Fallin' Into History

Inspired by my best friend (Destriyana Pradita Mega/Nyai Tomatt)

Naruto; character owner is Masashi Kishimoto

Written by Onime no Uchiha Hanabi-hime

Main Character: Sakura Haruno

SEBUAH IMBALAN

Romeo itu mengantar Sakura kembali ke toko, saat di depan toko Sakura menahan pemuda itu pergi. "Well, terima kasih atas kuliahmu tadi. Dan... Tiba-tiba aku rindu kamarku," ungkap Sakura.

Pemuda itu tersenyum sedikit, terlihat dari caranya mengangkat kedua sudut bibirnya walau hanya sedikit. "Dan...?" Ucapannya itu seolah mendesak Sakura melanjutkan.

"Kau mau mengantarku...? Kalau kau kebetulan ada urusan, tidak usah–"

Romeo itu mengangguk, "well, apa aku terlihat bisa membiarkan nona muda sepertimu pergi sendiri di malam yang sepertinya akan memuntahkan salju itu?" Ucapnya sambil menunjuk ke arah langit yang masih menggerembung mendung.

Sakura masuk ke rumah sederhana di sebelah toko dan memberesekan barang-barangnya. Sebelumnya ia sempat diceramahi Ino yang terlihat begitu cemas ketika menyadari Sakura tak lagi di toko sore tadi. Ia kemudian pamit pada ayah Ino dan berterima kasih pada keduanya.

Mereka berdua, Sakura dan Romeo itu, berjalan menuju rumah Sakura. Tak banyak yang mereka bahas, tapi Sakura bisa melihat dari mata pemuda itu bahwa ada penyesalan yang sangat dalam yang membuat pemuda itu tidak ingin Sakura merasakan penyesalan yang ia rasakan.

Mereka berdua sampai di rumah Sakura, Sakura mengetuk pintu, seorang wanita kebetulan membuka pintu, wanita itu menggunakan kemeja lengan panjang berwarna krem digulung sebatas siku, celana denim panjang menutupi kaki jenjang wanita itu, rambut merah gelapnya ia gulung ke atas dan terlihat agak berantakan. Dari kedua kantung yang menggelantung di bawah matanya terlihat jelas wanita itu sangat kurang istirahat.

"Hai, bu," sapa Sakura.

Kedua mata wanita itu melebar, "Sakura?" Ia tercengang menatap anaknya berdiri utuh di sana. Ia lalu menoleh ke arah pemuda di sisi Sakura.

Tak lama pria bertubuh tegap dengan rambut hitam yang mulai memutih muncul masih mengenakan jasnya yang terlihat tak teratur. "Sakura!?" Serunya dan membuka lebar pintu di depan Sakura.

"Hai, yah," sapa Sakura lagi.

Ayah Sakura menatap pemuda berhoodie di samping Sakura, "kau! Apa kau yang membawa Sakura lari?!" Seru ayah Sakura.

Sakura segera menahan tubuh ayahnya yang hampir menghantamkan bogem di wajah Romeo itu. "Tidak ayah! Dia yang mengantarku pulang! Lagipula aku pergi karena kemauanku sendiri! Bukan karena dihasut siapapun," kalimat terakhir Sakura terdengar hanya seperti gumaman.

Ayah Sakura bernafas tak beraturan, ia menyuruh Sakura dan pemuda itu masuk. Ketika semuanya berada di ruang tengah, kesunyian yang membuat hawa biasanya sudah dingin menjadi semakin dingin melanda.

"Maaf, apa ada yang akan anda bicarakan?" Tanya Romeo itu.

Ayah Sakura berdehem nyaring, "siapa namamu?" Tanya ayah Sakura. Itu pertanyaan yang Sakura coba tanyakan namun tidak pernah mendapat jawaban.

Pemuda itu melepas mantelnya alih-alih menjawab pertanyaan ayah Sakura. Ia mengenakan sweater panjang berwarna kelabu yang berukuran pas dengan tubuhnya, jadi pakaian itu benar-benar menempel di sana. Tubuh pemuda itu begitu atletis, tipe pemuda yang pasti digolongkan Ino ke kategori sexy. "Anggap saja aku iblis yang kebetulan lewat dan mencoba bersikap baik," ungkapnya.

"Jadi kau mau meminta uang imbalan?" tebak ayah Sakura.

Romeo itu menatap aneh ke arah ayah Sakura, "apa? Uang? Maaf, sir, tapi aku sudah cukup bosan dengan hadiah biasa seperti itu," ungkapnya dan menghenyakkan punggungnya pada sandaran sofa.

Sakura hanya mengamati, jadi ia meminta imbalan atas ini? Semua?

"Lalu apa yang kau pinta?" tanya ayah Sakura.

"Hanya hal kecil, mungkin mudah mengucapkannya tapi agak sulit menjalankannya," ada jeda beberapa detik dalam ucapannya. "Aku ingin imbalannya adalah sebuah perhatian," ia menekankan di bagian perhatian.

"Apa maksudmu?" tanya ibu Sakura keheranan.

Wajah Sakura pun mengekspresikan keheranan yang kentara, imbalan macam apa itu?

"Aku mengerti kalian sibuk," Romeo itu mengamati sekeliling rumah yang terlihat begitu teratur, seperti rumah yang jarang dihuni, mungkin memang demikian karena kedua orang tua Sakura menghabiskan sebagian penuh waktu mereka di tempat mereka bekerja dan sisanya di kamar, kamar mandi dan dapur. "Setidaknya anak kalian ini butuh perhatian," lanjutnya berucap, "dan pengawasan," tambahnya tak lama setelah kalimatnya sebelumnya.

"Yeah, perhatian. Tapi tidak dengan membaca buku harianku," tambah Sakura.

Ibu Sakura menghela nafas, "harusnya sudah ku duga kau pergi karena hal itu. Itu sebabnya kenapa kami tidak mencarimu, kami hanya ingin kau mendapat waktu untuk memikirkan semuanya dan siap untuk menceritakan pada kami yang sebenarnya. Kau tahu, Sakura? Saat itu kami sangat mencemaskan perilakumu, kami takut kau mulai menyimpang karena kurangnya perhatian kami padamu," cerita ibu Sakura.

Sakura menunduk, "em... maaf," gumam Sakura.

"Nah, baiklah. Mungkin ini saatnya reuni keluarga, dan aku bukan dari bagian keluarga kalian. Sebaiknya aku pergi," ucap Romeo dan berdiri dari sofa tempatnya mendudukkan pantatnya.

Ayah Sakura tersenyum kali ini pada Romeo itu, "setidaknya makan malamlah bersama kami. Kami bisa memesan makan malam dari restoran terdekat?" tawar ayah Sakura. Yah, mau bagaimana lagi? Ibu Sakura hanya berkelut dengan pisau bedah, bukan pisau dapur. Jadi wajar dia tidak bisa memasak sepanjang pernikahan mereka. Ada, roti bakar dan selai. Hanya itu yang bisa dimasak ibu Sakura.

Romeo itu menggeleng, "ini moment berharga untuk kalian. Lebih baik kalian menikmati makan malam keluarga bertiga, tanpaku," Romeo tersenyum dan memakai mantelnya kembali lalu pamit pergi.

Ayah Sakura mengantar pemuda itu ke depan pintu, sedangkan ibu Sakura mengantar Sakura ke kamarnya untuk membereskan barang-barang yang ada dalam tasnya.

"Kapan terakhir ibu tidur nyenyak?" tanya Sakura.

Ibu Sakura hanya mengangkat bahunya, "sebelum kau pergi ibu memang sudah sulit tidur karena pekerjaan," ia melirik anak gadisnya, "yang tidak akan kita bicarakan sepanjang hari ini lagi," ucapan itu membuat Sakura tiba-tiba tersenyum. "Apalagi sejak kau pergi, ibu jadi semakin sulit tidur, apa kantung ibu terlihat sangat jelas?" tanyanya kemudian dan berkaca pada figura lukisan amatir Monalisa.

"Yeah," Sakura memutar bola matanya, "ibu tahu? Kantung mata saat ini sedang trend di Korea," ucap Sakura.

"Benarkah? Kalau begitu kau harus mencoba mengantungkan matamu," canda ibu Sakura. Sakura tertawa, bukan karena lelucon sang ibu, tapi karena akhirnya ia bisa bicara begitu dekat dengan ibunya.

MAKAN MALAM KELUARGA

Ketika keluarga kecil itu sedang makan malam bersama, ibu Sakura terlihat sangat sibuk menyiapkan perkakas dan menelpon makanan apa saja yang dipesan, ia benar-benar memastikan makanan yang ia pesan adalah makanan kesukaan putrinya.

Ayah Sakura terkikik melihat tingkah istrinya, ia lalu ke lantai atas, meunju kamar putrinya dan engetuk pintu kamar tersebut.

Sakura menyuruh ayahnya masuk, karena saat itu ia sudah selesai mandi dan sedang merapikan kamarnya. "Ayah? Ada apa?" tanya Sakura.

"Sakura, ayah hanya ingin memberitahumu."

Sakura menghentikan aktivitasnya dan menatap ayahnya, "tentang apa?" tanyanya penasaran.

"Kau tahu? Kau sebentar lagi pindah ke Suna untuk melanjutkan pendidikan, itu membuat ibumu agak tertekan sejujurnya. Itu pilihanmu, jadi ia tidak bisa melarangmu. Kau putri kami satu-satunya, dan apalagi yang kami bisa harapkan selain kebahagiaanmu," ayah Sakura duduk di tempat tidur Sakura, kedua kakinya terbuka lebar dan ia menyangga lengannya di kedua pahanya. Menautkan jari-jemari tangannya dan mulai bercerita. "Ibumu ingin mengetahui lebih tentang dirimu, tapi sulit untuk menyita waktu agar bisa mengobrol santai denganmu berdua seperti layaknya ibu-anak lainnya," cerita ayah Sakura.

Sakura mengamati ayahnya dalam diam, memperhatikan setiap detil ucapan sang ayah.

"Mungkin ia pikir dengan membaca buku harianmu, ia bisa membayangkan hari-hari seperti apa yang kau lalui selama ini yang tak kau ceritakan padanya. Tapi, ia seorang ibu dan wajar jika ia melebih-lebihkan dan sangat protektif terhadap putrinya, satu-satunya, yang akan meninggalkannya," ayah Sakura tersenyum memandang putrinya dan membuka lengannya, berharap sang anak yang sudah—sebentar lagi—memasuki jenjang perkuliahan berhambur dalam pelukannya.

Sakura tahu ia sudah cukup besar untuk masih mendapat pelukan anak balita seperti itu, tapi ini jarang terjadi, jadi apa salahnya? Sakura berhambur memeluk ayahnya. "Aku mengerti," ungkap Sakura.

"Ibumu sangat menyayangimu," gumam ayah Sakura.

"Ayah juga sangat menyayangiku," tambah Sakura lalu terkikik di balik dada sang ayah yang masih terlihat sangat bidang.

"Ayo kita ke bawah, ibumu sudah siapkan segalanya."

Ketika di ruang makan, memang benar, semuanya sudah disiapkan dengan rapid an cantik. Makan malam itu pun menjadi makan malam keluarga yang sangat menyenangkan yang pernah Sakura alami.

"Jadi... apa pemuda tadi adalah Uchiha Itachi?" tanya ayah Sakura.

Sakura tersedak ketika meminum jus jeruknya, "apa?"

"Sepertinya bukan," gumam ibu Sakura.

"Tentu saja dia bukan Itachi! Dia pemuda yang sangat baik, aku mengenalnya di toko bunga Ino, yeah... aku bekerja di sana selama kabur dari rumah," Sakura mulai bercerita. "Ia tidak sekejam Itachi yang men—" ucapannya berhenti di tenggorokannya.

"Men... ?" ayah dan ibu Sakura meminta lanjutan.

"Sudahlah, aku malas membahas Itachi. Bagiku ia hanya masa lalu," ungkap Sakura.

"Jadi apa hubunganmu sebenarnya dengan Itachi ini?" tanya ibu Sakura penasaran.

Ayah Sakura langsung memberi tatapan kau—dengar—dia—tadi—meminta—untuk—tidak—membahasnya?

"Setidaknya biarkan kami tahu siapa dia sebelumnya, jadi kami tidak menduga yang aneh-aneh," tutur ibu Sakura.

"Dia—" Sakura mulai angkat bicara kembali. "Dia seseorang yang pernah aku sukai," ungkap Sakura. "Tapi itu dulu. DULU," timpal Sakura dan memperjelas kata terakhirnya.

"Well, jadi sekarang jelas siapa dia. Lalu, kau tidak melakukan apapun dengannya 'kan? Di motel itu?" tanya ibu Sakura lagi.

Wajah Sakura memerah, kali ini bukan karena marah tapi karena malu, "tentu saja tidak! Aku tidak mungkin melakukan hal itu¸aku masih ingin kuliah dan menikmati masa remajaku sebelum aku terjerat hidup membosankan seperti yang ibu alami di dalam rumah sakit turun-temurun itu," sergah Sakura cepat.

"Sakura," ayah Sakura berdehem.

"Maaf," gumam Sakura kemudian.

Ibu Sakura mengangguk paham, "sayang, rumah sakit itu tidak sebegitu membosankan seperti yang kau pikir," ucap ibu Sakura.

"Aku tahu ibu, aku tahu bagaimana perasaan ketika kita berhasil menyelamatkan satu nyawa di sana. Karena aku pernah sekali melakukannya, walau bukan nyawa manusia," sela Sakura sebelum ibunya mengoceh panjang-lebar tentang rumah sakit itu.

"Kapan?" tanya ayah Sakura.

"Sudah lama, itu sebabnya kenapa aku ingin jadi dokter. Aku menyelamatkan nyawa kucing waktu SD, kucing itu tertabrak mobil dan hampir mati. Aku merawatnya hingga ia sembuh, suatu keajaiban pikirku waktu itu. Ada perasaan aneh saat kucing itu bisa berlari mendatangiku," cerita Sakura.

"Di mana kau merawatnya?" tanya ibu Sakura penasaran.

"Di rumah ini," jawaban itu seperti tombak bagi kedua orang tua Sakura. Anaknya merawat kucing sakit di rumah mereka, tapi mereka sama sekali tak tahu. Hal itu sedikit banyak menggerakkan hati mereka untuk lebih memperhatikan anak mereka ini. Satu-satunya.

AN:

Ini akhir dari Fallin' Into History, Insyaallah nanti akan saya lanjutkan ke Fallin' Into Histori season II. Dih, kayak Cinta Fitri ajja yak pake season-season segala :p

Do'akan saja saya masih diberi umur panjang untuk melanjutkan ke season II nya nanti ya? Amien O:-)

Kayaknya ini cerita jauh melenceng dari cerita nyatanya, tapi ya sudahlah ya, namanya juga dunia tulis-menulis kan bisa berkembang dari berbagai sisi. Yang penting review dulu lah~

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak untuk yang sudah mensupport pemulisan fict ini, Tomatt, Tasya, dll yang saya lupa namanya.

Saya menerima flame disini, tapi mohon penggunaan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung berbagai pihak. Terima kasih atas pengertiannya.