Disclaimer : Hetalia belongs to Hidekaz Himaruya

Warning : AU, omegaverse, OOC, yaoi (Lemon? Lime? Smut? Whatever it is called!)


Part 15 – Sweet Whisper

Setelah memastikan bahwa Braginski tidak akan mengganggu Arthur lagi (Alfred menunggu hingga pemuda Rusia itu sadarkan diri dan mengancam akan membunuhnya kalau ia berani membahayakan nyawa Arthur lagi, kemudian meninju mukanya hingga tak sadarkan diri untuk kedua kali) mereka bertiga meninggalkan rumah gelap di tengah hutan dengan langkah perlahan.

Alfred yang memimpin barisan, berjalan paling depan dan menunjukkan jalan dengan layar ponselnya yang sejak sepuluh menit lalu telah berteriak kritis. Ia harus mengubahnya ke mode pesawat untuk menghemat baterai. Lagipula tidak akan ada yang mencarinya, jadi tidak apa-apa meski ia tidak bisa dihubungi. Paling-paling hanya Gilbert atau Aksel yang iseng mengajaknya berpesta di klub malam.

Sesekali ia menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan kalau Kirkland bersaudara itu masih mengikutinya dalam jarak aman.

Alisnya mengernyit menyaksikan bagaimana Arthur, yang kecil dan kurus seperti tulang berjalan, membantu Allistor berjalan, yang notabene bertubuh tinggi besar, tipikal alfa dominan. Alfa Kirkland itu terlihat seperti dapat kehilangan kesadarannya setiap saat. Tentu saja, dengan pukulan sekeras itu di kepala, Alfred takjub melihatnya masih sanggup berjalan. Darah yang mengalir dari kepalanya telah sedikit mengering. Atau mungkin telah habis, Alfred tidak tahu. Yang jelas kemeja Allistor telah berubah warna menjadi merah darah, menjelma seperti warna rambutnya. Harus Alfred akui kalau warna itu cocok sekali untuk Allistor.

Dia hanya mendengus dan kembali memperhatikan jalan di depan.

Padahal Alfred kira ia dapat menjadi sosok pahlawan bagi Arthur. Memang dia telah menyelamatkan omega itu sebelum hal-hal lebih buruk dapat terjadi padanya, tapi pada akhirnya Arthur malah lebih memilih Allistor. Maksudnya, kenapa dia repot-repot membantu kakaknya berjalan, padahal Alfred sudah menawarkan diri untuk melakukannya?

Oh, karena Allistor sendiri yang menolak bantuannya tadi. Benar.

Alfred menghela nafas dongkol. Alfa arogan itu tidak bisa membaca situasi. Tidakkah dia sadar kalau Arthur juga terluka, cara jalannya sedikit aneh. Dan tentu saja perbedaan postur tubuh mereka yang begitu kentara. Allistor bersikap begitu egois kalau menolak bantuan Alfred dan memberi beban berat pada adik kecilnya.

"Kak?"

Alfred sedikit berjengit mendengar suara parau Arthur.

"―hn?"

"Kau tidak apa-apa? Mungkin lebih baik―"

"Aku tidak apa-apa, bodoh. Diamlah, kau membuatku sakit kepala."

"Aku hanya―"

"Shush!"

Alfred hanya diam dan mendengarkan sekilas, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya singkat. Alfa yang keras kepala dan merepotkan.

Selama lima menit kemudian perjalanan dilalui dalam diam. Hanya bunyi daun-daun kering yang terinjak di bawah sol sepatu, sesekali Arthur terbatuk, sesekali Allistor menggerutu, dan sesekali Alfred mendengus kesal. Karena merasa dongkol, ia tidak begitu memperhatikan jalan dan berakhir berputar-putar di hutan kecil itu. Allistor tidak sempat merutukinya, mungkin Kirkland itu terlalu sibuk menahan sakit pada kepalanya yang berdenyut.

Mungkin Alfred memang melakukannya dengan sengaja, sedikit menyesatkan mereka. Tentu dia tidak mungkin memukul kepala Allistor untuk membuatnya tidak sadarkan diri, hanya agar dia bisa mengambil alih beban berat yang ditanggung Arthur. Omega itu tidak akan mengapresiasi tindakannya kalau sampai ia berani menyakiti kakaknya yang sudah sempoyongan itu. Dan Allistor terlalu keras kepala untuk menerima bantuannya dengan sadar. Maka cara satu-satunya adalah membuatnya tidak sadarkan diri.

Sepertinya tidak akan lama. Diam-diam Alfred menghitung detik-detik waktu yang berlalu dalam benaknya. Tepat pada hitungan ke-duapuluh, Arthur berseru panik. "A-Allistor!"

Alfred segera membalikkan badan dan mengambil alih Allistor yang tidak sadarkan diri dari Arthur.

"Alfred―" Tentu saja omega itu terlihat panik.

Alfred tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa, Arthur. Allistor hanya lelah, itu saja. Kau tidak perlu khawatir, aku yakin dia baik-baik saja." Dia perlu berusaha lebih keras untuk memindahkan Allistor ke atas punggungnya dan tetap berjalan. Harusnya ia tahu kalau Allistor tidak akan seringan Arthur. Tentu saja, Kirkland itu seorang alfa, bukan omega seperti adiknya.

"Kau―"

"Tidak apa-apa! Aku―ugh, kakakmu berat sekali―aku masih bisa menahannya. Sebaiknya kita bergegas. Jujur saja, kakakmu berat sekali." Alfred meringis. Arthur terlihat menahan tawa. Melihatnya, Alfred tersenyum juga.

Akhirnya ada masa yang tenang di mana hanya ada mereka berdua. Dan Allistor yang tidak sadarkan diri, tapi untuk saat ini dia tidak penting keberadaannya.

"Kau tidak apa-apa?" Entah ini sudah yang keberapa-kalinya Alfred bertanya. Dia tidak pernah 100% yakin dengan jawaban yang diberikan Arthur. Omega itu hanya menggelengkan kepala.

Alfred menghela nafas.

"Kami mengkhawatirkanmu. Aku sangat mengkhawatirkanmu." Dia membenarkan pegangannya pada Allistor, merasa kalau beban pada punggungnya sedikit merosot.

Alfred menoleh kepada Arthur. Sudut bibir omega itu tertarik ke atas, membentuk lengkung senyum sederhana.

"Terima kasih, Alfred. Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku."

Kalau bisa, ia ingin menjatuhkan Allistor begitu saja dan memeluk Arthur. Memeluknya, memastikan sekali lagi kalau ia memang baik-baik saja. Meyakinkan dirinya sendiri kalau Arthur memang tidak apa-apa.

"…maafkan aku. Semuanya terjadi karena diriku, kan? Aku benar-benar menyesal karena kau harus bertemu dengan Braginski. Aku menyesal karena ini semua terjadi padamu. Aku―"

Arthur menyentuh lengan kirinya. "Shush. Aku akan memukulmu kalau kau berani bilang kau menyesal telah bertemu denganku." Sepasang mata emerald itu mengeras.

"Aku― baru akan mengatakan kalau aku menyesal karena kau harus bertemu denganku…"

Sebuah pukulan kecil pada lengannya dan Alfred hanya mengaduh.

"Sama saja, git." Tapi ia tersenyum setelah mengatakannya. Jadi semuanya baik-baik saja. Jadi Arthur tidak menyesal karena telah bertemu dengannya. Jadi Arthur tidak ingin Alfred menyesalinya. Semuanya baik-baik saja dan tidak ada yang perlu disesali.

Alfred memamerkan cengirannya. Tidak selebar biasanya, tapi cukup untuk menan kalau ia juga baik-baik saja. "Kalau kau memukulku lagi, aku bisa menjatuhkan Allistor begitu saja."

Arthur memicingkan matanya, memandangi Alfred. Sesaat ia merasa kalau Arthur akan mengomelinya jika berani menyakiti kakaknya.

"Lakukan saja kalau kau berani. Biarkan dia pulang sendiri. Tapi aku tidak mau ikut campur kalau dia berusaha untuk membunuhmu kemudian hari."

Alfred tertawa, lagi-lagi membenarkan pegangannya pada Allistor. Terlalu merepotkan untuk berurusan dengannya nanti. Lebih baik ia bersusah-susah sekarang daripada menderita nanti. Tawanya cepat mereda, seperti dibekukan oleh angin malam yang berhembus dingin. Ranting-ranting dan dedaunan saling bergesekan tertiup angin. Alfred menyadari bagaimana kini Arthur berjalan dengan jarak yang lebih dekat dengannya, hingga lengan mereka kadang saling bersentuhan. Kalau bukan karena Allistor, ia akan melingkarkan tangannya pada pundak Arthur dan membagi hangat tubuhnya dengan omega itu. Tangannya benar-benar gatal ingin memeluk Arthur.

"Hei, kau kedinginan?"

Arthur menoleh, mengerjapkan matanya, kemudian menggeleng.

"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa."

Alfred menyeringai. "Kau tahu, kalau bukan karena kakakmu, aku pasti sudah memelukmu sekarang. Kau terlihat hampir menggigil, Artie."

Raut muka Arthur berubah begitu mendengar namanya diubah seenaknya oleh Alfred.

"Namaku Arthur, git. Dan aku tidak menggigil kedinginan, kau hanya berimajinasi."

Alfred tertawa. "Ya, ya, ya, Arthur. Kau memang tidak menggigil, tapi aku akan tetap memelukmu. Kalau bukan karena kakakmu yang merepotkan ini." Alfred mengendik kepada beban di punggungnya.

Manik emerald Arthur melunak. Dia tersenyum.

"Jangan begitu. Kau membutuhkan izin Allistor untuk memilikiku, git." Mukanya memerah saat mengatakannya. Perhatiannya ia alihkan ke arah lain, memutuskan kontak dengan mata biru Alfred. Melihatnya, sebersit ide jahil terlintas di kepala Alfred.

"Hm? Siapa yang bilang kalau aku ingin memilikimu, Arthur?"

Mendengarnya, Arthur menolehkan kepalanya lagi dengan cepat. Matanya membulat tidak percaya, mukanya yang tadi memerah kini terlihat memucat, dan Alfred harus menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresinya.

"K-kau―"

Alfred bersumpah kalau Arthur terlihat menggelikan dengan ekspresi wajah seperti itu.

"Ah, ah. Kena kau, Artie! Hahaha!"

"Git!" Kali ini pukulan yang dilancarkan pada lengannya tidak main-main. Kalau tadi Alfred sekedar mengaduh bercanda, kini ia serius melakukannya. Hampir saja menjatuhkan Allistor. Lengannya terasa panas.

"A-Artie! Apa yang kau lakukan? Kau hampir membuatku menjatuhkan setan merah ini!" desis Alfred.

Arthur mendengus kesal, melipat kedua tangannya di depan dada. Ia membuang muka. "Kau menyebalkan sekali, twit!"

Alfred menghela nafas, tersenyum. "Hei, aku belum selesai bicara, bodoh."

Arthur mendengus lagi, belum mau melihat ke arahnya.

"Memangnya siapa yang bilang kalau aku ingin memilikimu, Artie? Aku harus memilikimu."

Perlahan Arthur menolehkan kepalanya. Kedua pasang mata mereka bertemu. Alfred mengedipkan sebelah matanya. Muka Arthur langsung memerah dan seketika ia memalingkan kembali wajahnya.

"Git." Merutukinya dengan senyuman yang memaksa untuk muncul menghiasi wajahnya.

Alfred hanya tertawa.


"Argh, tidakkah kau tahu jam berapa ini―"

Pintu di hadapan mereka terbuka dan Elizaveta dengan rambut tidurnya yang berantakan muncul dari baliknya. Sepasang mata hijaunya membulat begitu menyaksikan tamu-tamunya.

"Oh, Tuhan! Apa yang terjadi pada kalian?! Jones! Kau berkelahi lagi?! Kirkland! Dia― ah, cepat masuk ke dalam! Ya Tuhan…apa yang telah kalian lakukan?!"

Wanita muda itu buru-buru menggiring mereka masuk dengan panik.

"Tunggu di sini! Aku akan mengambil kotak P3K!" Elizaveta melesat pergi, sementara Alfred menurunkan Allistor ke atas sofa. "Hati-hati, Jones! Kau bisa membunuhnya kalau melakukannya sekasar itu!"

Alfred hanya berjengit, kemudian Arthur memukul lengannya pelan.

Tak sampai satu menit Elizaveta muncul lagi. Kali ini dengan kotak obat dan ikat rambut yang ia gigit pada mulutnya. Wanita Hungaria itu meletakkan kotak obat di atas meja dan bergegas mengikat rambut panjangnya dengan asal. Ia duduk di samping Allistor yang tidak sadarkan diri dan memeriksa kepalanya yang berlumuran darah. Sebagian sudah mengering, terutama yang mengalir membingkai wajahnya. Elizaveta terlihat berkonsentrasi penuh memilah-milah surai merah Allistor, memeriksa kondisi lukanya. Sebentar kemudian ia menghela nafas, mengalihkan perhatiannya pada Alfred dan Arthur yang masih berdiri mengamatinya.

"Jones, kau tahu kalau melukai kepala orang bisa berakibat fatal, kan?" Sepasang mata hijau Elizaveta mengeras, terlihat menuduh.

Alfred mengerjapkan matanya heran. "Ah? Hei, bukan aku yang melakukannya! Kenapa kau selalu menuduhku?!"

Elizaveta berjengit, menghela nafas lelah. "Pelankan suaramu, Jones."

"Alfred tidak melakukan apa-apa, Miss Hedervary." Arthur meremas tangan Alfred. Tangannya terasa dingin, Alfred menggenggamnya erat. "Apakah Allistor― perlu dibawa ke rumah sakit?" Kedua alisnya bertautan, mengamati kakaknya dengan khawatir.

Dengan kondisi rumah kosong dan hutan yang gelap, ia tidak sadar seberapa parah luka di kepala Allistor. Apalagi karena warna rambut asli kakaknya memang merah darah. Tapi begitu mendapat pencahayaan yang cukup dan sebagian darah yang melumuri kepala Allistor telah mengering hingga berubah warna kehitaman, baru ia dapat melihat dengan jelas kondisi Allistor. Kepalanya benar-benar berlumuran darah. Tentu saja suara pukulannya terdengar begitu menyakitkan, tapi sikap cool Allistor telah berhasil mengelabuinya.

"Hmm, untuk saat ini kurasa dia hanya perlu beberapa jahitan di kepala. Besok aku akan membawanya ke rumah sakit untuk memastikan tidak terjadi apa-apa dengan tengkoraknya. Kalian berdua pergilah beristirahat, biar aku yang merawatnya. Kalian terlihat begitu lelah."

"Jadi kami bisa mempercayakan Allistor padamu kan, Eliz?" tanya Alfred.

Elizaveta menganggukkan kepala. "Tenang saja. Aku akan menjaganya baik-baik."

"Tapi―"

"Arthur, kau harus beristirahat. Percayalah pada Eliz, dia bisa mengatasi semuanya." Alfred mengeratkan genggaman tangannya pada Arthur, berusaha meyakinkannya.

"Allistor―"

"Jangan khawatir, Kirkland. Aku akan merawat kakakmu. Jones benar, kau harus beristirahat. Kau terlihat dapat pingsan kapan saja. Tapi biar kubersihkan dulu lukamu sebentar, lalu kau bisa pergi tidur." Elizaveta meraih kotak obatnya dan memberi isyarat pada Arthur untuk duduk di sampingnya. "Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi pada kalian hari ini. Lagipula kakakmu harus segera dibersihkan lukanya, jadi cepatlah kemari."

"Ayo, Arthur." Alfred mendorong punggung Arthur pelan, mendudukkannya di samping Elizaveta. "Setelah ini kita pergi ke apartemenku. Letaknya tidak jauh dari sini, hanya berjarak 2 blok saja."

Saat itu Elizaveta langsung menolehkan kepala dan memicingkan mata pada Alfred. "Apa yang sedang kau rencanakan dalam kepala kecilmu itu, Jones?" Ia bertanya dengan nada penuh curiga.

"A-apa maksudmu? Arthur memerlukan baju ganti dan dia tidak mungkin memakai bajumu, Eliz!"

"Lalu kenapa kau tidak mengantarnya pulang saja?"

"Ka-karena ibunya pasti khawatir kalau melihatnya terluka seperti ini! Apalagi saat tahu kalau Allistor terluka seperti ini."

"Jadi menurutmu lebih baik kalau Mrs. Kirkland tidak mengetahui kondisi kedua putranya, begitu?"

Arthur hanya diam dan mengerjapkan matanya. Mendengarkan perdebatan Alfred dan Elizaveta, bergantian memandangi mereka berdua.

"Bu-bukan begitu… Maksudku― Allistor sudah mengatakan pada Mrs. Kirkland kalau Arthur akan membantunya menyelesaikan tugas kesiswaan sehingga tidak akan tidur di rumah malam ini. Kalau tiba-tiba ia muncul dengan kondisi terluka, Mrs. Kirkland malah akan semakin khawatir dan―"

"Allistor bilang begitu?" Arthur memotong pembicaraan Alfred. "Dia bilang aku membantunya di kesiswaan?"

Alfred menganggukkan kepala. "Dia tidak ingin ibu kalian khawatir. Allistor― dia tidak ingin melihat ibu kalian menangis lagi…" Alfred melemparkan tatapan iba pada Allistor. Pemuda berambut merah itu belum sadarkan diri juga dan terlihat tidak akan bangun dalam waktu dekat. Kedua alisnya saling bertautan. Wajah tidurnya―wajah tidak sadarkan dirinya―bahkan terlihat tidak tenang.

Kali ini giliran Elizaveta yang diam. Dia menyibukkan diri dengan membersihkan luka Arthur, padahal ia mendengarkan dengan seksama tiap kata yang meluncur dari mulut Alfred.

Arthur diam, terlihat berpikir. Sesekali ia mengaduh saat Elizaveta menekan bagian tubuhnya yang sakit. Akhirnya ia menghela nafas dan memandangi Alfred dengan sepasang mata emerald yang lelah.

"Allistor benar. Kurasa ibu memang lebih baik tidak tahu dulu. Aku juga tidak ingin dia khawatir…"

Mendengarnya, Alfred tersenyum. Ia meraih tangan Arthur dan menggenggamnya, tidak mempedulikan tatapan aneh yang Elizaveta lemparkan ke arahnya.

"Allistor akan baik-baik saja. Dia juga tidak ingin menghadap ibu kalian dengan kondisi seperti sekarang. Jadi biarkan Eliz merawatnya dulu."

Arthur menganggukkan kepala.

"Ehem." Elizaveta berdehem. Membuat Arthur menarik tangannya lepas dari genggaman Alfred yang longgar. Mukanya tampak memerah. "Baiklah, lovebirds. Kau boleh membawa Kirkland ke apartemenmu untuk berganti baju, Jones. Tapi ingat, jangan melakukan hal-hal aneh padanya! Begitu ia sadar, aku akan memastikan Allistor Kirkland membunuhmu kalau sampai kau berani menyentuh adiknya!" ancam Elizaveta.

Alfred berdecak. "Tsk, kenapa kau sangat tidak mempercayaiku, Eliz? Aku tidak sebrengsek yang kau kira, kau tahu!"

"Huh! Penjahat kelamin sepertimu tidak bisa dipercaya begitu saja!"

"Kau―"

"Kirkland, kalau Alfred Fucker Jones ini berani berbuat macam-macam padamu, tendang saja selangkangannya, lalu berteriaklah kencang-kencang. Aku yakin kakakmu akan langsung sadar dan bergegas membunuh alfa brengsek ini." Elizaveta menggenggam tangan Arthur dan berkata dengan serius.

"Eliz!"

Arthur tersenyum geli, mengangguk-anggukkan kepala. "Tenang saja. Aku pasti akan menendangnya kuat-kuat sampai dia tidak bisa berjalan lurus."

Elizaveta mengangkat jempolnya setuju. "Bagus! Jangan biarkan Jones mendapatkan apa yang ia inginkan! Seorang player sepertinya perlu diberi pelajaran agar tidak bertindak seenaknya!"

Alfred berdecak lagi, meletakkan kedua tangannya di atas pinggang. "Kalian seperti sedang bersekongkol untuk menjebloskanku ke dalam penjara, Nona-nona. Bagus sekali."

"Memang itu tujuan utamanya, Jones!" Elizaveta menjulurkan lidahnya. Arthur tertawa kecil. "Baiklah. Aku sudah selesai denganmu, Kirkland. Istirahatlah dan jangan khawatirkan kakakmu. Aku pasti akan merawatnya baik-baik. Ingat ya, jangan biarkan Jones seenaknya menyentuhmu!"

Alfred hanya mencibir kesal.

"Aku titip kakakku, Miss Hedervary."

Elizaveta mengangguk pasti.

"Sekarang aku yang akan memperingatkanmu, Eliz. Jangan berbuat macam-macam pada Allistor." Alfred berujar, mengulurkan tangannya pada Arthur untuk membantunya berdiri. "Aku yakin Arthur tidak mau punya omega brutal sepertimu sebagai kakak ipar."

"Jo-Jones! Apa maksudmu?!"

Sebelum Elizaveta dapat membalas perkataannya dengan sebuah tendangan, Alfred telah lebih dulu membimbing Arthur pergi meninggalkan kediaman Elizaveta. Tertawa lepas begitu keluar dari rumahnya. Tanpa mempedulikan teriakan kesal Elizaveta, ia terus membawa Arthur pergi, sambil tertawa cekikikan sepanjang jalan. Merasa telah puas membalas dendam pada wanita Hungaria itu.

Dan akhirnya tinggal mereka berdua saja. Benar-benar berdua; dia dan Arthur saja.

Alfred menghela nafas dan tangannya yang tadinya berada di punggung Arthur beralih melingkari pundaknya. Omega itu hanya diam, sedikit menegang. Sepertinya ia masih belum terbiasa dengan gestur-gestur intim semacam itu.

Sesaat mereka hanya diam. Mendengarkan bunyi tip-tap lembut sepatu menghentak-hentak trotoar. Alfred mengeratkan pegangannya pada pundak Arthur, meremasnya pelan. Ia menghela nafas panjang, memperhatikan dua bayangan mereka berdampingan.

"Braginski― dia tidak melakukan apa-apa padamu, kan?"

Sekali lagi postur tubuh Arthur menegang. Langkah kakinya hampir terhenti, tapi Alfred kembali meremas pundaknya pelan dan tetap membawanya melangkah.

"Kami― aku, tidak terlambat datang, kan?"

Ia masih ingat betul pemandangan yang pertama ia lihat saat menendang pintu rumah tua itu terbuka. Braginski menduduki kaki Arthur dan menahannya, sementara tangannya―Alfred tidak mau mengingatnya, tapi ia tidak bisa lupa―tengah berusaha menarik turun celana pendek Arthur. Kalau saja Braginski sudah berhasil menelanjangi Arthur, Alfred pasti akan murka dan tidak ragu-ragu membunuhnya di tempat saat itu juga. Ide tentang orang lain menyentuh Arthur benar-benar membuatnya gusar.

"Argh!" Alfred menggeram, kemudian menghentikan langkahnya dan memeluk Arthur tiba-tiba. Ia membenamkan kepalanya pada surai-surai Arthur yang keemasan. Sementara Arthur hanya diam dan membiarkannya. "Katakan kalau Braginski tidak melakukan hal aneh padamu! Katakan kalau aku tidak terlambat menyelamatkanmu!"

Karena dia tidak suka dengan ide menjadi pahlawan kesiangan. Memang benar ia memiliki hero complex yang menggelikan, tapi Alfred tidak mungkin membiarkan omeganya terluka. Dia tidak mungkin membiarkan Arthur terluka!

Pelukannya mengerat.

Arthur hanya diam. Kemudian tangannya melingkari pinggang Alfred, ia menghela nafas sedikit gemetar. Alfred mengeratkan pelukannya lagi.

"Aku tidak apa-apa. Kalian― kau, tidak terlambat, Alfred. Sama sekali tidak."

Dia belum mau melepaskan Arthur. Tidak ingin melepasnya sampai kapan pun. Kalau boleh, Alfred berharap mereka dapat terus seperti ini. Bertautan seperti sekarang. Tanpa ada halangan apa pun. Tanpa ada beban.

Hingga kemudian Arthur meronta pelan, meminta dilepaskan. Mungkin ia kesulitan bernafas, Alfred memeluknya terlalu erat. Akhirnya dengan enggan Alfred melepasnya sejauh lengan. Kedua tangannya masih memegang pundak Arthur, memastikannya baik-baik saja. Memastikan sekali lagi kalau omega yang berdiri di hadapannya sekarang adalah benar-benar Arthur Kirkland. Ia meremas pundak Arthur pelan.

"Arthur, aku benar-benar minta maaf." Sepasang mata birunya mengiba. Kedua alisnya bertautan dalam. "Kau telah mendapat banyak masalah karena bertemu denganku. Aku benar-benar menyesal."

"Hentikan, Alfred. Aku tidak mau mendengarnya lagi." Arthur mengeraskan pandangannya.

Pegangan Alfred pada pundak Arthur mengerat.

"Tapi aku serius! Aku benar-benar menyesal dan―"

Sebelum ia dapat meneruskan pengakuan dosanya, Arthur terlebih dulu berjinjit dan membungkam mulutnya. Menempelkan bibirnya dengan bibir Alfred, mempertemukan mereka dalam sebuah ciuman singkat yang tak sampai dua detik lamanya. Tujuannya hanya agar Alfred berhenti bicara, dan terbukti efektif.

Arthur menarik diri dan memalingkan mukanya yang memerah.

Alfred masih cukup terkejut dengan aksi Arthur barusan, hanya mengerjapkan sepasang mata birunya. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna, lalu tangannya berpindah memegang sisi-sisi kepala Arthur. Sedikit mengangkatnya, sementara Alfred merunduk dan mengulang lagi ciuman mereka barusan yang terlalu singkat untuk seleranya.

Arthur mengeratkan pegangannya pada ujung jaket Alfred, membiarkannya memegang kendali.

Alfred menumpahkan semuanya pada ciuman tersebut. Betapa menyesalnya dia atas kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada Arthur setelah bertemu dengannya. Betapa menyesalnya ia karena telah menyakiti omega itu, karena telah membuat hidupnya menderita. Arthur sudah bosan mendengarnya mengutarakan beribu-ribu maaf, jadi Alfred akan melakukannya dengan cara lain. Arthur harus tahu kalau ia benar-benar menyesal.

Ujung lidahnya terjulur, menyapu garis bibir Arthur, meminta akses masuk. Arthur agak meragu, tapi kemudian ia mengabulkan. Dan Alfred memperdalam ciumannya, menjelajahi rongga mulut Arthur dengan gesit seperti ular, menunjukkan dominasinya sebagai alfa. Ia tak lagi peduli dengan kenyataan bahwa mereka ada di luar, di ruang publik, dan siapa pun bisa saja menyaksikan. Berbekal insting alfanya ia mendorong Arthur mundur, menghempaskan punggungnya perlahan pada dinding grafiti di belakang. Tangan kanan Alfred berpindah memegang bagian belakang kepala Arthur, memastikannya tidak terbentur. Tiba-tiba saja ia merasa bau Arthur berubah menjadi begitu tajam, membutakannya.

Omega itu mendorong Alfred perlahan, memberi isyarat kalau ia mulai kesulitan bernafas.

Alfred menarik diri barang satu inci, dengan seuntai saliva yang menjuntai di antara mereka. Mungkin karena dirinya sudah terlanjur dirundung nafsu, sebentar kemudian ia merunduk untuk menciumi Arthur lagi. Pemuda Inggris itu hanya pasrah, terlalu lelah untuk membantah. Ia membiarkan Alfred berbuat sesukanya. Dalam sekejap melupakan kata-kata Elizaveta.

Arthur mengerang pelan saat Alfred berpindah dan mengulum daun telinganya. Ada getar yang menjalari ruas-ruas tulang punggungnya, yang membuat Arthur melengkungkan tubuhnya. Tangan kiri Alfred melingkari pinggang Arthur dengan gestur posesif, mendorongnya mendekat hingga tak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Panggul mereka beradu. Alfred menggeram seperti binatang feral, menggigit pertautan antara leher dan bahu Arthur, menandai miliknya. Ia tak bisa menahan diri lagi, celananya sudah terasa sempit sejak ia melingkarkan tangannya pada pundak Arthur.

"Al― ah!"

Arthur berusaha mendorongnya lagi, tapi Alfred tidak menggubrisnya. Masih mencium dan mengisap leher Arthur, mengikuti insting alfanya. Ia kembali mengadu panggulnya dengan Arthur, hanya agar merasakan lagi sensasi yang membuat celananya terasa seperti kekecilan beberapa ukuran. Tangannya menyusup ke balik kemeja Arthur, mengusap-usap sisi tubuhnya dengan gerakan sensual.

Arthur telah lama menyerah. Tulang-tulangnya berubah menjadi jeli. Kalau bukan karena Alfred yang menahannya, ia pasti sudah rubuh ke atas tanah. Sekujur tubuhnya terasa panas, ia tak mampu berpikir dengan benar.

Tapi begitu tangan liar Alfred memutuskan untuk menembus karet elastis celananya dan meremas bagian belakangnya, Arthur mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk mendorong Alfred menjauh. Tidak berhasil memang, tapi ia berhasil menemukan suaranya untuk bicara, meski terdengar parau, kacau tidak bernada.

"Ja-jangan di sini, Al."

Karena meski nafsu menjajah pikiran Arthur hampir seluruhnya, masih ada beberapa persen akal sehatnya yang memintanya berhenti. Menyuruhnya melawan. Atau paling tidak, memaksa Alfred untuk menunda kegiatan mereka dan mencari tempat yang lebih tepat. Bagaimana pun juga mereka berada di tempat umum saat ini. Arthur tidak mungkin membiarkan dirinya melakukan kopulasi di ruang terbuka.

"Ah, maaf!"

Alfred menarik diri dari Arthur, lalu tanpa membuang-buang waktu lagi membopong omega itu, memindahkannya ke atas pundaknya. Alfred berlari membawa Arthur menuju blok apartemennya yang hanya berjarak tinggal tiga puluh meter di depan. Arthur tidak sempat melawan, hanya berteriak kaget. Karena yang ia tahu kemudian, Alfred menendang pintu apartemennya terbuka, berlari menaiki anak tangga dan menjatuhkannya di atas tempat tidur. Semuanya dilakukan dengan begitu cepat seperti kilat.

Alfred membayanginya. Menahan kedua tangannya di samping kepala. Nafasnya memburu.

"Maaf Arthur. Tapi― kurasa aku tak bisa menahannya lagi." Suaranya terdengar serak. Ada bulir keringat yang mengaliri dahinya.

Arthur tersenyum, ia menarik lepas tangannya, lalu mengulurkannya untuk menyeka peluh Alfred. Ia menganggukkan kepala pelan, memberi izin pada Alfred untuk melanjutkan apa pun yang akan alfa itu lakukan. Memberinya persetujuan.

Alfred memamerkan cengirannya sekilas. Sebentar kemudian dia sudah kembali melumat bibir Arthur, menelan semua erangan yang mencoba keluar darinya. Tangan Alfred dengan gerak asal dan tak sabar membuka kancing kemeja Arthur satu per satu, melucuti lembaran-lembaran bahan yang membatasi mereka. Tangannya segera menjelajah dan memetakan tubuh Arthur. Memberi perhatian lebih pada titik-titik yang berhasil menarik keluar erangan omega itu yang tertahan. Bau Arthur tercium semakin tajam membutakan. Jauh dalam benaknya Alfred curiga kalau omega ini memasuki siklusnya, tapi ia terlanjur melangkah jauh dan tak mungkin berhenti lagi. Apalagi Arthur telah menyetujui.

Alfred menarik diri dan sejenak memperhatikan Arthur yang menggeliat di bawahnya, telanjang tanpa busana.

Sebelumnya ia tidak begitu memperhatikan, tapi Arthur terlihat menakjubkan. Seperti tipikal omega lain, kulitnya halus dan mulus, terasa lembut di ujung jarinya, dan warnanya pucat seperti tak pernah tercium sinar matahari. Alfred mengernyit begitu menyadari ruam-ruam pada beberapa bagian, luka yang Arthur dapat karena ulah Braginski. Sadar dirinya tengah diperhatikan, muka Arthur memerah seperti kepiting rebus. Ia memalingkan mukanya dengan tidak nyaman, berusaha menarik tangannya lepas dari tahanan Alfred, untuk menutupi anatominya.

Tapi Alfred tidak mau melepasnya. Ia tersenyum dan merunduk, mencium ringan warna kebiruan yang menodai kulit Arthur.

"A-Al…"

Pada pundak, lengan, sisi-sisi tubuhnya, terus meluncur turun dan membuat degup jantung Arthur tidak karuan. Menanti penuh antisipasi. Tapi bukan Alfred namanya kalau tidak menggoda. Ia sengaja melewati bagian tubuh tertentu dan menciumi bagian dalam paha Arthur, membuatnya gemetaran. Rute yang ia lalui dibuat begitu dekat dengan alat kelamin Arthur, tapi tak pernah menyentuhnya. Sengaja dilakukan untuk membuat omega itu frustasi.

"A-Alfred!"

Ia menyeringai dan mengigit paha Arthur pelan. Kemudian mengisapnya, meninggalkan bekas gigitan memerah. Alfred menarik diri dan mencium bibir Arthur, membungkam protes yang belum sempat Arthur lontarkan.

"Arthur…" Ia berbisik dengan suara dalam tepat pada telinga Arthur. Tangannya mengusap paha Arthur pelan, lalu terus melaju lambat hingga meraba kerutan otot anal Arthur yang licin oleh cairan kental. Lubrikan yang diproduksi oleh omega secara alami dalam siklusnya.

Arthur mengerang keras, meliukkan tubuhnya. Alfred menciumnya lagi, sementara jari tengahnya menembus masuk. Diikuti digit kedua, lalu ketiga, mempersiapkannya untuk sesuatu yang lebih besar. Setelah dirasa cukup, Alfred menarik keluar jari-jarinya, membuat Arthur mendengking kecewa karena kehilangan.

Alfred menghela nafas, mencium dahi Arthur yang lengket oleh keringat dan berbisik parau, "Aku akan mengklaimmu sekarang."

Kemudian Alfred menyatukan mereka, memenuhi Arthur seutuhnya. Selanjutnya ia membiarkan insting dominannya mengambil alih, melakukan tarian ritual penyatuan di atas ranjang. Sementara Arthur menggeliat, mengerang, merapalkan namanya seperti mantra.

"Alfred― ah! Ahn―"

Gerakannya semakin cepat, mengenai prostat Arthur dengan presisi yang menakjubkan. Alfred telah mengubah omega itu menjadi makhluk yang berantakan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tak lagi koheren, hanya berupa erangan-erangan abstrak yang tak ada maknanya.

Alfred menyeringai, menekankan dominasinya dengan menggigit leher Arthur cukup keras untuk meninggalkan bekas yang akan bertahan selama beberapa hari ke depan. Hangat dan rapat yang menyelubunginya hampir membuatnya gila, tapi tak sedikitpun melambatkan aksinya, malah menjadi katalis yang mempercepat geraknya. Tak lama kemudian organ kopulasinya mengeras, dan sebelum Alfred dapat mencabutnya keluar, telah terbentuk knot yang akan menahannya selama dua puluh menit tetap berada dalam tubuh Arthur. Sementara cairan semennya menyembur keluar mengisi bagian terdalam Arthur.

Alfred mengumpulkan nafasnya yang tersengal-sengal. Kedua sikunya yang bertumpu pada tempat tidur di samping kepala Arthur menahannya agar tidak menjatuhkan diri di atas omeganya. Sambil menunggu ikatannya selesai Alfred mengamati ekspresi wajah Arthur yang terlihat begitu kelelahan. Matanya terpejam, masih dengan nafas memburu, dan ada rona merah yang menyapu sekitaran pipinya. Dengan hati-hati Alfred merunduk dan mencium ujung hidungnya. Arthur hanya bergumam setengah sadar. Tangannya terangkat, berpegang pada lengan Alfred.

Alfred tersenyum dan menempatkan kecupan hangat pada dahinya.


Saat Arthur membuka sebelah matanya yang terasa berat, ia langsung disambut oleh senyuman lebar Alfred F. Jones. Alfa itu bertelekan di sampingnya, dengan rambut basah yang dari ujung-ujungnya menetes air. Dari aroma mint segar yang menyapa hidungnya, tidak sulit untuk menebak kalau ia baru selesai mandi.

"Selamat pagi, mentari."

Arthur hanya bergumam saat Alfred memberinya sebuah ciuman singkat. Dia memperhatikan sekilas bagaimana Alfred beranjak dari tempat tidur dan memakai blazer biru tuanya.

"Jam berapa sekarang?" Suaranya terdengar parau. Seperti kertas pasir, kasar dan kering. Arthur berdehem pelan, mengucek matanya.

Alfred mengerling jam tangan yang melingkari pergelangan kirinya. "Sepuluh menit lagi jam 8 pagi."

Seketika itu Arthur beringsut dari tempat tidur, tapi dihentikan oleh rasa sakit tumpul pada bagian belakangnya. Ia merintih pelan. Alfred duduk di tepi tempat tidur dan meraih tangannya, menggenggamnya.

"Kau mau ke mana? Kau tidak sadar ya, siklusmu dimulai sejak kemarin." Alfred tersenyum lucu. "Tinggallah di sini. Aku akan masuk setengah hari. Nanti aku akan kembali untuk menemanimu. Tunggu aku, ya?" Ia mengedipkan sebelah matanya menggoda.

"Ah―" Arthur menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Bagaimana mungkin dia tidak sadar kalau tengah menjalani siklusnya? Pasti karena kejadian semalam. Muka Arthur berubah menjadi merah padam seketika. Ia baru ingat lagi kejadian semalam. Mereka telah melakukan kopulasi. Alfred telah mengklaimnya. Arthur sendiri yang mengizinkannya.

Arthur meringkuk dan bersembunyi di bawah selimut bermotif bendera Amerika.

Alfred tertawa melihatnya.

"Aku harus pergi sekarang, Arthur. Jaga dirimu baik-baik. Aku sudah memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat, kau jangan pergi ke mana-mana. Aku akan melihat kondisi Allistor nanti. Dan mungkin― umm, mungkin aku akan ke rumahmu dan mengatakan pada ibumu kalau aku sudah― errr, kalau kita― sudah berpasangan…" Alfred mengusap punggungnya pelan. "Ada makanan di atas meja. Pastikan kau menghabiskannya. Aku pergi dulu."

Alfred menarik tangannya, lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar dari kamarnya. Ia melemparkan tatapan terakhir pada buntalan selimut dan tersenyum geli, kemudian menutup pintu perlahan.

Kepala Arthur menyembul dari balik selimut, memastikan Alfred benar-benar telah pergi, dan ia menghela nafas panjang.

Tiba-tiba ia merasa begitu gugup dengan situasi yang ada. Perubahan terjadi begitu cepat, dengan skala yang terlalu drastis. Padahal kemarin dia begitu ketakutan karena diculik oleh pemuda Rusia psikopat, kemudian malamnya dibuat khawatir oleh kondisi Allistor. Siapa yang menyangka kalau semua tekanan dan stres yang ia rasakan membuatnya tak berpikir dengan benar dan berakhir di atas ranjang?

Arthur kembali bersembunyi di bawah selimut, menghirup dalam-dalam bau Alfred yang begitu pekat di sekitarnya.

Dan alfa itu mengeluarkannya di dalam.

Arthur melompat berubah ke posisi duduk, tapi segera menyesali tindakannya yang berujung pada nyeri ringan pada bagian belakangnya. Melakukannya saat siklus memang meredakan rasa sakitnya, tapi peluang kehamilannya semakin tinggi.

Arthur menelan ludah. Ia baru akan menapakkan kakinya ke atas lantai saat nyeri tiba-tiba menyerangnya. Bagian belakangnya terasa seperti berdenyut. Arthur merintih, bersujud dan meremas bedcover di bawah telapak tangannya.

Bukan sakit seperti waktu itu, akibat Alfred memaksanya. Tapi rasa sakit yang biasa ia rasakan saat siklusnya. Sakit yang membuatnya bergulingan di atas tempat tidur, merintih dan mengerang memohon untuk dipuaskan. Ia membutuhkan sesuatu― tidak, ia membutuhkan Alfred. Sekarang.

Arthur dapat merasakan cairan kental mengalir keluar dari lubang pemuasnya. Seketika itu kekhawatirannya akan kemungkinan dirinya hamil menghilang. Pikirannya berkabut, tak rasional lagi. Ia harus mencari cara untuk memuaskan diri sementara waktu, sampai Alfred kembali lagi. Arthur meraih antara kedua kakinya dengan tangan kanan, memijit dan menekan anatomi tubuhnya. Sementara tangan kirinya menyusup ke bagian belakangnya, mencoba meniru apa yang dilakukan Alfred semalam. Tidak sama, tentu saja. Jarinya terlalu pendek, tak mampu menjangkau prostatnya. Selain itu juga terlalu ramping, tak dapat mengisinya dengan sempurna.

Tidak seperti bagaimana Alfred melakukannya.

Teriakan Arthur terdengar tertahan ketika pada akhirnya cairannya menyembur keluar. Ia menjatuhkan diri di atas matras dan menghela nafas lelah. Untuk tiga hari ke depan ia akan terjebak dalam kondisi menyedihkan seperti sekarang. Seperti yang terjadi pada dirinya tiap bulan sekali. Kecuali, kali ini dia tidak akan melaluinya sendiri.

Mulai sekarang dan seterusnya, ada Alfred yang akan menemaninya.


Alfred menyelinap masuk melalui celah pintu gerbang yang terbuka sedikit, memamerkan cengirannya pada satpam penjaga gerbang. Pria itu hanya memutar bola matanya dan memukul puncak kepala Alfred pelan menggunakan papan jalan yang ia bawa.

"Terima kasih, Sir! Aku janji tidak akan terlambat lagi!" Ia meneriakkannya sambil berlari, melambaikan tangannya kepada penjaga gerbang. Dan terus mempercepat lajunya menuju kelas F.

Seperti biasa ia mendobrak pintu dengan dramatis untuk mengumumkan kedatangannya, tipikal seorang Alfred F. Jones. Teman-temannya hanya melemparkan tatapan tidak tertarik ke arahnya. Dan seperti biasa Mr. Watson hanya bisa menghela nafas pasrah.

"Jones―"

"Whoah! Kau serius, Al?!" Gilbert bangkit dari bangkunya dengan tiba-tiba. Ia mengerutkan hidungnya lagi, mengendus ulang bau yang tersebar di atmosfer. Bau omega. Pemuda albino itu memicingkan sepasang mata merahnya.

"Mon dieu, kau terlambat karena melakukan hubungan seksual dengan Kirkland?!"

"Ah, aku baru sadar! Mana omega kecil itu? Aku tidak melihatnya dari kemarin!"

Mr. Watson hanya menggeleng-gelengkan kepala. Kalau sudah begini, tidak akan ada yang bisa membuat alfa-alfa berandalan ini diam, kecuali mereka berinisiatif sendiri. Sementara si biang kerok hanya tersenyum-senyum dan memamerkan deretan gigi putih cemerlangnya. Sesekali pamer dominasi itu perlu. Apalagi Arthur juga merupakan bagian dari kelas ini. Kalau Alfred tidak menegaskan status mereka, percuma saja. Arthur tetap akan dijadikan objek godaan, omega yang malang.

Alfred menganggukkan kepala dengan hormat pada Mr. Watson.

"Selamat pagi, Sir. Maaf atas keributan yang kutimbulkan pagi ini."

Mr. Watson hanya mengibas-kibaskan tangannya memberi isyarat pada Alfred untuk duduk.


"Kau benar-benar serius saat mengatakan akan menjadikan omega itu milikmu, non?"

"Kau kejam sekali, mi amigo. Bukankah baru kemarin kau memutuskan Kiku? Tiba-tiba pagi ini muncul dengan bau omega lain bercampur dengan baumu. Kau benar-benar luar biasa, Al." Antonio menggeleng-gelengkan kepalanya takjub.

"Cukup awesome, Al. Kau tidak membiarkan dirimu single barang sehari pun."

"Dan si setan merah membiarkanmu mengklaim adiknya begitu saja? Aku yakin sekali dia sedang tertidur, atau sudah gila."

Alfred hanya tertawa menanggapi komentar kawan-kawannya. Boleh jadi dia terlihat santai dan tidak peduli, padahal di dalam dirinya terjadi pergumulan sengit; apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Memberitahu Allistor dan ibunya tidak akan mudah. Alfred tahu si rambut merah itu tidak menyukainya. Kira-kira apa reaksinya saat mengetahui kalau Alfred telah mengklaim Arthur tanpa izin darinya? Alfred bergidik ngeri, membayangkan Allistor murka dan menghajarnya. Kalau Mrs. Kirkland, Alfred yakin wanita itu telah menyetujui hubungannya dengan Arthur. Dia hanya meminta agar Alfred tidak mengklaim Arthur begitu cepat, beralasan kalau Arthur masih ingin bersekolah.

Alisnya bertautan. Dalam hati ia memukul dirinya sendiri.

Dia dan hormon bodohnya yang selalu berakhir dengan masalah. Kalau saja dia tidak bertindak gegabah dan menuruti nafsunya…

Tapi Alfred juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alfa mana pun tidak akan berkutik jika dihadapkan dengan omega yang tengah mengalami siklus bulanannya. Tentu saja instingnya memerintahkannya untuk mengawini Arthur saat itu juga.

Alfred menghela nafas dan mengacak rambut pirangnya dengan frustasi. Dia tidak lagi mendengarkan komentar teman-temannya, asyik dengan dunianya sendiri.

Dan tiba-tiba pintu kelas F digebrak kasar, mengagetkan Alfred dan penghuni kelas F lainnya.

Sepasang mata birunya membulat begitu menangkap sosok yang berdiri di ambang pintu, dengan tangan mengepal dan mata memicing tajam. Ada perban yang melilit kepalanya, seperti turban; kontras dengan warna merah rambutnya.

"Allistor―"

Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, jelas mencari adiknya. Tidak menemukan apa yang ia cari, ia melemparkan tatapan membunuh pada Alfred. Tanpa basa-basi melangkahkan kakinya memasuki kelas F dan menghampiri bangku Alfred, berdiri di hadapannya dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

Sekali dengus ia dapat mencium bau Alfred yang tajam berpadu dengan bau familiar adiknya. Manik emerald itu berkilat-kilat marah.

Sebelum Alfred dapat mengelak, sebuah tinju dilayangkan mengenai hidungnya, membuat Alfred jatuh tersungkur ke belakang. Kursinya terbalik, kepalanya membentur lantai dengan bunyi yang terdengar menyakitkan.

"W-whoa, hentikan Prez!" Aksel lebih dulu menahan Allistor sebelum dia dapat maju dan menghujani Alfred dengan tinju yang dapat membunuhnya. "Te-tenangkan dulu dirimu!"

"Brengsek! Apa yang kau lakukan pada Arthur, Jones?! Di mana dia sekarang?!" Allistor menyalak marah, meronta mencoba membebaskan diri dari tahanan Aksel.

Alfred mengerang, menyeka darah yang mengalir dari lubang hidungnya dan beralih ke posisi duduk perlahan. "Ah, dia― ada di apartemenku." Ia menarik tangannya dan memperhatikan darah kental yang mengotori punggung tangannya.

Urat berkedut muncul di pelipis kiri Allistor, ia kembali menyerang maju. Kali ini Francis ikut menahannya.

"Apa maksudmu?! Jadi sekarang kau ingin menyekapnya? Aku akan membunuhmu kalau tidak segera melepaskan Arthur!"

"Kau sendiri yang bilang tidak ingin ibu kalian khawatir! Menurutmu bagaimana reaksi ibumu kalau melihat Arthur seperti itu? Lagipula kau sudah hampir mati tadi malam, bagaimana aku menjelaskan pada ibumu tentang kondisimu?!"

Allistor terdiam sejenak, masih menggeram murka.

"Tapi kau tidak perlu mengklaimnya, idiot! Bagaimana mungkin kau mencuri kesempatan padahal ia sedang terguncang! Yankee brengsek!"

Alfred menyeka darah yang mengalir turun lagi dari hidungnya dengan kesal.

"Memangnya apa yang bisa kulakukan? Tiba-tiba saja dia memasuki siklusnya dan aku― argh, kalau kau jadi aku waktu itu, kau juga pasti langsung menyerangnya tanpa berpikir dua kali, bahkan meski dia adikmu sekalipun!"

"Bollocks! Beraninya kau bicara seperti itu tentang adikku!"

Adu mulut mereka akan berubah menjadi adu tinju kalau bukan karena ikut campur Bad Touch Trio plus Aksel, dengan Antonio dan Gilbert menahan Alfred, sementara Aksel dan Francis menahan Allistor. Biasanya Allistor tidak terkalahkan, tapi karena kondisinya sekarang, Aksel dan Francis saja sudah cukup untuk menahannya.

"Aku tidak ingin berkelahi denganmu, Allistor. Kau sedang terluka."

"Pengecut kau―"

"Kirkland! Apa yang kau lakukan di sini? Sudah kubilang kau tidak boleh meninggalkan klinik, aku belum selesai mengganti perban di kepalamu!" Elizaveta Hedervary muncul dari balik pintu kelas F. Tanpa mempedulikan alfa-alfa berandalan yang melihat ke arahnya dengan keheranan ia menghampiri Allistor dan menarik tangannya. "Jangan keras kepala. Kau harusnya bersyukur karena tengkorakmu tidak retak sehingga otakmu tidak keluar-keluar."

Allistor menarik tangannya lepas dari genggaman Elizaveta, dengan gestur yang lebih pelan, tidak seperti saat ia memberontak dari tahanan Aksel.

"Aku tidak apa-apa. Kau terlalu berlebihan, Hedervary."

Wanita Hungaria itu menghela nafas. "Kalau masih ada yang perlu kau bicarakan dengan Jones, lakukan saja di klinik. Aku harus segera mengganti perbanmu. Dan sepertinya Jones juga perlu pengobatan. Kalian para alfa benar-benar merepotkan." Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Allistor mendengus. "Bahkan kalau dia mati pun aku tidak akan peduli."

"Jangan begitu, sebentar lagi dia akan menjadi adik iparmu, Kirkland." Sepasang mata hijau Elizaveta bersinar-sinar girang. Ia memukul lengan Allistor main-main.

Alfred hanya memutar bola matanya.


Reaksi pertama Mrs. Kirkland―Alice namanya―saat melihat putra tertuanya adalah panik. Manik emeraldnya basah oleh air mata, tampak takut-takut meraba perban yang membelit kepala Allistor. Untung ada Elizaveta yang menjelaskan semuanya. Bahwa Allistor baik-baik saja dan tidak memerlukan perawatan medis lebih lanjut, terima kasih pada kepalanya yang keras seperti batu. Allistor hanya mendengus pelan.

Kemudian wanita itu menanyakan tentang putra keduanya, Arthur, yang belum ia lihat sejak kemarin. Kali ini giliran Alfred yang gelagapan menjelaskan. Bahwa Arthur tengah mengalami siklus bulanannya dan kini ia berada di apartemen Alfred. Allistor berceletuk kesal tentang bagaimana Alfred telah mengklaim Arthur tanpa seizinnya, membuat Mrs. Kirkland hampir menampar Alfred, kalau bukan karena Elizaveta yang menengahi.

Karena Alice yang mengajarkan putranya untuk berani bermimpi tinggi. Bahwa hidupnya tidak akan berakhir sama seperti omega lainnya. Arthur tidak akan menjadi sekedar mesin produksi bayi. Ia akan menjadi omega terdidik yang lebih dari alat pemuas nafsu alfa semata.

Alfred tidak berani berkomentar. Hanya diam dan mendengarkan saat Alice memutuskan untuk memberinya ceramah panjang lebar. Ada perasaan bersalah yang menyusup ke dalam dirinya, yang membuat dadanya terasa sesak. Ia telah membuat Arthur menderita. Mengubah hidupnya menjadi kompleks.

"Apa itu perlu, Alfred? Apa kau perlu mengklaim Arthur secepat ini? Apakah kau perlu menjaganya dengan cara ini?"

Alfred memejamkan kedua matanya sejenak, menghela nafas, kemudian membukanya lagi. Manik birunya terlihat bersinar penuh keyakinan. Ia menganggukkan kepala.

"Hanya ini satu-satunya cara, Ma'am. Aku―anak-anak kelas F tidak bisa tinggal diam melihat omega seperti Arthur. Aku harus mengklaimnya agar mereka tak berani mengganggu Arthur lagi."

Alfred tidak bohong. Apakah perlu dia menceritakan insiden antara Arthur dengan Bad Touch Trio plus Aksel? Ia sadar teman-temannya melihat ke arah Arthur seperti serigala mengamat-amati buruannya. Sejenak saja ia lengah dan membiarkan Arthur sendiri, akan ada alfa yang menarik tangannya dan memaksa. Alfred hanya ingin Arthur tetap aman, jadi ia perlu menunjukkan dominasinya atas Arthur kepada alfa lain di kelasnya.

"Oh, Tuhan. Aku tidak percaya mengapa Arthur dipindah hanya karena memiliki hubungan denganmu? Sepertinya kelas Arthur yang sebelumnya begitu berbeda dengan kelasnya sekarang. Apakah seburuk itu situasi di sekolah bagi Arthur? Tapi dia tidak pernah mengatakan apa-apa…"

Allistor maju, meraih tangan Alice dan menggenggamnya, mengusap-usap punggung tangannya pelan dengan gestur yang menenangkan.

"Arthur hanya tidak ingin Ibu khawatir. Tapi Ibu juga tidak perlu cemas, Jones akan menjaganya. Aku akan memastikan dia menjaga Arthur baik-baik."

Alfred melirik ke arah Allistor dengan heran. Tidak menyangka pemuda itu akan berkata seperti demikian. Padahal ia sempat takut Allistor akan membongkar tentang taruhan yang Alfred menangkan. Tentunya hal itu malah akan memperkeruh keadaan. Ia bersyukur karena Allistor meyakinkan Alice untuk mempercayakan Arthur padanya. Karena jika Allistor terus menentang dan tidak berada di pihaknya, Alfred tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan.

"Aku― aku ingin bertemu dengan Arthur. Bawa aku menemui Arthur, Alfred."

Alfred harus berterimakasih pada Gilbert yang merekomendasikan apartemen berperedam itu kepadanya. Setidaknya Arthur aman berada di dalamnya. Omega menguarkan feromon yang begitu kuat saat siklusnya, membuat setiap alfa yang mengendusnya hampir gila. Setidaknya kamarnya berperedam suara dan berperedam bau. Arthur aman di sana.

"Tentu saja, Ma'am. Dia berada di tempat yang aman, aku jamin."


Alfred tahu kalau, setidaknya, Elizaveta memiliki ketertarikan pada Allistor. Ya, dia yakin sekali.

Wanita Hungaria itu ikut ke kediaman Kirkland untuk menjelaskan keadaan Allistor pada Alice, kalau-kalau Mrs. Kirkland panik berlebihan sehingga mengalami hiperventilasi begitu melihat putranya. Alfred kira tugasnya cukup sampai di situ saja. Kecuali kini dia ikut duduk di ruang tengah apartemennya, menemani Allistor, sementara Alfred membawa Alice menuju kamarnya.

Awalnya Alfred tidak begitu memperhatikan, tapi Eliz bersikap lembut sekali di depan Allistor. Berbeda sekali dengan dirinya saat menghadapi Alfred. Benar-benar mencurigakan.

"Kau tidak membiarkan Arthur kelaparan, kan?"

"Tidak, Ma'am. Aku memastikan ada banyak makanan dalam jangkauannya." Alfred tersenyum meyakinkan.

"Aku tahu Arthur menyukaimu, Alfred. Tatapan matanya saat melihatmu mengatakan semuanya. Aku ini ibunya, jadi aku tahu betul seperti apa putraku. Dan dia sangat menyukaimu." Alice mengusap lengan Alfred pelan. "Jadi kumohon jangan hancurkan dia. Biarkan dia menggapai mimpinya. Jangan biarkan dia berakhir sama seperti omega lainnya. Dia masih sangat muda."

Secara tidak langsung meminta Alfred untuk tidak berbuat gegabah. Agar ia menggunakan proteksi dan tidak membuat Arthur dipaksa mengundurkan diri dari sekolah karena hamil. Omega memang begitu rentan. Bahkan beberapa sekolah swasta mengizinkan omega mengambil cuti untuk kehamilannya. Tapi tentu saja yang seperti itu percuma. Untuk apa seorang omega meneruskan sekolahnya kalau dia telah memiliki anak? Alfa mana yang akan mengizinkan omeganya berbuat demikian? Tidak ada.

Alfred menganggukkan kepalanya. Karena dia pun tidak berencana untuk menjadi ayah dalam waktu dekat. Dan tangannya terulur untuk memutar kenop pintu di hadapannya. Samar-samar terdengar suara rintihan dari dalam, sesekali nama Alfred dipanggil. Mukanya memerah. Alice hanya tersenyum dan menepuk lengannya.

Pintu dibuka. Feromon Arthur tercium tajam, pekat menggantung di udara, membuat Alfred menelan ludah susah. Ia merasakan sesuatu yang tidak nyaman di antara kedua kakinya. Apalagi begitu melihat Arthur yang menungging di atas tempat tidur dengan muka memerah.

"Alf― I-Ibu?!"

Alice melangkah masuk dengan tenang, duduk di tepi tempat tidur dan mengusap puncak kepala Arthur. Alfred mengikutinya, duduk di kursi belajar yang berjarak sekitar 5 meter dari tempat tidur. Ia berusaha keras menahan diri agar tidak melompat menyerang Arthur begitu saja. Pegangannya pada sandaran kursi mengeras, hingga buku-buku jarinya memutih.

"Apa yang― Ibu lakukan di sini? Nngh…"

Alice tersenyum. "Hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau sudah makan?"

"Sudah, aku― ah! Hnn, Alf― oh God! Kemari, git! Aku akan membunuhmu kalau kau― nngh…"

"Alfred." Sepasang mata biru Alfred bertemu dengan manik emerald Alice yang bersinar hangat. "Tolong jaga Arthur." Wanita itu membelai rambut pirang putranya terakhir kali dan beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa, menutup pintu kamar Alfred dengan bunyi klik yang terdengar pasti.

Saat itu juga Alfred beringsut dari kursi dan melompat ke atas tempat tidur, menahan tubuh Arthur di bawahnya. Sebentar kemudian mereka terlibat dalam pergumulan seru, seketika melupakan keberadaan Alice, Allistor dan Elizaveta di ruang tengah.


Tiga hari berlalu dengan aktivitas yang sama.

Alfred akan pergi ke sekolah setengah hari dan segera kembali untuk Arthur; menemaninya, menguatkannya, mengisinya. Alfa-alfa di kelas F semakin ribut dan merutuki keberuntungan Alfred. Dia diberi izin pulang lebih awal untuk bercinta dengan omeganya; siapa yang tidak iri padanya? Karena Arthur adalah bagian penting dari Hetalia, satu-satunya omega yang cukup pintar untuk masuk kelas unggulan. Alfred mendapatkan izin khusus karena Arthur merupakan omega kelas unggulan.

Tidak mau mengulang kesalahan yang sama, Alfred selalu memastikan untuk menggunakan pengaman. Tentu mereka tidak mau berakhir dengan perut Arthur membesar kemudian. Alfred masih ingin hidup; karena ia yakin sekali Allistor akan membunuhnya kalau sampai Arthur hamil karena kecerobohannya. Dan ia tidak mungkin menunjukkan diri di depan Mrs. Kirkland lagi. Wanita itu terlalu baik, Alfred tidak ingin mengecewakannya. Tapi yang lebih penting lagi, ia tidak ingin mempersulit Arthur. Sudah cukup omega itu menderita karena dirinya. Alfred tidak ingin menambah bebannya lagi.

Jadi ia mempercepat laju larinya, tidak mau membuang-buang waktu. Ia ingin segera bertemu dengan Arthur―padahal mereka baru berpisah 4 jam saja―dan mengatakannya lagi, untuk kesekian kalinya, bahwa ia menyukai omega itu. Mencuri kesempatan untuk mencium bibirnya dan memandangi sepasang mata emerald cemerlang Arthur. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama Arthur, tidak dengan melakukan pergumulan di atas ranjang. Bukannya apa-apa, karena empat hari ini memang memuaskan, Alfred tidak bohong. Dia tidak boleh membandingkan Arthur dengan Kiku, tapi harus ia akui, melakukannya dengan Arthur membuatnya merasa lebih baik. Ia dapat mengekspresikan sisi lembutnya pada Arthur, memeluk omega itu hingga jatuh tertidur karena kelelahan. Alfred akan tetap terjaga selama beberapa saat dan mengagumi omeganya. Membelai rambut pirangnya, kemudian menempatkan kecupan hangat pada dahinya dan membisikkan selamat malam, mimpi indah, serta betapa Alfred menyukainya.

Alfred ingin menghabiskan waktu bersama Arthur dan melakukan hal-hal romantis seperti di drama-drama televisi.

"Arthur, aku pulang!" Dia membuka pintu dengan senyuman lebar.

Atmosfer di dalam apartemennya tak lagi pekat oleh feromon, karena sebentar lagi siklus Arthur akan berakhir. Alfred bersenandung asal dan meniti anak tangga menuju kamarnya di lantai dua.

"Arthur?" Ia memutar kenop pintu kamarnya. Alisnya mengernyit heran begitu mendapati kamarnya dalam keadaan kosong. Ia bergegas mengecek kamar mandi. Kosong juga. "Arthur, kau di mana?"

Alfred pasti terlihat bodoh saat memanggil-manggil nama Arthur sambil mengecek kloset pakaiannya. Tapi ia merasa sedikit panik. Apalagi karena sprei tempat tidurnya telah diganti dirapikan hingga tak ada lipatan lagi. Selimut bendera Amerika-nya juga telah diganti dengan selimut putih polos. Kalau bukan karena jejak-jejak bau Arthur yang tercium samar di udara, Alfred akan mengatakan kalau kamarnya telah kosong sejak lama.

Ke mana perginya omega itu?

"Arthur!"

Dia mengecek kamar lain di lantai dua, tapi tetap saja tidak menemukan apa-apa. Kosong. Sedikit panik ia menuruni anak tangga, jantungnya berdebar-debar.

Bagaimana kalau Braginski memutuskan untuk muncul dan menculik Arthur lagi?

Alfred menggeram dan memukul dinding di sampingnya. Harusnya ia tak membiarkan pemuda Rusia itu hidup! Ancaman saja tidak cukup.

"Art―"

Tiba-tiba tercium bau hangus, diikuti makian yang terdengar familiar di telinga Alfred akhir-akhir ini.

"Bollocks!"

Alfred tertawa tertahan dan segera berlari menuju sumber suara. Dapur.

Ia hampir terkena serangan panik saat melihat asap hitam membumbung dari dapur. Takut terjadi sesuatu kepada Arthur. Nyatanya pemuda bermata emerald itu tengah berdiri di depan kompor sambil terbatuk-batuk.

"Arthur, apa yang sedang kau lakukan?!"

Omega itu membalikkan badannya terkejut. "Ah, Alfred―"

Ia segera mematikan kompor dan menarik Arthur menjauh. Mereka berdua terjatuh ke belakang. Dan karena asap hitam dirasa cukup membahayakan, instalasi anti kebakaran menyala secara otomatis. Keran-keran air yang terpasang di langit-langit terbuka dan menghujani mereka dengan gerimis.

"A-ah! Apa ini?!" Arthur beringsut untuk bangkit, tapi Alfred tidak mau melepaskan tangannya yang melingkari pinggang Arthur, menahan omega itu tetap di sana. Di bawah guyuran gerimis buatan. "Alfred! Aku baru saja mandi!"

Arthur memberontak, namun tentu saja Alfred jauh lebih kuat darinya. Perlawanannya sia-sia.

"Kau bisa mandi lagi nanti." Dia membenamkan kepalanya pada lekukan leher Arthur, menciumnya pelan.

"G-git!" Arthur menggeliat tidak nyaman, tapi pada akhirnya ia hanya diam.

Sesaat hanya ada mereka berdua dan gerimis buatan, serta asam hitam yang perlahan-lahan menghilang. Berada di bawah guyuran hujan memang terkesan romantis, kalau saja settingnya tidak di dapur dan hujannya bukan berasal dari instalasi anti kebakaran. Romantis dan konyol secara bersamaan.

Alfred menghela nafas dan mengeratkan lilitannya. Arthur meletakkan tangannya di atas tangan Alfred, hanya berdiam di sana, tak lagi mencoba melepaskan diri.

Kemudian hanya ada mereka berdua, hujannya telah berhenti. Tapi Alfred belum mau melepas Arthur pergi, masih persisten melingkarkan tangannya pada pinggang Arthur.

Omega itu menghela nafas dengan sedikit gemetar. "Dingin, Alfred."

"Hm?" Alfred mengistirahatkan dagunya pada pundak Arthur, membenarkan posisi kepalanya mencari sudut yang paling nyaman. Arthur terlalu kurus. Tulang selangkanya terasa sekali dan itu sakit.

"Aku kedinginan, git!" Benar saja, tubuhnya bergetar.

Tiba-tiba saja Alfred membalikkan badan Arthur hingga omega itu tepat menghadap kepadanya. Kedua kaki Arthur berada di sisi-sisi tubuhnya, memerangkapnya. Alfred memamerkan cengirannya. "Kau terlihat menakjubkan memakai kaosku, Artie."

Arthur mendengus pelan, memalingkan mukanya yang memerah.

Ibunya memang membawakan beberapa baju ganti untuk Arthur. Tapi kaos Alfred bertuliskan I *heart* NY yang tergantung di lemari pakaiannya terlihat lebih menarik bagi Arthur. Jadi ia memutuskan untuk memakainya. Tentu saja kebesaran beberapa ukuran. Kerahnya terlalu longgar dan beberapa kali meluncur turun dari bahunya, memamerkan sekitar leher dan selangkanya serta bekas-bekas gigitan memerah yang menghiasinya.

"Aku kedinginan, bodoh. Sampai kapan kau akan menahanku di sini?" Ia mencibir kesal, mengerucutkan bibirnya.

Alfred tidak dapat menahan diri dan mencium Arthur dengan cepat.

"Git." Arthur hanya memukul pundaknya main-main. Rona merah yang menjajah mukanya semakin terang.

Alfred tertawa.

"Kita tidak akan beranjak dari sini sebelum kau menjawab pertanyaanku." Sepasang mata birunya terlihat serius. "Apa yang sedang kau lakukan tadi? Mencoba membakar apartemenku?"

Arthur membersut kesal.

"Aku sedang mencoba untuk memasak, bodoh."

Kedua alis Alfred terangkat tinggi-tinggi. "Memasak? Memasak apa? Bagiku kau terlihat seperti sedang melakukan ritual pemanggilan setan yang berbahaya." Ia berkelakar, tapi dengan muka serius.

Lagi-lagi Arthur hanya memalingkan muka.

"Ibumu memperingatkanku untuk tidak mengizinkanmu memasuki dapur. Ada apa dengan kau dan dapur, Artie? Apa selalu berakhir seperti ini?"

"Namaku Arthur! Dan apa saja yang dikatakan ibuku padamu?"

"Dia mengatakan kalau kau bisa lebih berbahaya dari pembunuh bayaran jika berada di dapur."

Arthur mendengus. "Terlalu berlebihan."

Alfred menggeleng. "Tapi aku harus setuju dengan ibumu kali ini."

"Kalau begitu biarkan aku pergi, bodoh! Aku mau mandi lagi!" Ia memulai pemberontakan baru, meronta mencoba melepaskan diri dari Alfred.

"H-hei! Arthur, hei!" Kali ini Alfred tampak kewalahan menghadapi omeganya.

"Memangnya kenapa kalau aku tidak bisa memasak? Aku tidak mungkin bisa melakukan segalanya dengan sempurna! Bahkan Allistor saja takut pada ayam. Ayam! Alfa macam apa yang takut pada ayam? Menyedihkan sekali!"

"Apa? Allistor takut pada ayam?"

"Sudah lupakan saja! Cepat lepaskan aku! Aku mau mandi, git!"

"Art―"

"Lepas, bodoh!"

Tapi Alfred tidak menggubrisnya, bangkit dan menggendong Arthur bridal style menuju kamarnya di lantai dua.

"Alfred! Cepat lepaskan aku!"

Kalau sudah begini, Arthur tidak akan tenang kecuali mereka melakukannya lagi. Ritual di atas tempat tidur, tepat sekali. Hal-hal romantis dan konyol yang tadi berencana ia lakukan pada Arthur dapat menunggu nanti. Arthur melawan hebat dan Alfred tidak tahu kenapa ia merasa tergugah. Aneh sekali. Apalagi karena ia memakai kaos kesayangan Alfred. Yang seperti itu saja cukup untuk membuatnya menggeliat tidak nyaman.

Alfred menjatuhkan Arthur ke atas tempat tidur dan dengan itu mereka mulai bersenggama untuk kesekian kalinya dalam empat hari ini.


"Arthur dear, Alfred sudah menunggumu di depan."

"Hei, git, kenapa kau lama sekali?! Kau akan membuat kita semua terlambat!"

"Allistor, jangan memanggil adikmu seperti itu."

"Ah."

"Tunggu sebentar, Alfred. Aku yakin Arthur sedang mencari sesuatu yang penting."

"Tidak apa-apa, Mrs. Kirkland."

"Cih, paling dia sedang mencoba merapikan rambutnya yang berantakan."

"Jangan ganggu adikmu, Allistor. Sebaiknya kau juga merapikan rambutmu dan mengajak Nona Hedervary berkencan."

"Ibu!"

"Ahaha, kau setuju denganku kan, Mrs. Kirkland?"

"Diam kau, yankee!"

"Allistor Kirkland, pelankan suaramu."

"Dan rambutku tidak berantakan, Ibu."

"Tapi hatimu yang berantakan, Kak." Arthur muncul dan menghela nafas, membenarkan letak dasinya. Rambut pirangnya terlihat sedikit lebih rapi dari biasanya. Sepertinya dia memang menghabiskan satu jam untuk menyisirnya, berusaha menjinakkan rambut liarnya.

"Diam dan belajarlah untuk menghormati kakakmu, Arthur." Allistor mengulurkan tangannya, mengacak rambut pirang Arthur.

"H-hei!"

"Ah, aku suka gaya rambutmu yang biasanya, Arthur. Jangan khawatir."

"Aku tidak merapikan rambutku untukmu, git!"

"Teruslah membantah, pendek."

"Allistor hentikan!"

"Dan kenapa kalian tidak bergegas pergi ke sekolah, Anak-anak?!"

"Ah…"

Kirkland bersaudara dan Jones bergegas pamit meninggalkan kediaman Kirkland, menyadari tinggal lima menit lagi sampai gerbang depan sekolah akan ditutup. Kalau bukan karena penjaga gerbang yang baik hati, tentu mereka bertiga akan menghabiskan waktu untuk menjalani detensi selama jam pelajaran pertama; membersihkan toilet sekolah.

Sementara Allistor menuju kelasnya dan berpura-pura tidak peduli pada sapaan hangat yang dilontarkan Elizaveta padanya dari klinik sekolah, Alfred menggandeng tangan Arthur dan membawanya berlari menuju kelas mereka.

Seperti biasanya ia mengumumkan keterlambatannya dengan dramatis, menendang pintu terbuka. Dan seperti biasa Mr. Watson hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala pasrah. Kali ini para alfa penghuni kelas F menyambut mereka dengan siulan menggoda, karena Alfred bersikeras menggandeng tangan Arthur bahkan hingga mereka duduk di bangkunya masing-masing.

Muka omega itu merona merah, tapi senyuman samar menghiasi wajahnya yang menghangat.

Tentu saja mulai hari ini semuanya akan berbeda. Alfred akan melindunginya dari apa pun. Teman-temannya yang brutal, alfa kelas lain yang menjengkelkan, bahkan beta dan omega kelas reguler yang terus memandang iri ke arahnya. Siapa yang tidak iri, dia adalah satu-satunya omega yang cukup hebat untuk masuk kelas unggulan, dan berpasangan dengan kapten tim football sekolah yang begitu populer dan dipuja, Alfred F. Jones.

Arthur Kirkland adalah omega yang beruntung dan orang-orang iri padanya.

"I love you." Alfred mencondongkan badannya ke depan dan berbisik pelan. Tertawa kecil saat menyadari ujung telinga Arthur memerah. Omega itu hanya menggumam, "Git."

Mereka hanya melihat akhir manisnya saja. Karena mereka tidak tahu apa saja yang harus ia lalui sebelum semuanya dapat berakhir seperti ini. Tidak tahu rasanya berada di tengah-tengah alfa, diperebutkan, disakiti, dan dicintai.

Mereka tidak tahu apa itu cinta yang sebenarnya.

The End


AN : SELESAI! Akhirnya fanfiksi ini selesai juga! *tebar konfeti*

Terima kasih kepada (in order of appearance in review) sheila-ela, Acriel Kirkland D Beilschmidt, Ga Punya Akun, mecchan, Marisas, Ann Yukio, faremilan, Jong Aeoli, Markisa, AsLast, Oost Indie, kebetulan mampir, SNaizuki, mampir lagi, syalala uyee, Prince from darkness, Seiqas, Leci rasa kacang, Dong-Dong, Rivaille Jaegar, Pohon, h0rtensia922, shirokuro hime, anon, Igill Kirkland, Dee Kyou, Black-Silver-White, Madeinchina, Irgirll Kirkland, dan yang nge-fave nge-follow; readers dan lain-lain. Terima kasih atas kritik, saran dan masukan yang sangat membantu dalam penyelesaian karya tulis ini *hiks*

Special thanks to mayang yang udah mau baca bagian lemon gaje tanpa ketawa nista. Thanks sista!

Akhirnya saya bisa move-on ke skripsi. Doakan saya, readers! orz orz orz