Title:
Brain
Casts:
Yamada Ryosuke as Yamada Ryosuke
Chinen Yuuri as Chinen Yuuri
Ikuta Toma as Ikuta Toma
Genre :
Sci-Fi
Mistery
Rating:
T
Length:
Series, Ch 1 of 3
Author:
Akiyama Fuyuki
Disclaimer:
I own nothing beside the story
Summary:
Ketika kota Tokyo mulai diserang dengan teknologi yang merenggut banyak nyawa, Yamada Ryosuke juga terancam akan teknologi itu. Sampai ia diselamatkan oleh sekelompok orang yang menangani hal tersebut dan bertemu dengan orang yang tak terduga. Siapakah dia? Dan apakah Ryosuke dan teamnya dapat menyelamatkan Tokyo? Apa ia juga dapat mengetahui siapa orang yang ia temui tersebut?
A/N:
Ini pertama kalinya saya membuat cerita Sci-Fi. Jadi, jika memiliki banyak kesalahan, mohon maaf! ^^*bow Dan Chapter ini selesai pada 25-04-2013! ^^
.BRAIN.
-Prolog-
Yamada Ryosuke mungkin merasa dirinya sendiri sudah gila saat ini. Pakaiannya sobek-sobek di beberapa tempat, wajahnya dibanjiri peluh dan dipenuhi luka lebam. Ada noda darah yang telah mengering, namun ada juga noda darah yang sepertinya baru-baru ini didapatinya di pelipis kiri.
Ia berlari menyusuri gang sempit dan gelap yang hanya ditemani cahaya remang-remang dari matahari terbenam—tempat yang selalu dihindarinya lantaran ia benci tempat seperti ini. Sudah ditulis di atas, ia merasa dirinya sendiri sudah gila. Kalau bukan karena tuntutan dikejar-kejar oleh orang tak jelas yang memiliki nafsu membunuhnya, ia tak akan berada di sini sekarang.
Ia menoleh ke belakang sekilas, tanpa sekali pun memperlambat langkahnya untuk sekedar beristirahat. Napasnya putus-putus karena lelah. Dalam genggaman tangan kanannya ada sebuah benda berwarna hitam dengan sebuah kabel panjang yang tersambung dengan benda persegi berwarna hitam itu, menjuntai ke bawah, terseret-seret di jalanan gang.
Benda berbentuk persegi—balok tipis, tepatnya. Benda itulah yang membuatnya berlari kini, dengan kejaran orang yang tidak dikenalnya, atau tepatnya, ia tak mau mengenalnya. Dengan kabel hitam panjang, yang ujungnya berupa benda mirip sumpalan yang pas untuk dimasukkan ke dalam telinga.
Headset.
Dan benda yang mirip ponsel berlayar sentuh.
Ryosuke kembali menoleh ke belakang. Kali ini ia memelankan langkahnya. Dan tak melihat apa-apa—siapa-siapa, berlari ke arahnya. Ia menghela napas lega. Sepertinya orang yang sedang mengejarnya tadi kehilangan jejak Ryosuke. Ia mengambil tempat di balik salah satu sebuah drum karatan yang cukup besar untuk menyembunyikannya dari orang yang mengejarnya. Dan sepertinya tempat itu cocok sebagai tempat pengintaian sekaligus persembunyian.
Ia duduk, meletakkan benda yang sedari tadi dibawanya di sampingnya, dan mulai merenggangkan kaki-kakinya yang rasanya sudah lumer. Bagaimana tidak. Ia sudah berlari sangat lama. Dari sore hari tadi hingga kini yang sudah menjelang malam.
.Flashback.
Ryosuke sedang menikmati makan siangnya dengan lahap di sebuah kafe di deretan pusat perbelanjaan Harajuku. Matahari terik di luar sana memaksanya untuk memasuki salah satu kafe yang berada tepat di ujung jalan, di depan sebuah trotoar yang mengarah pada zebra cross. Kebetulan sekarang sedang jam makan siang.
Di atas meja tepat di hadapannya, ada sepiring omurice dan segelas milkshake vanila kesukaannya. Di samping itu, ada juga benda yang masih terbungkus rapi dengan pembungkusnya. Di dalamnya ada sebuah benda berwarna hitam dengan tebal sekitar 0,5 cm, lebar 5 cm, dan panjang sekitar 8 cm, dan juga sebuah gulungan kabel berwarna hitam dengan sebuah colokan bermata satu berwarna perak di salah satu ujung kabel dan dua buah benda yang berbentuk seperti sumpalan dengan atasan berwarna metalik.
Ia tersenyum melihat benda itu. Benda yang baru saja ia beli sebelum ia mendatangi kafe untuk makan siang. Benda yang baru-baru ini beredar di pasaran di kota Tokyo. Benda yang diedarkan khusus di pasaran kota Tokyo karena masih dalam tahap percobaan.
Ia dengan cepat melahap makan siangnya sebelum makanannya menjadi dingin karena suasana kafe yang dingin akibat pendingin ruangan.
Rrr... Rrr...
Ponsel dari dalam saku celana Ryosuke bergetar, tanda ada seseorang yang meneleponnya. Ia meletakkan sendoknya dan merogoh saku celana untuk mengambil ponsel flip biru metaliknya.
Rrr.. R—Pip
"Moshi moshi?" sapa Ryosuke tanpa melihat sang pemanggil.
"Yama chan! Di mana kau sekarang?!" seru sang pemanggil di seberang sana.
Ryosuke mengusap-usap telinganya dan mengganti alih ponselnya ke sebelah kiri. "Lagi di kafe, makan siang. Doushita, Chii?" kata Ryosuke setengah kesal. Sudah mengganggu acara makan siangnya, kini makhluk yang dipanggil Chii itu berteriak lewat telepon.
"Demi Kami sama! Dalam keadaan seperti ini pun kau masih sempat-sempatnya makan?!" seru Chii—Chinen Yuuri, tak kalah keras dibanding teriakan sebelumnya.
"Tak usah berteriak seperti itu juga dong! Memangnya ada apa sih?" sahut Ryosuke acuh.
"Buka tv yang ada di sana. Ada siaran berita gawat! Ngomong-ngomong, kau udah beli mind-readernya belum? Kalau belum sebaiknya batalkan rencanamu untuk membeli benda itu!" sahut Yuuri cepat, jelas-jelas khawatir.
"Aku sudah membelinya. Memangnya kenapa sih?" kata Ryosuke sambil menghampiri kasir dan meminjam remote tv untuk menyalakannya.
Tak ada jawaban dari Yuuri. Hanya terdengar sebuah cekikan napas tertahan darinya. "Buang... benda itu. Secepat yang kamu bisa! Jangan sampai ada yang melihatmu memiliki benda itu!" katanya.
"Kau gila?" kata Ryosuke kaget sambil menyalakan televisi. "Aku membelinya dengan uang tabunganku—" Ia berhenti.
"— setelah di teliti, ternyata penyebab tewasnya orang-orang tersebut adalah alat yang baru-baru ini beredar di pasaran kota Tokyo, mind-reader, yang diciptakan oleh—"
"Apa yang—," kata Ryosuke tak percaya saat melihat tampilan layar dari si kotak ajaib. Tampilan orang-orang yang tewas dengan darah yang mengalir dari telinga mereka, dan ada sumpalan kabel di kedua sisi telinga. Mereka juga sedang memegang benda seperti—benda yang ia beli sebelum makan siang di kafe...
Dheg!
"Saat ini ia sedang dicari oleh pihak kepolisian. Diharapkan pada masyarakat yang memiliki mind-reader tidak menggunakan alat tersebut untuk menghindari bahaya yang sedang terjadi di kota Tokyo. Mind-reader pun akan segera ditarik dari peredaran," ucap sang reporter panjang lebar, yang cukup mengguncang hati dan tubuh Ryosuke sekaligus.
"Yama chan? Kau masih di sana?" Suara Yuuri merasuki indra pendengaran Ryosuke.
"I.. Iya..," jawabnya gugup. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya dengan sedikit linglung.
Orang-orang di kafe yang melihat berita tersebut dengan cepat mengambil ponsel mereka dan menghubungi kerabat atau temannya yang memiliki mind-reader, memastikan bahwa mereka masih hidup atau sama sekali belum membeli alat itu.
"Sudahlah. Tenang saja. Sekarang, yang penting kau sembunyikan alat itu. Jangan sampai ada orang yang melihatmu memilikinya," ujar Yuuri.
"Kenapa?"
Tak terdengar suara Yuuri lagi. "Nanti aku jelaskan. Pokoknya simpan saja dulu. Aku temui kau di rumahmu. Cepat pulang. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku. Mengerti?"
Ryosuke entah karena memang sedang tak connect karena masih terguncang atau apa, hanya mengangguk saja, yang jelas-jelas tak akan dilihat oleh Yuuri. Tapi sepertinya Yuuri mengerti dan segera mengakhiri percakapan, berjanji akan membantu Ryosuke saat sedang dalam kesulitan. Mungkin hanya perasaan Ryosuke. Tapi ia mendengar nada takut dalam suara Yuuri.
Ryosuke dengan cepat menaati petuah Yuuri. Ia menghampiri mejanya dan segera menyembunyikan alat yang ia beli itu ke balik saku jaket biru tua bertopinya. Ia melirik kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Pandangan matanya bertubrukan dengan seorang pemuda yang terlihat lebih tua beberapa tahun darinya, menatapnya dalam, dan melirik saku jaket Ryosuke. Ryosuke menggenggam benda yang berada di dalam saku jaketnya. Kemudian buru-buru membayar pada kasir yang sepertinya tidak terlalu peduli padanya dan segera melesat ke luar kafe dan berlari menuju stasiun.
Langkahnya cepat dan pasti menuruni tangga menuju stasiun. Melewati pemeriksaan tiket dengan gugup dan melesat memasuki salah satu gerbong kereta yang masih kosong. Yang pasti kereta itu akan membawanya kembali ke Ibu Kota. Itu yang ia ketahui saat ini.
Dheg!
Perasaan apa ini? batin Ryosuke. Ia merasa diikuti. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Hanya ada orang-orang yang sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia berjalan melewati beberapa orang yang sedang duduk dan menempati salah satu tempat yang masih kosong, di pojok, dekat pintu yang menuju gerbong lainnya. Perasaannya masih saja tidak enak. Ia merasa sedang diawasi.
Ingatannya melayang pada pria—atau pemuda yang kelewat tua baginya—yang ia lihat pada saat di kafe tadi. Pandangannya yang tajam, raut wajahnya yang tidak terlalu jelas karena ia memakai masker yang menutupi setengah dari wajahnya, lirikannya pada benda yang berada di saku jaket Ryosuke saat ini…
Ia tersentak. Menoleh dengan cepat ke arah pintu menuju gerbong lain. Tatapannya bertubrukan dengan orang itu. Pria—atau terserahlah—yang mengenakan mantel putih yang membuatnya menjadi mirip seorang dokter. Rambutnya cokelat kepirangan dan terkesan sedikit berantakan namun keren. Separuh wajahnya yang tertutup masker putih. Pria itu beralih ke arah lain.
Ryosuke membelalakkan matanya. Cepat-cepat ia menoleh ke arah lain. Sudah dipastikan, ia memang diikuti, oleh orang itu. Orang yang melihatnya menyembunyikan mind-reader pada saat di kafe.
Sekarang, yang penting kau sembunyikan alat itu. Jangan sampai ada orang yang melihatmu memilikinya.
Yuuri yang mengatakannya. Tapi, memangnya kenapa?
Oke. Itu membuat Ryosuke takut sekarang. Seharusnya ia bertanya apa penyebabnya pada Yuuri saat ia sedang meneleponnya, walaupun Yuuri menolak untuk memberitahukannya tadi. Kuso! umpat Ryosuke dalam hati. Dengan perlahan ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi Yuuri.
"Moshi moshi? Ada apa, Yama chan?" sahut Yuuri dari seberang.
"Chii—"
Tanpa diduganya, ponselnya ditarik dari tangannya dan orang yang mengambilnya segera memutuskan percakapan dan menutup ponsel Ryosuke.
Ryosuke membelalakkan matanya saat melihat pria bermantel mirip dokter itulah yang mengambil ponselnya. Pria itu menatapnya dingin.
"Maaf. Tapi bisakah Anda tidak menghubungi siapa-siapa sampai urusan kita selesai?" Pria itu berkata sambil memasukkan ponsel Ryosuke ke dalam saku jasnya. Kemudian ia beralih menatap Ryosuke yang menatapnya tajam.
"Siapa kau?" tanya Ryosuke.
"Hanya seorang agen. Dan itu tidak penting sekarang, Yamada Ryosuke san," sahut orang itu dan mengambil tempat di sebelah kiri Ryosuke. "Tetaplah di sini sampai kita berada di Tokyo. Setelah itu, kita bereskan masalah kita dan benda yang berada di dalam saku jaketmu."
Jantung Ryosuke berdegub lebih kencang dua kali lipat dari degub jantung normal. Bagaimana pria yang kini duduk di sebelahnya itu tahu namanya? Dia bilang dia adalah seorang agen. Agen apa? Dari mana? Masalah apa? Benda yang berada di saku jaketnya? Entahlah. Tapi yang jelas pria itu tampak tak asing bagi Ryosuke.
Ia melirik penumpang lain yang berada di gerbong yang sama dengannya. Tidak ada yang menaruh perhatian padanya sedikit pun, atau pun pada pria itu. Mungkin mereka menganggap bahwa pria itu adalah pria normal yang sedang mencari tempat duduk kosong dalam gerbong dan mengambil tempat di sebelah Ryosuke bukanlah masalah besar.
Tapi masalah besar bagi seorang Yamada Ryosuke!
"Ano," panggil Ryosuke. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya, rupanya. "Apakah kita saling mengenal?"
Sang pria menoleh. "Mungkin," jawabnya setelah terdiam beberapa saat.
"Kita bahkan 'mungkin' saling mengenal. Jadi apa urusan kita sebenarnya? Masalah apa dengan benda yang ada di dalam saku jaketku?" tanyanya lagi.
Dahi pria itu berkerut, seolah berpikir. "Sudah kubilang. Kita akan menyelesaikannya nanti, setelah kita sudah sampai di Tokyo."
Kenapa harus di Tokyo?
Ayolah, Ryosuke! Kau adalah peran penting dalam drama Tantei Gakuen Q! Masa', kasus kecil seperti ini kau tidak tahu?! rutuk Ryosuke dalam hati.
Namun tidak ada apa pun yang terlintas di dalam otaknya.
"Bisakah kita menyelesaikannya di sini saja?" tanya Ryosuke karena kehabisan akal. Nada suaranya lebih mengarah pada meminta, atau memaksa. Ia tak mau berurusan dengan orang aneh yang 'mungkin' dikenalnya itu. Dan ia juga ingin cepat menyelesaikan masalahnya dengan orang ini, walaupun ia tak tahu masalah apa yang ada di antara mereka berdua.
Pria itu menatapnya jenaka sekaligus tajam, yang membuat Ryosuke bergidik ngeri. "M.. Mungkin, waktu sampai di Tokyo saja," katanya cepat-cepat dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Kini matanya sibuk berpura-pura mengagumi langit-langit gerbong shinkansen.
"Kalau kau mau, boleh juga," kata si pria.
Ryosuke menoleh dan menatapnya penasaran. "Baiklah."
Kelihatannya pria itu menyeringai. "Ambil benda yang berada di saku jaketmu itu," katanya.
Ryosuke pun merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan benda itu dengan perlahan.
Tunggu dulu.
Ryosuke mengerutkan keningnya dan mulai memutar otak. Ada yang tidak beres di sini. Dan ia tahu itu. Ada yang janggal, seharusnya ia tahu apa arti semua ini jauh sebelumnya. Hanya saja ia terlalu sibuk berpikir untuk pulang dulu, dan semuanya akan dijelaskan oleh Yuuri.
Benda yang berada di saku jaket—Mind-reader.
Jangan sampai ada yang tahu kalau kau memiliki mind-reader.
Urusan.. atau masalah.
Harus menyelesaikannya di kota Tokyo.
Oh.
Ryosuke memasukkan kembali mind-reader ke dalam saku jaketnya. Keringat dingin mulai mengaliri pelipisnya. Tidak. Sekarang ia harus bagaimana? Rasa penasarannya telah membawanya pada hal yang seperti ini. Tapi kalau bukan karena rasa penasarannya itu, ia tak akan berpikir alasan mengapa pria itu ingin menyelesaikan urusan mereka di Tokyo.
"Kenapa? Tidak jadi?" tanya pria itu.
Ryosuke tidak berani menatap pria itu. Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri, dan menoleh pada pria itu,"Setelah kupikir-pikir, kita menyelesaikannya di Tokyo saja," dusta Ryosuke.
Pria itu tampak tak terkejut dengan keputusan Ryosuke yang dengan cepat berubah. "Baiklah," katanya dengan suara riang. "Bukannya kita memang harus menyelesaikannya di kota Tokyo?" timpalnya.
Ryosuke tak menjawab. Yang harus dilakukannya sekarang adalah berpikir bagaimana caranya supaya ia bisa bebas dari pria ini. Ya. Dengan begitu, ia bisa mencapai rumahnya dengan selamat dan menemui Yuuri di sana, saling bertukar informasi mengenai hal ini secepat mungkin.
Tapi bagaimana caranya?
Ryosuke, kali ini kau harus berpikir dengan cepat sebelum kereta yang membawamu berhenti di Tokyo.
x.x
Setelah beberapa lama berdiam diri dan berpikir di dalam shinkansen, akhirnya terdengar pengumuman yang mengatakan bahwa kereta akan segera berhenti. Ryosuke segera bangkit mengikuti penumpang lain yang akan turun dari shinkansen. Begitu pula dengan pria yang itu yang kini berada di samping Ryosuke.
Ryosuke menghembuskan napas perlahan. Kereta sudah berhenti dan kini tinggal menunggu pintunya menggeser terbuka. Dan kini ia sedang berdiri tepat di depan pintu itu. Ia sudah menyusun rencana kilat tepat sebelum shinkansen berhenti.
Dan begitu pintu kereta dibuka, dengan cepat Ryosuke melesat dengan berlari menuju tangga keluar. Dengan buru-buru ia melewati pemeriksaan terakhir karcis dan segera berlari secepat yang ia bisa. Ya. Rencana yang disusunnya secara kilat: kabur.
"Hei!"
Panggilan itu sama sekali tidak digubris oleh Ryosuke. Ia terus saja lari dan tidak menoleh ke belakang. Berkali-kali ia menabrak orang-orang yang berpapasan dengannya mau pun yang berada di depannya, mendesak agar diberi jalan.
Pejalan kaki di sore hari memang sangat banyak di jalanan kota Tokyo. Apalagi pada saat akhir pekan seperti ini. Banyak masyarakat yang menikmati akhir pekan dengan berjalan-jalan atau bersantai. Seharusnya Ryosuke pun sedang menikmati acara jalan-jalannya di Harajuku saat ini. Tapi keadaan memaksanya harus berlari saat ini.
Berkali-kali tanpa sengaja ia menabrak tangan orang-orang yang sedang mengangkat tangan mereka dan menyebabkan luka memar di beberapa bagian wajahnya.
Ia menoleh ke belakang. Pria itu masih mengejarnya juga. Pria itu melewati beberapa orang. Ada sinar kemarahan yang terpancar dari mata itu. Dan mata itu tengah menatap lurus ke arah mata Ryosuke. Ryosuke cepat-cepat beralih dan tanpa sengaja menabrak tiang pamflet toko yang rendah. Pelipisnya tergores oleh ujung pamflet itu dengan sempurna, menghaslikan garis horizontal yang pendek dan lurus di pelipis kanannya.
Ia tak sempat mengaduh, hanya meringis sesaat dan terus berlari.
Orang-orang yang dilewatinya memprotes karena bahunya tertabrak bahu Ryosuke. Namun Ryosuke tak sempat mengucapkan maaf. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya agar orang itu tak mengejarnya lagi. Stamina orang yang lebih muda biasanya lebih kuat. Tapi langkah kaki orang dewasa lebih lebar.
Bagaimana kalau berbaur?
Tidak mungkin. Karena orang itu pasti sudah menandai Ryosuke. Tidak mungkin ia melepas jaketnya. Walaupun ia melepas jaketnya, itu sama sekali tidak akan menutupi kemungkinan orang itu tak mengenalinya. Lagi pula, di dalam saku jaketnya masih ada mind-reader.
Apa ia harus kabur lagi? Ke mana?
Pandangan Ryosuke menjalar menyusuri pertokoan di sepanjang jalan sembari menghalau orang yang ada di hadapannya. Tidak bisa. Kalau ia berbelok, orang itu juga pasti tahu. Mungkin ia harus mengikuti rombongan turis untuk membaur dengan mereka di tengah kerumunan. Tapi sayangnya ia sama sekali tidak melihat ada serombongan turis yang sedang tur atau apa.
Ingatannya kembali pada siaran berita yang ada di dalam televisi yang ia lihat saat di kafe tadi. Suasana Tokyo masih seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengerutkan dahinya. Agak sedikit aneh. Tapi mungkin suasana sudah aman karena mind-reader ditarik dari peredaran secepat mungkin.
Ryosuke kembali melihat-lihat jalanan yang akan ia lewati. Ia memicingkan matanya saat ia melihat tikungan di ujung sana, terhimpit oleh dua buah sisi bangunan. Tapi ia rasa cukup memuat dirinya di dalam sana. Ia berpikir sekali lagi. Apa ia harus bersembunyi di sana? Tapi kebetulan di sana sedang banyak orang. Jadi ia bisa menyelinap dengan mudah di sana. Dan orang itu akan kehilangan jejaknya.
Jarak Ryosuke dengan ruang itu semakin dekat. Jadi ia harus memutuskan secara kilat sebelum ia melewati 'tikungan' itu.
Ryosuke mendesah. Kemudian ia menyadari ada banyak orang di sekelilingnya. Ia menyempatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia menunduk dan berjalan mengikuti tempo gerak jalan orang di sekelilingnya dan berbelok ke tikungan itu.
Lorong, sebenarnya. Tidak. Sebuah gang sempit yang dihimpit dua bangunan. Tapi ternyata gang itu tak sesempit yang Ryosuke kira. Gang itu cukup luas dan panjang untuk memuat beberapa orang. Ia segera mencari tempat yang kira-kira dapat menutupinya sementara waktu ini.
Tumpukan kardus yang memenuhi satu sisi di bagian dalam gang. Gang itu tak terlalu gelap karena hari masih bisa dibilang sore, tapi bayangan bangunan di baliknya membantu tempat di belakang tumpukan kardus itu menjadi lebih gelap.
Ryosuke segera beranjak ke sana dan memeriksa keadaan di sana agar ia dapat duduk di sana untuk sementara sambil memantau keadaan di luar, sampai orang itu lewat dan menjauh darinya. Bila perlu sejauh-jauhnya baru ia akan ke luar.
Ternyata tempat itu cukup bersih untuk ia tempati. Jadi ia dengan cepat bersembunyi di balik tumpukan kardus itu, menanti orang yang mengejarnya lewat. Sebenarnya ia tak perlu melihat tempat itu bersih atau tidak. Yang penting ia bisa bersembunyi untuk sementara dan mengintai keadaan di luar sana yang masih begitu ramai.
Ia mengintai.
Pass!
Orang itu berlari dengan cepat melewati gang tanpa menoleh ke dalam gang tempat Ryosuke mengintip di balik tumpukan kardus. Ia menghela napas lega, memutuskan untuk berdiam diri sebentar kemudian baru ke luar dari sana untuk berjalan menuju rumahnya dengan aman dan tanpa gangguan.
Setelah beberapa saat memantau keadaan, akhirnya Ryosuke memutuskan untuk melangkah ke luar dari dalam gang. Ia berjalan dengan santai menuju jalan bebas di depannya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi saja, maka ia akan bebas dari tempat yang rada-rada gelap karena matahari sudah makin condong ke arah barat, belum tenggelam, tapi langit sudah mulai berwarna jingga di ujung sana.
"Yamada Ryosuke san, mengapa begitu lama di dalam sana?" kata sebuah suara yang berasal dari arah kanan Ryosuke tepat ketika ia menapakkan kaki di trotoar jalan yang diterangi cahaya matahari.
Dheg!
Dengan perlahan Ryosuke menoleh ke arah kanannya, mencoba berharap kalau bukan orang itu yang memanggilnya.
Di sanalah ia. Bersandar pada dinding sambil melipat tangan di depan dada. Pandangannya terfokus pada kuku jari-jari tangan kanannya.
Oh, tidak. Seharusnya Ryosuke memastikan orang itu benar-benar pergi dulu sebelum ia keluar. Atau paling tidak ia berjalan di gang itu untuk keluar dari tempat yang berbeda, mencegah kemungkinan pria itu menunggunya di luar, seperti saat ini.
Entah mengapa rasanya jalanan menjadi lebih sepi. Mungkin karena hari sudah sore? Tidak mungkin. Atau mungkin?
Pria itu melepaskan tatapannya dari kuku jari-jarinya, dan menatap Ryosuke tajam.
"Jadi, bisakah kita menyelesaikan masalah kita di sini saja? Kau itu bikin susah saja, membuat orang berlari mengejarmu, walaupun kuakui, kau hebat juga soal lari," kata pria itu.
Ryosuke tak menjawab. Ia sibuk berpikir betapa bodohnya ia saat ini.
"Baiklah. Ambil saja benda yang ada di saku jaketmu itu, tolong. Aku capek mengejarmu hanya demi hal ini," pinta pria itu dengan tatapan memelas.
Ryosuke yang merasa sedikit kasihan pun mengeluarkan kotak itu dari saku jaketnya. Bagaimanapun, ia juga merasa lelah karena berlari. Jadi ia mengerti perasaan pria itu.
"Bagus, keluarkan isinya."
Ryosuke tetap melakukan apa yang dikatakan orang itu, seperti tengah dihipnotis. Ia memasukkan colokan berwarna metalik itu ke dalam ruang yang tersedia. Dan kini benda itu sedang berada di tangannya, menanti untuk digunakan.
"Nah, sekarang, nyalakan benda itu dan biarkan benda itu membaca apa yang ada di dalam pikiranmu."
Ryosuke tersentak saat pria itu mengatakan 'membaca apa yang ada di dalam pikiranmu'. Ia kembali teringat tayangan di televisi saat di kafe tadi. Ia bergidik. Ia segera menyadari apa yang sedang terjadi. Dan dengan cepat ia berlari memasuki gang dan berbelok pada tikungan pertama. Pria itu langsung mengejarnya lagi, tentu saja, sampil menyumpah beberapa kata sumpah-serapah. Tapi ia kalah cepat dengan Ryosuke yang lebih dulu lari.
Ryosuke tetap berlari dan berlari, berbelok pada tiap tikungan secara acak yang ia temui agar orang itu menjadi bingung arah ke mana Ryosuke pergi. Dan tanpa sengaja tersandung kabel dari mind-reader yang ada di tangannya ataupun menabrak sesuatu hingga pelipisnya kembali mengalirkan darah walaupun tidak banyak, dan membuat pakaiannya menyangkut pada sebuah tiang yang entah dari mana, dan merobek satu sisi pakaiannya. Mungkin dari Hephaestus yang sedang iseng membuang barang rongsokan.
Oke. Stop melantur, Ryosuke. Mana ada Hephaestus di Jepang! Kecuali dia ganti alamat dari Gunung Olympus ke kota Tokyo. Tuh, kan, melantur lagi!
Ryosuke menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus kembali fokus pada arah larinya, menemukan sebuah tempat persembuyian yang cocok untuknya, dan duduk di sana sambil mulai merenggangkan otot-otot kakinya.
.End of Flashback.
Di sinilah ia.
Ryosuke mengatur napasnya yang tak beraturan dengan perlahan. Terkadang satu hembusan napas keras saja dapat membuat musuh mengetahui keberadaan kita, bukan?
Tanpa sepengetahuannya, seseorang sedang mengendap-endap di balik durm karatan yang sedang disandarinya. Orang itu berjalan dengan perlahan tanpa suara dan dengan cahaya remang langit yang kini telah berubah warna menjadi lembayung yang membantunya menyembunyikan diri dengan baik di dalam kegelapan.
Orang itu berhasil melacak Ryosuke. Itu kesimpulannya.
Masih dengan langkah pelan, ia mendekati Ryosuke, siap menyergapnya.
Sementara Ryosuke sibuk memijat-mijat kakinya. Saat ia melihat ada sebuah gerakan dari arah sebelah kirinya, ia sudah terlambat. Orang itu dengan gerakan cepat menyergap Ryosuke sambil mencengkeram kerah pakaiannya, menyudutkan Ryosuke. Ia tak sempat melakukan apa pun, termasuk mengambil mind-reader yang berada di sampingnya. Wajahnya tambah pucat saat melihat pria menatapnya dengan penuh kebencian, lebih dalam dari pada saat ia dikejar tadi.
Pria itu meraih mind-reader di samping Ryosuke dan menggenggamnya tepat di depan Ryosuke.
"Siapa pun yang membeli mind-reader harus mati!" seru pria itu.
Ryosuke membelalakkan matanya.
Apa maksudnya?
Apa ada hubungannya dengan analisisnya tentang masalah tadi? Ia tak tahu. Dan saat ini ia tak dapat berpikir dengan jernih karena sedang panik.
Pria itu menggerakkan tangannya untuk mengambil salah satu sisi headset. Dapat dilihat Ryosuke tangannya yang bergetar. Ia berusaha meronta melepaskan diri. Tapi bobot orang yang ada di hadapannya ini sama sekali tak memungkinkan dirinya untuk melepaskan diri. Terlebih lagi, tangannya tertahan oleh kedua kaki orang itu.
Ryosuke berusaha keras untuk melepaskan diri. Minimal tangannya yang dapat ia lepaskan. Dan karena ia bergerak-gerak terus, headset yang tadinya ada di tangan pria itu terlepas dan jatuh. Pria itu buru-buru mengambilnya kembali dan ingin memasukkannya ke dalam telinga Ryosuke. Namun dengan sekali sentakan dari Ryosuke benda itu kembali terjatuh.
"Bisakah kaudiam sedikit?!" seru pria itu frustasi. "Ini demi kebaikanmu juga!"
Kebaikan?
"Demi kebaikanku atau kebaikan siapapun itu, aku tidak peduli! Yang aku pedulikan saat ini adalah, aku tidak mau mati dulu!" kata Ryosuke tak kalah frustasi.
"Diamlah sebentar!" kata pria itu. Ia kembali berusaha memasukkan salah satu sisi headset ke dalam telinga Ryosuke. Ryosuke terus bergerak-gerak gelisah dan kembali membuat benda itu terjatuh.
"KAU—!"
Dor!
Ryosuke terkesiap. Ia membelalakkan matanya. Begitu pula dengan pria itu. Gerakan mereka terhenti seketika. Ryosuke merasa ada cairan hangat yang merembes di bagian kanan tubuhnya.
Tatapan pria itu penuh minta maaf, kemudian matanya perlahan menutup, dan ia pun jatuh terjerembab tepat di atas tubuh Ryosuke.
Ryosuke menatap hal itu dengan bingung. Kemudian tatapannya beralih ke arah belakang pria itu.
Berdirilah mereka di sana. Tiga pemuda dan seorang gadis. Wajah mereka tidak terlalu jelas karena membelakangi cahaya matahari yang sudah siap meninggalkan sisi barat kota Tokyo. Salah satu dari mereka—yang pria—sedang memegang sebuah pistol. Suara tembakan tadi tidak terlalu keras, sebenarnya. Apa itu benar-benar pistol?
Saat matahari sudah hilang sepenuhnya dari cakrawala, lampu-lampu jalan pun mulai dihidupkan. Walaupun dari sisi jauh, namun cahayanya sedikit masuk ke tempat mereka berada saat ini.
Tampaklah wajah orang-orang itu walau pun sedikit samar. Napas mereka memburu, dan peluh mengaliri pelipis mereka.
"Kau tak apa?" tanya orang yang paling depan. Ia menurunkan pistolnya dan memasukkannya ke dalam saku di balik jaket kulitnya.
"I.. Iya. Tapi... Yabu kun?" sahut Ryosuke perlahan.
"Yama chan! Untung kau tidak apa!" seru seseorang dari belakang orang yang dipanggil Yabu oleh Ryosuke.
Chinen Yuuri berjalan mendekati Ryosuke dan berusaha menggeser tubuh pria itu dari tubuh Ryosuke. Ryosuke segera membantunya walaupun ada raut heran di wajahnya.
"Chii? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sambil berusaha untuk duduk. "Siapa mereka?"
"Ikuta Toma," gumam Yabu Kouta setelah membuka masker yang menutupi wajah pria itu.
Oh. Pantas saja ia merasa seolah mengenal pria itu. Dia adalah salah satu anggota laboratorium yang bekerja sama dalam membuat mind-reader yang waktu itu ia temui.
Kemudian ia melihat ke arah tiga orang lagi. Gadis yang tak dikenalnya dan... pemuda itu. Tatapannya terpaku pada orang itu, yang juga menatapnya balik dengan pandangan yang tak dapat diartikan. "Kau..."
.BRAIN.
-Prolog-
.End.
Tsuzuku...
Mini Glosarium:
Moshi moshi : Halo
Doushita : Ada apa
Kami : Tuhan
Kuso : Sial
Ano : ± Anu
Tsuzuku : Bersambung
.Sekian.