Fallin' Into History
Inspired by my best friend (Destriyana Pradita Mega/Nyai Tomatt)
Naruto; character owner is Masashi Kishimoto
Written by Onime no Uchiha Hanabi-hime
Main Character: Sakura Haruno
PEMUDA ROMEO
Keesokan harinya, pelanggan pertama di pagi hari adalah pemuda yang sama di pagi hari kemarin yang pertama menjadi pelanggan. Yaitu pemuda Uchiha kemarin. Ia memesan sebuket bunga seperti kemarin dan juga kartu ucapan, namun kali ini dengan wajah yang kentara akan keberatan ia membayar untuk itu. Dengan kata-kata yang ditulis tangan Sakura, masih sama seperti kemarin.
"Kau tak mau mengganti kalimat ini? Atau menambahkan sesuatu? Untuk menyentuh hatinya?" Sakura memberanikan bertanya.
Pemuda itu menggeleng. Dari bentuk otot-otot wajahnya terlihat sangat jelas pemuda ini jarang tersenyum, jarang memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Sayang sekali, padahal kalau ia tersenyum mungkin akan terlihat seperti Itachi. Sakura menggeleng-gelengkan kepala mengingat nama Itachi.
Pemuda Uchiha itu mengerutkan keningnya, kau kenapa? Begitulah kira-kira ekspresi wajah pemuda itu memandang Sakura yang tiba-tiba menggeleng cepat.
Sakura tertawa dipaksa, "tidak apa," ucap Sakura dan menyerahkan buket bunga yang dirangkainya pada Romeo—pemuda Uchiha—yang sudah siap dengan uang di tangannya.
TAMU TAK DIUNDANG
Setiap hari sejak hari itu sepanjang seminggu Romeo itu selalu datang. Memesan bunga dengan kartu ucapan yang berisikan kalimat yang sama.
"Ino," Sakura memanggil Ino yang sedang menyemprot bunga dengan air, membersihkan sedikit debu yang mengotori kelopak bunga mawar yang mekar sore itu.
Ino menoleh ke arah Sakura yang memanggilnya, ia melihat Sakura sedang sibuk menatap hambar layar handphonenya. "Kenapa Sakura?" Tanya Ino kemudian.
Sakura memandang Ino dengan getir, "mereka tidak mencariku," gumam Sakura.
Ino sedikit bingung dengan mereka yang dimaksud Sakura. Namun akhirnya ia mengerti, "ah, mungkin mereka mencarimu, hanya saja... Kau tahu? Mereka tidak begitu mengenalku, jadi mereka tidak tahu harus memulai darimana," ucap Ino berusaha menenangkan.
"Setidaknya mereka mencari informasi? Apa mereka terlalu sibuk untuk meluangkan waktu mencari anak mereka ketimbang membiarkan berkas-berkas yang harus ditandatangani itu menunggu lebih lama?" Ungkap Sakura. "Mereka punya cukup uang paling tidak membayar orang untuk menemukanku, setidaknya walau bukan mereka, aku bisa mengerti ada rasa kasih yang mereka curahkan untuk uang yang mereka hamburkan membayar orang mencariku," emerald Sakura berkaca-kaca.
Ino meletakkan botol yang ia gunakan untuk menyemprot tanaman di sisi pot bunga dan menghampiri Sakura, "mungkin mereka melakukannya, tapi mereka salah memilih informant, jadi... Belum menemukan informasi tentangmu," hibur Ino sambil menekankan nada bicaranya pada kata belum.
Sakura memasukkan handphonenya di kantong celana jinsnya.
Tak lama terdengar suara ayah Ino berseru minta pertolongan putri tunggalnya. Ino menepuk pundak Sakura dan tersenyum hangat, "mungkin saja mereka juga hanya ingin memberimu waktu untuk berpikir. Ibumu dokter, kau ingat?" Ino kemudian beranjak pergi menghampiri ayahnya, "iya ayah!?" Serunya kemudian.
Sakura menyapu matanya, pandangannya mengabur akibat memebendung air mata.
CLING!
Dengan sigap Sakura berdiri dan menyapa pelanggannya, "selamat datang," Sakura berusaha tersenyum. Ia kemudian mendongak dan memandang kedua mata onyx yang begitu kelam. Keringat dingin seketika mengucur di pelipis Sakura.
"Bagaimana kau bisa di sini?"
Sakura berusaha tertawa. Bagaimana Sakura bisa di sini? Seharusnya Sakura yang bertanya demikian, bagaimana Itachi bisa ada DI SINI!?
"Ayahmu menelpon ayahku, ia bicara denganku mengenaimu yang menghilang. Ia mengira aku membawamu lari," cerita Itachi.
"Bagaimana kau menemukanku?" Tanya Sakura. "Jadi sekarang kau mau membawaku pulang?" Sakura tak bisa menahan dirinya untuk terus bertanya.
Itachi tersenyum hangat—seperti biasanya ia—dan mengulurkan tangannya, "aku tahu dari seseorang, dan anggap saja aku datang kemari karena ingin membeli bunga dan secara kebetulan menemukanmu," ucapnya.
"Kalau begitu... Kenapa kau tidak membeli bunga?" Sakura bergumam, ia tak tahu harus bersikap bagaimana pada Itachi. Tak ada secercah harapan untuknya memasuki hati Itachi yang terkunci rapat oleh gembok yang bernama Hana. Memang betul, perasaannya pada Itachi belum hilang bimsalabim begitu saja, tapi ingat? Sakura sudah menutup buku. Itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Ia harus ingat rasa sakit yang ia rasakan, rasa sakit itu akan menjadi pengingat dirinya bahwa tuan muda Uchiha Itachi tidak membalas cintamu sebesar cinta yang kau berikan padanya.
Sakura beranjak ke meja yang biasanya ia pakai merangkai bunga.
Itachi menghampiri Sakura dan memberikannya sekuntum bunga mawar putih. "Aku beli ini untukmu," ungkap Itachi.
Hati Sakura serasa semakin terkoyak. Ia sudah sering menerima bunga dari para pelanggannya, tapi tidak dari Itachi. Dan kini? Itachi melakukan hal yang sama seperti para pelanggannya yang lajang kepadanya. Dan perasaan lain muncul di hatinya. Hatinya serasa semakin hancur. "Ini salah, kebaikanmu hanya semakin membuatku sakit," ungkap Sakura.
Itachi tercekat melihat segaris jejak air mata yang meluncur dengan mulusnya melewati pipi Sakura. "Jangan menangis!" Tiba-tiba Itachi berseru, ia menjadi panik. "Aku mohon, jangan menangis!" Pinta Itachi memohon.
Sakura menghapus air matanya, "kau tidak perlu berteriak," ungkap Sakura.
Itachi memberikan sapu tangan dari balik kantong kemejanya, sapu tangan berwarna putih dengan corak biru malam itu terlipat dengan manis.
Sakura menolak, "aku tak mau mencuci dan menyimpannya sampai kita bertemu lagi. Karena aku harap kita tidak akan bertemu lagi," ungkap Sakura.
Itachi membelalak terkejut, "apa maksud perkataanmu?!"
Sakura memalingkan tubuhnya membelakangi Itachi. "Berperan menjadi sisi yang mencintai, bukan yang dicintai itu berat," ujar Sakura.
Itachi membelai lembut kepala Sakura, "aku menganggapmu sebagai adikku, dan..."
"Cukup! Aku tidak perlu mendengar penjelasanmu yang konyol! Aku sudah cukup terlihat bodoh sekarang!" Jerit Sakura.
CLING!
Sakura dan Itachi memandang pintu masuk. Pemuda bermantel cokelat tua dengan syal putih melilit di lehernya hingga hampir menutup hidungnya itu berjalan cepat ke arah mereka berdua, kemudian menarik lengan Sakura dan menyeretnya pergi.
Itachi masih terlalu bingung siapa pemuda itu dan apa yang terjadi, sehingga gerakannya untuk menyelamatkan Sakura dari aksi penculikan itu tersadar beberapa detik setelah Sakura–dan pemuda itu–keluar toko.
WAKTU DAN PENYESALAN
Sakura melihat Itachi yang menyerukan namanya dan berlari ke arah kota. Sakura dan Romeo—ya, pemuda itu adalah Uchiha yang mengaku dirinya sebagai Romeo masa kini—bersembunyi di gang sempit yang tercipta dari celah antara gedung bertingkat.
"Maaf menculikmu," ucap pemuda itu. Tak ada cahaya dari arah mana pun, langit pun sepertinya sedang dirundung mendung berkepanjangan sejak pagi tadi.
Sakura menggeleng, "harusnya aku berterima kasih," ungkap Sakura.
"Dan maaf karena aku menguping," sambungnya.
Sakura melirik tajam pada Romeo itu. Yah, mari kita panggil pemuda itu dengan panggilan Romeo ketimbang pemuda tanpa nama. "Kau... Apa?" Sakura agaknya ingin memastikan.
"Kau tahu, aku datang di saat kau dan..." Romeo mengangkat bahunya dan pandangannya jadi bergerak liar, "berbicara sesuatu dan aku tidak nyaman menyela, jadi aku berdiri di sana dan memberikan kalian waktu. Bukan berniat menguping, tapi percakapan kalian terdengar olehku," Romeo kemudian menatap kedua emerald di mata Sakura setelah sejak tadi bergerak liar.
Sakura mengangguk paham. "Tak apa, setidaknya kini ada satu orang lagi yang tahu Haruno Sakura patah hati," ungkap Sakura mendengus kemudian.
Romeo mengernyit aneh, "patah hati?" Tanyanya, wajahnya menunjukkan ketidaktahuannya akan bagian mengenai patah hati. "Tidak, aku tidak mengerti bagian itu. Yang aku tahu tentang ayahmu dan mengira kau lari, hanya itu," ungkap Romeo.
Seketika kedua pipi Sakura menjadi merona, entah pemuda itu melihatnya atau tidak karena di gang sempit itu cukup gelap, "o–oh."
Romeo melilitkan syalnya di leher Sakura, walau agak kasar tapi untungnya tidak sampai mencekik gadis yang dilanda patah hati itu. Jangan sampai ia dilanda patah tulang leher setelah ini. Romeo menarik tangan Sakura dan mengajaknya berkeliling ke desa yang berada di tepian kota Konoha.
"Kenapa membawaku kemari? Hey, kau tidak berniat benar ingin menculikku 'kan?" Tanya Sakura curiga.
"Apa? Menculik, itu terdengar mengerikan, walau memang aku membawamu pergi tanpa izin sebelumnya. Tapi aku hanya ingin mengajakmu melihat desa ini," jelas Romeo.
Sakura menaikkan salah satu sudut bibirnya dan merapatkan ujung kedua alisnya mengamati pemuda itu, "siapa namamu?" Akhirnya Sakura bertanya.
Romeo, nama panggilan kita, menatap ke arah tempat diadakannya sebuah perayaan. "Desa ini mengadakan perayaan api unggun setiap tahun di akhir musim dingin menjelang musim semi. Mereka percaya kalau tidak menyalakan api itu musim dingin tidak akan berakhir. Semacam tradisi, bukankah menarik? Ini abad 21," cerita Romeo seolah mengalihkan pembicaraan.
Sakura menatap ke arah orang-orang yang sedang menumpuk kayu-kayu yang siap dijadikan api unggun. Apakah pertanyaan Sakura tadi tidak masuk telinganya?
Mereka berdua kini berada di antara warga desa dan orang luar yang membaur menghangatkan diri di tepian api unggun raksasa, ada beberapa gadis desa menggunakan pakaian tradisional yang menari tanpa alas kaki. Apa mereka tidak kedinginan? Melihat kaki mereka yang berwarna pucat, jelas mereka kedinginan.
"Hey," panggil pemuda Romeo itu pada Sakura pelan.
Sakura menatap mata kelam pemuda itu, pantulan cahaya api unggun membuat mata kelamnya agak bercaya. "Apa?" Sahut Sakura.
"Kenapa kau tidak coba pulang?" Usulnya.
Sakura agak tercengang dengan ucapan pemuda itu. Dia siapa? Mereka baru bertemu seminggu, itu pun sebatas penjual dan pembeli. Sakura sendiri hanya tahu dia Uchiha, apa nama kecilnya pun tidak.
"Maaf, aku tidak tahu masalah apa yang membuatmu meninggalkan rumah. Paling tidak, meminta maaf bukanlah hal sulit, jadi kenapa tidak?" Ungkapnya.
"Bukannya karena maaf," Sakura menekankan. "Tapi karena pelanggaran privasi, ini negara hukum. Masalah kecil saja masuk dalam undang-undang," ungkap Sakura kesal.
"Baiklah, mereka orang tuamu? Mereka merasa berhak tahu apa yang terjadi padamu. Kau tahu? Kadang orang tua yang selalu bersama anaknya pun tidak tahu bagaimana bicara dengan anaknya," Romeo itu begitu lembut menjelaskan dengan perlahan. "Apa orang tuamu membatasi privasimu?" Tanyanya.
"Mereka membaca buku harianku! Bukan mereka, hanya ibuku sebenarnya. Tapi mereka melanggar privasiku!" Sakura sudah tak tahan meluapkan emosinya. Beberapa orang di sekitar mereka menatap Sakura heran.
Romeo itu menarik hoodie di belakang kepalanya dan menutup kepalanya dengan hoodie itu. Ia kemudian merapatkan tubuhnya dengan kakinya dan memeluknya. Dagunya ia letakkan di atas lututnya yang terlipat dan memiringkan kepalanya memandang Sakura yang duduk di sisinya. "Jangan sampai kau menyesal. Lebih baik kau pulang, meminta maaf apa yang kau lakukan, menjelaskan pada mereka apa kesalahan mereka dengan pelan dan kepala dingin. Kau tak tahu kapan kau akan kehilangan mereka selamanya. Kau pikir, mereka akan hidup selamanya untukmu? Jawabannya jelas tidak. Semua makhluk hidup akan mati, nona. Hanya waktu yang tak menceritakan kapan itu terjadi," ucapan pemuda itu agaknya menyentuh hati Sakura. Karena pemuda itu melihat Sakura yang tadinya terlihat ekspresive dan marah kini jadi diam dan merenung. "Nona, waktu berjalan maju, mereka tidak akan berjalan mundur dan membiarkanmu mengulangi apa yang seharusnya sudah berlalu. Itu sebabnya mengapa ada penyesalan," ingatnya.
Sakura menelungkup di antara kakinya, ia berusaha menutup air matanya yang mengalir deras sekarang dari pemuda yang baru ia kenal.