon yang hampir saja membuatnya terjatuh ke depan. Tidak akan lucu kalau ia berteriak seperti omega dan menubruk punggung Alfred yang berjalan di depannya. "Mungkin kau sudah bosan hidup dan ingin segera mati, tapi aku masih harus menemukan Arthur dan menepati janjiku pada ibu untuk menjaganya!"
Bahu Alfred terlihat mengeras, tapi dia tetap melangkah melihat ke depan.
"Jangan berlebihan, hutan ini tak seberapa luasnya. Bahkan lampu kota masih kelihatan dari sini. Lagipula tidak ada hewan buas yang tinggal di sini. Hanya segerombolan tupai dan musang. Jangan bilang kau takut pada hewan-hewan kecil itu!"
Allistor memutar bola matanya. Dia sudah tahu kalau bocah Amerika ini menyebalkan, tapi ternyata dia lebih dari sekedar menyebalkan biasa. Berisik dan menyebalkan. Allistor jadi ingin mencekik lehernya.
"Terserah apa katamu, anak muda! Tapi kita sudah semakin jauh dan tetap saja belum ada tanda-tanda keberadaan Arthur! Jangan hanya karena tidur dengannya sekali kau beranggapan telepati kalian sudah begitu kuat. Tidak mungkin!"
Alfred membalikkan badannya dengan gusar. Menghadap Allistor dan memicingkan mata.
"Kau hanya iri karena Arthur lebih menyukaiku daripada dirimu, kakaknya sendiri!"
Allistor mendengus. "Jangan membuatku tertawa! Aku tidak peduli siapa yang dia sukai. Karena kalau aku tidak menyukai alfa itu, maka aku tidak akan memberinya izin untuk mengklaim Arthur!"
Sepasang mata birunya membulat.
"A-aku tidak membutuhkan izin darimu!"
Allistor tertawa mengejek. Ia melangkah maju melewati Alfred, dengan sengaja menyenggolkan bahu mereka.
"Kalau begitu langkahi dulu mayatku, bodoh. Kau salah besar kalau mengira aku akan memberikan Arthur padamu begitu saja."
Dia tidak tahu harus melangkah ke mana, tapi masih lebih baik terus berjalan daripada berdiam diri di tempat yang sama. Apalagi menunggu si yankee itu menemukan kembali akal sehatnya. Allistor yakin hal itu akan memakan waktu lama. Padahal malam terus menua, sementara ia tak berencana menikmati dinginnya udara terlalu lama. Ide tentang meringkuk di balik selimut tebal dengan secangkir teh hangat terasa menyenangkan. Tentu setelah Arthur ditemukan dalam keadaan selamat. Allistor akan memastikan adiknya baik-baik saja, atau ia akan menghajar pemuda Rusia itu habis-habisan seperti janjinya. Bahkan kalau perlu, membunuhnya.
Belum terdengar hentakan kaki lain dari belakangnya. Allistor tidak menunggu, terus mengarahkan ponselnya ke depan, menerangi jalan setapak di antara rimbun pepohonan, berkata, "Kalau kau tidak bergegas, aku akan membunuhmu dan mencari Arthur sendiri dengan caraku. Kau benar-benar tidak banyak membantu, Jones."
Suara renyah daun kering yang terinjak oleh sol sepatu yang bukan punyanya mulai terdengar. Alfred mengikutinya.
"Arthur bukan barang yang bisa diserah-terima-kan begitu saja. Dia berhak menentukan pilihannya sendiri."
Dengusan Allistor kali ini terdengar nyaring.
"Aku membiarkannya memilih dan dia berakhir dalam situasi seperti sekarang. Berada dalam sarang penjahat, dan kini diculik oleh alfa penjahat juga. Aku tidak bodoh, Jones. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Arthur masih memerlukan pengawasanku."
Dalam sekejap Alfred telah berhasil menyusul Allistor, kemudian berjalan mendahuluinya. "Kita lihat saja nanti, kepada siapa dia akan berlari pertama kali."
Allistor memicingkan manik emeraldnya.
"Yang jelas tidak mungkin kepada rapist sepertimu, Jones."
Semuanya buram, temaram, dan berputar.
Arthur membiarkan tubuhnya diseret memasuki rumah kosong itu untuk kedua kalinya. Dia tak punya energi lagi untuk melawan. Tenaganya telah terkuras habis digunakan untuk mencoba melarikan diridari Ivan. Harusnya ia tahu kabur dari alfa bukan perkara mudah. Dan dia pikir dirinya sudah aman ketika mendengar Alfred dan Allistor memanggil namanya. Ternyata memang tak semudah itu lepas dari orang Rusia ini.
Dia tidak menyangka Kiku berencana membalas dendam dengan cara seperti ini.
Arthur sedikit merasa kalau ia bersalah, tentu saja. Memang tidak seharusnya ia meladeni Alfred. Jelas-jelas ia sudah memiliki pasangan. Bahkan ia juga telah menyakiti Arthur dan membuatnya dipindahpaksa ke kelas F. Omega waras mana yang jatuh cinta pada alfa yang telah menghancurkannya sedemikian rupa? Hanya Arthur yang terlalu bodoh.
Dia bodoh, dan tidak menyesalinya. Belum.
Karena tidak peduli apa yang dilakukan Alfred padanya pertama kali mereka bertemu, tidak peduli dampak yang diakibatkan perbuatan alfa itu kepada Arthur; Alfred datang lagi sebagai orang yang berbeda. Sebagai alfa yang peduli padanya. Justru di tengah hiruk-pikuk suasana kelas F yang tidak karuan, sarang penjahat yang akan membuat setiap omega yang terperangkap di dalamnya bergidik ngeri; Alfred muncul sebagai sosok pahlawan baginya. Ironis memang. Dan Arthur pikir Alfred sama saja dengan alfa lain teman-teman sekelasnya.
Bagaimana mungkin dia tidak luluh oleh sikap Alfred padanya selama di kelas F? Arthur merasa seperti menjadi seorang damsel in distress, sementara Alfred adalah pangerannya yang berkuda putih. Lagipula Alfred telah memutuskan Kiku. Harusnya tak ada masalah lagi di antara mereka karena semuanya sudah jelas. Kecuali omega satu itu terlanjut cemburu dan menaruh dendam kesumat padanya.
Tapi bahkan meskipun Alfred adalah akar permasalahan yang menimpanya sekarang, Arthur tetap tidak bisa menyalahkan alfa itu. Dia tetap saja menyalahkan dirinya sendiri. Memangnya apa salah Arthur? Tentu saja seorang omega mudah berubah hatinya. Sedikit saja diberi perhatian maka kau bisa menariknya ke tempat tidur dengan mudah. Sesederhana itu. Dan Arthur kira dirinya begitu kompleks, berbeda dari omega lainnya. Ternyata sama saja. Yang mereka―para omega―butuhkan cuma satu.
Perhatian.
Rasa suka, cinta, kasih sayang; akan mengikutinya kemudian. Seiring dengan berjalannya waktu. Satu satu, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Kecuali, Arthur merasakan semuanya pada saat bersamaan. Bersama dengan rasa sakit dan kebencian akan Alfred F. Jones; yang tiba-tiba saja menguap oleh secuil perhatian. Hanya karena hal sesederhana itu. Tidak serumit aljabar dan algoritma, tidak juga rumus Fisika.
Arthur telah jatuh cinta pada Alfred secara sederhana.
Kecuali, cara sederhana itu berbuntut pada benang kusut yang sulit untuk ia uraikan. Yang kini membelit jarinya erat seperti ular berbisa. Seperti tali yang dari tadi mengikat tangannya. Seperti lengan Ivan yang melingkari pundaknya, menyeretnya dengan mudah.
"Apa Kiku pernah bercerita pada Arthur tentang pipa kesayangan Ivan? Karena sebentar lagi kau akan berkenalan dengannya."
Arthur tidak begitu mendengarkan. Karena bahkan kesadarannya hampir hilang. Ia sudah terlalu lelah. Kedua matanya terasa begitu berat dan ingin terpejam. Terpejam dalam waktu yang cukup lama, hingga ketika ia membukanya nanti, yang pertama kali dilihatnya adalah sepasang mata biru Alfred yang mempesona.
"Hei, Ivan tidak pernah bilang kau boleh tidur, omega. Kita belum selesai bermain-main, da!"
Bahunya diguncang-guncangkan dengan kasar, membuat denyut pada kepalanya terasa semakin menjadi. Arthur mengerutkan kening, berharap sensasi mirip getokan palu pada kepalanya berkurang.
"Hmm, kenapa Arthur tidak mengatakan apa-apa? Ivan paling tidak suka diacuhkan!"
Tiba-tiba ia didorong ke depan, punggungnya menghempas dinding lembab, berhasil menghantamkan bagian belakang kepalanya juga. Arthur mengerang pelan, merosot turun tanpa perlawanan. Sepasang mata emeraldnya yang sudah tidak awas sempat menangkap kilat murka badam ungu yang bersinar-sinar.
"Arthur tunggu di sini, da. Jangan coba-coba untuk tidur!" Segenggam rambut pirangnya ditarik, memaksa Arthur mengangkat kepalanya. "Ivan tidak suka diacuhkan begitu saja!"
Kemudian dalam sekejap alfa itu menghilang dari hadapannya, entah ke mana dia pergi.
Arthur tak lagi mencoba melepaskan ikatan pada pergelangan tangannya. Percuma, ia malah membuat simpulnya semakin erat mengikat. Apalagi gesekan tali kasar dengan kulitnya menyebabkan sensasi terbakar yang mengesalkan. Ia hanya memandangi kedua tangannya yang terikat, dengan mata yang begitu berat. Lelah, lapar, sakit, dan kantuk bercampur menjadi satu. Membiarkan kedua matanya tetap terbuka pun sulit rasanya. Arthur ingin merebah dan tidak mempedulikan Ivan, membiarkan gelap menyeretnya pergi ke alam mimpi.
Rasanya tidak lebih dari lima detik ia memejam, ketika bunyi besi yang saling beradu terdengar nyaring memekakkan telinga. Seketika kedua matanya terbuka lebar, jantungnya berdegup kencang karena terkejut. Rasa kantuknya hilang seketika.
Sepasang mata emeraldnya bertemu dengan manik ungu yang bersinar-sinar dalam gelap. Seringaian lebar yang mengerikan. Orang Rusia berdarah dingin yang meneriakkan kekejaman pada setiap bahasa tubuhnya.
Arthur menelan ludah, mengamati pipa besi yang dipegang oleh Ivan.
"Apa yang Ivan katakan tentang tidak boleh tidur, hmm?"
Ivan memainkan benda itu dengan santai, seraya melangkah mendekat ke arah Arthur. Ujungnya dibiarkan menyentuh lantai, diseret dengan meninggalkan bunyi gesekan yang membuat Arthur bergidik ngeri. Seringaian lebar yang menghiasi wajahnya tak sedikitpun memudar. Arthur menyeret tubuhnya mundur, Ivan mengikuti arahnya.
"Kau ingat saat Ivan bilang Ivan punya kejutan lain untukmu, da?"
Sekali ayun, pipa besi yang panjangnya kira-kira 30 inci itu menghantam teralis jendela, menimbulkan bunyi berdentang yang membuat Arthur berjengit.
"Ivan akan mengembalikanmu dalam keadaan utuh, tenang saja. Mungkin sedikit patah pada beberapa bagian, tapi tetap utuh. Arthur tidak keberatan, kan?"
Bagaimana mungkin dia bisa bersikap tenang saat Ivan menunjukkan seringaian lebar seperti itu?
"K-kau pasti sedang bercanda…"
Apakah pemuda Rusia ini benar-benar berniat untuk membunuhnya? Kalau pun iya, Arthur harap dia melakukannya dengan cara yang tidak menyakitkan. Ia sudah terlalu lelah, tidak mungkin lagi melawan. Ide tentang dipukuli dengan pipa besi tersebut terdengar begitu menyakitkan. Arthur tidak mau mendengar suara menyedihkan bagaimana tulangnya beradu dengan benda keras itu. Dia tidak mau merasakannya.
"Oh? Sayang sekali Ivan tidak sedang bercanda, da. Karena Arthur juga tidak bercanda saat menyakiti Kiku, kan? Ivan hanya membalas perbuatan jahat Arthur pada Kiku, itu saja. Jangan ketakutan berlebihan seperti itu."
"A-apa maksudmu?! Aku― aku tidak melakukan apa-apa!"
Tentu saja Arthur tahu kalau dirinya juga bersalah. Tapi bukan begini caranya Kiku membalasnya! Ini terlalu― terlalu menyakitkan! Arthur tidak tahu bagaimana hidupnya yang tenang bisa berubah menjadi begitu kompleks.
"Ya, ya, ya. Katakan saja pada pipaku ini. Kuharap dia akan mengerti, da."
Tiba-tiba saja Ivan sudah berada tepat di hadapannya, mengayunkan pipa besi yang dipegangnya. Arthur begitu terkejut, tapi beruntung ia sempat menundukkan kepala. Ujung pipa besi yang diarahkan untuk mengenai kepalanya meleset, menghantam vas tua di atas meja yang langsung pecah berkeping-keping. Arthur membelalakkan mata emeraldnya. Beberapa serpihan keramik terlempar mengenai wajahnya.
"Kau cepat menghindar juga, omega. Mari kita lihat sampai kapan kau bisa bertahan."
Pipa besi itu diayunkan lagi dan Arthur merangkak pergi dengan gemetar ketakutan. Sulit untuk melakukannya, apalagi dengan kedua tangan terikat. Pada akhirnya ujung pipa menghantam betisnya dan Arthur berteriak kaget. Tidak dengan tenaga sebesar tadi, hanya sabetan kecil yang mengagetkan, tapi cukup untuk membuatnya terkena serangan panik.
"Heh, jangan berisik, Arthur. Kita tidak ingin Alfred dan kakakmu terlalu cepat datang dan menyelamatkanmu, kan?" Ivan masih mengikutinya, dengan langkah pelan yang menekankan suara gesekan ujung pipa dengan lantai. "Mungkin Ivan harus mematahkan rahangmu dulu, da? Hmm, terdengar seperti ide yang bagus." Ivan terkekeh.
Itu saja cukup menjadi indikator bagi Arthur untuk mempercepat gerak melatanya. Tapi dengan badan gemetaran seperti kondisinya sekarang, percuma. Air mata segar menetes lagi dari kedua pelupuk matanya.
"Hei, tunjukkan pada Ivan mulut mungilmu, omega. Dan kita akan melakukan sesuatu untuk memperbaikinya, da."
Ayunan kedua dilancarkan, dan Arthur terlambat menghindar. Pipa besi menghantam bagian belakang kepalanya, mengirimnya terjatuh dengan muka mencium lantai, dengan bunyi berdebum yang menyakitkan.
Arthur mengerang kesakitan. Kepalanya berdenyut nyeri.
Segenggam rambutnya ditarik keras, Arthur merintih mencoba melepaskan diri. Ivan berlutut di hadapannya dan beralih mencengkeram rahangnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya masih menggenggam pipa besi.
"Mulut mungil omega sepertimu benar-benar harus diwaspadai, da. Buka mulutmu."
Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ivan mendengus, jari-jarinya mencengkeram rahang Arthur semakin keras, dengan kuku-kukunya yang panjang menusuk kulit Arthur. Membuatnya merintih kesakitan.
"Buka mulutmu, da."
Lagi-lagi Arthur menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata mengalir turun semakin deras membasahi pipi pucatnya.
"Kau benar-benar omega yang keras kepala."
Ivan mengayunkan pipa yang ia pegang, menghantam sisi tubuh Arthur, efektif membuatnya membuka mulutnya dan berteriak kesakitan. Kesempatan itu ia gunakan untuk menyelipkan ibu jarinya pada mulut Arthur dan menarik rahangnya turun.
"Jangan khawatir, Ivan akan mengajarkanmu bagaimana menggunakan mulutmu dengan benar. Dengan begitu, kau bisa memikat alfa-alfa lain di luar sana, da. Ivan baik, kan?"
Tiba-tiba saja ujung pipa besi yang barusan menghantamnya didorong masuk ke dalam mulutnya. Arthur meronta mencoba melepaskan diri, tapi Ivan tidak menggubrisnya.
"Heh, kau harusnya berterimakasih pada Ivan, da. Tidak setiap hari kau mendapatkan pelajaran berharga seperti ini." Ivan tertawa.
Arthur masih terus meronta mencoba membebaskan dirinya, apalagi saat ujung pipa besi itu melewati gag reflexnya, membuatnya tersedak dan hampir muntah. Ivan hanya mengamatinya dengan seringaian lebar menghiasi wajahnya, seperti menikmati setiap detiknya.
"Hmm, tidak menarik. Kau terlalu mudah menyerah, omega. Tidak ada alfa yang menyukai omega yang tidak bisa melakukan apa-apa seperti dirimu."
Akhirnya Ivan menarik kembali pipa besinya, membiarkan Arthur terbatuk-batuk berusaha mengumpulkan nafasnya.
"Atau mungkin kau memerlukan pelajaran pada bagian tubuhmu yang lain, Arthur? Hmm…" Ivan menyeringai.
Sepasang mata emeraldnya membelalak.
"K-kau―"
Ivan tertawa, menarik satu kaki Arthur dan membuatnya hilang keseimbangan, terjungkal ke belakang. Seketika panik menyerang Arthur ketika Ivan mulai mencoba melepaskan ikat pinggangnya.
"He-hentikan!"
Tapi dengan kondisi tangan terikat, tidak banyak yang bisa Arthur lakukan. Apalagi Ivan memutuskan untuk menduduki kedua kakinya dan membatasi pergerakannya. Arthur hanya bisa meronta, tak lebih. Ia ingin berteriak, tapi saking paniknya, malah tersedak oleh salivanya sendiri. Hingga akhirnya hanya bisa terbatuk-batuk pasrah.
Arthur sudah menyerah. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia sudah berusaha melepaskan diri sebisanya, tapi tetap saja alfa sekaliber Ivan bukan tandingannya. Dia kan hanya omega! Dan akhirnya, pada sifat alaminya ia pasrah. Karena ia hanya omega yang lemah. Ia menyerah.
Kecuali, tiba-tiba pintu depan yang telah lapuk dan usang didobrak hingga engselnya lepas, hingga daun pintu menggantung secara menyedihkan, dan dengan berlatar belakang hutan yang gelap, adalah Alfred F. Jones. Kedua tangannya mengepal kesal. Sementara sosok kepala berambut merah menyembul dari belakangnya.
"Brengsek! Menyingkir dari Arthur, Braginski!"
Tangan Ivan―yang telah berhasil menurunkan celana biru tuanya hingga sebatas paha―terhenti. Ia memicingkan sepasang mata ungunya.
"Bollocks! Menyingkir dari adikku!"
Allistor maju dan dalam sekejap menyingkirkan Ivan dari Arthur. Mereka berdua terlibat dalam adu gulat, bergulingan di atas lantai. Sementara Alfred berlari menghampiri Arthur dan membantunya beralih ke posisi duduk.
"A-Arthur! Kau tidak apa-apa?" Alfred segera melingkupi Arthur dengan gestur posesif.
"Sa-sakit," Arthur merintih pelan ketika Alfred secara tidak sengaja menekan bagian belakang kepalanya yang terkena hantaman pipa besi. "kepalaku…"
"Ah, maaf, maaf. Bagian mana yang sakit? Biar kulihat,"
"Tanganku, tolong―"
Sementara itu di sisi lain tengah terjadi pergumulan seru antara Allistor dan Ivan. Kedua alfa itu terlihat seimbang dalam kekuatan. Satu pukulan, dibalas dengan pukulan lain. Bergulingan, berganti posisi siapa yang memegang kendali.
Alfred melepaskan ikatan erat pada tangan Arthur sambil berjengit, sesekali melirik ke arah Allistor dan Ivan. Dia menyesal karena tidak serius dalam pramuka, sehingga tidak paham betul urusan tali temali. Akhirnya ia hanya menggeram dan memutuskan kalau ia memerlukan bantuan benda tajam untuk memotongnya, karena kelihatannya tidak mungkin baginya untuk menguraikan simpul mati.
Hingga kemudian terdengar suara tajam pipa besi beradu dengan lantai. Alfred dan Arthur menolehkan kepala mereka seketika. Allistor tampak memegangi dahinya. Dari balik tangannya mengalir darah merah pekat yang kemudian membingkai wajahnya, serasi dengan warna rambutnya. Sebelah matanya terpejam.
"Brengsek―" Ia mendesis pelan.
Sepasang mata biru Alfred membulat, pun dengan manik emerald Arthur.
"Ah, maaf Arthur, bisakah kau tunggu di sini sebentar? Kurasa kakakmu memerlukan bantuan."
Dan Arthur hanya menganggukkan kepalanya pelan, memandangi Alfred yang meninggalkannya untuk menghajar Braginski.
Allistor terlihat tidak senang saat Alfred ikut campur. Ia berdecak pelan, masih memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Apa yang kau lakukan di sini, Jones? Aku bisa mengatasi orang Rusia ini sendiri."
Sebuah tinju Alfred lancarkan mengenai rahang Ivan, membuatnya jatuh tersungkur dan terdiam. Sementara ia memanfaatkan kesempatan itu untuk memandangi Allistor, sekilas memperhatikan kepala Allistor yang terluka. Sulit untuk melihat sekilas posisi lukanya, mengingat warna merah darah menyatu sempurna dengan warna rambutnya.
Alfred mengerutkan kening, kemudian menghela nafas.
"Aku tidak pandai tali temali. Arthur membutuhkanmu."
"Cih, kalian berdua memang pengecut, da. Beraninya keroyokan." Ivan bangkit dari posisi jatuhnya, menyeka darah pada sudut bibirnya.
Tanpa berpikir panjang Allistor menendang bahu Ivan dan mengirimnya jatuh lagi. Mendengus, "Bicaralah pada kakiku, Braginski! Kau yang pengecut karena menyerang omega lemah."
"Uh―" Alfred tidak berani berkomentar lagi.
"Urus dia. Aku tidak mau melihat mukanya yang menyebalkan."
Allistor mengacak rambutnya, mengernyitkan kening ketika mendapati tangannya berlumuran darah. Sambil berjengit menahan sakit ia melangkah mendekat kepada Arthur yang hanya berdiam diri di pojokan, masih dengan tangan terikat dan celana biru tuanya yang sebatas paha. Kalau bukan karena celana pendek yang ia kenakan, Allistor akan menghajar Alfred karena membiarkan adiknya begitu saja.
"K-Kakak…"
Allistor berlutut di hadapannya, menghela nafas panjang.
"Jones benar-benar bodoh. Aku tidak percaya kau begitu menyukainya. Merepotkan." Dengan sekali tarik, simpul yang mengikat pergelangan tangan Arthur terurai. Allistor hanya memperhatikan bagaimana adiknya membenarkan celananya dengan muka memerah.
"Kau tidak apa-apa?" Ia bertanya dengan suara parau. Kepalanya masih berdenyut nyeri dan ia mulai merasa pusing.
Arthur menggelengkan kepala, mengancingkan celananya dengan tangan gemetar.
"K-kau sendiri?" Sepasang mata emerald itu memandanginya dengan khawatir.
Kali ini giliran Allistor yang menggelengkan kepala. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman samar. "Nah, aku bukan omega lemah sepertimu." Dengan punggung tangannya ia menyeka darah yang mengalir pada dahinya.
Arthur mengernyitkan alis melihat kondisi kakaknya. Jelas alfa itu berusaha untuk terlihat kuat di hadapannya. Tapi kenyataannya dia hampir kehilangan kesadarannya. Kedua matanya tak lagi fokus, dan sepasang alisnya berkerut dalam.
"Kau berdarah―" Ia merogoh saku blazernya dan mengeluarkan sapu tangan. Perlahan mengulurkan tangannya untuk menyeka sisa darah pada dahi Allistor. Tapi sebelum kain itu dapat menyentuh kakaknya, Allistor menangkap pergelangan tangannya.
Arthur semakin yakin kalau kakaknya tidak sepenuhnya sadar. Karena ia tidak pernah memandangi Arthur dengan ekspresi khawatir seperti itu. Sangat tidak Allistor!
"Kau terluka,"
Ibu jari Allistor mengelus pelan bekas memerah pada pergelangan tangannya.
"Aku tidak―"
"Hei, Allistor! Kau ingin aku melakukan apa pada orang Rusia ini? Dia sudah tidak sadarkan diri!" Teriakan Alfred membuat Allistor berjengit. Ia memejamkan kedua matanya dengan lelah.
"Pacarmu berisik sekali." Allistor mendengus, memegangi bagian kepalanya yang sakit.
Arthur tertawa tertahan, kemudian menghambur kepada Allistor, melingkarkan tangannya mengelilingi pinggang kakaknya. Ia menghela nafas lega, mengistirahatkan kepalanya pada dada Allistor dan mendengarkan detak jantung kakaknya yang menenangkan.
Allistor tersenyum, tangannya melingkari pundak Arthur. Sepasang mata emeraldnya yang memburam bertemu pandang dengan manik biru Alfred. Saat itu senyumannya berubah menjadi seringaian ejekan.
Alfred menggeram pelan dan menendang sisi tubuh Ivan sebagai pelampiasan.
Kali ini Allistor yang menang. Seperti katanya tadi, Arthur memeluknya duluan.
AN : Akhirnya…setelah dua bulan terabaikan… orz orz. Sepertinya kurang satu chapter lagi. Semoga kali ini benar-benar tidak memakan waktu lama *prays*