Hari ke-1

Rumah itu sepi, suasana berkabung masih kental terasa.

Sakura menaiki tangga menuju ke lantai dua dengan sangat pelan, bahkan dia bisa menghitung sudah berapa anak tangga yang dilewatinya. Ayahnya pergi terlalu mendadak. Lebih parah lagi, beliau pergi saat mereka sedang bertengkar. Biasanya Sakura marah karena sang ayah terlalu sibuk bekerja sehingga gadis itu merasa diabaikan, tapi kali ini pertengkaran mereka terjadi karena masalah yang sangat serius.

Namun, semua sudah terlambat sekarang. Tak ada rekonsiliasi antara sang putri dan ayahnya. Penyelesaiaan konflik mereka hanyalah angan semata. Ayahnya sudah terlanjur pergi.

Ayahnya terlambat meminta maaf.

Sakura terlambat memafkan.

Pada saat-saat seperti ini, harta sebanyak apa pun tak dapat membeli waktu yang terbuang.

Hari ke-20

Dia benci pada pandangan mengiba yang ditujukan padanya.

Sakura tak suka jika dia dianggap tak berdaya karena saat ini statusnya adalah gadis yatim piatu. Dia tidak selemah itu. Dia tak butuh tatapan kasihan dari siapa pun.

"Kalau tak suka, katakan saja pada mereka," ucap Sai tenang. Seperti biasa, pria itu selalu ada di sisinya di mana pun dan kapan pun.

"Suaraku terlalu berharga untuk hal seperti itu."

"Dasar keras kepala."

Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dalam diam. Sekali lagi, gadis itu menghitung banyaknya langkah kaki yang telah dia jejakkan.

Hari ke-30

Tepat sebulan setelah kepergian ayahnya, terlalu banyak yang berubah. Sakura sudah terlalu lelah untuk memikirkan hal tersebut. Gadis itu hanya duduk di tempat tidurnya sambil membuka album foto lama. Di sana terdapat banyak kenangan tak terucap antara dia dan ayahnya. Sakura merindukan masa-masa itu, tapi seketika itu juga hatinya tertusuk tombak besar. Kenangan indahnya dibangun atas tipu daya dan penderitaan orang lain.

"Ayo kabur." Sai mengulurkan tangan dari pintu kamar Sakura yang terbuka. "Ayo kita kabur ke tempat yang kausukai itu."

Sakura terdiam sesaat.

"Ayo kita kabur ke Konoha."

Hari ke-100

"Ayah ... apa kabar? Apa Ayah sudah bertemu dengan Ibu?" Pusara itu bisu, Sakura tak mendapaykan jawaban yang dia inginkan.

Bodohnya dirimu, Sakura, mana ada pusara yang bisa bicara?

"Apa Ayah memaafkanku? Aku ... aku sedang berusaha untuk memaafkan Ayah."

Dengan kepergian sang ayah, gadis itu sudah mempelajari banyak hal, merelakan adalah hal terbaik untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ajakan Sai membuat Karin menyadari satu hal, ternyata dirinya sangat pengecut. Dia takut menerima ajakan itu. Dia takut kalau seandainya memang benar kalau Sai memiliki anak dengan Sakura, padahal dia tahu benar kalau hal itu hanyalah candaan Sai. Hanya saja, dia benar-benar tak berani.

Karin pernah terluka. Sangat terluka. Oh Tuhan, sampai kapan dia harus mengingat hal menyakitkan itu?

Dia tak perlu menjelaskannya pada siapa pun karena semua orang tahu apa dan siapa yang menyebabkan luka itu. Gadis itu ingin bangkit, dia ingin membuka lembaran baru dan menunjukkan pada semua orang kalau dia baik-baik saja tanpa harus menyembunyikan sakit di hatinya.

Awalnya Karin merasa tak siap. Namun, Sai hadir dalam hidupnya tanpa peringatan. Pria itu datang tiba-tiba dan mengguncangnya.

Karena itu Karin sangat ketakutan.

Kalau saja ... Sai tak punya hubungan apa-apa dengan Sakura, maka Karin tak akan merasa terancam seperti ini. Yah, tentu saja, banyak hal yang bisa dibayangkan dengan kata "Kalau" di depannya, akan tetapi, semua itu hanyalah bayangan, ilusi, khayalan, sesuatu yang tak nyata. Kenyataannya, Karin sedang berada di tepi jurang. Kalau dia salah melangkah, maka kali ini sakit hatinya pasti tak akan bisa disembuhkan.

Gadis itu meremas tepian bajunya.

Tak bisa pulih.

Sepertinya, dia baru saja menemukan apa yang menjadi kekhawatiran terbesarnya.

.

.

.

.

.

BECAUSE OF YOU

Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto, saya hanya meminjam tokoh-tokohnya saja

Story by Morena L

Warning: AU, typo, OOC

.

.

.

.

.

Haruno Sakura memang tak tertebak. Setelah mengungkapkan apa yang terjadi di antara dirinya dan Sasuke, wanita itu bersikap seolah tak ada yang terjadi. Dia tetap melakukan segalanya seperti biasa, sama sekali tak ada tanda-tanda dirinya mencoba untuk menjauhi sang suami. Sebaliknya, Sasukelah yang merasa canggung. Pria itu berusaha untuk lembur di kantor, mencari kesibukan sendiri, saat sudah terlalu larut barulah dia pulang. Beberapa kali nasib tidak memihak padanya karena sang istri belum tidur—lebih tepatnya Sakura masih memeriksa beberapa berkas di atas ranjang mereka—dan sesekali menyapa sang suami yang baru memasuki kamar.

Sasuke sungguh tak mengerti mental seperti apa yang dimiliki perempuan itu. Sakura terlalu misterius—kalau tak mau dibilang aneh. Kadang Sasuke merasa dia sudah mampu membaca kepribadian istrinya, dan dalam sekejap mata, wanita itu berubah menjadi sosok lain. Semua usahanya seperti tak mengalami kemajuan, seolah selama ini dia hanya jalan di tempat, tak beranjak ke mana pun.

Tanpa disadari Sasuke kembali mengenang pelajaran biologi saat masih sekolah dulu. Hewan yang terancam akan melakukan mekanisme pertahanan diri, masing-masing hewan memiliki cara bertahan yang berbeda. Ada yang diam terlebih dahulu kemudian menyerang, ada yang menyerang langsung secara frontal, ada juga yang memberikan pengalih agar dapat kabur. Jika dia melihat dari watak istrinya, maka Sasuke harus bersiap sejak sekarang, bisa saja perempuan itu sedang menyiapkan serangan balasan.

Lalu, apa itu tidak terlalu berlebihan?

Istrinya itu manusia, bukan singa betina.

"Bos ... Bos ... apa kau mendengarku?" panggil Suigetsu dari balik pintu ruangan Sasuke, entah sejak kapan dia memanggil Sasuke dengan panggilan itu.

"Hn."

"Ck, pembohong. Kalau begitu apa yang kukatakan?"

"Minta dipecat?"

Bawahannya itu menelan liur cemas. "Maaf, Bos, tapi kau memang banyak melamun akhir-akhir ini. Dari tadi aku mengetuk pintu ruanganmu ini saja tidak kauberi respon."

"Ada apa?"

"Nara-san mengundangmu makan siang, katanya dia mau membicarakan soal proyek selanjutnya sebelum meeting minggu depan. "

"Hn, kau boleh pergi."

Suigetsu mengeluarkan cibiran kecil sebelum kabur—mencegah kalau bosnya itu mendengar cibiran tak perlunya itu.

oOo

Nara Shikamaru ternyata adalah teman yang baik, dia bahkan beberapa kali mengenalkan Sasuke dengan klien baru. Pria itu tak pernah melobi rekan-rekannya untuk memberikan proyek pada Sasuke, dia hanya mengenalkan mereka dan semuanya tergantung negosiasi dan presentasi antara Sasuke dan klien tersebut, pada tahap itu Shikamaru sudah tak terlibat lagi. Pria itu mengatakan kalau yang dia lakukan hanyalah bantuan kecil untuk suami sahabatnya mengingat dulu Sakura telah banyak membantunya—sesuatu yang sesungguhnya menjadi sedikit beban untuk Sasuke.

"Sebenarnya, undanganku ini tak ada hubungannya dengan proyek kita yang selanjutnya," ucap Shikamaru seusai makan siang mereka. "Akung hanya ingin membantumu."

Sasuke menegakkan tubuhnya.

"Dengar ... aku tak suka mencampuri urusan orang lain, tapi, maaf sebelumnya, aku merasa ada yang tak beres dengan pernikahan kalian."

"Itu memang bukan urusanmu," jawab Sasuke tenang.

"Dia sahabatku, aku juga ingin melihatnya bahagia. Entah kenapa aku merasa kau tidak mengenal istrimu ... aku minta maaf kalau aku terdengar lancang."

Sasuke tidak menjawabnya. Bukan terdengar, tapi memang sangat lancang, ujar pria itu di dalam hati.

"Ada seseorang yang bisa kautemui kalau kaumau lebih tahu soal istrimu. Dia jauh lebih mengenal Sakura dibanding aku, orang terdekatnya selain Sai. Hanya saja, aku tak yakin kalau kau mau bertemu dengannya," lanjut Shikamaru.

"Kenapa?"

"Kau orang Konoha."

"Dan?"

"Dia seorang Yamanaka. Namanya Yamanaka Ino."

"Tidak masalah, memangnya kenapa?" Sasuke sedikit tak mengerti.

Shikamaru terkekeh pelan. "Kudengar orang Konoha tak suka segala sesuatu yang berbau Yamanaka, karena itu aku pikir kau tak mau bertemu dengan sahabatku ini, tapi dia sama sekali tak ada kaitannya dengan Yamanaka yang menghancurkan distrikmu itu."

Tentu saja Shikamaru tak lupa bagaimana kesalnya Ino setiap kali dikaitkan dengan kasus yang menimpa Konoha hanya karena kesamaan marga. Sahabatnya itu akan mengamuk dan memarahi semua orang yang mengaitkan si koruptor Yamanaka itu dengannya. Dia selalu menggerutu dan mengutuk koruptor yang bermarga sama dengannya itu. "Ino tak akan lama di sini, dia bekerja di luar negeri dan hanya kembali karena ada urusan dengan beberapa kementrian. Aku akan memberikan alamatnya padamu, selanjutnya terserah kau."

"Hn."

Sahabat Sakura yang lain. Sasuke belum pernah bertemu dengan perempuan yang bernama Yamanaka Ino ini, di pernikahan mereka dulu juga dia tak bertemu dengannya. Shikamaru mengatakan kalau dia bekerja di luar negeri, bisa saja karena itu mereka tak pernah bertemu. Kalau dipikirkan kembali, Sakura memang beruntung. Dia memiliki sahabat-sahabat setia di sisinya, orang-orang yang bisa dipercaya perempuan itu, mereka yang sangat peduli padanya. Shikamaru saja sampai mengundangnya secara khusus untuk membicarakan hal ini.

Namun, Sasuke bukanlah orang bodoh yang tak menemukan keanehan pada percakapan ini.

"Tunggu sebentar, aku tahu kau sahabat baiknya, tapi setahuku kau sedikit mirip denganku dalam hal tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Kenapa kau sangat memperhatikan rumah tangga kami?" serang Sasuke tanpa basa-basi. "Apa kau sedang merencanakan sesuatu?"

"Apa aku ketahuan?"

"Tadinya tidak, tapi semakin kau membuka mulut semakin terlihat dengan jelas."

Shikamaru kembali tertawa. "Sudah kubilang pada mereka kalau rencana ini akan gagal, dasar wanita-wanita merepotkan," gerutunya pada diri sendiri. "Ino yang memintaku," pria itu melanjutkan, "kalau aku tidak melakukakan permintaannya, maka dia akan terus menggangguku dan celakanya lagi istriku mendukungnya. Dua makhluk paling cerewet bersatu, sudah jelas aku berada di pihak yang kalah." Wajah Shikamaru dibuat semengenaskan mungkin, berharap Sasuke mengerti posisinya yang serba salah.

"Katakan padanya, kalau dia memang mau bertemu denganku, datang saja ke kantor, tak perlu mengirim utusan dan memintaku datang ke tempatnya."

Shikamaru mengangguk tanda setuju. Dia bisa membayangkan seperti apa sebalnya Ino nanti ketika disuruh datang sendiri, tapi dia yakin Ino pasti bisa tenang setelah bertemu dengan Sasuke karena pria itu adalah lawan sepadan untuk sahabat mereka.

.

.

.

oOo

.

.

.

Karin berguling-guling di atas tempat tidur kecilnya. Kata pemilik kedai hari ini mereka tak buka, otomatis Karin jadi tak punya kegiatan apa-apa. Berdiam diri seharian rasanya sungguh membosankan.

"Apa yang harus kulakukan? Bosan sekali di sini," keluhnya, sekali lagi dia mulai berguling di atas ranjang kecil itu. Karin melonjak kaget saat seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan cukup kasar.

"Apa Anda Nona Uzumaki Karin?" tanya seorang pria yang tidak Karin kenal. Pria itu memakai setelan jas serba hitam, bahkan kemeja yang dikenakan pun ikut berwarna hitam!

Pikiran gadis itu mulai dipenuhi hal-hal negatif. Tingkat kriminalitas memang sudah berkurang dengan cukup drastis dalam dua tahun terakhir ini, tapi siapa yang tahu kalau ada yang ingin berbuat jahat.

"Iya, ada apa?"

"Saya diutus Tuan Sai, Anda akan ke ibu kota sekarang."

"Hah?"

Apa orang ini berbohong? Kening gadis itu berkerut, kecurigaan Karin semakin menjadi-jadi. Apalagi, dari cara berpakaiannya saja sudah sangat mencurigakan. Pada saat itu juga, ponselnya berdering, Karin secepat kilat kembali ke dalam kamarnya dan mengambil ponsel yang terletak di sebelah bantal.

"Apa orang suruhanku sudah datang?" Tak ada basa-basi busuk yang tidak diperlukan, sangat Sai.

"Itu benar-benar orangmu? Kupikir dia penjahat!" sambar Karin.

"Aku sudah bilang pada anak-anak kalau kau akan menemui mereka."

"HEI!" Berani sekali pria itu menjanjikan sesuatu tanpa seizinnya.

"Kau tinggal datang saja, tak perlu mengkhawatirkan apa pun," kata Sai tanpa beban. Dalam bayangannya, Karin pasti sudah memakan bubuk mesiu dalam jumlah besar sehingga gadis itu siap meledak kapan saja, persis seperti sumbu meriam yang disulut.

"Enak saja tak perlu khawatir! Lantas, pekerjaanku? Bagaimana dengan pekerjaanku?"

"Kalau kau dipecat, tinggal bekerja saja denganku. Gampang, kan?"

"Dasar orang kaya!" Mood Karin mulai memburuk, dia paling tak suka hal seperti ini. "Aku tak semurah itu, Tuan. Apa kau sedang merendahkan harga diriku? Sekalipun aku dipecat, aku tak akan mau bekerja denganmu! Aku tak butuh belas kasihanmu atau apa pun darimu."

Sai malah tertawa kencang. Karin hampir saja mematikan panggilan telepon dari pria itu karena kekesalannya semakin memuncak. Kenapa semua luapan emosi Karin selalu ditanggapinya dengan tertawa? Dia pikir Karin sedang melucu. Sial, apa di mata Sai, Karin itu pelawak?

"Aku hanya bercanda. Datanglah, aku sudah terlanjur bilang pada anak-anak. Hanya dua hari, aku akan meminta orang untuk menggantikanmu di kedai," bujuk Sai lagi.

Demi anak-anak. Ya ampun, Sai membuatnya tak punya pilihan. Pria itu selalu tahu tentang cara membuat Karin kehilangan bahan untuk beradu argumen. "Dengar, aku akan datang, tapi bukan untukmu. Aku datang untuk anak-anak itu. Dasar kau pria pemaksa!" jawab Karin sembari menggerutu.

Satu kali saja, tidak bisakah sekali saja dia mengatakan tidak pada pria itu? Mantra apa yang dipakai Sai sehingga Karin susah sekali untuk menolaknya?

"Bagus sekali. Kalau begitu, kemasi barang-barangmu dan ikut orangku, kau—"

"Orangmu tak akan membawaku ke tempat aneh, kan?" potong Karin cepat.

"Tidak akan." Yang ada dalam pikiran Sai adalah, Karin pasti sudah sering menonton film sehingga pikirannya terpengaruh.

"Bagaimana kalau dia juga bekerja pada orang lain dan aku akan berakhir menjadi korban penjualan manusia?"

"Tentu saja tidak. Astaga Karin, tidak perlu berisik, segera bergegas dan segeralah ke sini. Aku sendiri yang akan memberi mereka pelajaran kalau mereka menakuti gadisku."

Gadisku?

Sai ... apa kau baru saja mengatakan aku adalah gadismu?

Keresahan dalam dadanya tak terbendung lagi. Karin bahkan tak sadar kalau tubuhnya menggigil sekarang. Sampai kapan Sai akan terus bersikap seperti ini? Tak tahukah dia kalau Karin bisa saja terkena serangan jantung karena sikapnya itu? Semua hal kecil yang dilakukan pria itu memberikan efek yang cukup besar buatnya.

Karin tak ingin berharap.

Entah berapa kali dia harus mengulangnya. Karin hanya tak ingin patah hati untuk kedua kalinya.

"Y-ya, aku akan da-tang," ujar Karin terbata.

"Aku menunggumu."

Berhenti, Sai.

Tolong berhenti.

Perih. Sai harus berhenti sebelum Karin menyadari kalau dia sedang jatuh cinta. Pria itu sebaiknya ….

Tidak. Karin berhenti berpikir. Mungkin bukan Sai yang harus berhenti, tapi dirinya yang harus mencoba memulai lagi. Ya, perjalanannya ke sana akan dia gunakan sebagai saat yang tepat untuk menentukan sikapnya. Kalau Karin terus bimbang, maka dia hanya akan terus terjebak dalam kebingungannya. Dia akan pergi untuk menemukan jawaban yang dicarinya selama ini sehingga dia bisa memberi tahu seluruh dunia bahwa dirinya sudah bangkit! Bukan hanya sekadar ungkapan tanpa ada realisasi yang terus memberikan kebimbangan tanpa akhir padanya, tapi Karin sungguh akan membuktikan hal itu dengan kepastian. Gadis itu meyakini perjalanannya menemui Sai akan memberikan keputusan besar dalam hidupnya.

.

.

.

oOo

.

.

.

"BOS!" Tanpa peringatan Suigetsu membuka pintu ruangan Sasuke dengan kasar. Sepertinya kalau hal ini tidak dia sampaikan, maka umurnya akan diperpendek pada saat itu juga.

Sasuke melihatnya dengan ekspresi malas. Kenapa orang-orang tak normal yang berada di sekelilingnya? "Ada apa?"

"Ada perempuan cantik di bawah sana yang ingin bertemu denganmu, Bos! Aku bilang sudah tak bisa karena ini sudah jam pulang kantor kita, tapi, Bos, dia cantik sekali!"

Di tengah suasana hati Sasuke yang tak begitu baik, kenapa bawahannya ini seolah sengaja mencari masalah? Lama kelamaan Sasuke bisa saja hilang kesabaran dan memecatnya. "Suigetsu, kalau sikapmu seperti ini pada semua perempuan cantik yang kautemui di kantor ini, maka lebih baik kau siapkan saja surat pengunduran diri sebelum aku yang memutuskan kontrak kerjamu."

"JANGAN BOS!" teriak Suigetsu histeris.

"Apa namanya Yamanaka Ino? Kau antar dia ke sini—"

"Hei, Bos, dari mana kautahu namanya? Apa dia selingkuhanmu?"

Perubahan ekspresi wajah Sasuke langsung menjadi alarm kalau Suigetsu harus segera melakukan langkah seribu. Bisa gawat kalau Sasuke benar-benar memecatnya. Suasana hati Sasuke akhir-akhir ini memang tak menentu, bosnya itu sedang tak bisa diajak bercanda, lebih baik menurut kalau masih ingin mempertahankan posisinya—terlebih Sasuke sudah mengucapkan peringatan secara langsung.

oOo

"Ah, jadi ini suami Sakura kami," seru Ino sembari mengambil tempat duduk pada sofa yang berada di dalam ruangan Sasuke. Mata birunya mengamati suami sahabatnya dengan saksama, poni pirangnya dia sampirkan ke belakang telinga agar tak menghalangi pandangannya.

"Mau minum sesuatu?" Sasuke mencoba ramah.

"Tak perlu," jawab Ino, "aku hanya ingin berbincang sebentar denganmu. Namaku Yamanaka Ino."

"Aku sudah tahu."

"Kau tidak memperkenalkan dirimu?"

"Kau pasti sudah tahu siapa aku."

elum semenit, amarah Ino seperti sudah berada di ambang batas. Untung saja dia masih mengingat tujuan kedatangannya menemui Sasuke. Ino memilah kata dalam kepalanya, memilih topik yang baik untuk memulai percakapan agar tidak terlihat terlalu antusias dan penasaran. "Jadi, sejak kapan kalian berkencan?"

"Dua tahun yang lalu. Apa kau sedang menginterogasiku?"

"Aku penasaran kenapa dia sama sekali tak pernah mengenalkanmu padaku, atau paling tidak memberi tahu kalau dia sedang bersama seseorang."

Sasuke menyeringai tipis, tentu saja Ino tak tahu. Hubungan mereka tak seperti yang dikira banyak orang. Pernikahan mereka ini sama palsunya dengan operasi plastik para artis. "Itu privasi kami."

"Kudengar kau orang Konoha."

"Hn."

"Astaga! Kau benar-benar orang Konoha?" Ino secara mengejutkan menjadi sangat bersemangat. Wanita itu tertawa tak percaya setelah Sasuke mengangguk, lengkingan suaranya mungkin bisa terdengar sampai ke luar ruangan. "Oh Tuhan, candaanku jadi kenyataan rupanya." Ino kembali tertawa tanpa memedulikan Sasuke yang tak memahami monolognya. "Maaf, Uchiha-san, tapi kau pasti tahu kalau istrimu itu sangat suka Konoha, makanya saat kami masih sekolah dulu aku sering bercanda di masa depan nanti Sakura pasti akan menikah dengan pria Konoha. Aku sama sekali tak menduga kalau hal itu akan menjadi kenyataan." Wanita itu melanjutkan tawa kencangnya, sepertinya Ino sendiri sangat takjub dengan fakta yang baru saja dia dapati.

Sementara itu, Sasuke sedikit tertegun. Istrinya sangat menyukai Konoha? Rasanya tak mungkin karena Sakura sama sekali tak pernah menunjukkannya. "Ya, dia memang sangat suka Konoha," ujar Sasuke berpura-pura.

"Tentu saja! Kalau tidak dia tidak akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan ahli analisis dampak lingkungan hidup, dengan Sai yang ahli di bidang arsitektur dan penataan kota, dengan Shikamaru yang pandai mengamati pola ekonomi, dan para ahli lainnya untuk memikirkan solusi bagi Konoha."

Sekarang Sasuke seolah tersengat ribuan lebah. Dia bisa merasakan sendiri saat ini tubuhnya merinding.

"Apalagi, apel dari Konoha. Kalau liburan, kami pasti pergi ke Konoha hanya untuk memetik langsung dari kebun apel. Kau tak tahu sedihnya Sakura saat kondisi Konoha mulai memburuk. Dia tadinya tidak mau masuk ke parlemen, tapi dia sadar hanya itu satu-satunya cara untuk bisa menggolkan rencananya untuk Konoha."

Perempuan ini sedang membicarakan apa? Bisakah Sasuke percaya pada semua perkataannya? Jangan bilang kalau tanpa Sasuke meminta pada saat itu pun sebenarnya Sakura memang sudah membuat perencaan untuk Konoha. Itu tidak Ino, tidak sedang berbohong, kan?

"Ah, maaf aku jadi mengoceh sendiri. Jadi, apa kau mencintainya?" nada suara Ino berubah menjadi lebih serius. "Dia sudah melalui banyak hal, aku harus memastikan sendiri kalau pria yang menikahinya adalah pria yang mencintainya."

Sasuke menatap langsung mata Ino. "Aku mencintainya."

"Kuharap begitu. Sorot matamu sangat datar, aku tak bisa membedakan kau sedang jujur atau berbohong. Kau pasti mengerti kalau Sakura itu orang yang unik. Dia memperlakukan seseorang sesuai dengan seperti apa orang itu di matanya. Sebaiknya kau benar-benar mencintainya, karena Sakura tak bisa menolerir kebohongan."

Aneh, sangat aneh. Sakura tak bisa menerima kebohongan, lalu kenapa dia membangun pernikahan dalam kebohongan? Kenapa dia berbohong soal rasa cintanya pada Konoha? Kenapa dia berbohong tentang rancana perbaikan Konoha pada Sasuke? Terlalu banyak "Kenapa?" yang ingin Sasuke utarakan.

"Kau bisa percaya padaku, Yamanaka-san." Ck, Sasuke sendiri tak tahu kata-kata apa yang sudah dia lontarkan pada perempuan berambut panjang itu. Dia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Aku akan berusaha percaya. Dan mengenai Sai, aku bisa menebak kalau kau pasti sudah mendengar dari banyak orang kalau mereka berpikir Sakura akan berakhir dengannya."

Sasuke mengangguk singkat.

"Hubungan mereka tak seperti itu. Ada dua hal yang membuat hubungan mereka tak akan ke mana-mana. Lagi pula, Sakura hanya menganggapnya sebagai seorang kakak."

"Dua hal?"

"Lupakan."

"Sebentar, Yamanaka-san. Aku selalu bertanya-tanya sendiri, tapi tak pernah menemukan jawabannya. Apa Sai anak gelap ayahnya Sakura?" Sasuke mencoba menebak.

Yang mengherankan adalah Ino sama sekali tidak terkejut. "Aku sudah sering mendengar pertanyaan itu. Jawabannya tidak. Sakura adalah anak tunggal ayahnya."

"Aku hanya penasaran dengan hubungan mereka," kata pria itu. Jujur.

"Memangnya siapa yang tidak penasaran?" Ino tersenyum misterius. "Apa kau meragukan cinta Sakura?" tanya Ino curiga.

Cinta ... pikiran perempuan ini sudah terlalu jauh dari kenyataan. Cinta adalah kata terakhir dalam relasi yang mereka miliki. Seandainya ada cinta di sana, maka itu bukan milik mereka berdua. Rasa itu milik orang lain dan mungkin saja perasaan yang sama sudah Sakura berikan juga pada pria lainnya.

"Kau suami Sakura, maka kau harus percaya kalau kaulah pria dalam hidupnya. Jangan berpikir dia memakai topeng, jangan bingung pada kepribadiannya. Itulah Sakura. Dia manusia dan manusia memiliki banyak sekali sifat, tergantung dia mau menunjukkan yang mana. Kau tidak berpikir kalau dia hanya memiliki satu sifat, kan?"

"Tidak."

"Seperti yang kubilang tadi, Sakura akan bersikap tergantung seperti apa seseorang itu di hadapannya. Dia itu fleksibel."

"Aku pernah berpikir kalau apa yang ada di hatinya berbeda dengan tindakannya."

"Seratus untukmu, Uchiha-san."

Ino kembali mengamati Sasuke dengan teliti untuk menilai. Wanita itu berusaha tidak melewatkan apa pun sehingga membuat Sasuke merasa tak nyaman. "Kau sangat peduli padanya, ya."

Sasuke berkedip sekali.

"Aku merasa kau sangat memperhatikannya. Apa kau suka memikirkan sahabatku itu?"

"Itu bukan urusanmu," respon Sasuke defensif.

"Maaf, maaf, aku mungkin terlalu bersemangat. Aku permisi sekarang, paling tidak aku sudah sedikit tenang. Shikamaru benar, kau pria yang bisa dipercaya."

oOo

Sasuke merenung beberapa lama setelah Ino pergi. Rasa bersalah mulai merayap perlahan-lahan. Sakura memang menyembunyikan banyak hal darinya, tapi Sasuka tak menyangka kalau sebanyak itu yang sudah disimpan istrinya rapat-rapat.

Lalu, tentang Sai, dua hal apa yang menjadi maksud Yamanaka Ino? Hubungan macam apa yang dimiliki Sai dan Sakura? Kalau Sai anak haram ayahnya, lalu apa? Keduanya memang memiliki hubungan yang susah untuk dideskripsikan. Dan kalau Sasuke tak salah ingat, Ino mengatakan kalau Sakura masuk ke dalam parlemen demi Konoha. Sial! Sasuke sudah kalah telak sekarang.

Ck, kondisi ini membuatnya seperti seorang pendosa—walaupun memang ada dosa besar yang sudah dia lakukan pada Sakura. Seandainya dia bertemu Ino sejak awal, rasa bencinya pada Sakura tak akan tumbuh begitu besar dan menggerogoti batinnya. Sasuke tak mendapatkan apa pun dari rasa bencinya itu.

Dia membenci tanpa alasan yang jelas. Memang benar Sakura suka memancingnya, tapi Sasuke juga memiliki peran di sini. Dia membiarkan Sakura menggiringnya untuk mengobarkan amarah. Argh, mestinya Sasuke sejak awal sadar kalau opsi menyelamatkan Konoha tak mungkin selesai dalam waktu singkat. Dulu dia sama sekali tak sadar karena sedang dalam keadaan terdesak. Dia datang pada wanita itu, lalu perjanjian ditawarkan, dalam tempo waktu yang tak lama proposal untuk Konoha disodorkan padanya, semua terjadi dalam tempo yang sangat singkat. Bodohnya dia tidak menyadari semua itu. Konoha akan tetap diselamatkan sekali pun Sasuke tidak meminta bantuan pada Sakura!

SIAL!

"Kau memang pria bodoh sasuke! Kau bajingan keji yang merenggut hal berharga milik Sakura!" Kalau boleh, Sasuke ingin menembak kepalanya sendiri. Rasa bersalah menyergap batinnya!

Bodoh! Sakura pasti sangat terluka karena perbuatan Sasuke. Dia benar-benar pria brengsek tak termaafkan! Sasuke terus mengutuk dirinya sendiri.

Ya, semua menjadi jelas bagi Sasuke sekarang. Seharusnya sejak awal dia bisa melihat kalau tindakan dan isi hati Sakura itu sangat bertolak belakang. Sakura tak mau terlihat lemah di depannya, terlihat tak terpengaruh karena bagi perempuan itu Sasuke pasti adalah musuh. Seseorang selalu terlihat kuat di depan musuh. Itu tampak luarnya, semakin berpikir, semakin Sasuke yakin kalau istrinya pasti tersakiti. Harus dengan kata apa lagi Sasuke harus memaki dirinya sendiri?

Apa? Kenapa? Bagaimana?

Semua alasan mengenai sikap Sakura tak lagi ada dalam pikirannya. Rasa benci Sasuke menguap begitu saja. Yamanaka Ino, kenapa kau baru datang sekarang?

Ya Tuhan, kalau saja dia bertemu Ino lebih cepat, maka semua kesalahpahaman ini tak akan pernah terjadi. Dia tak akan pernah membenci Sakura seperti dua binatang buas yang sedang berebut makanan.

"Aku harus memperbaiki segalanya."

Bagaimanapun, sekarang dia tahu kalau Sakura memang berniat baik pada Konoha. Perempuan itu sudah memainkan bagiannya, sekarang adalah giliran Sasuke. Dia akan menebus dosa yang sudah dia lakukan pada Sakura.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sakura yang sedang menyisir rambut di depan meja riasnya menangkap bayangan Sasuke yang baru masuk ke dalam kamar. Jas dan koper pria itu diletakan di atas tempat tidur. Sasuke berjalan mendekatinya, rasa was-was mulai menyerang terutama saat pria itu bersandar pada ujung meja riasnya.

Kegiatan menyisir Sakura terhenti karena merasakan ada yang aneh. Wanita itu mengangkat kepalanya dan mendapati Sasuke menatapnya dengan cara yang tak biasa. "Ada apa?" tanya Sakura sambil meletakan sisirnya.

Sasuke tak menjawab, dia terus menatap istrinya. Tatapanya dalam.

"Hei …."

Pria itu mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celakanya. "Ini adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah kuminta darimu."

Sakura langsung sadar kalau itu adalah surat perjanjian mereka.

"Aku membatalkannya," ucap Sasuka sambil merobek-robek surat itu sehingga penjadi potongan-potongan kecil. "Kita memang tidak saling menyukai, tapi, aku tak sebrengsek itu."

Sakura memandangi potongan-potongan surat yang berjatuhan di dekat sepatu suaminya. Dia tak tau harus bereaksi seperti apa. "Apa yang kauinginkan, Sasuke?"

"Mulai besok berkencanlah denganku."

Sakura mengangkat wajahnya kaget. Matanya bahkan sampai melebar. Apa Sasuke sedang mabuk? Pria itu sedang merencanakan apa? Tidak mungkin kan kalau suaminya itu kerasukan dan tiba-tiba bertingkah tak biasa.

"Tak ada maksud terselubung," kata Sasuke seolah mengerti akan maksud tatapan sang istri. "Aku melukaimu, maka aku akan menyembuhkanmu."

Tak ada rencana apa pun, tak ada pertimbangan berulang seperti yang selalu dilakukan pria itu berulang kali. Sasuke hanya ingin melupakan sejenak adu strategi di antara mereka, ini bukan lagi permainan untuk saling mengalahkan. Wanita itu terluka sejak awal dan yang Sasuke lakukan adalah menyiram asam pada luka itu.

"Biarkan aku menebus kesalahanku," ucap pria itu sekali lagi.

Sekali lagi, Sakura hanya bisa menatap tak percaya. Perubahan sikap Sasuke terlalu tiba-tiba. Dia sama sekali tak menyangka Sasuke akan menawarkan perdamaian. Lebih dari itu, Sasuke seolah mengulurkan tangan untuk menggenggam hatinya.

Akan dibawa ke mana hubungan mereka. Sepertinya, sebuah lembar baru telah dibuka begitu saja tanpa mereka sadari. Akankah hubungan mereka menjadi lebih baik, ataukah semakin memburuk? Suratan takdir mulai memainkan babak barunya.

.

.

.

Tbc

A/N:

Terima kasih sudah menunggu.