"Seperti kalian, pertemuan kami pertama kali terjadi di peron 9 ¾ . Kompartemen kami pun bersebelahan, tetapi kami tidak saling menyadari keberadaan masing-masing. Itu pula yang terjadi ketika kami duduk berhadapan setelah acara Seleksi, karena terlalu asyik mengobrol dengan teman baru masing-masing. Setelah memasuki asrama Gryffindor pun, kami belum saling bicara, tapi aku ingat betul kami selalu berdiri berdampingan." cerita Arthur.

"Waktu itu, satu-satunya alasanku berdiri di dekat ayahmu adalah agar terhindar dari Rhiannon Sheeran yang terus menerus menempeliku sejak di kereta. Dia ceriwis sekali, aku tidak bisa mendengarkan perkataan Prefek kami waktu itu dengan lengkingan suaranya."sambung Molly, sembari mengingat sosok mantan teman sekamarnya yang menyebalkan itu.

"Jadi Mum mencari 'perlindungan' kepada Dad, tapi masih tidak ngobrol juga? Atau minimal saling sapa, gitu?" tanya Ginny heran. Sungguh dia tak menyangka awal pertemuan orang tuanya tidak disertai perkenalan sebagaimana dugaannya—dan kakak-kakaknya. Baik Arthur maupun Molly menggeleng.

"Kami belum berkenalan hingga sebulan kemudian, tapi entah kenapa selalu berdekatan." jelas Molly lagi. Anak-anaknya melongo.

"Mum, bagaimana bisa kalian tidak saling bicara…" kata Fred.

"Padahal kalian selalu berdekatan?" sambung George.

"Lantas, kapan dong kalian berkenalan?" tanya Ron penasaran, kini menopang dagu di pinggir sofa.

o0o

Hogwarts, Oktober 1961

Langit sewarna perkamen tua menaungi bangunan sekolah yang dikelilingi bukit dan danau. Hembusan angin musim gugur sedang kencang-kencangnya sehingga membuat Molly harus mengejar bulu gagaknya yang kini terbawa angin. Kalau bukan untuk bahan pelajaran Ramuan sore ini, ia tak akan berlari seperti orang gila ke Aula Depan dan merelakan bulu itu terbang. Pada saat yang sama, dari arah berlawanan Arthur yang sedang berjalan seorang diri melihat bulu gagak yang terbang tak jauh dari ujung rambutnya yang merah menyala. Refleks ditangkapnya bulu gagak milik Molly dalam genggaman tangannya.

"Hei! Itu punyaku!"

Terdengar suara anak perempuan dengan nafas terengah-engah. Arthur memandang si empunya suara; anak perempuan bertubuh gempal dengan rambut merah ikal sebahu, wajahnya memerah karena lelah berlari. Tingginya bahkan tak melebihi dada Arthur, namun entah bagaimana ia menganggapnya manis walau suaranya menggelegar. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Arthur memberikan bulu gagak kepada Molly.

"Terima kasih. Er…Kau tahun pertama juga bukan, sih?"tanya Molly, sedikit malu-malu.

"Ya. Mana teman-temanmu?" tanya Arthur, berbasa-basi.

"Oh, mereka sudah jalan duluan ke kelas Ramuan. Kau?"

"Kurang lebih sama. Mau ke kelas bersamaku?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Arthur. Padahal, tahu namanya saja belum. Molly sedikit kaget mendengarnya, tapi ia malah tersenyum lebar.

"Baiklah. Ngomong-ngomong, aku Molly Prewett. Kau?"

"Aku Arthur Weasley. Senang bertemu denganmu, Molly."

Molly tertawa lepas. "Hahaha…kaku amat. Kita sudah bertemu setiap hari selama sebulan! Yuk, Arthur! Sebelum kita kena detensi Profesor Slughorn…"ajaknya, lalu keduanya berjalan ke kelas Ramuan. Dan untung saja, perkenalan mereka tidak membuat Profesor Slughorn memberikan detensi seusai pelajaran.

"Ngomong-ngomong, berarti kau adiknya Fabian dan Gideon Prewett, dong? Mereka teman baik kakakku soalnya."

"Masa? Kok mereka tidak pernah cerita, sih? Padahal Billius, kakakmu itu kan…"

"Populer. Ya, tak heran sih, dia memang orangnya menyenangkan. Kau pasti akan cepat akrab dengannya." Arthur kemudian menceritakan kakak sulungnya yang kini sudah memasuki tahun kelimanya di Hogwarts bersama kedua kakak Molly.

Singkat cerita, Arthur dan Molly menjadi teman baik walau masing-masing punya sahabat lain. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di Menara Astronomi untuk berbagi cerita tentang apapun: Arthur dan kesenangannya terhadap dunia Muggle, Molly dan masa kecilnya bersama kedua abangnya, Fabian dan Gideon, kekesalannya terhadap si cerewet Rhiannon Sheeran, Quidditch, dan sebagainya. Terlebih mereka memiliki latar belakang keluarga yang sama persis, dimana mereka di "cap" sebagai blood traitor alias darah-pengkhianat. Arthur menyukai sikap Molly yang penuh perhatian, lucu, pemberani dan blak-blakan, sementara Molly pun menyukai selera humor, sifat ingin tahu dan keterbukaan Arthur terhadap segala hal, bahkan yang dianggap tabu saat itu.

o0o

"…pokoknya, tahun-tahun pertama pertemanan kami sering menyelinap keluar, hanya untuk menceritakan keluh kesah di Menara Astronomi, apalagi setelah Molly resmi jadi Chaser tim Quidditch Gryffindor." ujar Arthur.

"Whoa! Mum main Quidditch juga?! Kok tidak pernah cerita?" Bill terperanjat mengetahui bakat terpendam sang ibu di masa lalu.

"Sekarang ketahuan deh sebagian dari kita suka Quidditch gara-gara siapa, hahaa.."kelakar Ginny. "pasti dulu permainan Mum keren!"

Dipuji demikian oleh Ginny dan Bill, Molly hanya tersenyum malu.

Anak-anak dan Fleur termangu mendengarnya. Bahkan Ron tersenyum sembari melayangkan pikirannya kepada masa-masa awal persahabatannya dengan Hermione, sehingga Fred menyenggolnya dan memberi pandangan penuh arti sehingga Ron malu sendiri.

"Um… Molly, apakah selama kalian berteman pernah..kau tahu..bertengkar?" tanya Fleur takut-takut. Walau hubungannya dengan Molly sudah jauh membaik, tetap saja ia kuatir calon ibu mertuanya akan meledak sewaktu-waktu.

Belum sempat Arthur dan Molly menjawab, terdengar suara pintu diketuk.

"Dad? Mum? Ada orang di rumah?"

Kakak beradik Weasley memekik gembira menyadari bahwa saudara mereka, Charlie telah kembali pulang, begitupun kedua orang tua mereka. Berhamburan mereka menuju pintu, menyambut kepulangan si pawang naga dari Rumania.

"CHARLIE!" pekik mereka bersahutan, memeluk erat sosok gempal yang paling jarang pulang ke The Burrow itu. Charlie pun nyaris terharu kala memeluk ayah, ibu, abang dan adik-adiknya yang sudah mulai dewasa, serta menyambut Fleur dengan suka cita.

"Pulang juga kau, Dik!" kata Bill, merangkul adiknya saat mereka berjalan ke ruang tamu. Puas bercengkerama melepas rindu, Charlie bertanya,

"Tumben hampir lengkap. Lagi pada ngapain?"

"Oh, kami sedang mendengarkan cerita masa muda Mum dan Dad, seru deh. Kami bahkan baru tahu dulu Mum main Quidditch!" ujar Ginny, duduk diantara Charlie dan Ron di sofa.

"Hmmm…sepertinya aku ketinggalan banyak nih." Charlie terdengar agak kecewa.

Arthur terkekeh mendengar kelakar putra keduanya ini. "Tenang, Charlie, kami baru mulai, kok. Nah..sampai di mana tadi?"

"Pertengkaran kita, Sayang. Ingat Johanna Park?" mata Molly mengerling sinis kea rah sang suami, sedangkan Arthur menunduk malu teringat sang mantan kekasih yang kini tak diketahui rimbanya.